PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk
Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan
spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya
sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi, dkk., 1996). Luasnya tanah
masam tersebut sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan
usaha pertanian, tetapi sampai sekarang masih belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal mengingat beberapa kendala yang terdapat pada tanah masam.
Kendala kendala utama bagi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah mineral
masam adalah keracunan Al, Fe dan Mn (Widawati, 1999). Tingginya kandungan
unsur-unsur tersebut akan berbahaya bagi akar dan menghambat pertumbuhan akar
serta translokasi P dan Ca ke bagian atas tanaman (Sanchez, 1976). Selain itu
tanaman kekurangan unsur hara makro terutama P. Kekurangan zat hara tersebut
disebabkan oleh terikatnya unsur tersebut secara kuat pada partikel tanah seperti
mineral lempung dan oksida-oksida besi dan aluminium membentuk Al dan Fe fosfat
sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kondisi-kondisi tersebut dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman. Beberapa usaha yang ditempuh untuk
mengatasinya antara lain dengan pemupukan dan pemanfaatan bakteri pelarut fosfat
(BPF).
Pemupukan dengan unsur-unsur tertentu seperti P perlu dilakukan, akan tetapi
selama ketersediaan Al, Fe dan Mn tetap tinggi maka pemupukan tersebut kurang
bermanfaat. Menurut Barber dalam Nursyamsi dkk (1996), pada tanah-tanah masam
efisiensi pupuk P umumnya sangat rendah hanya sekitar 10-15% dari sejumlah pupuk
P yang diberikan.
Bakteri pelarut fosfat (BPF) seperti Bacillus sp dan Pseudomonas sp
merupakan mikrob tanah yang mempunyai kemampuan melarutkan P tidak tersedia
menjadi tersedia (Subba-Rao, 1982; Widawati, 1999). Hal ini terjadi karena bakteri
3
tersebut mampu mensekresi asam-asam organik yang dapat membentuk kompleks
stabil dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah dan asam-asam organik
tersebut akan menurunkan pH dan memecahkan ikatan pada beberapa bentuk
senyawa fosfat sehingga akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam larutan tanah
(Subba-Rao, 1982).
Latar Belakang
Tanah masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk
Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan
spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya
sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi, dkk., 1996). Luasnya tanah
masam tersebut sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan
usaha pertanian, tetapi sampai sekarang masih belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal mengingat beberapa kendala yang terdapat pada tanah masam.
Kendala kendala utama bagi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah mineral
masam adalah keracunan Al, Fe dan Mn (Widawati, 1999). Tingginya kandungan
unsur-unsur tersebut akan berbahaya bagi akar dan menghambat pertumbuhan akar
serta translokasi P dan Ca ke bagian atas tanaman (Sanchez, 1976). Selain itu
tanaman kekurangan unsur hara makro terutama P. Kekurangan zat hara tersebut
disebabkan oleh terikatnya unsur tersebut secara kuat pada partikel tanah seperti
mineral lempung dan oksida-oksida besi dan aluminium membentuk Al dan Fe fosfat
sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kondisi-kondisi tersebut dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman. Beberapa usaha yang ditempuh untuk
mengatasinya antara lain dengan pemupukan dan pemanfaatan bakteri pelarut fosfat
(BPF).
Pemupukan dengan unsur-unsur tertentu seperti P perlu dilakukan, akan tetapi
selama ketersediaan Al, Fe dan Mn tetap tinggi maka pemupukan tersebut kurang
bermanfaat. Menurut Barber dalam Nursyamsi dkk (1996), pada tanah-tanah masam
efisiensi pupuk P umumnya sangat rendah hanya sekitar 10-15% dari sejumlah pupuk
P yang diberikan.
Bakteri pelarut fosfat (BPF) seperti Bacillus sp dan Pseudomonas sp
merupakan mikrob tanah yang mempunyai kemampuan melarutkan P tidak tersedia
menjadi tersedia (Subba-Rao, 1982; Widawati, 1999). Hal ini terjadi karena bakteri
3
tersebut mampu mensekresi asam-asam organik yang dapat membentuk kompleks
stabil dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah dan asam-asam organik
tersebut akan menurunkan pH dan memecahkan ikatan pada beberapa bentuk
senyawa fosfat sehingga akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam larutan tanah
(Subba-Rao, 1982).