BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup dan majunya ilmu pengetahuan, khususnya dibidang ilmu kedokteran meningkatkan umur harapan hidup. Akibatnya jumlah Manusia lanjut usia (lansia) akan bertambah, baik disadari atau tidak, secara naluri semua orang ingin mencapai usia sepanjang mungkin (Gunadi, 1984). Walau belum ada kesepakatan, umumnya lansia di Indonesia adalah diatas 60 th atau 65 th. Angka ini diperkirakan akan naik menjadi 7-9 % pada tahun 2000. Dengan bertambahnya jumlah warga lansia tersebut, maka masalah kesehatan baik fisik maupun kejiwaan dan masalah sosial yang berhubungan dengan lansia diduga akan bertambah secara cukup berarti (Karnadi, 1987). Dengan meningkatnya jumlah lansia akan menimbulkan banyak masalah baru, dimana sering terjadi depresi pada orang berumur 60an. Depresi sering mengisyaratkan adanya suatu penyakit organik (Maramis, 1998). Dalam menghadapi bertambahnya jumlah lansia yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitas sumber daya manusia atau lembaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan sehingga tercapai pelayanan yang berkualitas.
Menurut penelitiaan Kartidjo, (2002) depresi adalah penyakit menahun yang saat ini dimasukkan dalam rangking pertama penyebab disabilitas terbesar didunia, dengan jumlah disfungsi dua kali lebih besar dari penyakit yang umum kita jumpai. Sindroma depresi merupakan fenomena klinik yang ternyata tidak selalu jelas seperti yang dicantumkan dalam klasifikasi diagnostik (DSM-IV,ICD 10 maupun PPDGJ-III) makin banyak varian depresi yang ditemui, tidak saja mengenai manifestasi gejalanya yang berbeda, tetapi juga varian klinisnya seperti pada lansia. Depresi pada lansia dipandang sebagai masalah yang cukup penting, karena adanya bukti bahwa depresi pada lansia akan membawa kepada ketidakmampuan atau disabilitas baik dalam fungsi fisik maupun sosial
(Hoedijono, 1999). Adanya pandangan True depression in the aged is the syphilis of geriatric medicine (is the imitator of other diseases) juga merupakan alasan mengapa depresi ini dianggap sebagai masalah yang penting.
Depresi adalah gangguan psikiatrik yang paling penting diantara lansia dengan gejala-gejala klinis yang bervariasi (Hoedijono, 1999). Depresi bisa terjadi secara mendadak tetapi pada beberapa kasus bisa timbul dalam beberapa bulan. Gangguan ini dapat di cetuskan oleh “rasa kehilangan” atau penyakit-penyakit fisik (Gunadi, 1984). Rasa kehilangan disini adalah reaksi terhadap perasaan kehilangan sesuatu yang dicintainya (anak yang telah dewasa, suami atau istri, suami tidak lagi sama kasih sayangnya), kehilangan martabat atau self Esteem-nya, kehilangan tujuan hidup (karena peranannya sebagai ibu dan ibu rumah tangga telah berkurang), sakitnya suami atau istri (Hoedijono, 1999). Faktor-faktor risiko depresi pada lansia meliputi: janda atau perceraian, hidup sendiri, menurunnya aktifitas sosial, tidak adanya hubungan dengan orang yang dipercaya dan kehilangan ‘love object’ yang baru saja terjadi.
Selain itu depresi bisa timbul oleh karena perubahan sosial, kehilangan pekerjaan, teman akrab, aktifitas harian dan perpindahan tempat tinggal (ke rumah panti jompo atau tergusur oleh anggota keluarga) dapat menimbulkan depresi pada lansia, sehingga insiden depresi pada penderita-penderita ini lebih tinggi (Hoedijono, 1999). Pada tahun 2000 jumlah orang lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7 – 28 %, tahun 2020 sebesar 11 – 34 %, bahkan dari data yang dikeluarkan oleh Bureau Of The Cencus USA (1993), Menurut penelitian Mudjaddid (2003) prevalensi depresi pada populasi umum 6,5%, sedang pada pasien lansia prevalensinya 15,9% dilaporkan bahwa di Indonesia tahun 1990–2025 akan mempunyai jumlah lansia sebesar 414 % satu angka paling tinggi di seluruh dunia. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia sedang bergerak ke arah struktur penduduk yang semakin menua (Ageing Population), sehingga sangat berpengaruh terhadap terjadinya gangguan depresi pada lansia.
Menurut Hierfield & Cross (1982) dalam Nuhriawangsa (1988), depresi terdapat dimana-mana, tidak dipengaruhi faktor rasial, lebih banyak terdapat pada perempuan, golongan sosial ekonomi rendah dan status tidak kawin. Prevalensi pada pasien perempuan biasanya dua kali lebih besar dari laki- laki, hal ini belum ada penjelasan yang menerangkannya (Kaplan & Sadock). Pada penelitian Post F & Shulman memisahkan penderita depresi pada lansia laki-laki yaitu 13,7% sedangkan pada lansia perempuan 18,2%. Setiap tahunnya WHO mencatat 100 juta kasus depresi, dengan angka prevalensi seumur hidup yang tinggi mencapai 15% pada laki-laki dan 24% pada perempuan (Kartidjo, 2002).
Ditinjau dari semua faktor sosial demografi, jenis kelamin merupakan faktor risiko yang konsisten, penelitian ini menunjukkan bahwa gejala depresi lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki (Dien,1985). Menurut penelitian yang dilakukan Sarason (1993), bahwa jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap terjadinya depresi, ini ditunjukkan dengan adanya penelitian bahwa perempuan mempunyai risiko dua kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki untuk menderita depresi. Hal ini berkaitan dengan adanya pernyataan bahwa perempuan sering menggunakan perasaannya dalam mengahadapi berbagai hal, dan mereka sering menggunakan feeling dan emosi dalam memutuskan suatu perkara atau masalah.
Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan yang pada umumnya diawali pada masa pensiun karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya.
Kondisi ekonomi dan sosial yang buruk, seperti misalnya low incom dan tidak mempunyai pekerjaan, merupakan faktor risiko penyebab terjadinya depresi (Weisman. cit Kaplan & Sadock, 1995), didukung lagi dengan penelitian Jacob (2000), bahwa penghasilan sangat menentukan terjadinya depresi karena pendapatan dan penghasilan yang sudah berkurang, sulit mencari pekerjaan sedangkan kebutuhan-kebutuhan untuk memenuhi kewajibannya masih relatif tetap sehingga terjadi jurang antara penghasilan dan kebutuhan.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Propinsi Jawa Tengah, terletak di tengah antara kota/kabupaten di karesidenan Surakarta. Hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendatan Penduduk Berkelanjutan (P4B) tahun 2003 jumlah penduduknya 497.234 jiwa. Menurut kelompok umur 60+ tahun ada 29.498 jiwa. Secara administratif, Kota Surakarta terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, Banjarsari. Daerah terluas ditempati oleh Kecamatan Banjarsari dengan luas mencapai 33,63% dari luas Kota Surakarta.
Wilayah Banjarsari terdapat 154.393 jiwa. Salah satu daerah Banjarsari adalah Kalurahan Nusukan. Hingga bulan Februari 2005 di Kalurahan Nusukan terdapat 28.723 jiwa. Menurut kelompok umur 60+ tahun terdapat 280 jiwa. Jenis lansia perempuan sebanyak 254 orang dan lansia laki – laki 26 orang. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel di Nusukan, Surakarta Peneliti melihat fenomena atau kenyataan yang ada bahwa lansia di daerah tersebut berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan terhadap 20 orang lansia, menunjukkan bahwa lansia di Nusukan banyak yang mengalami depresi yang disebabkan faktor demografi. Studi pendahuluan yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa lansia di Nusukan cenderung mengalami depresi, misalnya saja jenis kelaminnya lebih banyak yang perempuan daripada yang laki – laki, sedangkan menurut penelitian Post F & Shulman bahwa perempuan dominan terkena depresi daripada laki-laki. Status pekerjaan pada lansia di Nusukan banyak yang tidak bekerja dari pada yang bekerja, tidak bekkerja baik yang disebabkan karena mengalami pensiunan maupun karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. Studi pendahuluan tersebut lansia yang bekerja di sektor formal (25%), informal (75%). Status perkawinan banyak yang hidup sendiri (baik janda, duda, tanpa keluarga) dibandingkan yang masih hidup besama suami istri maupun keluarga. Penghasilan lansia di Nusukan lebih dominan yang 250.000 dari pada yang 250.000-500.000 dan >500.000. Karena keterbatasan pengetahuan, waktu, data dan materi maka peneliti hanya mengambil beberapa variabel tersebut diatas untuk diteliti.
Berangkat dari fenomena tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui adakah hubungan antara faktor demografi dengan terjadinya gangguan depresi pada lansia di Nusukan, Surakarta.
`
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil rumusan masalah yaitu: Adakah hubungan antara faktor demografi dengan terjadinya depresi pada lansia di Nusukan, Surakarta.
C. Tujuan Penelitiaan
1. Tujuan Umum.
Mengetahui hubungan antara faktor demografi dengan terjadinya depresi pada lansia di Nusukan, Surakarta.
2. Tujuan Khusus.
Mengetahui kakteristik jenis kelamin, status pekerjaan, status perkawinan, penghasilan dengan terjadinya depresi pada lansia.
D. Manfaat Penelitian
1. Komunitas Khusus (lansia).
Mengetahui hubungan faktor demografi dengan terjadinya depresi pada lansia dan diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang faktor penyebab untuk mengurangi terjadinya depresi pada lansia.
2. Instansi Pelayanan Kesehatan (Puskesmas).
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai gambaran dan dapat membantu menurunkan terjadinya depresi pada lansia, dapat mengetahui faktor demografi yang berpengaruh dan untuk pencegahan lebih lanjut terjadinya depresi pada lansia.
3. Bagi Instansi Pendidikan.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang depresi pada lansia sudah sering dilakukan. Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain :
1. Widiatmoko (2001), meneliti Korelasi Antara Dukungan Sosial Dengan Derajat Depresi Pasien Poliklinik Geriatri RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara dukungan sosial dan derajat depresi pasien.
2. Sumardino (2005), berjudul Derajat Depresi Lansia di Panti Wredha Kota Surakarta Aspek Demografi dan Dukungan Sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis survey dan rancangan cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus depresi lansia di panti wredha lebih tinggi di bangsal geriatrik daripada di masyarakat. Rata-rata dukungan sosial yang diperoleh lansia di panti wredha kota Surakarta sudah cukup baik namun belum semua lansia memperoleh dukungan sosial yang memadai masih dibawah rata-rata, dan tidak terdapat keterkaitan yang erat antara faktor usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan terhadap tinggi rendahnya tingkat depresi lansia yang tinggal di panti wredha Kota Surakarta.
Perbedanya dengan penelitian ini terletak pada tempat penelitiannya, kondisi subjek (kondisi lansia di masyarakat lebih rendah mengalami depresi daripada lansia di panti).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup dan majunya ilmu pengetahuan, khususnya dibidang ilmu kedokteran meningkatkan umur harapan hidup. Akibatnya jumlah Manusia lanjut usia (lansia) akan bertambah, baik disadari atau tidak, secara naluri semua orang ingin mencapai usia sepanjang mungkin (Gunadi, 1984). Walau belum ada kesepakatan, umumnya lansia di Indonesia adalah diatas 60 th atau 65 th. Angka ini diperkirakan akan naik menjadi 7-9 % pada tahun 2000. Dengan bertambahnya jumlah warga lansia tersebut, maka masalah kesehatan baik fisik maupun kejiwaan dan masalah sosial yang berhubungan dengan lansia diduga akan bertambah secara cukup berarti (Karnadi, 1987). Dengan meningkatnya jumlah lansia akan menimbulkan banyak masalah baru, dimana sering terjadi depresi pada orang berumur 60an. Depresi sering mengisyaratkan adanya suatu penyakit organik (Maramis, 1998). Dalam menghadapi bertambahnya jumlah lansia yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitas sumber daya manusia atau lembaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan sehingga tercapai pelayanan yang berkualitas.
Menurut penelitiaan Kartidjo, (2002) depresi adalah penyakit menahun yang saat ini dimasukkan dalam rangking pertama penyebab disabilitas terbesar didunia, dengan jumlah disfungsi dua kali lebih besar dari penyakit yang umum kita jumpai. Sindroma depresi merupakan fenomena klinik yang ternyata tidak selalu jelas seperti yang dicantumkan dalam klasifikasi diagnostik (DSM-IV,ICD 10 maupun PPDGJ-III) makin banyak varian depresi yang ditemui, tidak saja mengenai manifestasi gejalanya yang berbeda, tetapi juga varian klinisnya seperti pada lansia. Depresi pada lansia dipandang sebagai masalah yang cukup penting, karena adanya bukti bahwa depresi pada lansia akan membawa kepada ketidakmampuan atau disabilitas baik dalam fungsi fisik maupun sosial
(Hoedijono, 1999). Adanya pandangan True depression in the aged is the syphilis of geriatric medicine (is the imitator of other diseases) juga merupakan alasan mengapa depresi ini dianggap sebagai masalah yang penting.
Depresi adalah gangguan psikiatrik yang paling penting diantara lansia dengan gejala-gejala klinis yang bervariasi (Hoedijono, 1999). Depresi bisa terjadi secara mendadak tetapi pada beberapa kasus bisa timbul dalam beberapa bulan. Gangguan ini dapat di cetuskan oleh “rasa kehilangan” atau penyakit-penyakit fisik (Gunadi, 1984). Rasa kehilangan disini adalah reaksi terhadap perasaan kehilangan sesuatu yang dicintainya (anak yang telah dewasa, suami atau istri, suami tidak lagi sama kasih sayangnya), kehilangan martabat atau self Esteem-nya, kehilangan tujuan hidup (karena peranannya sebagai ibu dan ibu rumah tangga telah berkurang), sakitnya suami atau istri (Hoedijono, 1999). Faktor-faktor risiko depresi pada lansia meliputi: janda atau perceraian, hidup sendiri, menurunnya aktifitas sosial, tidak adanya hubungan dengan orang yang dipercaya dan kehilangan ‘love object’ yang baru saja terjadi.
Selain itu depresi bisa timbul oleh karena perubahan sosial, kehilangan pekerjaan, teman akrab, aktifitas harian dan perpindahan tempat tinggal (ke rumah panti jompo atau tergusur oleh anggota keluarga) dapat menimbulkan depresi pada lansia, sehingga insiden depresi pada penderita-penderita ini lebih tinggi (Hoedijono, 1999). Pada tahun 2000 jumlah orang lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7 – 28 %, tahun 2020 sebesar 11 – 34 %, bahkan dari data yang dikeluarkan oleh Bureau Of The Cencus USA (1993), Menurut penelitian Mudjaddid (2003) prevalensi depresi pada populasi umum 6,5%, sedang pada pasien lansia prevalensinya 15,9% dilaporkan bahwa di Indonesia tahun 1990–2025 akan mempunyai jumlah lansia sebesar 414 % satu angka paling tinggi di seluruh dunia. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia sedang bergerak ke arah struktur penduduk yang semakin menua (Ageing Population), sehingga sangat berpengaruh terhadap terjadinya gangguan depresi pada lansia.
Menurut Hierfield & Cross (1982) dalam Nuhriawangsa (1988), depresi terdapat dimana-mana, tidak dipengaruhi faktor rasial, lebih banyak terdapat pada perempuan, golongan sosial ekonomi rendah dan status tidak kawin. Prevalensi pada pasien perempuan biasanya dua kali lebih besar dari laki- laki, hal ini belum ada penjelasan yang menerangkannya (Kaplan & Sadock). Pada penelitian Post F & Shulman memisahkan penderita depresi pada lansia laki-laki yaitu 13,7% sedangkan pada lansia perempuan 18,2%. Setiap tahunnya WHO mencatat 100 juta kasus depresi, dengan angka prevalensi seumur hidup yang tinggi mencapai 15% pada laki-laki dan 24% pada perempuan (Kartidjo, 2002).
Ditinjau dari semua faktor sosial demografi, jenis kelamin merupakan faktor risiko yang konsisten, penelitian ini menunjukkan bahwa gejala depresi lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki (Dien,1985). Menurut penelitian yang dilakukan Sarason (1993), bahwa jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap terjadinya depresi, ini ditunjukkan dengan adanya penelitian bahwa perempuan mempunyai risiko dua kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki untuk menderita depresi. Hal ini berkaitan dengan adanya pernyataan bahwa perempuan sering menggunakan perasaannya dalam mengahadapi berbagai hal, dan mereka sering menggunakan feeling dan emosi dalam memutuskan suatu perkara atau masalah.
Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan yang pada umumnya diawali pada masa pensiun karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya.
Kondisi ekonomi dan sosial yang buruk, seperti misalnya low incom dan tidak mempunyai pekerjaan, merupakan faktor risiko penyebab terjadinya depresi (Weisman. cit Kaplan & Sadock, 1995), didukung lagi dengan penelitian Jacob (2000), bahwa penghasilan sangat menentukan terjadinya depresi karena pendapatan dan penghasilan yang sudah berkurang, sulit mencari pekerjaan sedangkan kebutuhan-kebutuhan untuk memenuhi kewajibannya masih relatif tetap sehingga terjadi jurang antara penghasilan dan kebutuhan.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Propinsi Jawa Tengah, terletak di tengah antara kota/kabupaten di karesidenan Surakarta. Hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendatan Penduduk Berkelanjutan (P4B) tahun 2003 jumlah penduduknya 497.234 jiwa. Menurut kelompok umur 60+ tahun ada 29.498 jiwa. Secara administratif, Kota Surakarta terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, Banjarsari. Daerah terluas ditempati oleh Kecamatan Banjarsari dengan luas mencapai 33,63% dari luas Kota Surakarta.
Wilayah Banjarsari terdapat 154.393 jiwa. Salah satu daerah Banjarsari adalah Kalurahan Nusukan. Hingga bulan Februari 2005 di Kalurahan Nusukan terdapat 28.723 jiwa. Menurut kelompok umur 60+ tahun terdapat 280 jiwa. Jenis lansia perempuan sebanyak 254 orang dan lansia laki – laki 26 orang. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel di Nusukan, Surakarta Peneliti melihat fenomena atau kenyataan yang ada bahwa lansia di daerah tersebut berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan terhadap 20 orang lansia, menunjukkan bahwa lansia di Nusukan banyak yang mengalami depresi yang disebabkan faktor demografi. Studi pendahuluan yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa lansia di Nusukan cenderung mengalami depresi, misalnya saja jenis kelaminnya lebih banyak yang perempuan daripada yang laki – laki, sedangkan menurut penelitian Post F & Shulman bahwa perempuan dominan terkena depresi daripada laki-laki. Status pekerjaan pada lansia di Nusukan banyak yang tidak bekerja dari pada yang bekerja, tidak bekkerja baik yang disebabkan karena mengalami pensiunan maupun karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. Studi pendahuluan tersebut lansia yang bekerja di sektor formal (25%), informal (75%). Status perkawinan banyak yang hidup sendiri (baik janda, duda, tanpa keluarga) dibandingkan yang masih hidup besama suami istri maupun keluarga. Penghasilan lansia di Nusukan lebih dominan yang 250.000 dari pada yang 250.000-500.000 dan >500.000. Karena keterbatasan pengetahuan, waktu, data dan materi maka peneliti hanya mengambil beberapa variabel tersebut diatas untuk diteliti.
Berangkat dari fenomena tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui adakah hubungan antara faktor demografi dengan terjadinya gangguan depresi pada lansia di Nusukan, Surakarta.
`
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil rumusan masalah yaitu: Adakah hubungan antara faktor demografi dengan terjadinya depresi pada lansia di Nusukan, Surakarta.
C. Tujuan Penelitiaan
1. Tujuan Umum.
Mengetahui hubungan antara faktor demografi dengan terjadinya depresi pada lansia di Nusukan, Surakarta.
2. Tujuan Khusus.
Mengetahui kakteristik jenis kelamin, status pekerjaan, status perkawinan, penghasilan dengan terjadinya depresi pada lansia.
D. Manfaat Penelitian
1. Komunitas Khusus (lansia).
Mengetahui hubungan faktor demografi dengan terjadinya depresi pada lansia dan diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang faktor penyebab untuk mengurangi terjadinya depresi pada lansia.
2. Instansi Pelayanan Kesehatan (Puskesmas).
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai gambaran dan dapat membantu menurunkan terjadinya depresi pada lansia, dapat mengetahui faktor demografi yang berpengaruh dan untuk pencegahan lebih lanjut terjadinya depresi pada lansia.
3. Bagi Instansi Pendidikan.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang depresi pada lansia sudah sering dilakukan. Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain :
1. Widiatmoko (2001), meneliti Korelasi Antara Dukungan Sosial Dengan Derajat Depresi Pasien Poliklinik Geriatri RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara dukungan sosial dan derajat depresi pasien.
2. Sumardino (2005), berjudul Derajat Depresi Lansia di Panti Wredha Kota Surakarta Aspek Demografi dan Dukungan Sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis survey dan rancangan cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus depresi lansia di panti wredha lebih tinggi di bangsal geriatrik daripada di masyarakat. Rata-rata dukungan sosial yang diperoleh lansia di panti wredha kota Surakarta sudah cukup baik namun belum semua lansia memperoleh dukungan sosial yang memadai masih dibawah rata-rata, dan tidak terdapat keterkaitan yang erat antara faktor usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan terhadap tinggi rendahnya tingkat depresi lansia yang tinggal di panti wredha Kota Surakarta.
Perbedanya dengan penelitian ini terletak pada tempat penelitiannya, kondisi subjek (kondisi lansia di masyarakat lebih rendah mengalami depresi daripada lansia di panti).