BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Umat manusia dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang terkadang saling kontradiktif. Dari satu sisi, ilmu dan sains terus berkembang, sementara di sisi lain, kesulitan dan berbagai problema terus datang silih berganti. Salah satu masalah besar yang dihadapi umat manusia saat ini adalah kecanduan narkotika yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Seakan-akan, segala upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga dunia untuk menekan fenomena ini tidak membuahkan hasil yang berarti. Saat ini jutaan orang telah terperangkap dalam lingkaran narkotika dan telah banyak keluarga yang hancur karenanya.
Meluasnya jalur peredaran narkoba di kawasan dunia, tidak terlepas dari dampak globalisasi, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat khususnya di bidang transportasi dan komunikasi serta informasi telah menjadikan dunia tanpa batas sekarang disebut dunia maya, kondisi tersebut makin memudahkan usaha penyelundupan narkoba ke negara lain termasuk ke Indonesia.
Dampak era globalisasi akibat dari pesatnya perkembangan IPTEK di bidang komunikasi dan transportasi yang telah menjadikan negara tanpa batas dan dunia nampaknya menjadi satu. Fenomena ini membawa juga perubahan arah kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang semakin interpendensi. Semakin canggihnya sistem komunikasi dan transportasi telah mengakibatkan lajunya peredaran manusia maupun barang, termasuk narkoba antar batas negara. Keprihatinan terhadap masalah peredaran dan perdagangan narkoba merupakan keprihatinan dunia internasional karena korbannya ada di seluruh negara, baik maju maupun berkembang.
Kawasan Asia Pasifik yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif baik dari negara-negara Afrika atau Amerika Latin, juga menjadi sasaran peredaran sindikat narkoba internasional. Perbedaan kebijakan dan penerapan hukum dalam penanganan masalah narkoba di Asia Pasifik sering dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengembangkan jaringannya. Jaringan ini juga memanfaatkan negara yang penerapan hukumnya masih ringan.
Di sisi lain dengan belum selarasnya hubungan politik negara-negara Asia Pasifik menyebabkan kawasan ini tetap rawan terhadap penyelundupan narkotika, baik yang bersumber dari kawasan ini maupun yang berasal dari luar antara lain Amerika Serikat, Asia Selatan maupun dari Asia Tenggara. Dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (AFTA) tahun 2003, telah dimanfaatkan oleh pengedar narkotika untuk mengembangkan pengaruhnya, mengingat di wilayah tersebut terdapat daerah segitiga emas yaitu Laos, Myanmar dan Thailand, yang merupakan daerah penghasil dan produsen narkoba yang terbesar di Asia Tenggara. Posisi ini mengakibatkan terbukanya jalur peredaran sampai ke Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Di samping itu, kondisi politik dan ekonomi yang belum stabil di negara-negara Asia Tenggara sangat menguntungkan bagi para sindikat narkoba untuk meningkatkan peredaran dan perdagangan narkotika di kawasan ini karena di negara-negara tersebut masyarakatnya cenderung akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Hal tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pengedar untuk menjalankan bisnisnya.
Laporan International Narcotics Control Strategy (INCS) menyebutkan, jaringan sindikat perdagangan heroin dunia masuk ke Indonesia dengan cara melibatkan jaringan mereka yang ada di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Nigeria. Kelompok-kelompok itu memperoleh heroin di Bangkok, kemudian dari sana baru dibawa kurir melalui pesawat komersial ke Bandara Soekarno-Hatta. Dari Jakarta, heroin ini kemudian didistribusikan ke Amerika Serikat (AS), Australia, dan Eropa Barat.
Keuntungan dari perdagangan gelap narkotika dunia memang mencengangkan! Interpol menaksir jumlahnya mencapai 400 miliar dolar AS dalam setahun. Kalau dikonversi dalam rupiah (dengan asumsi 1 dolar AS = Rp 8.500), maka jumlahnya mencapai Rp 3,4 triliun. Sembilan puluh persen keuntungan tersebut ternyata diraup bandar narkotika, sedangkan sisanya petani (enam persen), pengolah (dua persen), dan pedagang bahan mentah (dua persen).
Menurut data International Criminal Police Organization (ICPO)- Interpol tahun 1999, jumlah pengguna narkotika di tingkat global mencapai 200 juta orang, baik pengguna rutin maupun yang coba-coba. Dari jumlah itu, 140 juta di antaranya pengguna cannabis, 13 juta pengguna kokain, 8 juta pengguna heroin, dan 30 juta pengguna amphetamine jenis stimulans. Ini semua bisa terjadi karena perdagangan gelap narkotika kini sudah menjadi kegiatan bisnis terorganisir di tingkat global dengan dukungan modal sangat besar, sumber daya manusia, transportasi, keahlian, pengaruh, dan kekuasaan.
Malvin Levisky, anggota Lembaga Internasional Pengawasan Narkotika yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sebuah wawancaranya mengatakan, “Perdagangan narkotika yang bervolume 1,5 miliar dolar tahun ini telah melahirkan 200 juta pecandu heroin dan ganja.” Levisky menambahkan, “Setiap tahunnya, sekitar 100 ribu orang meninggal dunia akibat kecanduan heroin.”
Jumlah korban narkotika sebanyak ini ditambah lagi dampak buruk sosialnya yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, membuktikan bahwa aktifitas produksi dan perdagangan obat-obat terlarang ini didukung oleh sejumlah negara karena memang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Laporan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa keuntungan yang didapatkan dari perdagangan narkotika dunia menempati urutan kedua setelah perdagangan senjata. Baik narkotika maupun persenjataan adalah dua hal yang sama-sama menghancurkan kehidupan umat manusia.
Perdagangan narkotika merupakan jenis perniagaan yang dikecam oleh semua orang. Karenanya, tidak ada satupun tokoh atau negara yang secara terbuka mendukung perdagangan ini. Bahkan tidak sedikit negara yang mengesankan diri sebagai penumpas perdagangan narkotika berusaha meraih dukungan dan simpati masyarakat dunia. Salah satu negara itu adalah Amerika Serikat, yang kerap menjadikan isu narkotika untuk memojokkan negara-negara yang dianggap membangkang atau melakukan intervensi di negara-negara lain.
ASEAN telah menetapkan 8 jenis kejahatan lintas negara yang serius. Kedelapan kejahatan tersebut diantaranya terorisme, perdagangan manusia, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan senjata, kejahatan dunia maya dan pencucian uang. Dengan disetujuinya pengajuan kasus korupsi sebagai kejahatan lintas batas, maka menambah satu kejahatan lintas batas yang sebelumnya ada 7 jenis.
Pada KTT ASEAN di Bali 2003, telah dicanangkan kesepakatan untuk menciptakan kawasan ASEAN bebas narkoba pada tahun 2015, sehingga segala upaya perlu dilakukan negara anggota ASEAN untuk mewujudkan negaranya bebas narkoba. Hal itu ditempuh sebagai upaya untuk menanggulangi segala kejahatan transnational, termasuk drugs trafficking.
Dari pihak organisasi internasional sendiri, seperti halnya PBB, seperti disebutkan Direktur Eksekutif Program Kontrol Obat-obat Terlarang PBB, Giorgio Giacomelli (1977), bahwa ”individu-individu dan berbagai masyarakat dunia menghadapi masalah obat-obat terlarang yang skalanya tidak terbayangkan pada generasi yang lampau. Seiring dengan penyalah-gunaan obat-obat terlarang yang mempengaruhi lebih banyak negara, kekuatan dari organisasi pengedar obat-obat terlarang internasional telah menimbulkan ancaman penghancuran dan destabilisasi institusi negara.
Pernyataan Gioacomelli ini didasarkan oleh perkiraan data dari PBB pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa 3,3% hingga 4,1% dari 6 milyar jiwa penduduk dunia merupakan pengguna atau konsumen reguler obat-obat terlarang. Berdasarkan pola konsumsi tersebut, maka keuntungan pertahun yang dapat diperoleh dari peredaran obat-obat terlarang mencapai sekitar US$ 400 Milyar, atau 8% dari total perdagangan internasional.
Sementara itu, Indonesia sendiri hingga tahun 1998 hanya dijadikan tempat transit aktivitas peredaran narkotika dan psikotropika yang dibawa dari kawasan Segitiga Emas (The Golden Triangle), yaitu Thailand, Laos, dan Myanmar untuk tujuan Eropa, khususnya jenis putauw, heroin, dan shabu. Bahkan setelah 1998, Indonesia sudah menjadi negara tujuan peredaran obat-obat terlarang tersebut. Menurut pihak kepolisian, perubahan fenomena dari fungsi yang semula sebagai negara transit menjadi negara konsumen tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1995. Ditambahkan pula, bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri, jenis putau dan heroin masih diimpor dari Pakistan, sedangkan jenis shabu didatangkan dari RRC. Terlebih lagi dari perkembangannya yang terakhir, Indonesia telah menjadi negara produsen, khususnya untuk obat-obat terlarang ecstasy yang sebelumnya diimpor dari Belanda dan Jerman.
Perdagangan obat-obat terlarang internasional secara garis besar meliputi empat jenis, yaitu ganja (cannabis), kokain (cocain), heroin, dan amphetamine-type stimulants (ATS). Produksi dan peredaran obat-obat terlarang di kawasan Asia Tenggara terutama terpusat di wilayah yang disebut the Golden Triangle. Produk obat-obat terlarang utama yang diproduksi dan diedarkan di kawasan tersebut adalah heroin. Sedangkan untuk kasus di Indonesia, ganja merupakan jenis obat-obat terlarang yang paling populer diproduksi. Akan tetapi pada perkembangannya, khususnya sejak tahun 1995, kawasan the Golden Triangle dan Indonesia juga mulai memproduksi dan mengedarkan jenis amphetamine-type stimulants (ATS) yang juga dikenal dengan obat-obat psikotropika.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Umat manusia dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang terkadang saling kontradiktif. Dari satu sisi, ilmu dan sains terus berkembang, sementara di sisi lain, kesulitan dan berbagai problema terus datang silih berganti. Salah satu masalah besar yang dihadapi umat manusia saat ini adalah kecanduan narkotika yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Seakan-akan, segala upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga dunia untuk menekan fenomena ini tidak membuahkan hasil yang berarti. Saat ini jutaan orang telah terperangkap dalam lingkaran narkotika dan telah banyak keluarga yang hancur karenanya.
Meluasnya jalur peredaran narkoba di kawasan dunia, tidak terlepas dari dampak globalisasi, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat khususnya di bidang transportasi dan komunikasi serta informasi telah menjadikan dunia tanpa batas sekarang disebut dunia maya, kondisi tersebut makin memudahkan usaha penyelundupan narkoba ke negara lain termasuk ke Indonesia.
Dampak era globalisasi akibat dari pesatnya perkembangan IPTEK di bidang komunikasi dan transportasi yang telah menjadikan negara tanpa batas dan dunia nampaknya menjadi satu. Fenomena ini membawa juga perubahan arah kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang semakin interpendensi. Semakin canggihnya sistem komunikasi dan transportasi telah mengakibatkan lajunya peredaran manusia maupun barang, termasuk narkoba antar batas negara. Keprihatinan terhadap masalah peredaran dan perdagangan narkoba merupakan keprihatinan dunia internasional karena korbannya ada di seluruh negara, baik maju maupun berkembang.
Kawasan Asia Pasifik yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif baik dari negara-negara Afrika atau Amerika Latin, juga menjadi sasaran peredaran sindikat narkoba internasional. Perbedaan kebijakan dan penerapan hukum dalam penanganan masalah narkoba di Asia Pasifik sering dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengembangkan jaringannya. Jaringan ini juga memanfaatkan negara yang penerapan hukumnya masih ringan.
Di sisi lain dengan belum selarasnya hubungan politik negara-negara Asia Pasifik menyebabkan kawasan ini tetap rawan terhadap penyelundupan narkotika, baik yang bersumber dari kawasan ini maupun yang berasal dari luar antara lain Amerika Serikat, Asia Selatan maupun dari Asia Tenggara. Dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (AFTA) tahun 2003, telah dimanfaatkan oleh pengedar narkotika untuk mengembangkan pengaruhnya, mengingat di wilayah tersebut terdapat daerah segitiga emas yaitu Laos, Myanmar dan Thailand, yang merupakan daerah penghasil dan produsen narkoba yang terbesar di Asia Tenggara. Posisi ini mengakibatkan terbukanya jalur peredaran sampai ke Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Di samping itu, kondisi politik dan ekonomi yang belum stabil di negara-negara Asia Tenggara sangat menguntungkan bagi para sindikat narkoba untuk meningkatkan peredaran dan perdagangan narkotika di kawasan ini karena di negara-negara tersebut masyarakatnya cenderung akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Hal tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pengedar untuk menjalankan bisnisnya.
Laporan International Narcotics Control Strategy (INCS) menyebutkan, jaringan sindikat perdagangan heroin dunia masuk ke Indonesia dengan cara melibatkan jaringan mereka yang ada di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Nigeria. Kelompok-kelompok itu memperoleh heroin di Bangkok, kemudian dari sana baru dibawa kurir melalui pesawat komersial ke Bandara Soekarno-Hatta. Dari Jakarta, heroin ini kemudian didistribusikan ke Amerika Serikat (AS), Australia, dan Eropa Barat.
Keuntungan dari perdagangan gelap narkotika dunia memang mencengangkan! Interpol menaksir jumlahnya mencapai 400 miliar dolar AS dalam setahun. Kalau dikonversi dalam rupiah (dengan asumsi 1 dolar AS = Rp 8.500), maka jumlahnya mencapai Rp 3,4 triliun. Sembilan puluh persen keuntungan tersebut ternyata diraup bandar narkotika, sedangkan sisanya petani (enam persen), pengolah (dua persen), dan pedagang bahan mentah (dua persen).
Menurut data International Criminal Police Organization (ICPO)- Interpol tahun 1999, jumlah pengguna narkotika di tingkat global mencapai 200 juta orang, baik pengguna rutin maupun yang coba-coba. Dari jumlah itu, 140 juta di antaranya pengguna cannabis, 13 juta pengguna kokain, 8 juta pengguna heroin, dan 30 juta pengguna amphetamine jenis stimulans. Ini semua bisa terjadi karena perdagangan gelap narkotika kini sudah menjadi kegiatan bisnis terorganisir di tingkat global dengan dukungan modal sangat besar, sumber daya manusia, transportasi, keahlian, pengaruh, dan kekuasaan.
Malvin Levisky, anggota Lembaga Internasional Pengawasan Narkotika yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sebuah wawancaranya mengatakan, “Perdagangan narkotika yang bervolume 1,5 miliar dolar tahun ini telah melahirkan 200 juta pecandu heroin dan ganja.” Levisky menambahkan, “Setiap tahunnya, sekitar 100 ribu orang meninggal dunia akibat kecanduan heroin.”
Jumlah korban narkotika sebanyak ini ditambah lagi dampak buruk sosialnya yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, membuktikan bahwa aktifitas produksi dan perdagangan obat-obat terlarang ini didukung oleh sejumlah negara karena memang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Laporan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa keuntungan yang didapatkan dari perdagangan narkotika dunia menempati urutan kedua setelah perdagangan senjata. Baik narkotika maupun persenjataan adalah dua hal yang sama-sama menghancurkan kehidupan umat manusia.
Perdagangan narkotika merupakan jenis perniagaan yang dikecam oleh semua orang. Karenanya, tidak ada satupun tokoh atau negara yang secara terbuka mendukung perdagangan ini. Bahkan tidak sedikit negara yang mengesankan diri sebagai penumpas perdagangan narkotika berusaha meraih dukungan dan simpati masyarakat dunia. Salah satu negara itu adalah Amerika Serikat, yang kerap menjadikan isu narkotika untuk memojokkan negara-negara yang dianggap membangkang atau melakukan intervensi di negara-negara lain.
ASEAN telah menetapkan 8 jenis kejahatan lintas negara yang serius. Kedelapan kejahatan tersebut diantaranya terorisme, perdagangan manusia, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan senjata, kejahatan dunia maya dan pencucian uang. Dengan disetujuinya pengajuan kasus korupsi sebagai kejahatan lintas batas, maka menambah satu kejahatan lintas batas yang sebelumnya ada 7 jenis.
Pada KTT ASEAN di Bali 2003, telah dicanangkan kesepakatan untuk menciptakan kawasan ASEAN bebas narkoba pada tahun 2015, sehingga segala upaya perlu dilakukan negara anggota ASEAN untuk mewujudkan negaranya bebas narkoba. Hal itu ditempuh sebagai upaya untuk menanggulangi segala kejahatan transnational, termasuk drugs trafficking.
Dari pihak organisasi internasional sendiri, seperti halnya PBB, seperti disebutkan Direktur Eksekutif Program Kontrol Obat-obat Terlarang PBB, Giorgio Giacomelli (1977), bahwa ”individu-individu dan berbagai masyarakat dunia menghadapi masalah obat-obat terlarang yang skalanya tidak terbayangkan pada generasi yang lampau. Seiring dengan penyalah-gunaan obat-obat terlarang yang mempengaruhi lebih banyak negara, kekuatan dari organisasi pengedar obat-obat terlarang internasional telah menimbulkan ancaman penghancuran dan destabilisasi institusi negara.
Pernyataan Gioacomelli ini didasarkan oleh perkiraan data dari PBB pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa 3,3% hingga 4,1% dari 6 milyar jiwa penduduk dunia merupakan pengguna atau konsumen reguler obat-obat terlarang. Berdasarkan pola konsumsi tersebut, maka keuntungan pertahun yang dapat diperoleh dari peredaran obat-obat terlarang mencapai sekitar US$ 400 Milyar, atau 8% dari total perdagangan internasional.
Sementara itu, Indonesia sendiri hingga tahun 1998 hanya dijadikan tempat transit aktivitas peredaran narkotika dan psikotropika yang dibawa dari kawasan Segitiga Emas (The Golden Triangle), yaitu Thailand, Laos, dan Myanmar untuk tujuan Eropa, khususnya jenis putauw, heroin, dan shabu. Bahkan setelah 1998, Indonesia sudah menjadi negara tujuan peredaran obat-obat terlarang tersebut. Menurut pihak kepolisian, perubahan fenomena dari fungsi yang semula sebagai negara transit menjadi negara konsumen tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1995. Ditambahkan pula, bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri, jenis putau dan heroin masih diimpor dari Pakistan, sedangkan jenis shabu didatangkan dari RRC. Terlebih lagi dari perkembangannya yang terakhir, Indonesia telah menjadi negara produsen, khususnya untuk obat-obat terlarang ecstasy yang sebelumnya diimpor dari Belanda dan Jerman.
Perdagangan obat-obat terlarang internasional secara garis besar meliputi empat jenis, yaitu ganja (cannabis), kokain (cocain), heroin, dan amphetamine-type stimulants (ATS). Produksi dan peredaran obat-obat terlarang di kawasan Asia Tenggara terutama terpusat di wilayah yang disebut the Golden Triangle. Produk obat-obat terlarang utama yang diproduksi dan diedarkan di kawasan tersebut adalah heroin. Sedangkan untuk kasus di Indonesia, ganja merupakan jenis obat-obat terlarang yang paling populer diproduksi. Akan tetapi pada perkembangannya, khususnya sejak tahun 1995, kawasan the Golden Triangle dan Indonesia juga mulai memproduksi dan mengedarkan jenis amphetamine-type stimulants (ATS) yang juga dikenal dengan obat-obat psikotropika.