BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian. Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.
Pada masa permulaan Islam di Indonesia, penampilan kaligrafi atau khath dapat dikatakan kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh penerapan kaligrafi (dekorasi) sangat terbatas. Karya-karya arsitektur pada masa permulaan Islam seperti masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, tidak banyak memberikan peluang yang berarti bagi penerapan kaligrafi (khath). Di samping itu, dalam fungsi dekoratifnya, kaligrafi sering dipadukan dengan motif hias tradisional, dan kadang-kadang juga dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan), sehingga kaligrafi Islam tidak dapat berdiri sendiri sebagai cabang seni rupa. Pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih mementingkan nilai-nilai fungsional dari pada nilai estetis. Dengan kata lain, nilai-nilai keindahan tulisan itu sendiri sebagai karya seni menjadi terabaikan.
Belakangan ini tampak gejala penggarapan kaligrafi, baik secara kaidah khathiyah maupun yang ‘lebih bebas’ ke dalam lukisan. Kaligrafi murni mengalami bentuk pengungkapan baru ke dalam komposisi huruf yang diramu dengan motif dekorasi. Seperti munculnya kembali penggunaan bahan kaca sebagai medium seni lukis, karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam dengan gaya khas Cirebon. Namun manifestasi kaligrafi Islam masih tidak beranjak dari konsepsi masa awal Islam yaitu mengisi bidang gambar yang tersedia, hanya saja keterikatan itu tidak sekuat pada masa awal Islam.
Angin baru ditiupkan oleh A. Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya) yang dengan kemampuan tekniknya melahirkan karya-karya seni lukis kaligrafi yang berkarakteristik. Kaligrafi yang hadir dalam karya pelukis-pelukis tersebut menjadi ekspresi yang larut dalam mediumnya. Unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, dan unsur bentuk lainya, mampu mencuatkan nilai-nilai baru dalam seni lukis kaligrafi di Indonesia sebagai kaligrafi kontemporer.
Kehadiran seni lukis kaligrafi di Yogyakarta sebagai karya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan kebangkitan kembali pada seni kaigrafi, baik pada seniman maupun penikmatnya. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu dalam seni lukis kaligrafi untuk menemukan cara-cara baru dalam berekspresi semangat Islami melalui tulisan indah, adalah tanda-tanda yang memberi harapan besar bagi seni Islam yang sangat dihormati ini.
Studi ini memfokuskan pembahasannya mengenai permasalahan seni lukis kaligrafi dalam perkambangannya pada penghujung abad XX, terutama yang berlangsung di Yogyakarta antara tahun 1976 sampai tahun 2000. Pengambilan batas waktu tersebut karena pada tahun 1976 merupakan awal mula munculnya ide kreatif dari seorang seniman lukis batik Indonesia, Amri Yahya, untuk menuangkan seni kaligrafi ke dalam media lukisan batik. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan satu di antara tiga kota yang mempelopori aliran baru dalam seni kaligrafi kontemporer Islam, yaitu seni lukis kaligrafi yang diwujudkan dalam berbagai tema, melalui pengolahan gaya-gaya lama maupun baru, dan dengan media lama maupun baru pula. Oleh karena itu banyak sekali permasalahan dalam seni lukis kaligrafi yang bisa diungkap, dari berbagai aspek dan berbagai sudut pandang, seperti: aliran dan ragam yang muncul di dalamnya, faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah dan perbedaan pandangan di kalangan senimam muslim secara umum yang terjun ke bidang seni lukis kaligrafi (tidak hanya pelukis Jogja) terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih seksama, sehingga dapat terungkap permasalahan yang muncul di dalamnya secara lengkap.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi ini, ialah kaligrafi kontemporer di Yogyakarta dalam perkembangannya dari tahun 1976 sampai tahun 2000. Kajian mengenai kaligrafi kontemporer ini difokuskan terhadap permasalahan yang muncul dalam perkembangan seni lukis kaligrafi. Untuk penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui perumusan masalah sebagai berikut:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian. Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.
Pada masa permulaan Islam di Indonesia, penampilan kaligrafi atau khath dapat dikatakan kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh penerapan kaligrafi (dekorasi) sangat terbatas. Karya-karya arsitektur pada masa permulaan Islam seperti masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, tidak banyak memberikan peluang yang berarti bagi penerapan kaligrafi (khath). Di samping itu, dalam fungsi dekoratifnya, kaligrafi sering dipadukan dengan motif hias tradisional, dan kadang-kadang juga dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan), sehingga kaligrafi Islam tidak dapat berdiri sendiri sebagai cabang seni rupa. Pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih mementingkan nilai-nilai fungsional dari pada nilai estetis. Dengan kata lain, nilai-nilai keindahan tulisan itu sendiri sebagai karya seni menjadi terabaikan.
Belakangan ini tampak gejala penggarapan kaligrafi, baik secara kaidah khathiyah maupun yang ‘lebih bebas’ ke dalam lukisan. Kaligrafi murni mengalami bentuk pengungkapan baru ke dalam komposisi huruf yang diramu dengan motif dekorasi. Seperti munculnya kembali penggunaan bahan kaca sebagai medium seni lukis, karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam dengan gaya khas Cirebon. Namun manifestasi kaligrafi Islam masih tidak beranjak dari konsepsi masa awal Islam yaitu mengisi bidang gambar yang tersedia, hanya saja keterikatan itu tidak sekuat pada masa awal Islam.
Angin baru ditiupkan oleh A. Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya) yang dengan kemampuan tekniknya melahirkan karya-karya seni lukis kaligrafi yang berkarakteristik. Kaligrafi yang hadir dalam karya pelukis-pelukis tersebut menjadi ekspresi yang larut dalam mediumnya. Unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, dan unsur bentuk lainya, mampu mencuatkan nilai-nilai baru dalam seni lukis kaligrafi di Indonesia sebagai kaligrafi kontemporer.
Kehadiran seni lukis kaligrafi di Yogyakarta sebagai karya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan kebangkitan kembali pada seni kaigrafi, baik pada seniman maupun penikmatnya. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu dalam seni lukis kaligrafi untuk menemukan cara-cara baru dalam berekspresi semangat Islami melalui tulisan indah, adalah tanda-tanda yang memberi harapan besar bagi seni Islam yang sangat dihormati ini.
Studi ini memfokuskan pembahasannya mengenai permasalahan seni lukis kaligrafi dalam perkambangannya pada penghujung abad XX, terutama yang berlangsung di Yogyakarta antara tahun 1976 sampai tahun 2000. Pengambilan batas waktu tersebut karena pada tahun 1976 merupakan awal mula munculnya ide kreatif dari seorang seniman lukis batik Indonesia, Amri Yahya, untuk menuangkan seni kaligrafi ke dalam media lukisan batik. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan satu di antara tiga kota yang mempelopori aliran baru dalam seni kaligrafi kontemporer Islam, yaitu seni lukis kaligrafi yang diwujudkan dalam berbagai tema, melalui pengolahan gaya-gaya lama maupun baru, dan dengan media lama maupun baru pula. Oleh karena itu banyak sekali permasalahan dalam seni lukis kaligrafi yang bisa diungkap, dari berbagai aspek dan berbagai sudut pandang, seperti: aliran dan ragam yang muncul di dalamnya, faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah dan perbedaan pandangan di kalangan senimam muslim secara umum yang terjun ke bidang seni lukis kaligrafi (tidak hanya pelukis Jogja) terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih seksama, sehingga dapat terungkap permasalahan yang muncul di dalamnya secara lengkap.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi ini, ialah kaligrafi kontemporer di Yogyakarta dalam perkembangannya dari tahun 1976 sampai tahun 2000. Kajian mengenai kaligrafi kontemporer ini difokuskan terhadap permasalahan yang muncul dalam perkembangan seni lukis kaligrafi. Untuk penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui perumusan masalah sebagai berikut: