BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu pajak perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satunya adalah PPh Badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan atau laba usahanya baik dari dalam negeri maupun pendapatan investasi di luar negeri. Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 tahun 2000 menganut prinsip pengenaan pajak dalam pengertian luas yaitu pajak dikenakan atas tiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang menambah kekayaan wajib pajak.
Perusahaan mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah. Dengan semakin banyaknya jumlah perusahaan di Indonesia maka penerimaan negara dari sektor pajak akan semakin bertambah. Hal ini mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia dalam rangka meningkatkan efektivitas pemungutan pajak untuk menghindari hal-hal yang sekiranya tidak diinginkan, misalnya seperti penyelewengan-penyelewangan atas pajak, pengenaan pajak berganda, dan lain sebagainya.
Dalam penyusunan laporan keuangannya, perusahaan mengikuti suatu standar akuntansi yang berterima umum yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laporan keuangan yang disusun berdasarkan SAK ini dikenal dengan istilah laporan keuangan komersial. Dalam penyusunannya, laporan keuangan komersial memiliki perbedaan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 tahun 2000. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat perbedaan perlakuan pajak yang tidak sama dengan perlakuan akuntansi terhadap beban dan pendapatan yang diterima perusahaan dalam satu periode akuntansi.
Dalam Standar Akuntansi Keuangan, semua beban yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima dalam kegiatan operasi perusahaan dicatat dalam Laporan Laba/Rugi. Sedangkan menurut Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 tahun 2000, tidak semua beban yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima oleh perusahaan melalui kegiatan operasi dapat diakui dalam laporan keuangan. Beban-beban yang tidak dapat diakui dalam laporan keuangan antara lain beban yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan seperti beban transportasi, beban konsumsi, dan lain-lain.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut asas self assessment yaitu suatu sistem yang menghendaki wajib pajak untuk aktif dalam menghitung, menyetor dan sekaligus melaporkan pajak terhutang. Dengan kata lain, pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan Pajak Penghasilannya masing-masing.
Untuk dapat memperhitungkan, menyetor dan melaporkan PPh Badan yang terutang secara tepat maka kita perlu mengetahui perbedaan pengakuan transaksi tertentu yang mengakibatkan perbedaan antara laporan keuangan komersial yaitu laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan laporan keuangan fiskal yang merupakan laporan keuangan yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Nomor l7 Tahun 2000.
Lebih jauh, dalam masalah penyusutan aktiva tetap (depreciation), penyusutan merupakan salah satu konsekwensi atas penggunaan aktiva tetap, di mana aktiva tetap akan mengalami penurunan fungsi. Dalam penghitungan pajak untuk penyusutan aktiva tetap, yang diperkenankan sesuai dengan Undang-Undang PPh adalah metode garis lurus (straight line) atau saldo menurun (double declining balance). Khusus untuk aktiva berwujud yang diklasifikasikan sebagai bangunan, metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus. Penerapan metode penyusutan yang dipilih harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk membahas permasalahan di atas, dengan mengambil judul: “ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS PENYUSUTAN AKTIVA TETAP MENURUT SAK DAN KETENTUAN PERPAJAKAN TERHADAP PENGAKUAN LABA USAHA PADA PT.SINAR ATHARY”.
B. Perumusan Masalah
Pada umumnya perusahaan di Indonesia menggunakan laporan keuangan komersial atau laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, tetapi untuk memperhitungkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan terutangnya, perusahaan harus menggunakan laporan keuangan fiskal atau laporan keuangan yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan. Namun demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup dengan membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan pada waktu pengisian SPT Pajak Penghasilan terlebih dulu harus dibuat koreksi-koreksi fiskal. Dalam hal ini terutama koreksi fiskal atas penyusutan aktiva tetap perusahaan.
Dengan demikian, masalah-masalah yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu pajak perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satunya adalah PPh Badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan atau laba usahanya baik dari dalam negeri maupun pendapatan investasi di luar negeri. Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 tahun 2000 menganut prinsip pengenaan pajak dalam pengertian luas yaitu pajak dikenakan atas tiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang menambah kekayaan wajib pajak.
Perusahaan mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah. Dengan semakin banyaknya jumlah perusahaan di Indonesia maka penerimaan negara dari sektor pajak akan semakin bertambah. Hal ini mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia dalam rangka meningkatkan efektivitas pemungutan pajak untuk menghindari hal-hal yang sekiranya tidak diinginkan, misalnya seperti penyelewengan-penyelewangan atas pajak, pengenaan pajak berganda, dan lain sebagainya.
Dalam penyusunan laporan keuangannya, perusahaan mengikuti suatu standar akuntansi yang berterima umum yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laporan keuangan yang disusun berdasarkan SAK ini dikenal dengan istilah laporan keuangan komersial. Dalam penyusunannya, laporan keuangan komersial memiliki perbedaan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 tahun 2000. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat perbedaan perlakuan pajak yang tidak sama dengan perlakuan akuntansi terhadap beban dan pendapatan yang diterima perusahaan dalam satu periode akuntansi.
Dalam Standar Akuntansi Keuangan, semua beban yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima dalam kegiatan operasi perusahaan dicatat dalam Laporan Laba/Rugi. Sedangkan menurut Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 tahun 2000, tidak semua beban yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima oleh perusahaan melalui kegiatan operasi dapat diakui dalam laporan keuangan. Beban-beban yang tidak dapat diakui dalam laporan keuangan antara lain beban yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan seperti beban transportasi, beban konsumsi, dan lain-lain.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut asas self assessment yaitu suatu sistem yang menghendaki wajib pajak untuk aktif dalam menghitung, menyetor dan sekaligus melaporkan pajak terhutang. Dengan kata lain, pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan Pajak Penghasilannya masing-masing.
Untuk dapat memperhitungkan, menyetor dan melaporkan PPh Badan yang terutang secara tepat maka kita perlu mengetahui perbedaan pengakuan transaksi tertentu yang mengakibatkan perbedaan antara laporan keuangan komersial yaitu laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan laporan keuangan fiskal yang merupakan laporan keuangan yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Nomor l7 Tahun 2000.
Lebih jauh, dalam masalah penyusutan aktiva tetap (depreciation), penyusutan merupakan salah satu konsekwensi atas penggunaan aktiva tetap, di mana aktiva tetap akan mengalami penurunan fungsi. Dalam penghitungan pajak untuk penyusutan aktiva tetap, yang diperkenankan sesuai dengan Undang-Undang PPh adalah metode garis lurus (straight line) atau saldo menurun (double declining balance). Khusus untuk aktiva berwujud yang diklasifikasikan sebagai bangunan, metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus. Penerapan metode penyusutan yang dipilih harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk membahas permasalahan di atas, dengan mengambil judul: “ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS PENYUSUTAN AKTIVA TETAP MENURUT SAK DAN KETENTUAN PERPAJAKAN TERHADAP PENGAKUAN LABA USAHA PADA PT.SINAR ATHARY”.
B. Perumusan Masalah
Pada umumnya perusahaan di Indonesia menggunakan laporan keuangan komersial atau laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, tetapi untuk memperhitungkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan terutangnya, perusahaan harus menggunakan laporan keuangan fiskal atau laporan keuangan yang disusun berdasarkan Undang-Undang Perpajakan. Namun demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup dengan membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan pada waktu pengisian SPT Pajak Penghasilan terlebih dulu harus dibuat koreksi-koreksi fiskal. Dalam hal ini terutama koreksi fiskal atas penyusutan aktiva tetap perusahaan.
Dengan demikian, masalah-masalah yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut: