BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah lama menggemari kesenian, baik seni pertunjukan wayang dengan gamelannya maupun seni tarik suara. Oleh karena itu, walisongo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat da'wahnya, guna memasukan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi kegemarannya.
Awal mula langkah da'wah menggunakan kesenian diterapkan oleh Sunan Kalijaga. Ia menggunakan media wayang sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam pada masyarakat Jawa. Hal ini pertama kali dilakukan di serambi masjid Agung Demak dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Cerita wayang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga banyak bernafaskan Islam, isinya menggambarkan etnik Islam, kesusilaan hidup berdasarkan tuntunan dan ajaran Islam.
Selain itu masyarakat Jawa juga memiliki kebiasaan pemujaan terhadap roh leluhur, sesajen-sesajen dalam kehidupannya, bahkan berkembang setelah agama Hindhu Budha masuk ke Nusantara yaitu sekitar abad ke-IV M. Kebiasaan ini berjalan terus hingga agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-VII M, bahkan sampai sekarangpun masih banyak ditemui. Melihat kenyataan tersebut Sunan Kalijaga tidak langsung memberantas dan melarang adat kebiasaan tersebut, tapi cukup dimasuki dengan unsur-unsur ajaran Islam.
Melalui cara seperti ini penyebaran agama Islam tidak harus dengan jalur formal, tetapi dapat dilakukan melalui adat kebiasaan yang masih dilakukan, baik itu melalui kesenian maupun upacara tradisi masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disisipi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian proses penyebaran agama Islam dapat dilakukan secara tidak langsung.
Kesenian atau upacara tradisi telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap dilakukan. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengingat kembali peristiwa bersejarah yang terjadi pada saat itu dan untuk melestarikan budaya yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat dalam upacara Mauludan, Rajaban, Sekaten dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk mengingat kembali pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam.
Seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yakni di daerah Imogiri, Bantul, Yogyakarta, mereka mengadakan upacara tradisi turun temurun. Upacara tersebut dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Sultan Agung dalam menyebarkan ajaran Islam. Sultan Agung adalah raja Mataram yang ke tiga.
Selama masa pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram Islam dapat menyatukan Jawa dan Madura kecuali Banten dan Jakarta. Sebagai orang Islam, Sultan Agung telah berhasil memajukan agamanya. Namun rupanya usahanya belumlah sampai tujuan, hal ini terlihat adanya campuran Islam dengan unsur-unsur lain. Percampuran antara unsur Islam dengan unsur Hindu, Budha dan unsur-unsur kepercayaan lain yang ada di Indonesia sampai sekarang masih terasa, yakni terlihat dalam beberapa upacara tradisional yang masih biasa dilakukan, salah satunya adalah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Imogiri, Yogyakarta.
Upacara tradisi tersebut oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan nguras Kong, yakni upacara penggantian air di dalam gentong/ tempayan. Gentong tersebut oleh masyarakat Imogiri dan sekitarnya sering disebut dengan istilah kong. Kong tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai benda pusaka dan bersejarah serta diyakini bahwa air yang ada di dalam kong dapat membawa berkah. Kong tersebut berjumlah empat yang diperoleh Sultan Agung dari kerajaan lain sebagai tanda takluk.
Masing-masing kong tersebut oleh Sultan Agung diberi nama yakni Kyai Danumaya (dari kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari kerajaan Rum, Turki), Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand). Pada zaman dahulu kong tersebut disimpan oleh Sultan Agung di dalam istana kerajaan sebagai tempat air wudhu keluarga. Setelah Sultan Agung wafat keempat kong tersebut diboyong ke makam Imogiri yakni tempat Sultan Agung dimakamkan.
Upacara tradisi nguras kong biasa dilakukan satu tahun sekali yaitu pada hari Jum'at atau Selasa Kliwon pada bulan Suro (Muharram). Proses pelaksanaan upacara penggantian air kong diawali dan diakhiri dengan acara tahlilan bersama oleh keluarga kraton, abdi dalem, masyarakat setempat serta pengunjung yang berkeinginan untuk mengikuti acara tahlil tersebut.
Dalam perkembangannya upacara tradisi nguras kong tersebut dirasa lebih meriah karena diadakannya Kirab Budaya dengan disertai arak-arakan gunungan di sepanjang jalan menuju makam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menghormati para leluhur mereka, terutama seorang raja seperti Sultan Agung, mereka menganggap raja adalah utusan Tuhan YME di muka bumi ini.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam tradisi nguras kong di makam raja-raja Mataram Imogiri, sehingga dalam penelitian ini hanya terbatas di
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah lama menggemari kesenian, baik seni pertunjukan wayang dengan gamelannya maupun seni tarik suara. Oleh karena itu, walisongo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat da'wahnya, guna memasukan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi kegemarannya.
Awal mula langkah da'wah menggunakan kesenian diterapkan oleh Sunan Kalijaga. Ia menggunakan media wayang sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam pada masyarakat Jawa. Hal ini pertama kali dilakukan di serambi masjid Agung Demak dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Cerita wayang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga banyak bernafaskan Islam, isinya menggambarkan etnik Islam, kesusilaan hidup berdasarkan tuntunan dan ajaran Islam.
Selain itu masyarakat Jawa juga memiliki kebiasaan pemujaan terhadap roh leluhur, sesajen-sesajen dalam kehidupannya, bahkan berkembang setelah agama Hindhu Budha masuk ke Nusantara yaitu sekitar abad ke-IV M. Kebiasaan ini berjalan terus hingga agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-VII M, bahkan sampai sekarangpun masih banyak ditemui. Melihat kenyataan tersebut Sunan Kalijaga tidak langsung memberantas dan melarang adat kebiasaan tersebut, tapi cukup dimasuki dengan unsur-unsur ajaran Islam.
Melalui cara seperti ini penyebaran agama Islam tidak harus dengan jalur formal, tetapi dapat dilakukan melalui adat kebiasaan yang masih dilakukan, baik itu melalui kesenian maupun upacara tradisi masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disisipi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian proses penyebaran agama Islam dapat dilakukan secara tidak langsung.
Kesenian atau upacara tradisi telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap dilakukan. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengingat kembali peristiwa bersejarah yang terjadi pada saat itu dan untuk melestarikan budaya yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat dalam upacara Mauludan, Rajaban, Sekaten dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk mengingat kembali pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam.
Seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yakni di daerah Imogiri, Bantul, Yogyakarta, mereka mengadakan upacara tradisi turun temurun. Upacara tersebut dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Sultan Agung dalam menyebarkan ajaran Islam. Sultan Agung adalah raja Mataram yang ke tiga.
Selama masa pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram Islam dapat menyatukan Jawa dan Madura kecuali Banten dan Jakarta. Sebagai orang Islam, Sultan Agung telah berhasil memajukan agamanya. Namun rupanya usahanya belumlah sampai tujuan, hal ini terlihat adanya campuran Islam dengan unsur-unsur lain. Percampuran antara unsur Islam dengan unsur Hindu, Budha dan unsur-unsur kepercayaan lain yang ada di Indonesia sampai sekarang masih terasa, yakni terlihat dalam beberapa upacara tradisional yang masih biasa dilakukan, salah satunya adalah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Imogiri, Yogyakarta.
Upacara tradisi tersebut oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan nguras Kong, yakni upacara penggantian air di dalam gentong/ tempayan. Gentong tersebut oleh masyarakat Imogiri dan sekitarnya sering disebut dengan istilah kong. Kong tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai benda pusaka dan bersejarah serta diyakini bahwa air yang ada di dalam kong dapat membawa berkah. Kong tersebut berjumlah empat yang diperoleh Sultan Agung dari kerajaan lain sebagai tanda takluk.
Masing-masing kong tersebut oleh Sultan Agung diberi nama yakni Kyai Danumaya (dari kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari kerajaan Rum, Turki), Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand). Pada zaman dahulu kong tersebut disimpan oleh Sultan Agung di dalam istana kerajaan sebagai tempat air wudhu keluarga. Setelah Sultan Agung wafat keempat kong tersebut diboyong ke makam Imogiri yakni tempat Sultan Agung dimakamkan.
Upacara tradisi nguras kong biasa dilakukan satu tahun sekali yaitu pada hari Jum'at atau Selasa Kliwon pada bulan Suro (Muharram). Proses pelaksanaan upacara penggantian air kong diawali dan diakhiri dengan acara tahlilan bersama oleh keluarga kraton, abdi dalem, masyarakat setempat serta pengunjung yang berkeinginan untuk mengikuti acara tahlil tersebut.
Dalam perkembangannya upacara tradisi nguras kong tersebut dirasa lebih meriah karena diadakannya Kirab Budaya dengan disertai arak-arakan gunungan di sepanjang jalan menuju makam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menghormati para leluhur mereka, terutama seorang raja seperti Sultan Agung, mereka menganggap raja adalah utusan Tuhan YME di muka bumi ini.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam tradisi nguras kong di makam raja-raja Mataram Imogiri, sehingga dalam penelitian ini hanya terbatas di