BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an oleh beberapa sarjana ditempatkan sebagai sebuah karya asli Arab. Senada dengan itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan dalam arti yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Asumsi di atas dapat diterima sejauh dalam diskusi linguistik, bahwa itu semua merupakan ungkapan nalar verbalis dari eksternalisasi wahyu yang ditangkap oleh kesucian qalb Muhammad. Karena bagaimanapun tidak ada tempat baginya untuk ‘berpartisipasi’ dalam validitas materi wahyu.
Al-Qur’an, bagaimanapun merupakan respon Ilahiyah terhadap kondisi umat dalam bentuk medium kebahasaan yang tidak bisa melepaskan diri dari relasi background-nya. Dalam teknik penyampaian al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, ini sesuai dengan fakta yang tidak dapat dibantah lagi, Muhammad secara geografis hidup di jazirah Arab, hanya saja perlu dicatat di sini pemilihan bahasa lokal tersebut bukan berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam kehilangan nilai-nilai universalistiknya.
Bagi para penganutnya, al-Qur’an merupakan perwujudan kritik dari dalam yang mengambil bentuk kongkrit pada dekonstruksi ‘kungkungan logosentrisme’ Arab jahiliyah yang cenderung materialis, jadi al-Qur’an menggunakan apresiasi kebahasaan dari bahasa Arab untuk memperbaharui kesadaran keagamaan. Al-Qur’an sendiri tidak mengambil langkah yang berarti terhadap penggantian daftar kosa kata pra-Islam tetapi sebaliknya tetap mempertahankan kosa kata populer tersebut, sebagai contoh sebut saja kata tija>rah, bay‘u, mi>za>n, qard}}, dan sebagainya. Melalui penilaian proses diakronik dalam skala kecil, hampir keseluruhan kata yang digunakan tidak meninggalkan wacana yang hidup baik pada masa pra-Islam maupun Islam, tetapi dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti sebagai akibat diadakannya perubahan muatan definisi yang diselaraskan dengan visi monotheistik. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketika ada pergantian pandangan dunia, dan ini dibenarkan oleh definisi fungsional bahasa karena bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan sebagai hasil dari kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.
Melihat dari aktivitas kebahasaan di atas, amat beralasan apabila analisis kebahasaan menempati posisi yang sangat penting dalam dunia tafsir, ini terbukti ketika sejarah menceritakan nabi melakukan kegiatan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kajian bahasa, tradisi ini terus dihidupkan pada masa sahabat, terutama oleh ibn ‘Abba>s, sampai pada masa para mufassir-mufassir besar. Dan untuk zaman modern ini perhatian terhadap kajian bahasa memperoleh porsi yang sangat besar.
Dengan kerangka pemikiran di atas pula penulis ingin mengangkat kembali diskusi tentang kata hijrah, dan untuk itulah tulisan ini sebenarnya didedikasikan. Hijrah memiliki berbagai latar untuk dijadikan sebagai salah satu kata kunci di dalam kosa kata al-Qur’an. Dapat dijelaskan secara pasti, peristiwa hijrah dijadikan patokan penanggalan kalender Islam. Lebih penting dari itu, oleh beberapa pemikir diyakini bahwa hijrah adalah sebagai loncatan besar bagi pergerakan penyebaran risalah Ilahi yang ditempuh oleh beberapa rasul. Hijrah sendiri membangun medan semantiknya sedemikian rupa sehingga dengan bantuan jaringan asosiasi semantik ia mampu membentuk pandangan dunianya yang khas.
Pemunculan kata hijrah dalam al-Qur’an dibarengi dengan istilah-istilah yang hampir memiliki kesamaan makna dengannya, seperti bara’a, taraka, kharaja . Hanya saja istilah-istilah tersebut dipandang terserap oleh akar kata hajara, sebab akar kata tersebut mengandung semua makna dari akar kata lainnya. Mengikuti penanggalan kronologi wahyu dalam berbagai versi, kata hijrah sendiri sudah dikenal pada bagian awal penurunan wahyu yang hampir keseluruhannya menegaskan makna dasar, kemudian secara sistemik mengalami perubahan diakronik makna terutama pada masa Madinah.
Merujuk pada kekayaan semantikal hijrah yang terbentuk, amat disayangkan kemudian ketika perjalanan sejarah mereduksi makna hijrah sebatas dimaknai sebuah peristiwa masa lalu dengan sedikit kemungkinan akan terulang kembali. Hal ini banyak terlihat pada kesimpulan yang membingungkan dari sabda-sabda nabi yang seolah-olah hanya membatasi hijrah sebatas pada peristiwa yang ada pada zaman nabi belaka. Hal serupa terjadi pula pada dunia tafsir, sebagai studi kasus ada asumsi ayat-ayat yang berkenaan dengan qita>l, atau yang dikenal pula dengan ayat al-Sayf, menurut beberapa mufassir seperti ibn ‘Abba>s dan al-T{abari> telah menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, tetapi menurut al-T{aba>t}aba>’i ayat qita>l tidak menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, karena bagaimanapun keduanya harus tetap dijalankan, bahkan Sayyid Qut}b berpendapat, pengambilan sikap hajran jami>lan apabila ditambah dengan sikap sabar merupakan perwujudan jihad dalam makna aslinya. Semua pendapat di atas melandaskan argumen pada dasar yang sama, al-Qur’an dan hadis, hanya saja masalah yang muncul mengindikasikan akan problem penafsiran baik metodologis maupun kecenderungan pra-konsepsi, jadi wajarlah ketika pandangan dunia hijrah belum terbentuk secara lengkap.
H-j-r dan derivasinya telah mengalami metamorfosis. Eksplorasi posisi hijrah pra-Islam patut dilakukan setidaknya sebagai modal awal guna pembahasan menyeluruh tentang istilah ini. Dengan kata lain, ketika wahyu Islam dimulai, orang-orang Arab pagan di Mekah dan juga masyarakat kitab yang sudah memiliki fundamental values tidak mungkin memahami kata hijrah selain mengkaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada pada pandangan dunia mereka yang notabene materialisme. Setelah kata hijrah dipergunakan oleh al-Qur’an secara otomatis merubah unsur semantik yang membentuknya sesuai dengan kosa kata al-Qur’an yang dipadukan ke dalam interpretasi sistemik yang sama sekali baru dalam sistem tersebut. Namun demikian, tanpa ‘disadari’ segala macam nuansa fenomena kesejarahan telah melahirkan paradoks yang mengaburkan eksistensi hijrah, semua itu berakibat keterasingan dan sikap penuh kecurigaan tatkala hijrah didengungkan kembali.
Kurang dari satu abad setelah nabi hijrah ke Madinah (622 M), istilah hijrah muncul kembali sesaat setelah selesainya arbitrasi antara ‘Ali dan Mu’awiyyah. Khawarij sebagai pihak yang tidak puas menggunakan konsep hijrah untuk menggalang komunitas sebagai sikap teologis politis dari situasi saat itu. Mereka beranggapan bahwa kedua pimpinan alternatif di atas sudah berstatus zalim dan patut ditinggalkan bahkan patut diperangi. Setelah sekian kurun konsep hijrah tenggelam, pada abad XX di Mesir muncul sebuah gerakan yang mendeklarasikan sebagai oposisi terhadap rezim setempat, mereka dikenal dengan nama al-Takfi>r wa al-Hijrah. Kelompok ini merupakan bagian Ikhwanul Muslimin yang berhaluan keras disebabkan menganut paham bahwa seluruh komunitas muslim di luar mereka saat ini adalah jahiliyah. Sesuai dengan namanya, grup ini memakai strategi hijrah. Di Indonesia, beberapa dekade lebih awal dari al-Takfi>r wa al-Hijrah, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menjalankan strategi hijrah sebagai jalur politik guna menarik garis furqa>n antara mereka dengan lawan politiknya. Dalam perjalanannya, ada konflik intern tentang dilanjutkan atau tidaknya konsep hijrah ini. Tetapi informasi sejarah mengatakan bahwa pemberlakuan konsep hijrah tetap berlanjut sampai pada titik kulminasi pendirian NII (Negara Islam Indonesia) oleh S.M. Kartosoewirjo.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, setidaknya terdapat persoalan yang terangkat ke permukaan dan ini dianggap penting serta menarik oleh penulis untuk dikaji lebih jauh, yaitu:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an oleh beberapa sarjana ditempatkan sebagai sebuah karya asli Arab. Senada dengan itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan dalam arti yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Asumsi di atas dapat diterima sejauh dalam diskusi linguistik, bahwa itu semua merupakan ungkapan nalar verbalis dari eksternalisasi wahyu yang ditangkap oleh kesucian qalb Muhammad. Karena bagaimanapun tidak ada tempat baginya untuk ‘berpartisipasi’ dalam validitas materi wahyu.
Al-Qur’an, bagaimanapun merupakan respon Ilahiyah terhadap kondisi umat dalam bentuk medium kebahasaan yang tidak bisa melepaskan diri dari relasi background-nya. Dalam teknik penyampaian al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, ini sesuai dengan fakta yang tidak dapat dibantah lagi, Muhammad secara geografis hidup di jazirah Arab, hanya saja perlu dicatat di sini pemilihan bahasa lokal tersebut bukan berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam kehilangan nilai-nilai universalistiknya.
Bagi para penganutnya, al-Qur’an merupakan perwujudan kritik dari dalam yang mengambil bentuk kongkrit pada dekonstruksi ‘kungkungan logosentrisme’ Arab jahiliyah yang cenderung materialis, jadi al-Qur’an menggunakan apresiasi kebahasaan dari bahasa Arab untuk memperbaharui kesadaran keagamaan. Al-Qur’an sendiri tidak mengambil langkah yang berarti terhadap penggantian daftar kosa kata pra-Islam tetapi sebaliknya tetap mempertahankan kosa kata populer tersebut, sebagai contoh sebut saja kata tija>rah, bay‘u, mi>za>n, qard}}, dan sebagainya. Melalui penilaian proses diakronik dalam skala kecil, hampir keseluruhan kata yang digunakan tidak meninggalkan wacana yang hidup baik pada masa pra-Islam maupun Islam, tetapi dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti sebagai akibat diadakannya perubahan muatan definisi yang diselaraskan dengan visi monotheistik. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketika ada pergantian pandangan dunia, dan ini dibenarkan oleh definisi fungsional bahasa karena bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan sebagai hasil dari kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.
Melihat dari aktivitas kebahasaan di atas, amat beralasan apabila analisis kebahasaan menempati posisi yang sangat penting dalam dunia tafsir, ini terbukti ketika sejarah menceritakan nabi melakukan kegiatan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kajian bahasa, tradisi ini terus dihidupkan pada masa sahabat, terutama oleh ibn ‘Abba>s, sampai pada masa para mufassir-mufassir besar. Dan untuk zaman modern ini perhatian terhadap kajian bahasa memperoleh porsi yang sangat besar.
Dengan kerangka pemikiran di atas pula penulis ingin mengangkat kembali diskusi tentang kata hijrah, dan untuk itulah tulisan ini sebenarnya didedikasikan. Hijrah memiliki berbagai latar untuk dijadikan sebagai salah satu kata kunci di dalam kosa kata al-Qur’an. Dapat dijelaskan secara pasti, peristiwa hijrah dijadikan patokan penanggalan kalender Islam. Lebih penting dari itu, oleh beberapa pemikir diyakini bahwa hijrah adalah sebagai loncatan besar bagi pergerakan penyebaran risalah Ilahi yang ditempuh oleh beberapa rasul. Hijrah sendiri membangun medan semantiknya sedemikian rupa sehingga dengan bantuan jaringan asosiasi semantik ia mampu membentuk pandangan dunianya yang khas.
Pemunculan kata hijrah dalam al-Qur’an dibarengi dengan istilah-istilah yang hampir memiliki kesamaan makna dengannya, seperti bara’a, taraka, kharaja . Hanya saja istilah-istilah tersebut dipandang terserap oleh akar kata hajara, sebab akar kata tersebut mengandung semua makna dari akar kata lainnya. Mengikuti penanggalan kronologi wahyu dalam berbagai versi, kata hijrah sendiri sudah dikenal pada bagian awal penurunan wahyu yang hampir keseluruhannya menegaskan makna dasar, kemudian secara sistemik mengalami perubahan diakronik makna terutama pada masa Madinah.
Merujuk pada kekayaan semantikal hijrah yang terbentuk, amat disayangkan kemudian ketika perjalanan sejarah mereduksi makna hijrah sebatas dimaknai sebuah peristiwa masa lalu dengan sedikit kemungkinan akan terulang kembali. Hal ini banyak terlihat pada kesimpulan yang membingungkan dari sabda-sabda nabi yang seolah-olah hanya membatasi hijrah sebatas pada peristiwa yang ada pada zaman nabi belaka. Hal serupa terjadi pula pada dunia tafsir, sebagai studi kasus ada asumsi ayat-ayat yang berkenaan dengan qita>l, atau yang dikenal pula dengan ayat al-Sayf, menurut beberapa mufassir seperti ibn ‘Abba>s dan al-T{abari> telah menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, tetapi menurut al-T{aba>t}aba>’i ayat qita>l tidak menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, karena bagaimanapun keduanya harus tetap dijalankan, bahkan Sayyid Qut}b berpendapat, pengambilan sikap hajran jami>lan apabila ditambah dengan sikap sabar merupakan perwujudan jihad dalam makna aslinya. Semua pendapat di atas melandaskan argumen pada dasar yang sama, al-Qur’an dan hadis, hanya saja masalah yang muncul mengindikasikan akan problem penafsiran baik metodologis maupun kecenderungan pra-konsepsi, jadi wajarlah ketika pandangan dunia hijrah belum terbentuk secara lengkap.
H-j-r dan derivasinya telah mengalami metamorfosis. Eksplorasi posisi hijrah pra-Islam patut dilakukan setidaknya sebagai modal awal guna pembahasan menyeluruh tentang istilah ini. Dengan kata lain, ketika wahyu Islam dimulai, orang-orang Arab pagan di Mekah dan juga masyarakat kitab yang sudah memiliki fundamental values tidak mungkin memahami kata hijrah selain mengkaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada pada pandangan dunia mereka yang notabene materialisme. Setelah kata hijrah dipergunakan oleh al-Qur’an secara otomatis merubah unsur semantik yang membentuknya sesuai dengan kosa kata al-Qur’an yang dipadukan ke dalam interpretasi sistemik yang sama sekali baru dalam sistem tersebut. Namun demikian, tanpa ‘disadari’ segala macam nuansa fenomena kesejarahan telah melahirkan paradoks yang mengaburkan eksistensi hijrah, semua itu berakibat keterasingan dan sikap penuh kecurigaan tatkala hijrah didengungkan kembali.
Kurang dari satu abad setelah nabi hijrah ke Madinah (622 M), istilah hijrah muncul kembali sesaat setelah selesainya arbitrasi antara ‘Ali dan Mu’awiyyah. Khawarij sebagai pihak yang tidak puas menggunakan konsep hijrah untuk menggalang komunitas sebagai sikap teologis politis dari situasi saat itu. Mereka beranggapan bahwa kedua pimpinan alternatif di atas sudah berstatus zalim dan patut ditinggalkan bahkan patut diperangi. Setelah sekian kurun konsep hijrah tenggelam, pada abad XX di Mesir muncul sebuah gerakan yang mendeklarasikan sebagai oposisi terhadap rezim setempat, mereka dikenal dengan nama al-Takfi>r wa al-Hijrah. Kelompok ini merupakan bagian Ikhwanul Muslimin yang berhaluan keras disebabkan menganut paham bahwa seluruh komunitas muslim di luar mereka saat ini adalah jahiliyah. Sesuai dengan namanya, grup ini memakai strategi hijrah. Di Indonesia, beberapa dekade lebih awal dari al-Takfi>r wa al-Hijrah, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menjalankan strategi hijrah sebagai jalur politik guna menarik garis furqa>n antara mereka dengan lawan politiknya. Dalam perjalanannya, ada konflik intern tentang dilanjutkan atau tidaknya konsep hijrah ini. Tetapi informasi sejarah mengatakan bahwa pemberlakuan konsep hijrah tetap berlanjut sampai pada titik kulminasi pendirian NII (Negara Islam Indonesia) oleh S.M. Kartosoewirjo.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, setidaknya terdapat persoalan yang terangkat ke permukaan dan ini dianggap penting serta menarik oleh penulis untuk dikaji lebih jauh, yaitu: