BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Daerah sebagai bagian intergral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan professional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah juga berarti memampukan daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah di masa lampau merupakan wewenang dan tanggung jawab penuh dari pemerintah pusat , Jakarta. Kewenangan pemerintah pusat yang sangat besar tersebut ternyata tidak hanya berdampak positif bagi pembangunan, tetapi disadari juga menimbulkan efek negatif antara lain pertumbuhan ekonomi daerah dan produk domestik regional bruto (gross domestic regional product) yang relatif sangat lamban, serta panjangnya birokrasi pelayanan publik karena harus menungggu pejabat pusat.
Pembangunan daerah dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pendekatan Sentralisasi dan pendekatan Desentralisasi . Pendekatan Sentralisasi mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh birokasi di pusat. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Untuk itu pemerintah mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang perubahan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pendekatan Desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah sebagian besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (Pemda) secara otonom. Pembangunan daerah melalui desentralisasi atau otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintah yang bersih dan baik (Good Governance) didaerah. Artinya pelaksanaan tugas pemerintah daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka (transparency) dan akuntabel (accountablility). Pembangunan daerah melalui otonomi juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal (setempat) sehingga memungkinkan masyarakat lokal untuk dapat menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju, tentram dan sekaligus memperluas pilihan – pilihan (Choices) yang dapat dilakukan masyarakat.
Dari pemikiran diatas, maka desentralisasi atau otonomi daerah merupakan strategi yang sangat tepat dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan daerah, sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang belajar dan mengembangkan demokrasi diberbagai segi, khususnya demokrasi politik. Desentralisasi merupakan proses pengurangan atau penghapusan peran dan wewenang pemerintah pusat guna pemberdayaan pemerintah daerah, pemerintah dan masyarakat daerah untuk dapat mengembangkan daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah atau desentralisasi merupakan dua hal yang saling melengkapi dengan multidimensi. Otonomi daerah biasanya diikuti dengan desentralisasi fiskal, sebagai instrumen didalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah.
Sejak Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, berbagai kebijakan mengenai keuangan daerah dan APBD mengalami perubahan. Dalam hal sumber pendapatan daerah, misalnya sebelum otonomi daerah digulirkan, sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan relatif sedikit dana bantuan pusat.
Sejalan dengan adanya pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah dalam Undang – undang Otonomi Daerah maka terjadi perubahan dalam sumber pendapatan daerah. Yakni dimaksukannya komponen dana perimbangan dalam kebijakan atau struktur APBD. Dalam pasal 3 UU No. 25 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah (selanjutnya disebut dengan UU No. 33 tahun 2004) disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah adalah meliputi :
1. Pendapatan asli Daerah
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain penerimaan yang sah
Selanjutnya dalam pasal 4 UU No. 25 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Pendapatan Asli Daerah yang meliputi : hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dalam pasal selanjutnya dijelaskan mengenai sumber penerimaan dari Dana Perimbangan yang meliputi : (a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam; (b) Dana Alokasi Umum; dan (c) Dana Alokasi Khusus.
Pembiayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak berlakunya otonomi daerah di Indonesia, yaitu mulai tanggal 1 Januari 2001. dengan adanya otonomi daerah, daerah dipacu untuk dapat berkreasi mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut oleh daerah, Undang – undang tentang Pemerintah Daerah menetapkan pajak daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing – masing daerah.
Dalam sejarah perkembangan daerah di Indonesia, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini Pajak Daerah telah menjadi sumber penerimaan yang dapat diandalkan bagi daerah. Sejak tahun 1948 berbagai Undang – undang tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah menetapkan pajak daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah, bahkan dalam Undang – undang No. 5 tahun 1974 Pajak daerah dimasukkan menjadi pendapatan asli daerah.
Untuk memungut Pajak Daerah pemerintah dan DPR sejak lama telah mengeluarkan undang – undang sebagai dasar hukum yang kuat. Selain itu, peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintah penjajah Belanda masih ada yang tetap digunakan sampai dengan tahun 1997. hal ini terjadi karena ketentuan peralihan Undang – Undang Dasar 1945 memang memungkinkan penerapan peraturan perundang – undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja, mengingat perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang semakin membaik, segala peraturan ini dipandang tidak sesuai lagi. Reformasi dalam peraturan pemungutan Pajak daerah di Indonesia perlu dilakukan agar memiliki dasar hukum yang lebih kuat dan hasilnya dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah.
Latar belakang reformasi pemungutan Pajak Daerah di Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari pemberlakuan Undang – undang Pajak dan Restribusi Daerah yang baru, yaitu Undang – undang No. 18 Tahun 1997 dan Undang – undang No. 34 Tahun 2000. Undang – undang No. 18 Tahun 1997 lahir sebagai upaya untuk mengubah sistem perpajakan daerah yang berlangsung di Indonesia, yang banyak menimbulkan kendala, baik dalam penerapan maupun pemungutannya. Adanya ketidakjelasan dalam penetapan obyek pajak serta kemungkinan timbulnya pengenaan berganda telah mengakibatkan proses pemungutan Pajak Daerah tidak lagi sesuai dengan perkembangan kondisi ekonomi dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu, lahirnya Undang – undang No. 18 Tahun 1997 telah membawa perubahan dalam pemungutan Pajak Daerah. Dalam perkembangan penerapan undang – undang tersebut, pemerintah dan DPR merasa perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan seiring dengan perkembangan situasi perekonomian secara makro serta perubahan kondisi sosial politik, yang ditandai dengan semangat otonomi daerah yang semakin besar. Dengan demikian, Undang – Undang No. 34 Tahun 2000 lahir sebagai penyempurnaan terhadap Undang – undang No. 18 tahun 1997.
Pemberlakuan Pajak Daerah sebagai sumber penerimaan daerah pada dasarnya tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah sebagai pihak yang menetapkan dan memungut Pajak Daerah, tetapi juga berkaitan dengan masyarakat pada umumnya. Sebagai anggota masyarakat yang menjadi bagian dari daerah, setiap orang atau badan – badan yang memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan pajak daerah maupun yang menikmati jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah harus membayar Pajak Daerah yang terutang. Hal ini menunjukkan pada akhirnya proses pemungutan Pajak Daerah akan memberikan beban kepada masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami ketentuan Pajak Daerah dengan jelas agar mau memenuhi kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Dewasa ini, Pajak Daerah terdiri dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan berbagai sendi kehidupan masyarakat. Masing – masing jenis pajak Daerah memiliki obyek, subyek, tarif dan berbagai ketentuan pengenaan tersendiri, yang mungkin berbada dengan jenis Pajak daerah lainnya. Di sisi lain, semangat otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia memungkinkan setiap daerah propinsi atau kabupaten / kota mengatur daerahnya sendiri, termasuk dalam bidang Pajak Daerah. Konsekuensinya adalah mungkin saja satu jenis Pajak dipungut pada suatu daerah, tetapi tidak dipungut pada daerah lainnya selain itu, kalaupun dipungut pada berbagai daerah, ternyata peraturan yang diperlakukan tidak sama persis.
Segala kondisi diatas memang dimungkinkan dalam pengenaan dan pemungutan Pajak Daerah. Agar tidak membingungkan dan merugikan masyarakat, peraturan tentang Pajak Daerah harus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat dipahami dengan jelas. Dari uraian di atas mengenai sumber-sumber penerimaan daerah, maka yang jadi andalan bagi pemerintah Propinsi DKI Jakarta adalah dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Perimbangan sektor PBB, BPHTB, DAU dan DAK. Sedangkan penerimaan dari sektor Sumber Daya Alam kecil sekali kontribusi, mengingat kondisi geografisnya.
Dengan kondisi geografis yang tidak memungkinkan untuk menggali sumber daya alam, maka andalan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebagai mesin penghasil keuangan daerah adalah dari sektor pajak. Salah satu sektor pajak yang diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penerimaan keuangan daerah adalah Pajak Restoran, di samping pajak-pajak lain seperti Pajak Hiburan, Pajak Hotel, Pajak Reklame, dan lain-lain.
Hal ini sangat beralasan jika dikaitkan kedudukan DKI Jakarta sebagai ibukota negara, di mana DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, politik dan aktivitas-aktivitas baik yang bersifat nasional maupun internasional. Seluruh kegiatan tersebut memerlukan apa yang disebut dengan “akomodasi”. Akomodasi ini disediakan oleh restoran. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi berkorelasi positif dengan tumbuh dan berkembangnya usaha di bidang restoran.
Untuk itulah pemerintah propinsi DKI Jakarta perlu mengeluarkan kebijakan di bidang Pajak Restoran yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 tahun 2003 tentang Pajak Restoran (selanjutanya disebut dengan Perda No. 8 tahun 2003) dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 63 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran (selanjutnya disebut dengan SK. Gub. No. 63 tahun 1999).
Kebijakan di bidang Pajak Restoran mengacu pada UU No. 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan retribusi Daerah, (selanjutnya disebut UU No. 34 tahun 2000) bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari hasil Pajak Daerah telah ditetapkan lapangan Pajak Daerah. Pada pasal 2 UU No. 34 Tahun 2000 bahwa Pajak Daerah terdiri dari:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Daerah sebagai bagian intergral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan professional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah juga berarti memampukan daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah di masa lampau merupakan wewenang dan tanggung jawab penuh dari pemerintah pusat , Jakarta. Kewenangan pemerintah pusat yang sangat besar tersebut ternyata tidak hanya berdampak positif bagi pembangunan, tetapi disadari juga menimbulkan efek negatif antara lain pertumbuhan ekonomi daerah dan produk domestik regional bruto (gross domestic regional product) yang relatif sangat lamban, serta panjangnya birokrasi pelayanan publik karena harus menungggu pejabat pusat.
Pembangunan daerah dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pendekatan Sentralisasi dan pendekatan Desentralisasi . Pendekatan Sentralisasi mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh birokasi di pusat. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Untuk itu pemerintah mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang perubahan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pendekatan Desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah sebagian besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (Pemda) secara otonom. Pembangunan daerah melalui desentralisasi atau otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintah yang bersih dan baik (Good Governance) didaerah. Artinya pelaksanaan tugas pemerintah daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka (transparency) dan akuntabel (accountablility). Pembangunan daerah melalui otonomi juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal (setempat) sehingga memungkinkan masyarakat lokal untuk dapat menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju, tentram dan sekaligus memperluas pilihan – pilihan (Choices) yang dapat dilakukan masyarakat.
Dari pemikiran diatas, maka desentralisasi atau otonomi daerah merupakan strategi yang sangat tepat dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan daerah, sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang belajar dan mengembangkan demokrasi diberbagai segi, khususnya demokrasi politik. Desentralisasi merupakan proses pengurangan atau penghapusan peran dan wewenang pemerintah pusat guna pemberdayaan pemerintah daerah, pemerintah dan masyarakat daerah untuk dapat mengembangkan daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah atau desentralisasi merupakan dua hal yang saling melengkapi dengan multidimensi. Otonomi daerah biasanya diikuti dengan desentralisasi fiskal, sebagai instrumen didalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah.
Sejak Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, berbagai kebijakan mengenai keuangan daerah dan APBD mengalami perubahan. Dalam hal sumber pendapatan daerah, misalnya sebelum otonomi daerah digulirkan, sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan relatif sedikit dana bantuan pusat.
Sejalan dengan adanya pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah dalam Undang – undang Otonomi Daerah maka terjadi perubahan dalam sumber pendapatan daerah. Yakni dimaksukannya komponen dana perimbangan dalam kebijakan atau struktur APBD. Dalam pasal 3 UU No. 25 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah (selanjutnya disebut dengan UU No. 33 tahun 2004) disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah adalah meliputi :
1. Pendapatan asli Daerah
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain penerimaan yang sah
Selanjutnya dalam pasal 4 UU No. 25 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Pendapatan Asli Daerah yang meliputi : hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dalam pasal selanjutnya dijelaskan mengenai sumber penerimaan dari Dana Perimbangan yang meliputi : (a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam; (b) Dana Alokasi Umum; dan (c) Dana Alokasi Khusus.
Pembiayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak berlakunya otonomi daerah di Indonesia, yaitu mulai tanggal 1 Januari 2001. dengan adanya otonomi daerah, daerah dipacu untuk dapat berkreasi mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut oleh daerah, Undang – undang tentang Pemerintah Daerah menetapkan pajak daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing – masing daerah.
Dalam sejarah perkembangan daerah di Indonesia, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini Pajak Daerah telah menjadi sumber penerimaan yang dapat diandalkan bagi daerah. Sejak tahun 1948 berbagai Undang – undang tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah menetapkan pajak daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah, bahkan dalam Undang – undang No. 5 tahun 1974 Pajak daerah dimasukkan menjadi pendapatan asli daerah.
Untuk memungut Pajak Daerah pemerintah dan DPR sejak lama telah mengeluarkan undang – undang sebagai dasar hukum yang kuat. Selain itu, peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintah penjajah Belanda masih ada yang tetap digunakan sampai dengan tahun 1997. hal ini terjadi karena ketentuan peralihan Undang – Undang Dasar 1945 memang memungkinkan penerapan peraturan perundang – undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja, mengingat perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang semakin membaik, segala peraturan ini dipandang tidak sesuai lagi. Reformasi dalam peraturan pemungutan Pajak daerah di Indonesia perlu dilakukan agar memiliki dasar hukum yang lebih kuat dan hasilnya dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah.
Latar belakang reformasi pemungutan Pajak Daerah di Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari pemberlakuan Undang – undang Pajak dan Restribusi Daerah yang baru, yaitu Undang – undang No. 18 Tahun 1997 dan Undang – undang No. 34 Tahun 2000. Undang – undang No. 18 Tahun 1997 lahir sebagai upaya untuk mengubah sistem perpajakan daerah yang berlangsung di Indonesia, yang banyak menimbulkan kendala, baik dalam penerapan maupun pemungutannya. Adanya ketidakjelasan dalam penetapan obyek pajak serta kemungkinan timbulnya pengenaan berganda telah mengakibatkan proses pemungutan Pajak Daerah tidak lagi sesuai dengan perkembangan kondisi ekonomi dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu, lahirnya Undang – undang No. 18 Tahun 1997 telah membawa perubahan dalam pemungutan Pajak Daerah. Dalam perkembangan penerapan undang – undang tersebut, pemerintah dan DPR merasa perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan seiring dengan perkembangan situasi perekonomian secara makro serta perubahan kondisi sosial politik, yang ditandai dengan semangat otonomi daerah yang semakin besar. Dengan demikian, Undang – Undang No. 34 Tahun 2000 lahir sebagai penyempurnaan terhadap Undang – undang No. 18 tahun 1997.
Pemberlakuan Pajak Daerah sebagai sumber penerimaan daerah pada dasarnya tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah sebagai pihak yang menetapkan dan memungut Pajak Daerah, tetapi juga berkaitan dengan masyarakat pada umumnya. Sebagai anggota masyarakat yang menjadi bagian dari daerah, setiap orang atau badan – badan yang memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan pajak daerah maupun yang menikmati jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah harus membayar Pajak Daerah yang terutang. Hal ini menunjukkan pada akhirnya proses pemungutan Pajak Daerah akan memberikan beban kepada masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami ketentuan Pajak Daerah dengan jelas agar mau memenuhi kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Dewasa ini, Pajak Daerah terdiri dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan berbagai sendi kehidupan masyarakat. Masing – masing jenis pajak Daerah memiliki obyek, subyek, tarif dan berbagai ketentuan pengenaan tersendiri, yang mungkin berbada dengan jenis Pajak daerah lainnya. Di sisi lain, semangat otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia memungkinkan setiap daerah propinsi atau kabupaten / kota mengatur daerahnya sendiri, termasuk dalam bidang Pajak Daerah. Konsekuensinya adalah mungkin saja satu jenis Pajak dipungut pada suatu daerah, tetapi tidak dipungut pada daerah lainnya selain itu, kalaupun dipungut pada berbagai daerah, ternyata peraturan yang diperlakukan tidak sama persis.
Segala kondisi diatas memang dimungkinkan dalam pengenaan dan pemungutan Pajak Daerah. Agar tidak membingungkan dan merugikan masyarakat, peraturan tentang Pajak Daerah harus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat dipahami dengan jelas. Dari uraian di atas mengenai sumber-sumber penerimaan daerah, maka yang jadi andalan bagi pemerintah Propinsi DKI Jakarta adalah dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Perimbangan sektor PBB, BPHTB, DAU dan DAK. Sedangkan penerimaan dari sektor Sumber Daya Alam kecil sekali kontribusi, mengingat kondisi geografisnya.
Dengan kondisi geografis yang tidak memungkinkan untuk menggali sumber daya alam, maka andalan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebagai mesin penghasil keuangan daerah adalah dari sektor pajak. Salah satu sektor pajak yang diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penerimaan keuangan daerah adalah Pajak Restoran, di samping pajak-pajak lain seperti Pajak Hiburan, Pajak Hotel, Pajak Reklame, dan lain-lain.
Hal ini sangat beralasan jika dikaitkan kedudukan DKI Jakarta sebagai ibukota negara, di mana DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, politik dan aktivitas-aktivitas baik yang bersifat nasional maupun internasional. Seluruh kegiatan tersebut memerlukan apa yang disebut dengan “akomodasi”. Akomodasi ini disediakan oleh restoran. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi berkorelasi positif dengan tumbuh dan berkembangnya usaha di bidang restoran.
Untuk itulah pemerintah propinsi DKI Jakarta perlu mengeluarkan kebijakan di bidang Pajak Restoran yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 tahun 2003 tentang Pajak Restoran (selanjutanya disebut dengan Perda No. 8 tahun 2003) dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 63 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran (selanjutnya disebut dengan SK. Gub. No. 63 tahun 1999).
Kebijakan di bidang Pajak Restoran mengacu pada UU No. 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan retribusi Daerah, (selanjutnya disebut UU No. 34 tahun 2000) bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari hasil Pajak Daerah telah ditetapkan lapangan Pajak Daerah. Pada pasal 2 UU No. 34 Tahun 2000 bahwa Pajak Daerah terdiri dari: