BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hasil pemikiran cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat. Pikiran dan perbuatan yang dilakukan manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi, sejalan dengan adanya penyebaran agama, tradisi yang ada di masyarakat dipengaruhi oleh ajaran agama yang berkembang.
Hal itu, misalnya terjadi pada masyarakat Jawa yang jika memulai pekerjaan senantiasa diawali dengan do’a dan mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa serta meyakini adanya hal-hal yang bersifat ghaib. Ketika Islam datang ke Indonesia, khususnya di Jawa yang disebarkan oleh para ulama (Wali Songo) dalam mendakwahkan agama Islam, mereka menggunakan cara dengan berusaha mentransformasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam praktek-praktek yang telah ada di masyarakat. Dengan kondisi seperti itu maka yang terjadi banyak kebudayaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tetap terpelihara salah satunya adalah upacara yang berbentuk selamatan.
Menurut Koentjaraningrat, upacara selamatan dapat digolongkan menjadi enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari yaitu selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara menusuk telinga, sunat, kematian dan setelah kematian. Selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah, pertanian dan setelah panen padi. Selamatan yang berhubungan dengan hari (bulan besar Islam), selamatan pada saat-saat tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat) janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain.
Bersyukur atau syukuran merupakan ibadah kepada Allah SWT, apabila syukuran merupakan ibadah, tentu mengandung konsekuensi pahala apabila dikerjakan, dan mengandung konsekuensi siksaan apabila ditinggalkan. Allah SWT memberi peringatan di dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 7 yang berbunyi :
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
Artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mayoritas penduduknya berbudaya Jawa, memiliki aneka ragam jenis upacara adat, baik upacara adat yang dilaksanakan dengan lintasan hidup seseorang maupun yang dilaksanakan
untuk kepentingan bersama. Namun dewasa ini mulai muncul permasalahan, yaitu bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi yang telah mengglobal, mampu membuka cakrawala pengetahuan dunia luar yang dapat mempengaruhi dalam tata kehidupan masyarakat di DIY. Karenanya di antara sebagian masyarakat tidak lagi mengetahui upacara adat, atau tidak lagi memperdulikan upacara adat. Hal tersebut dikhawatirkan akibatnya akan luas lagi menyangkut budaya Jawa khususnya upacara adat. Tidak demikian halnya yang terjadi dengan masyarakat Wonokerto. Masyarakat Wonokerto sebagian besar masih peduli pada pelaksanaan upacara-upacara adat, mereka masih meyakini akan manfaat dari pelaksanaan upacara adat yang sudah terselenggara sejak jaman dahulu, sehingga mereka masih melestarikan upacara-upacara adat. Salah satu upacara adat yang pelaksanaannya melibatkan masyarakat Wonokerto pada umumnya dan masyarakat Tunggul Arum pada khususnya adalah upacara adat Merti Bumi. Yang menarik untuk dikaji dari upacara adat Merti Bumi adalah terjadinya akulturasi budaya antara Islam dan budaya Jawa setempat.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka perlu kiranya adanya penelitian tentang salah satu bentuk ungkapan budaya daerah yang masih dilakukan sekelompok masyarakat yang terkait dengan upacara tradisional yang patut untuk dilestarikan agar tidak hilang ditelan oleh kemajuan zaman salah satunya disini adalah upacara Merti Bumi di Dusun Tunggul Arum, Wonokerto, Turi, Sleman.
Upacara Merti Bumi di Dusun Tunggul Arum pada hakikatnya merupakan upacara bersih dusun yang merupakan tradisi warisan leluhur dari waktu ke waktu. Upacara ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan berganti nama menjadi Merti Bumi. Merti Bumi itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu “Petri” yang berarti memetri (memelihara) dan “Bumi” (tanah) sehingga apabila kedua kata tersebut dirangkai, mengandung pengertian memelihara bumi, menjaga dan melestarikan dengan sebaik mungkin. Dengan masuknya agama Islam pada daerah ini, maka upacara ini kemudian banyak diwarnai oleh ajaran Islam.
Sifat tradisional masyarakat desa Wonokerto pada umumnya dan dusun Tunggul Arum pada khususnya tampak dalam sikap hidup masyarakat sehari-hari yang mana sifat gotong royong, tolong menolong masih dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat. Corak hidup masyarakat yang demikian ini menunjukkan corak komunal dari masyarakat desa dan sesuai dengan sifat komunal serta gotong royong dari kehidupan masyarakat desa, yang juga menunjukkan sifat dan ciri tradisional masyarakat desa yaitu suasana demokratis. Hal ini terbukti bahwa sebelum mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan tertentu selalu diawali dengan mengadakan musyawarah, sehingga segala tindakan adalah merupakan hasil keputusan musyawarah bersama dengan seluruh warga masyarakat.
Masyarakat desa yang masih mengagungkan sifat-sifat kegotong royongan nampak dalam kehidupan sehari-hari yang mana masyarakat selalu "guyub" (rukun) dalam segala bidang. Seperti diungkapkan dalam sebuah buku yang berjudul "Etika Jawa," rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hasil pemikiran cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat. Pikiran dan perbuatan yang dilakukan manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi, sejalan dengan adanya penyebaran agama, tradisi yang ada di masyarakat dipengaruhi oleh ajaran agama yang berkembang.
Hal itu, misalnya terjadi pada masyarakat Jawa yang jika memulai pekerjaan senantiasa diawali dengan do’a dan mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa serta meyakini adanya hal-hal yang bersifat ghaib. Ketika Islam datang ke Indonesia, khususnya di Jawa yang disebarkan oleh para ulama (Wali Songo) dalam mendakwahkan agama Islam, mereka menggunakan cara dengan berusaha mentransformasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam praktek-praktek yang telah ada di masyarakat. Dengan kondisi seperti itu maka yang terjadi banyak kebudayaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tetap terpelihara salah satunya adalah upacara yang berbentuk selamatan.
Menurut Koentjaraningrat, upacara selamatan dapat digolongkan menjadi enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari yaitu selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara menusuk telinga, sunat, kematian dan setelah kematian. Selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah, pertanian dan setelah panen padi. Selamatan yang berhubungan dengan hari (bulan besar Islam), selamatan pada saat-saat tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat) janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain.
Bersyukur atau syukuran merupakan ibadah kepada Allah SWT, apabila syukuran merupakan ibadah, tentu mengandung konsekuensi pahala apabila dikerjakan, dan mengandung konsekuensi siksaan apabila ditinggalkan. Allah SWT memberi peringatan di dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 7 yang berbunyi :
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
Artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mayoritas penduduknya berbudaya Jawa, memiliki aneka ragam jenis upacara adat, baik upacara adat yang dilaksanakan dengan lintasan hidup seseorang maupun yang dilaksanakan
untuk kepentingan bersama. Namun dewasa ini mulai muncul permasalahan, yaitu bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi yang telah mengglobal, mampu membuka cakrawala pengetahuan dunia luar yang dapat mempengaruhi dalam tata kehidupan masyarakat di DIY. Karenanya di antara sebagian masyarakat tidak lagi mengetahui upacara adat, atau tidak lagi memperdulikan upacara adat. Hal tersebut dikhawatirkan akibatnya akan luas lagi menyangkut budaya Jawa khususnya upacara adat. Tidak demikian halnya yang terjadi dengan masyarakat Wonokerto. Masyarakat Wonokerto sebagian besar masih peduli pada pelaksanaan upacara-upacara adat, mereka masih meyakini akan manfaat dari pelaksanaan upacara adat yang sudah terselenggara sejak jaman dahulu, sehingga mereka masih melestarikan upacara-upacara adat. Salah satu upacara adat yang pelaksanaannya melibatkan masyarakat Wonokerto pada umumnya dan masyarakat Tunggul Arum pada khususnya adalah upacara adat Merti Bumi. Yang menarik untuk dikaji dari upacara adat Merti Bumi adalah terjadinya akulturasi budaya antara Islam dan budaya Jawa setempat.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka perlu kiranya adanya penelitian tentang salah satu bentuk ungkapan budaya daerah yang masih dilakukan sekelompok masyarakat yang terkait dengan upacara tradisional yang patut untuk dilestarikan agar tidak hilang ditelan oleh kemajuan zaman salah satunya disini adalah upacara Merti Bumi di Dusun Tunggul Arum, Wonokerto, Turi, Sleman.
Upacara Merti Bumi di Dusun Tunggul Arum pada hakikatnya merupakan upacara bersih dusun yang merupakan tradisi warisan leluhur dari waktu ke waktu. Upacara ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan berganti nama menjadi Merti Bumi. Merti Bumi itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu “Petri” yang berarti memetri (memelihara) dan “Bumi” (tanah) sehingga apabila kedua kata tersebut dirangkai, mengandung pengertian memelihara bumi, menjaga dan melestarikan dengan sebaik mungkin. Dengan masuknya agama Islam pada daerah ini, maka upacara ini kemudian banyak diwarnai oleh ajaran Islam.
Sifat tradisional masyarakat desa Wonokerto pada umumnya dan dusun Tunggul Arum pada khususnya tampak dalam sikap hidup masyarakat sehari-hari yang mana sifat gotong royong, tolong menolong masih dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat. Corak hidup masyarakat yang demikian ini menunjukkan corak komunal dari masyarakat desa dan sesuai dengan sifat komunal serta gotong royong dari kehidupan masyarakat desa, yang juga menunjukkan sifat dan ciri tradisional masyarakat desa yaitu suasana demokratis. Hal ini terbukti bahwa sebelum mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan tertentu selalu diawali dengan mengadakan musyawarah, sehingga segala tindakan adalah merupakan hasil keputusan musyawarah bersama dengan seluruh warga masyarakat.
Masyarakat desa yang masih mengagungkan sifat-sifat kegotong royongan nampak dalam kehidupan sehari-hari yang mana masyarakat selalu "guyub" (rukun) dalam segala bidang. Seperti diungkapkan dalam sebuah buku yang berjudul "Etika Jawa," rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu.
Salah satu tindakan untuk memelihara keseimbangan hidup antara individu anggota masyarakat dengan lingkungan alam adalah dengan mengadakan upacara yang bersifat religius yang mempunyai maksud untuk memohon kepada Tuhan agar apa yang dilakukan dapat berhasil dengan baik sehingga upacara-upacara yang bersifat religius masih tetap dilaksanakan di Wonokerto. Upacara Merti Bumi ini merupakan salah satu bentuk upacara adat yang masih terus dilaksanakan, bagi masyarakat Wonokerto upacara adat Merti Bumi merupakan upacara adat yang paling meriah dan paling ditunggu-tunggu .
Upacara Merti Bumi diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya di Dusun Tunggul Arum pada khususnya dan masyarakat Wonokerto pada umumnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah dilimpahkannya sehingga warga masyarakat bisa mendapatkan panen yang baik. Disamping itu juga merupakan permohonan kepada Tuhan agar seluruh warga selalu dalam lindungan-Nya. Mata pencahariannya dapat berhasil, khususnya petani dengan hasil panennya yang baik dan dapat hidup aman dan tentram.