BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis multidimensial yang mendera bangsa Indonesia selama kurang lebih hampir sebelas tahun sejak runtuhnya Rezim Orde Baru belum juga usai. Lebih buruk lagi, masing-masing masalah yang menimpa menghasilkan efek domino, sehingga menimbulkan masalah-masalah baru yang kian rumit dan kompleks. Mulai dari, krisis moneter, konflik SARA, krisis kepercayaan, krisis pangan, kemiskinan, korupsi, bencana alam, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut sudah menjadi wacana yang biasa kita dengar di media massa semenjak gaung reformasi disuarakan satu dekade lalu.
Penyelesaian masalah-masalah tersebut terus diupayakan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, bahkan negara-negara sahabat yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia. Akan tetapi ironisnya, upaya penanggulangan tersebut tidak menghasilkan penyelesaian. Belum usai satu masalah diselesaikan, muncul lagi masalah baru yang butuh penyelesaian.
Salah satu masalah yang aktual saat ini adalah efek gas rumah kaca atau pemanasan global. Tidak hanya menimpa Indonesia, fenomena ini juga menimbulkan kerusakan dan bencana di seluruh penjuru dunia. Ironisnya, Indonesia dituding sebagai salah satu dari negara-negara yang berkontribusi besar dalam proses terjadinya pemanasan global.
Bagaimana tidak, Jantung dunia yang berada di hutan hujan tropis di Indonesia ―dan di negeri-negeri tropis lainnya― dieksploitasi habis-habisan. Belum lagi pencemaran udara di kota-kota besar dan kota-kota industri yang berlebihan dalam memproduksi emisi karbon. Akibatnya masalah-masalah tersebut memicu kemarahan berbagai negara yang secara otomatis merasakan dampaknya, mulai dari longsor, banjir, tsunami, kekeringan, dan lain-lain. Bencana-bencana alam yang diakibatkan oleh efek pemanasan global di Indonesia sendiri menghasilkan masalah baru seperti, krisis pangan, naiknya harga bahan-bahan pokok, dan kelaparan.
Begitu beruntunnya masalah-masalah yang menimpa bangsa Indonesia sehingga menyebabkan frustasi sosial. Masyarakat kelompok menengah ke bawah terbebani oleh masalah-masalah itu, sehingga tekanan itu telah membuat depresi. Kemudian tingkat stres yang begitu tinggi telah membuat masyarakat menjadi “utopis”. Dampaknya, fenomena tersebut telah memicu timbulnya aliran-aliran keagamaan yang aneh, menawarkan solusi atas harapan-harapan “para utopis”. Inilah puncak dari rasa frustasi sebagian masyarakat Indonesia terhadap berbagai permasalahan pelik yang menimpa mereka.
Pemerintah sebagai sistem tidak mampu memberikan solusi atas permasalahan kesejahteraan yang tak kunjung tercapai, sehingga, menghasilkan kekecewaan. Otoritas keagamaan juga belum bisa memberikan solusi yang menenangkan atas kegalauan hati umat, di samping itu juga Bangsa Indonesia sudah lama kehilangan figur yang menjadi suri tauladan. Sosok seperti Prof. Hamka atau KH Abdullah bin Nuh, sudah tiada lagi.
Pada Hari Rabu, 07 Nopember 2007 Harian Republika Online mengutip wawancara dengan Mahendradatta, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM). Beliau mengatakan bahwa, aliran sesat yang kerap muncul di sejumlah daerah sangat erat kaitannya dengan beragam faktor sosiologis yang terdapat dalam masyarakat di tanah air dan mampu menawarkan "surga yang instan".
Masih menurut beliau bahwa munculnya aliran sesat sangat berhubungan dengan berbagai faktor sosiologis seperti tingginya angka kemiskinan dan tingkat stres sehingga banyak orang yang kerap mencari jalan pintas untuk mencapai sesuatu. Oleh karena itu, fenomena ini dapat kita katakan sebagai bentuk dari frustasi sosial yang dialami masyarakat.
Fenomena munculnya pelbagai aliran keagamaan yang dianggap sesat akhir-akhir ini memang telah menyita perhatian umat Islam dan media massa di Indonesia. Antara lain Al-Qiyadah Al-Islamiyyah pimpinan Ahmad Moshaddeq, Jamaah Salamullah atau Kerajaan Surga yang dipimpin Lia Aminuddin, singkretisme Islam dengan animisme Madi di Palu, Al-Qur’an Suci dan banyak lagi aliran-aliran sempalan sejenis yang muncul belakangan ini. Di samping menyebarkan ajaran yang sesat, sebagian di antaranya juga melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan tindakan kriminal umum seperti, penculikan, pemaksaan, dan lain sebagainya. Ironisnya tidak sedikit dari umat Islam yang terjerumus masuk ke dalam aliran-aliran tersebut. Jumlah pengikut aliran-aliran sesat sampai sekarang ini sudah mencapai angka puluhan ribu.
Menanggapi masalah tersebut, umat Islam di Indonesia melakukan berbagai aksi sebagai wujud tindakan responsif. Ada yang menggunakan cara-cara anarkis seperti yang terjadi di berbagai daerah. Ada pula yang menggelar aksi demonstrasi di depan instansi-instansi pemerintah menuntut aliran-aliran tersebut dienyahkan, karena dianggap meresahkan dan dapat mengganggu ketentraman beragama. Republika, pada tgl 30 Oktober 2007 yang lalu memberitakan bahwa Mabes Polri kerepotan karena massa Muslim di berbagai daerah beramai-ramai melakukan penggrebekan dan aksi unjuk rasa sebagai respon terhadap munculnya aliran-aliran ini.
Dengan bermunculannya aliran-aliran ini, pemerintah juga melakukan tindakan responsif. Segera setelah media-media menyiarkan keberadaan berbagai aliran sesat ini, Polisi mengambil tindakan dengan memburu dan menahan para pemimpin serta anggota-anggota gerakan-gerakan waham tersebut. Pemerintah juga memberikan pandangan-pandangan atas perkembangan kasus ini di media dan menekan lembaga-lembaga yang berkewenangan untuk menangani masalah tersebut.
Wajar apabila fenomena ini merangsang reaksi berbagai pihak. Sebab, aktivitas dan ajaran sekte-sekte tersebut memang kontroversial dan melenceng dari ajaran Islam pada “umumnya” dan yang terbagi-bagi ke dalam mazhab-mazhab pemikiran yang telah dianggap “resmi” khususnya. Sebagai contoh Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, aliran yang diprakarsai Ahmad Moshaddeq alias H. Abdul Salam, seperti dilansir Suara Muhammadiyah, meyakini bahwa Ahmad Moshaddeq adalah Al-Masih Al-Maw’ud yang akan melanjutkan tongkat estafeta kerasulan yang pernah dibawa para Nabi dan Rasul sebelumnya. Sebagai pertanda keimanan seseorang kepada Moshaddeq, maka setiap orang yang mengimaninya diharuskan bersyahadah atau membuat pernyataan sebagai komitmen bahwa orang itu benar mengimani Moshaddeq sebagai Al-Masih Al- Maw’ud dan Rasul Allah. Masih bersumber dari Suara Muhammadiyah dikatakan, bahwa aliran ini, meskipun menyatakan berpegang pada Al-Qur’an, namun tidak mewajibkan pengikutnya melakukan shalat lima waktu, puasa dan haji. Shalat yang wajib dilakukan adalah shalat tahajjud.
Contoh yang lain adalah Jamaah Salamullah atau Kerajaan Surga/Eden yang dipimpin oleh Lia Aminuddin. Lia dan para pengikutnya sudah sering muncul di media massa dengan pemikiran-pemikirannya yang nyeleneh lebih dulu sebelum kelompok Ahmad Moshaddeq. Lia menyebut dirinya sebagai penjelmaan Malaikat Jibril dan sebelumnya dia juga pernah mengaku sebagai Imam Mahdi. Dan banyak lagi aliran-aliran yang tidak wajar berkembang di masyarakat dalam skala kecil maupun cukup banyak, akan tetapi dua contoh aliran sesat yang paling familiar ditelinga kita itu sudah cukup mewakili kesesatan dan kesalahannya.
Selama beberapa bulan kasus ini menjadi sorotan media sampai saat ini. Pemberitaan-pemberitaan di media massa berkaitan dengan aliran sesat itu sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, pemberitaan-pemberitaan tersebut ―begitu juga pemberitaan-pemberitaan lain di luar dari masalah ini― memberikan informasi berharga tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam realitas masyarakat. Sehingga masyarakat dapat mengambil sikap atas fenomena tersebut. Akan tetapi di balik itu, media sebagai sumber pesan yang memberikan informasi kepada masyarakat tidak hanya mengkonstruksikan realitas apa adanya begitu saja. Sebagaimana dikatakan McQuail, bahwa sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi formal, dan “sang pengirim”-nya seringkali merupakan komunikator profesional. Pesannya tidak unik dan beraneka ragam, serta dapat diperkirakan. Di samping itu, pesan tersebut seringkali “diproses”, distandarisasi, dan selalu diperbanyak. Hal ini disebabkan oleh kepentingan-kepentingan media itu sendiri. Oleh karena itu, pesan media memiliki kecenderungan-kecenderungan ideologis dari pengirim pesan.
Tidak semua khalayak media dapat melihat kecenderungan tersebut. Sebab, khalayak media terbagi ke dalam dua kelompok, sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok khalayak media dalam memandang pesan yang disajikan oleh media. Kelompok pertama biasa kita sebut dengan masyarakat “melek media”. Kelompok ini adalah individu-individu yang memandang pesan media sebagai pesan yang dikemas sedemikian rupa dan telah mengalami proses pembingkaian serta standarisasi kebijakan ideologis lembaga media. Kelompok kedua adalah individu-individu yang memandang pesan media sebagai bias dari realitas faktual. Dikotomi ini disebabkan oleh stratifikasi sosial masyarakat yang bertingkat-tingkat. Anasir stratifikasi sosial tersebut adalah pendidikan, ekonomi, budaya. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan, misalnya orang yang memiliki kecukupan ekonomi secara otomatis memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang orang yang tidak sejahtera secara ekonomi.
Berkaitan dengan aliran-aliran sesat pada penjelasan di atas, banyak media massa yang menyajikannya, mulai dari media eletronik, media cetak sampai dengan internet atau media “maya”. Berdasarkan paparan tentang pesan media menurut McQuail, sudah barang tentu pemberitaan-pemberitaan tersebut berbeda-beda tergantung kecenderungan masing-masing media yang meliput dan memberitakannya. Masing-masing media menonjolkan segi yang diinginkan, menampilkan angle, dan menunjukkan kecenderungannya.
Salah satu media yang gencar memberitakan fenomena aliran sesat tersebut adalah harian umum Republika (versi koran konvensional maupun digital). Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa surat kabar Republika adalah media yang berorientasi kepada Dakwah Islam. Orientasi itu tersirat dalam penggalan visi harian umum Republika, yaitu berusaha menjaga persatuan Bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman rahmatan lil alamin.
Seperti halnya perbedaan masing-masing media dalam mengemas pesan yang telah disinggung di atas, tentu pemberitaan di surat kabar Republika pun berbeda dengan media lain. Mengingat orientasi dakwah surat kabar ini, tentunya banyak hal yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan bagaimana media ini mengemas berita tentang aliran-aliran sesat yang marak bermunculan akhir-akhir ini. Di samping itu, kajian seperti ini dapat menunjukkan kecenderungan, penonjolan sisi tertentu, dan juga keberpihakan media dalam mengkonstuksikan realitas yang terjadi di tengah masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji masalah ini. Peneliti merasa bahwa masalah ini layak diangkat menjadi wacana penelitian khususnya di bidang Komunikasi dan Dakwah. Terlebih, masalah tersebut sangat relevan dengan Jurusan Dakwah prodi KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) yang peneliti ambil di bangku kuliah di STAI Madinatul Ilmi. Dalam bidang komunikasi penelitian seperti ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sikap media massa dalam memandang fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Di luar dari hal tersebut, secara aplikatif masalah ini juga laik untuk diteliti demi kepentingan Dakwah Islam di Indonesia yang dirasa kurang greget-nya. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya aliran-aliran sesat tersebut.
Sejalan dengan penjelasan di atas, peneliti dalam skripsi ini hendak mengangkat penelitian yang bersifat analisa atas pemberitaan aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyyah di harian umum Republika Online (harian umum Republika versi digital). Dalam penelitian ini peneliti akan mencoba menganalisa kemungkinan adanya aspek-aspek dakwah Islam yang ditonjolkan dari berita-berita tersebut, dan juga kemungkinan adanya aspek-aspek lain yang sengaja disorot oleh media ini.
Berita-berita tentang Al-Qiyadah Al-Islamiyyah diangkat menjadi objek dalam penelitian ini karena aliran ini paling menggemparkan di antara aliran-aliran sempalan yang muncul belakangan. Hal itu disebabkan karena pemimpin dari aliran ini, Ahmad Moshaddeq, mengaku sebagai rasul. Di samping itu juga aliran ini adalah aliran sesat yang sering diberitakan, baik di media cetak maupun di media eletronik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memfokuskan penelitian ini kepada aspek analisis framing pemberitaan aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyyah di harian umum Republika Online”.
C. Perumusan Masalah
Sejalan dengan fokus penelitian di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam sejumlah pertanyaan berikut:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis multidimensial yang mendera bangsa Indonesia selama kurang lebih hampir sebelas tahun sejak runtuhnya Rezim Orde Baru belum juga usai. Lebih buruk lagi, masing-masing masalah yang menimpa menghasilkan efek domino, sehingga menimbulkan masalah-masalah baru yang kian rumit dan kompleks. Mulai dari, krisis moneter, konflik SARA, krisis kepercayaan, krisis pangan, kemiskinan, korupsi, bencana alam, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut sudah menjadi wacana yang biasa kita dengar di media massa semenjak gaung reformasi disuarakan satu dekade lalu.
Penyelesaian masalah-masalah tersebut terus diupayakan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, bahkan negara-negara sahabat yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia. Akan tetapi ironisnya, upaya penanggulangan tersebut tidak menghasilkan penyelesaian. Belum usai satu masalah diselesaikan, muncul lagi masalah baru yang butuh penyelesaian.
Salah satu masalah yang aktual saat ini adalah efek gas rumah kaca atau pemanasan global. Tidak hanya menimpa Indonesia, fenomena ini juga menimbulkan kerusakan dan bencana di seluruh penjuru dunia. Ironisnya, Indonesia dituding sebagai salah satu dari negara-negara yang berkontribusi besar dalam proses terjadinya pemanasan global.
Bagaimana tidak, Jantung dunia yang berada di hutan hujan tropis di Indonesia ―dan di negeri-negeri tropis lainnya― dieksploitasi habis-habisan. Belum lagi pencemaran udara di kota-kota besar dan kota-kota industri yang berlebihan dalam memproduksi emisi karbon. Akibatnya masalah-masalah tersebut memicu kemarahan berbagai negara yang secara otomatis merasakan dampaknya, mulai dari longsor, banjir, tsunami, kekeringan, dan lain-lain. Bencana-bencana alam yang diakibatkan oleh efek pemanasan global di Indonesia sendiri menghasilkan masalah baru seperti, krisis pangan, naiknya harga bahan-bahan pokok, dan kelaparan.
Begitu beruntunnya masalah-masalah yang menimpa bangsa Indonesia sehingga menyebabkan frustasi sosial. Masyarakat kelompok menengah ke bawah terbebani oleh masalah-masalah itu, sehingga tekanan itu telah membuat depresi. Kemudian tingkat stres yang begitu tinggi telah membuat masyarakat menjadi “utopis”. Dampaknya, fenomena tersebut telah memicu timbulnya aliran-aliran keagamaan yang aneh, menawarkan solusi atas harapan-harapan “para utopis”. Inilah puncak dari rasa frustasi sebagian masyarakat Indonesia terhadap berbagai permasalahan pelik yang menimpa mereka.
Pemerintah sebagai sistem tidak mampu memberikan solusi atas permasalahan kesejahteraan yang tak kunjung tercapai, sehingga, menghasilkan kekecewaan. Otoritas keagamaan juga belum bisa memberikan solusi yang menenangkan atas kegalauan hati umat, di samping itu juga Bangsa Indonesia sudah lama kehilangan figur yang menjadi suri tauladan. Sosok seperti Prof. Hamka atau KH Abdullah bin Nuh, sudah tiada lagi.
Pada Hari Rabu, 07 Nopember 2007 Harian Republika Online mengutip wawancara dengan Mahendradatta, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM). Beliau mengatakan bahwa, aliran sesat yang kerap muncul di sejumlah daerah sangat erat kaitannya dengan beragam faktor sosiologis yang terdapat dalam masyarakat di tanah air dan mampu menawarkan "surga yang instan".
Masih menurut beliau bahwa munculnya aliran sesat sangat berhubungan dengan berbagai faktor sosiologis seperti tingginya angka kemiskinan dan tingkat stres sehingga banyak orang yang kerap mencari jalan pintas untuk mencapai sesuatu. Oleh karena itu, fenomena ini dapat kita katakan sebagai bentuk dari frustasi sosial yang dialami masyarakat.
Fenomena munculnya pelbagai aliran keagamaan yang dianggap sesat akhir-akhir ini memang telah menyita perhatian umat Islam dan media massa di Indonesia. Antara lain Al-Qiyadah Al-Islamiyyah pimpinan Ahmad Moshaddeq, Jamaah Salamullah atau Kerajaan Surga yang dipimpin Lia Aminuddin, singkretisme Islam dengan animisme Madi di Palu, Al-Qur’an Suci dan banyak lagi aliran-aliran sempalan sejenis yang muncul belakangan ini. Di samping menyebarkan ajaran yang sesat, sebagian di antaranya juga melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan tindakan kriminal umum seperti, penculikan, pemaksaan, dan lain sebagainya. Ironisnya tidak sedikit dari umat Islam yang terjerumus masuk ke dalam aliran-aliran tersebut. Jumlah pengikut aliran-aliran sesat sampai sekarang ini sudah mencapai angka puluhan ribu.
Menanggapi masalah tersebut, umat Islam di Indonesia melakukan berbagai aksi sebagai wujud tindakan responsif. Ada yang menggunakan cara-cara anarkis seperti yang terjadi di berbagai daerah. Ada pula yang menggelar aksi demonstrasi di depan instansi-instansi pemerintah menuntut aliran-aliran tersebut dienyahkan, karena dianggap meresahkan dan dapat mengganggu ketentraman beragama. Republika, pada tgl 30 Oktober 2007 yang lalu memberitakan bahwa Mabes Polri kerepotan karena massa Muslim di berbagai daerah beramai-ramai melakukan penggrebekan dan aksi unjuk rasa sebagai respon terhadap munculnya aliran-aliran ini.
Dengan bermunculannya aliran-aliran ini, pemerintah juga melakukan tindakan responsif. Segera setelah media-media menyiarkan keberadaan berbagai aliran sesat ini, Polisi mengambil tindakan dengan memburu dan menahan para pemimpin serta anggota-anggota gerakan-gerakan waham tersebut. Pemerintah juga memberikan pandangan-pandangan atas perkembangan kasus ini di media dan menekan lembaga-lembaga yang berkewenangan untuk menangani masalah tersebut.
Wajar apabila fenomena ini merangsang reaksi berbagai pihak. Sebab, aktivitas dan ajaran sekte-sekte tersebut memang kontroversial dan melenceng dari ajaran Islam pada “umumnya” dan yang terbagi-bagi ke dalam mazhab-mazhab pemikiran yang telah dianggap “resmi” khususnya. Sebagai contoh Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, aliran yang diprakarsai Ahmad Moshaddeq alias H. Abdul Salam, seperti dilansir Suara Muhammadiyah, meyakini bahwa Ahmad Moshaddeq adalah Al-Masih Al-Maw’ud yang akan melanjutkan tongkat estafeta kerasulan yang pernah dibawa para Nabi dan Rasul sebelumnya. Sebagai pertanda keimanan seseorang kepada Moshaddeq, maka setiap orang yang mengimaninya diharuskan bersyahadah atau membuat pernyataan sebagai komitmen bahwa orang itu benar mengimani Moshaddeq sebagai Al-Masih Al- Maw’ud dan Rasul Allah. Masih bersumber dari Suara Muhammadiyah dikatakan, bahwa aliran ini, meskipun menyatakan berpegang pada Al-Qur’an, namun tidak mewajibkan pengikutnya melakukan shalat lima waktu, puasa dan haji. Shalat yang wajib dilakukan adalah shalat tahajjud.
Contoh yang lain adalah Jamaah Salamullah atau Kerajaan Surga/Eden yang dipimpin oleh Lia Aminuddin. Lia dan para pengikutnya sudah sering muncul di media massa dengan pemikiran-pemikirannya yang nyeleneh lebih dulu sebelum kelompok Ahmad Moshaddeq. Lia menyebut dirinya sebagai penjelmaan Malaikat Jibril dan sebelumnya dia juga pernah mengaku sebagai Imam Mahdi. Dan banyak lagi aliran-aliran yang tidak wajar berkembang di masyarakat dalam skala kecil maupun cukup banyak, akan tetapi dua contoh aliran sesat yang paling familiar ditelinga kita itu sudah cukup mewakili kesesatan dan kesalahannya.
Selama beberapa bulan kasus ini menjadi sorotan media sampai saat ini. Pemberitaan-pemberitaan di media massa berkaitan dengan aliran sesat itu sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, pemberitaan-pemberitaan tersebut ―begitu juga pemberitaan-pemberitaan lain di luar dari masalah ini― memberikan informasi berharga tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam realitas masyarakat. Sehingga masyarakat dapat mengambil sikap atas fenomena tersebut. Akan tetapi di balik itu, media sebagai sumber pesan yang memberikan informasi kepada masyarakat tidak hanya mengkonstruksikan realitas apa adanya begitu saja. Sebagaimana dikatakan McQuail, bahwa sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi formal, dan “sang pengirim”-nya seringkali merupakan komunikator profesional. Pesannya tidak unik dan beraneka ragam, serta dapat diperkirakan. Di samping itu, pesan tersebut seringkali “diproses”, distandarisasi, dan selalu diperbanyak. Hal ini disebabkan oleh kepentingan-kepentingan media itu sendiri. Oleh karena itu, pesan media memiliki kecenderungan-kecenderungan ideologis dari pengirim pesan.
Tidak semua khalayak media dapat melihat kecenderungan tersebut. Sebab, khalayak media terbagi ke dalam dua kelompok, sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok khalayak media dalam memandang pesan yang disajikan oleh media. Kelompok pertama biasa kita sebut dengan masyarakat “melek media”. Kelompok ini adalah individu-individu yang memandang pesan media sebagai pesan yang dikemas sedemikian rupa dan telah mengalami proses pembingkaian serta standarisasi kebijakan ideologis lembaga media. Kelompok kedua adalah individu-individu yang memandang pesan media sebagai bias dari realitas faktual. Dikotomi ini disebabkan oleh stratifikasi sosial masyarakat yang bertingkat-tingkat. Anasir stratifikasi sosial tersebut adalah pendidikan, ekonomi, budaya. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan, misalnya orang yang memiliki kecukupan ekonomi secara otomatis memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang orang yang tidak sejahtera secara ekonomi.
Berkaitan dengan aliran-aliran sesat pada penjelasan di atas, banyak media massa yang menyajikannya, mulai dari media eletronik, media cetak sampai dengan internet atau media “maya”. Berdasarkan paparan tentang pesan media menurut McQuail, sudah barang tentu pemberitaan-pemberitaan tersebut berbeda-beda tergantung kecenderungan masing-masing media yang meliput dan memberitakannya. Masing-masing media menonjolkan segi yang diinginkan, menampilkan angle, dan menunjukkan kecenderungannya.
Salah satu media yang gencar memberitakan fenomena aliran sesat tersebut adalah harian umum Republika (versi koran konvensional maupun digital). Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa surat kabar Republika adalah media yang berorientasi kepada Dakwah Islam. Orientasi itu tersirat dalam penggalan visi harian umum Republika, yaitu berusaha menjaga persatuan Bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman rahmatan lil alamin.
Seperti halnya perbedaan masing-masing media dalam mengemas pesan yang telah disinggung di atas, tentu pemberitaan di surat kabar Republika pun berbeda dengan media lain. Mengingat orientasi dakwah surat kabar ini, tentunya banyak hal yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan bagaimana media ini mengemas berita tentang aliran-aliran sesat yang marak bermunculan akhir-akhir ini. Di samping itu, kajian seperti ini dapat menunjukkan kecenderungan, penonjolan sisi tertentu, dan juga keberpihakan media dalam mengkonstuksikan realitas yang terjadi di tengah masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji masalah ini. Peneliti merasa bahwa masalah ini layak diangkat menjadi wacana penelitian khususnya di bidang Komunikasi dan Dakwah. Terlebih, masalah tersebut sangat relevan dengan Jurusan Dakwah prodi KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) yang peneliti ambil di bangku kuliah di STAI Madinatul Ilmi. Dalam bidang komunikasi penelitian seperti ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sikap media massa dalam memandang fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Di luar dari hal tersebut, secara aplikatif masalah ini juga laik untuk diteliti demi kepentingan Dakwah Islam di Indonesia yang dirasa kurang greget-nya. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya aliran-aliran sesat tersebut.
Sejalan dengan penjelasan di atas, peneliti dalam skripsi ini hendak mengangkat penelitian yang bersifat analisa atas pemberitaan aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyyah di harian umum Republika Online (harian umum Republika versi digital). Dalam penelitian ini peneliti akan mencoba menganalisa kemungkinan adanya aspek-aspek dakwah Islam yang ditonjolkan dari berita-berita tersebut, dan juga kemungkinan adanya aspek-aspek lain yang sengaja disorot oleh media ini.
Berita-berita tentang Al-Qiyadah Al-Islamiyyah diangkat menjadi objek dalam penelitian ini karena aliran ini paling menggemparkan di antara aliran-aliran sempalan yang muncul belakangan. Hal itu disebabkan karena pemimpin dari aliran ini, Ahmad Moshaddeq, mengaku sebagai rasul. Di samping itu juga aliran ini adalah aliran sesat yang sering diberitakan, baik di media cetak maupun di media eletronik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memfokuskan penelitian ini kepada aspek analisis framing pemberitaan aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyyah di harian umum Republika Online”.
C. Perumusan Masalah
Sejalan dengan fokus penelitian di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam sejumlah pertanyaan berikut: