BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit infeksi saluran pernafasan merupakan penyakit yang masih
sangat banyak dijumpai dalam masyarakat. Serangan penyakit ini tercatat paling
tinggi pada musim dingin di negara beriklim dingin dan pada waktu musim hujan
di negara tropik (Nelwan, 2004).
Di negara kita sendiri hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1995
melaporkan angka kematian akibat penyakit sistem pernafasan masih tinggi
(terutama pada bayi dan anak balita). Sementara itu berdasarkan Program
Pembangunan Nasional (propenas) bidang kesehatan, angka kematian per seribu
pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi tiga per seribnu pada akhir 2005. Di
sebagian wilayah Indonesia ISPA tercatat sebagai penyakit yang paling banyak
diderita masyarakat, contohnya di Mataram dan Jakarta. Tingginya penderita
ISPA di Indonesia terkait dengan tingginya pencemaran udara yang 70% berasal
dari kendaraan bermotor (Silalahi, 2003).
Penyebab utama ISPA adalah infeksi bakteri. Menurut publikasi WHO
bahwa penyebab tersering adalah streptococcus pneumoniae dan Haemophillus
influenzae (Anonim, 2002).
Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan pada hasil
pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun dalam praktek
sehari-hari, tidak mungkin melakukan pemeriksaan mikrobiologis untuk setiap
pasien yang dicurigai menderita infeksi (Anonim, 2000).
Dasar penggunaan antibiotik untuk penyakit yang disertai demam harus
memiliki alasan yang tepat, karena antibiotik merupakan obat yang berkhasiat
membasmi infeksi bakterial, maka satu-satunya alasan penggunaan antibiotik
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan disertai demam atau
tanpa demam. Kerugian penggunaan antibiotik antara lain bila antibiotik semakin
banyak digunakan maka semakin banyak timbul resistensi kuman terhadapnya,
meningkatnya efek samping obat, biaya pengobatan yang lebih tinggi (Mansjoer
dkk, 1999).
Perkembangan resistensi mikroorganisme pada antimikroba telah menjadi
masalah di bidang pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di
masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan derajat kesakitan, lama
perawatan, angka mortalitas dan meningkatkan biaya pengobatan. Sering
dilaporkan bahwa streptococcus pneumoniae telah banyak yang resisten terhadap
pinisillin ataup un eritromisin, klindamisin, kloramfenikol dan sefotaksim. Pada
tahun 1996 – 1997 sebuah penelitian di Jakarta menyebutkan dari 43 biakan
streptococcus pneumoniae
terhadap penisilin (Warsa, 1997).
dari sputum ternyata 30% diantaranya resisten
Penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah resisten pada
obat antimikroba merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat. Permasalahan
tersebut adalah bakteri dan mikroorganisme penyebab infeksi dapat
mengembangkan cara untuk bertahan dari obat yang digunakan untuk membunuh
atau melemahkannya. Resistensi antibiotik atau juga dikenal dengan resistensi
mikroba atau resistensi obat memerlukan antibiotik yang lebih kuat. Sekitar 70%
dari bakteri penyebab infeksi di rumah sakit paling sedikit resisten terhadap satu
dari obat yang umumnya digunakan untuk mengobati infeksi tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibiotik sering diberikan pada
pasien. Pemberian antibiotik yang tidak memenuhi dosis regimen dapat
meningkatkan resistensi antibiotik. Jika resistensi antibiotik tidak terdeteksi dan
tetap bersifat patogen maka akan terjadi penyakit yang merupakan ulangan dan
menjadi sulit disembuhkan (Anonim, 2003).
Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak
ekonomis atau yang lebih populer dengan istilah tidak rasional, saat ini telah
menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan. Masalah ini dijumpai di
unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya di rumah sakit, puskesmas, praktek
pribadi, maupun di masyarakat luas. Dengan kata lain penggunaan obat dapat
dinilai tidak rasional jika :
1. Indikasi penggunaan keliru,
2. Pemilihan obat tidak tepat,
3. Cara penggunaan tidak tepat, mencakup cara pemberian, dosis pemberian,
frekuensi pemberian dan lama pemberian,
4. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat.
Berbagai studi telah mengungkapkan berbagai bentuk ketidaktepatan
penggunan obat misalnya polifarmasi, penggunaan antibiotik sembarangan,
4
penggunaan suntikan berlebihan dan sebagainya. Dampak-dampak negatif
penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya
meningkatkan efek samping obat, meningkatkan kegagalan pengobatan,
meningkatnya resistensi mikroba (Anonim, 2000).
Pengertian penggunaan antibiotik secara rasional adalah tepat indikasi,
tepat penderita, tepat obat, tepat dosis regimen dan waspada terhadap efek
samping obat yang dalam arti konkritnya adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit infeksi saluran pernafasan merupakan penyakit yang masih
sangat banyak dijumpai dalam masyarakat. Serangan penyakit ini tercatat paling
tinggi pada musim dingin di negara beriklim dingin dan pada waktu musim hujan
di negara tropik (Nelwan, 2004).
Di negara kita sendiri hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1995
melaporkan angka kematian akibat penyakit sistem pernafasan masih tinggi
(terutama pada bayi dan anak balita). Sementara itu berdasarkan Program
Pembangunan Nasional (propenas) bidang kesehatan, angka kematian per seribu
pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi tiga per seribnu pada akhir 2005. Di
sebagian wilayah Indonesia ISPA tercatat sebagai penyakit yang paling banyak
diderita masyarakat, contohnya di Mataram dan Jakarta. Tingginya penderita
ISPA di Indonesia terkait dengan tingginya pencemaran udara yang 70% berasal
dari kendaraan bermotor (Silalahi, 2003).
Penyebab utama ISPA adalah infeksi bakteri. Menurut publikasi WHO
bahwa penyebab tersering adalah streptococcus pneumoniae dan Haemophillus
influenzae (Anonim, 2002).
Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan pada hasil
pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun dalam praktek
sehari-hari, tidak mungkin melakukan pemeriksaan mikrobiologis untuk setiap
pasien yang dicurigai menderita infeksi (Anonim, 2000).
Dasar penggunaan antibiotik untuk penyakit yang disertai demam harus
memiliki alasan yang tepat, karena antibiotik merupakan obat yang berkhasiat
membasmi infeksi bakterial, maka satu-satunya alasan penggunaan antibiotik
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan disertai demam atau
tanpa demam. Kerugian penggunaan antibiotik antara lain bila antibiotik semakin
banyak digunakan maka semakin banyak timbul resistensi kuman terhadapnya,
meningkatnya efek samping obat, biaya pengobatan yang lebih tinggi (Mansjoer
dkk, 1999).
Perkembangan resistensi mikroorganisme pada antimikroba telah menjadi
masalah di bidang pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di
masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan derajat kesakitan, lama
perawatan, angka mortalitas dan meningkatkan biaya pengobatan. Sering
dilaporkan bahwa streptococcus pneumoniae telah banyak yang resisten terhadap
pinisillin ataup un eritromisin, klindamisin, kloramfenikol dan sefotaksim. Pada
tahun 1996 – 1997 sebuah penelitian di Jakarta menyebutkan dari 43 biakan
streptococcus pneumoniae
terhadap penisilin (Warsa, 1997).
dari sputum ternyata 30% diantaranya resisten
Penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah resisten pada
obat antimikroba merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat. Permasalahan
tersebut adalah bakteri dan mikroorganisme penyebab infeksi dapat
mengembangkan cara untuk bertahan dari obat yang digunakan untuk membunuh
atau melemahkannya. Resistensi antibiotik atau juga dikenal dengan resistensi
mikroba atau resistensi obat memerlukan antibiotik yang lebih kuat. Sekitar 70%
dari bakteri penyebab infeksi di rumah sakit paling sedikit resisten terhadap satu
dari obat yang umumnya digunakan untuk mengobati infeksi tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibiotik sering diberikan pada
pasien. Pemberian antibiotik yang tidak memenuhi dosis regimen dapat
meningkatkan resistensi antibiotik. Jika resistensi antibiotik tidak terdeteksi dan
tetap bersifat patogen maka akan terjadi penyakit yang merupakan ulangan dan
menjadi sulit disembuhkan (Anonim, 2003).
Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak
ekonomis atau yang lebih populer dengan istilah tidak rasional, saat ini telah
menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan. Masalah ini dijumpai di
unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya di rumah sakit, puskesmas, praktek
pribadi, maupun di masyarakat luas. Dengan kata lain penggunaan obat dapat
dinilai tidak rasional jika :
1. Indikasi penggunaan keliru,
2. Pemilihan obat tidak tepat,
3. Cara penggunaan tidak tepat, mencakup cara pemberian, dosis pemberian,
frekuensi pemberian dan lama pemberian,
4. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat.
Berbagai studi telah mengungkapkan berbagai bentuk ketidaktepatan
penggunan obat misalnya polifarmasi, penggunaan antibiotik sembarangan,
4
penggunaan suntikan berlebihan dan sebagainya. Dampak-dampak negatif
penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya
meningkatkan efek samping obat, meningkatkan kegagalan pengobatan,
meningkatnya resistensi mikroba (Anonim, 2000).
Pengertian penggunaan antibiotik secara rasional adalah tepat indikasi,
tepat penderita, tepat obat, tepat dosis regimen dan waspada terhadap efek
samping obat yang dalam arti konkritnya adalah :