BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat,
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit
tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia
dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan
setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar
140.000 karena penyakit ini. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000
penduduk Indonesia terdapat 122 penderita baru tuberkulosis paru BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Penyakit tuberkulosis menyerang sebagian besar
kelompok usia kerja (15-50 tahun).
Tahun 1995-1998, cakupan penderita tuberkulosis dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course Chemotherapy) atau pengawasan
langsung menelan obat jangka pendek setiap hari baru mencapai 36% dengan
angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya
sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%,
karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap
di masa lalu, diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman tuberkulosis
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR)
(Anonim, 2002).
Penyebab utama tingginya prevalensi tuberkulosis di Indonesia ada tiga.
Pertama, penduduk Indonesia cukup besar jumlahnya dan kepadatan
penduduk yang cukup tinggi pada beberapa daerah, sehingga penyakit
tuberkulosis mudah menular. Kedua, pengobatannya cukup lama yaitu 6
bulan dengan biaya yang cukup mahal, sehingga banyak penderita yang tidak
menyelesaikan pengobatannya secara tuntas. Tingkat kedisiplinan penderita
tuberkulosis untuk minum obat anti tuberkulosis yang masih rendah, jadi
dibutuhkan pengawasan minum obat. Ketiga, Penyakit ini umumnya
menyerang orang-orang dengan status gizi buruk dan kurang, serta kondisi
fisik yang lemah (Anonim, 2004a).
Rumah Sakit Umum dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat
pelayanan kesehatan tentunya dapat melaksanakan semua kegiatan
tatalaksana penderita tuberkulosis dan pastinya menggunakan obat anti
tuberkulosis, yang nantinya obat tersebut akan dipadukan untuk memperoleh
hasil terapi yang baik dan mencegah atau memperkecil kemungkinan
timbulnya resistensi. Dalam hal tertentu, rumah sakit dapat merujuk penderita
kembali ke puskesmas yang terdekat dengan tempat tinggal penderita untuk
mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya, agar terapi
menggunakan obat tersebut berhasil dan resikonya minimal, maka perlu
dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui penggunaan obat tuberkulosis
pada kasus tuberkulosis. Dalam penelitian kasus tuberkulosis ini rumah sakit
yang digunakan sebagai sampel adalah rumah sakit umum kabupaten Sragen,
yang nantinya akan diketahui apakah pengobatan untuk kasus tuberkulosis di
Rumah Sakit tersebut sudah sesuai dengan standar terapi yang ada.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat,
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit
tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia
dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan
setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar
140.000 karena penyakit ini. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000
penduduk Indonesia terdapat 122 penderita baru tuberkulosis paru BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Penyakit tuberkulosis menyerang sebagian besar
kelompok usia kerja (15-50 tahun).
Tahun 1995-1998, cakupan penderita tuberkulosis dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course Chemotherapy) atau pengawasan
langsung menelan obat jangka pendek setiap hari baru mencapai 36% dengan
angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya
sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%,
karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap
di masa lalu, diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman tuberkulosis
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR)
(Anonim, 2002).
Penyebab utama tingginya prevalensi tuberkulosis di Indonesia ada tiga.
Pertama, penduduk Indonesia cukup besar jumlahnya dan kepadatan
penduduk yang cukup tinggi pada beberapa daerah, sehingga penyakit
tuberkulosis mudah menular. Kedua, pengobatannya cukup lama yaitu 6
bulan dengan biaya yang cukup mahal, sehingga banyak penderita yang tidak
menyelesaikan pengobatannya secara tuntas. Tingkat kedisiplinan penderita
tuberkulosis untuk minum obat anti tuberkulosis yang masih rendah, jadi
dibutuhkan pengawasan minum obat. Ketiga, Penyakit ini umumnya
menyerang orang-orang dengan status gizi buruk dan kurang, serta kondisi
fisik yang lemah (Anonim, 2004a).
Rumah Sakit Umum dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat
pelayanan kesehatan tentunya dapat melaksanakan semua kegiatan
tatalaksana penderita tuberkulosis dan pastinya menggunakan obat anti
tuberkulosis, yang nantinya obat tersebut akan dipadukan untuk memperoleh
hasil terapi yang baik dan mencegah atau memperkecil kemungkinan
timbulnya resistensi. Dalam hal tertentu, rumah sakit dapat merujuk penderita
kembali ke puskesmas yang terdekat dengan tempat tinggal penderita untuk
mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya, agar terapi
menggunakan obat tersebut berhasil dan resikonya minimal, maka perlu
dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui penggunaan obat tuberkulosis
pada kasus tuberkulosis. Dalam penelitian kasus tuberkulosis ini rumah sakit
yang digunakan sebagai sampel adalah rumah sakit umum kabupaten Sragen,
yang nantinya akan diketahui apakah pengobatan untuk kasus tuberkulosis di
Rumah Sakit tersebut sudah sesuai dengan standar terapi yang ada.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan :