ABSTRAK
Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan setiap orang pun bebas untuk berusaha mendapatkan harta dan mengembangkannya. Untuk memperoleh keuntungan yang didambakan, ada banyak cara yang dilakukan penjual untuk mempengaruhi konsumen agar membeli barang dagangannya.
Cara yang mungkin dilakukan produsen atau penjual biasanya dengan menjual produk jauh lebih murah dari harga pasar. Untuk beberapa saat mungkin penjual tidak memperoleh keuntungan, bahkan penjual tersebut memborong semua produk tersebut dengan maksud agar terjadi kekosongan barang di pasar, yang akibatnya konsumen sangat bergantung kepadanya. Setelah saingannya bangkrut, lambat laun si penjual tersebut mulai menguasai pasar dan memonopolinya, maka dengan leluasa si penjual akan menaikkan harga dengan harga yang tidak wajar. Tingginya harga jual diakibatkan oleh banyaknya permintaan. Apabila seorang penjual telah menguasai pasar maka penjual tersebut akan membuat harga yang menghasilkan keuntungan lebih banyak dengan cara menaikkan harganya. Dampak dari persaingan bisnis yang ketat antara para pedagang menimbulkan kerugian yang besar bagi para konsumen selaku pihak kedua dalam transaksi jual beli dengan menaikkan dan menurunkan harga seenaknya tanpa memikirkan nasib para konsumen khususnya dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Padahal pada dasarnya kebutuhan akan barang-barang primer/pokok antara konsumen yang satu dengan yang lainnya adalah sama.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana relevansi hadis tentang keuntungan jual beli jika dikaitkan degan konteks kekinian, sehingga para pedagang dapat mengambil keuntungan dalam transaksi jual beli dan tujuan dari jual beli itu sendiri dapat terpenuhi.
Tujuan dari penelitian ini selain mengetahui relevansi hadis tentang keuntungan jual beli jika dikaitkan dengan konteks kekinian diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian hadis keuntungan jual beli lebih lanjut dan dapat menambah khazanah literature studi hadis.
Hadis merupakan sumber tasyri' kedua setelah al-Qur'an, pengkajian ulang serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan kembali terhadap hadis. Salah satu hadis yang perlu dikaji adalah hadis yang secara tekstual membolehkan mengambil keuntungan jual beli lebih dari seratus persen. Setelah dikaji dengan menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ, hadis tentang keuntungan jual beli tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi bisa dipahami secara kontekstual, faktor historis pada saat disabdakannya hadis ini sangat membantu dalam memahami hadis secara benar.
Islam tidak memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan dalam perdagangan, hal ini diserahkan kepada masing-masing pedagang dan tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain.
Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan setiap orang pun bebas untuk berusaha mendapatkan harta dan mengembangkannya. Untuk memperoleh keuntungan yang didambakan, ada banyak cara yang dilakukan penjual untuk mempengaruhi konsumen agar membeli barang dagangannya.
Cara yang mungkin dilakukan produsen atau penjual biasanya dengan menjual produk jauh lebih murah dari harga pasar. Untuk beberapa saat mungkin penjual tidak memperoleh keuntungan, bahkan penjual tersebut memborong semua produk tersebut dengan maksud agar terjadi kekosongan barang di pasar, yang akibatnya konsumen sangat bergantung kepadanya. Setelah saingannya bangkrut, lambat laun si penjual tersebut mulai menguasai pasar dan memonopolinya, maka dengan leluasa si penjual akan menaikkan harga dengan harga yang tidak wajar. Tingginya harga jual diakibatkan oleh banyaknya permintaan. Apabila seorang penjual telah menguasai pasar maka penjual tersebut akan membuat harga yang menghasilkan keuntungan lebih banyak dengan cara menaikkan harganya. Dampak dari persaingan bisnis yang ketat antara para pedagang menimbulkan kerugian yang besar bagi para konsumen selaku pihak kedua dalam transaksi jual beli dengan menaikkan dan menurunkan harga seenaknya tanpa memikirkan nasib para konsumen khususnya dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Padahal pada dasarnya kebutuhan akan barang-barang primer/pokok antara konsumen yang satu dengan yang lainnya adalah sama.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana relevansi hadis tentang keuntungan jual beli jika dikaitkan degan konteks kekinian, sehingga para pedagang dapat mengambil keuntungan dalam transaksi jual beli dan tujuan dari jual beli itu sendiri dapat terpenuhi.
Tujuan dari penelitian ini selain mengetahui relevansi hadis tentang keuntungan jual beli jika dikaitkan dengan konteks kekinian diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian hadis keuntungan jual beli lebih lanjut dan dapat menambah khazanah literature studi hadis.
Hadis merupakan sumber tasyri' kedua setelah al-Qur'an, pengkajian ulang serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan kembali terhadap hadis. Salah satu hadis yang perlu dikaji adalah hadis yang secara tekstual membolehkan mengambil keuntungan jual beli lebih dari seratus persen. Setelah dikaji dengan menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ, hadis tentang keuntungan jual beli tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi bisa dipahami secara kontekstual, faktor historis pada saat disabdakannya hadis ini sangat membantu dalam memahami hadis secara benar.
Islam tidak memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan dalam perdagangan, hal ini diserahkan kepada masing-masing pedagang dan tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain.