ABSTRAK
Ditegakkannya salat sebagai syarat larangan untuk menentang seorang pemimpin yang paling burukpun, tentu menjadi keganjalan dan pertanyaan: mengapa hanya karena pemimpin terburuk itu menegakkan salat, ia tidak boleh ditentang oleh rakyatnya? Namun itulah yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang sikap terhadap seburuk-buruk pemimpin tersebut. Padahal seburuk-buruk pemimpin yang dicirikan dalam hadis itu sebagai pemimpin yang dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya serta begitu pula sebaliknya dengan sikapnya terhadap rakyat yang dipimpinnya, diragukan kemampuannya –jika dilihat dari kondisinya- dalam menunaikan amanatnya menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.
Hadis ini tentunya tidak bisa ditelan mentah-mentah (tekstual), tetapi harus diinterpretasi secara seksama untuk mengetahui, mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan salat untuk larangan menentang kepada seburuk-buruk pemimpin, sehingga diperoleh suatu pemahaman yang tepat dan akhirnya menghasilkan pengamalan yang tepat pula.
Proses pemahaman hadis tersebut diawali dengan penelusuran hadis-hadis yang setema melalui metode penelusuran tema hadis atau lafaz hadis, yaitu kata awal hadis melalui kitab-kitab yang membantu penelusuran hadis, yaitu Mifta>h Kunu>z al-Sunnah, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi> dibantu dengan CD Program Mausu>‘ah al-H}adi>>s| al-Syari>f, yang menghasilkan bahwa hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat terdapat dalam kitab S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan al-Da>rimi>.
Sebelum metode ma‘a>ni> al-H}adi>>s| diterapkan, hadis tersebut harus diteliti keotentikannya. Analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, menghasilkan kesimpulan bahwa hadis ini sahih. Penelitian selanjutnya adalah analisis matan meliputi kajian linguistik berupa kajian kata-kata kunci dalam matan, dan kajian historis kepemimpinan Nabi supaya dapat digeneralisasikan kandungan hadisnya. Analisis generalisasi menghasilkan makna universal bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat.
Makna universal dari hadis tersebut kemudian dikontekstualisasikan kepada realitas kekinian, yaitu pada realitas politik Islam dan Indonesia kekinian. Upaya kontekstualisasi ini menunjukkan bahwa kemunduran dan kekacauan yang terjadi di negara Islam termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dan para pejabat negara dalam menjalankan amanat rakyat yang merupakan kewajiban mereka. Keadilan dalam masyarakat belum direalisasikan dengan baik. Jika hukum dan keadilan tegakkan maka tentunya akan tercipta kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sejahtera, adil dan makmur, tidak ada pertentangan dari rakyat.
Ditegakkannya salat sebagai syarat larangan untuk menentang seorang pemimpin yang paling burukpun, tentu menjadi keganjalan dan pertanyaan: mengapa hanya karena pemimpin terburuk itu menegakkan salat, ia tidak boleh ditentang oleh rakyatnya? Namun itulah yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang sikap terhadap seburuk-buruk pemimpin tersebut. Padahal seburuk-buruk pemimpin yang dicirikan dalam hadis itu sebagai pemimpin yang dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya serta begitu pula sebaliknya dengan sikapnya terhadap rakyat yang dipimpinnya, diragukan kemampuannya –jika dilihat dari kondisinya- dalam menunaikan amanatnya menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.
Hadis ini tentunya tidak bisa ditelan mentah-mentah (tekstual), tetapi harus diinterpretasi secara seksama untuk mengetahui, mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan salat untuk larangan menentang kepada seburuk-buruk pemimpin, sehingga diperoleh suatu pemahaman yang tepat dan akhirnya menghasilkan pengamalan yang tepat pula.
Proses pemahaman hadis tersebut diawali dengan penelusuran hadis-hadis yang setema melalui metode penelusuran tema hadis atau lafaz hadis, yaitu kata awal hadis melalui kitab-kitab yang membantu penelusuran hadis, yaitu Mifta>h Kunu>z al-Sunnah, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi> dibantu dengan CD Program Mausu>‘ah al-H}adi>>s| al-Syari>f, yang menghasilkan bahwa hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat terdapat dalam kitab S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan al-Da>rimi>.
Sebelum metode ma‘a>ni> al-H}adi>>s| diterapkan, hadis tersebut harus diteliti keotentikannya. Analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, menghasilkan kesimpulan bahwa hadis ini sahih. Penelitian selanjutnya adalah analisis matan meliputi kajian linguistik berupa kajian kata-kata kunci dalam matan, dan kajian historis kepemimpinan Nabi supaya dapat digeneralisasikan kandungan hadisnya. Analisis generalisasi menghasilkan makna universal bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat.
Makna universal dari hadis tersebut kemudian dikontekstualisasikan kepada realitas kekinian, yaitu pada realitas politik Islam dan Indonesia kekinian. Upaya kontekstualisasi ini menunjukkan bahwa kemunduran dan kekacauan yang terjadi di negara Islam termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dan para pejabat negara dalam menjalankan amanat rakyat yang merupakan kewajiban mereka. Keadilan dalam masyarakat belum direalisasikan dengan baik. Jika hukum dan keadilan tegakkan maka tentunya akan tercipta kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sejahtera, adil dan makmur, tidak ada pertentangan dari rakyat.