BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya ini begitu indah, mempesona dan sempurna. Namun sifat dari keindahan dan kesempurnaan itu hanyalah sementara (temporal), tidak kekal dan abadi. Tak pelak lagi, seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, termasuk manusia, akan mengalami peristiwa paripurna kehidupan yang ditandai dengan datangnya ajal. Sehingga pada saat apapun dan dalam kondisi bagaimana pun manusia tidak bisa menghindar dari peristiwa sakral tersebut, sebab ia tidak mampu menentukan kapan ajal itu datang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt:
قل لوكنتم فى بيوتكم لبرزالذين كتب عليهم القتل الى مضاجعهم وليبتلىالله مافى صدوركم وليمحص مافى قلوبكم(
Sungguh, kematian memang menakutkan. Tetapi, justru penyebab dari kematian itulah yang menjadi persoalan. Terdapat berbagai macam penyebab kasus kematian yang menimpa diri manusia, baik kematian secara normal maupun tidak normal. Di antara penyebab kasus kematian yang tidak normal adalah kecelakaan, kebakaran, peledakan bom dan lain sebagainya dan lebih tragis lagi bila tubuh korban hancur berkeping-keping sehingga tidak mungkin untuk dikenali lagi. Misalnya, kasus Bom Bali yang belum hilang dari ingatan kita yang terjadi begitu dahsyat sehingga ratusan potongan tubuh manusia menjadi hancur lebur dan berbaur berserakan bagai sampah. Akibatnya, identitas jenis kelamin, kewarga-negaraan dan agama masing-masing korban hampir tidak dapat teridentifikasi.
Berangkat dari kasus di atas, di mana mayat-mayat tersebut meninggal dalam keadaan yang tidak wajar dan kondisi tubuh yang tidak normal, dalam artian tubuh korban sudah terpotong-potong, bercampur-lebur dan berserakan bagai sampah sehingga tidak mungkin untuk diidentifikasi lagi, sehingga memunculkan problematika pelik dalam proses pelaksanaan perawatan jena>z\ah tersebut, baik yang berkaitan dengan tata cara pemandian, pengafanan, ataupun pensalatan masing-masing korban, sehingga Isla>m tertantang untuk menghadirkan kontribusi pemikiran guna memberikan solusi terhadap problematika tersebut.
Dalam Isla>m sendiri terdapat silang pendapat antar tokoh maz\hab. Baik Ima>m Abu> H{ani>fah, Ima>m asy-Sya>fi‘i, Ima>m Ma>lik Maupun Ah}mad bin Hanba>l. Namun, di sini penyusun lebih membatasi pembahasan pada pendapat Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i tentang proses pelaksanaan pengurusan jena>z\ah yang “tidak normal”. Lebih spesifik lagi, penyusun ingin membedah kasus pencampuradukan potongan-potongan tubuh mayat yang diduga bahwa di situ terdapat mayat Musli>m dan non-Musli>m dari perspektif kedua tokoh di atas. Dalam hal ini, Ima>m Abu> H{{ani>fah mengatakan bahwa tidak wajib dimandikan dan disalatkan bagi jena>z\ah yang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong atau hilang, kecuali kalau memang kebanyakan anggota tubuhnya atau minimal separuhnya beserta kepalanya diketemukan.2( Hukum ini berlaku pula bagi jena>z\ah yang terpotong-potong dan telah bercampur baur dengan non-Muslim, namun dalam hal memadikannya beliau tetap membolehkan, meskipun tidak seperti memandikan jena>z\ah Muslim.3)
Berbeda dengan Ima>m Abu> Hani>fah, Ima>m asy-Sya>fi‘i mengatakan bahwa jikalau ditemukan mayat manusia terpotong-potong karena peristiwa kebakaran, dimakan binatang atau karena sebab lain, maka wajib hukumnya memandikan mayat tersebut sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh.4) Namun jikalau tidak memungkinkan untuk dimandikan karena adanya kekhawatiran akan lebih memperparah kondisi si mayat misalnya, maka potongan tadi tidak usah dimandikan, akan tetapi cukup ditayammumi. Yang demikian ini bisa dilakukan bila dalam realitasnya potongan tersebut tidak bercampur dengan najis. Lain halnya jika pada tubuh korban masih ditemukan najis dan kondisi mayatnya tidak boleh terkena air, maka ia tidak perlu ditayammumi.5( Kendati demikian, bila ditilik lebih jauh, pendapat Ima>m asy-Sya>fi‘i tersebut mempunyai kesamaan dengan peristiwa bersejarah dari perang Jama>>>>>>l, tepatnya persoalan yang dialami oleh sahabat Abdurrahman, di mana tubuhnya terpotong-potong. Tangannya yang telah terpisah dari jasad dimakan oleh burung Nasar dan dibawa terbang ke Makkah, hingga akhirnya ditemukan oleh sahabat lain yang kemudian pengurusannya diproses sebagaimana layaknya pengurusan mayat biasa, yaitu dikafani, disalati dan dikebumikan.6( Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang bercampur antara Muslim dengan non-Muslim dan tidak bisa dikenali lagi antara keduanya, maka tetaplah wajib dimandikan dan disalatkan. Pendapat ini senada dengan pemikiran Ima>m Ma>lik, Ah}mad bin Hanba>l, Da>wud az}-Z{a>hiri dan Ibn Munzir 7).
Bertolak dari sudut pandang kedua tokoh maz\hab di atas, maka persoalan yang menurut penyusun sangat penting untuk dibahas adalah mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Ima>m Abu> Hani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim yang sudah tidak teridentifikasi lagi? Tanpa melihat apa yang melatar belakangi perbedaan antara keduanya, tentunya tidak akan didapatkan solusi yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dari paparan di atas, penyusun mencoba menelusuri dan membandingkan pandangan dan alasan kedua tokoh tersebut tentang hukum perawatan jena>z\ah yang kondisi tubuhnya tidak wajar ataupun tidak normal dan diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang sudah bercampur baur. Kajian ini menjadi menarik sebab mereka sama-sama berasal dari aliran Sunni.8) Di samping itu, mereka juga mempunyai sudut sistem ijtiha>>>>>>>>>>>>>>>>>d yang berbeda dalam melihat permasalahan hukum.9)
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya ini begitu indah, mempesona dan sempurna. Namun sifat dari keindahan dan kesempurnaan itu hanyalah sementara (temporal), tidak kekal dan abadi. Tak pelak lagi, seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, termasuk manusia, akan mengalami peristiwa paripurna kehidupan yang ditandai dengan datangnya ajal. Sehingga pada saat apapun dan dalam kondisi bagaimana pun manusia tidak bisa menghindar dari peristiwa sakral tersebut, sebab ia tidak mampu menentukan kapan ajal itu datang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt:
قل لوكنتم فى بيوتكم لبرزالذين كتب عليهم القتل الى مضاجعهم وليبتلىالله مافى صدوركم وليمحص مافى قلوبكم(
Sungguh, kematian memang menakutkan. Tetapi, justru penyebab dari kematian itulah yang menjadi persoalan. Terdapat berbagai macam penyebab kasus kematian yang menimpa diri manusia, baik kematian secara normal maupun tidak normal. Di antara penyebab kasus kematian yang tidak normal adalah kecelakaan, kebakaran, peledakan bom dan lain sebagainya dan lebih tragis lagi bila tubuh korban hancur berkeping-keping sehingga tidak mungkin untuk dikenali lagi. Misalnya, kasus Bom Bali yang belum hilang dari ingatan kita yang terjadi begitu dahsyat sehingga ratusan potongan tubuh manusia menjadi hancur lebur dan berbaur berserakan bagai sampah. Akibatnya, identitas jenis kelamin, kewarga-negaraan dan agama masing-masing korban hampir tidak dapat teridentifikasi.
Berangkat dari kasus di atas, di mana mayat-mayat tersebut meninggal dalam keadaan yang tidak wajar dan kondisi tubuh yang tidak normal, dalam artian tubuh korban sudah terpotong-potong, bercampur-lebur dan berserakan bagai sampah sehingga tidak mungkin untuk diidentifikasi lagi, sehingga memunculkan problematika pelik dalam proses pelaksanaan perawatan jena>z\ah tersebut, baik yang berkaitan dengan tata cara pemandian, pengafanan, ataupun pensalatan masing-masing korban, sehingga Isla>m tertantang untuk menghadirkan kontribusi pemikiran guna memberikan solusi terhadap problematika tersebut.
Dalam Isla>m sendiri terdapat silang pendapat antar tokoh maz\hab. Baik Ima>m Abu> H{ani>fah, Ima>m asy-Sya>fi‘i, Ima>m Ma>lik Maupun Ah}mad bin Hanba>l. Namun, di sini penyusun lebih membatasi pembahasan pada pendapat Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i tentang proses pelaksanaan pengurusan jena>z\ah yang “tidak normal”. Lebih spesifik lagi, penyusun ingin membedah kasus pencampuradukan potongan-potongan tubuh mayat yang diduga bahwa di situ terdapat mayat Musli>m dan non-Musli>m dari perspektif kedua tokoh di atas. Dalam hal ini, Ima>m Abu> H{{ani>fah mengatakan bahwa tidak wajib dimandikan dan disalatkan bagi jena>z\ah yang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong atau hilang, kecuali kalau memang kebanyakan anggota tubuhnya atau minimal separuhnya beserta kepalanya diketemukan.2( Hukum ini berlaku pula bagi jena>z\ah yang terpotong-potong dan telah bercampur baur dengan non-Muslim, namun dalam hal memadikannya beliau tetap membolehkan, meskipun tidak seperti memandikan jena>z\ah Muslim.3)
Berbeda dengan Ima>m Abu> Hani>fah, Ima>m asy-Sya>fi‘i mengatakan bahwa jikalau ditemukan mayat manusia terpotong-potong karena peristiwa kebakaran, dimakan binatang atau karena sebab lain, maka wajib hukumnya memandikan mayat tersebut sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh.4) Namun jikalau tidak memungkinkan untuk dimandikan karena adanya kekhawatiran akan lebih memperparah kondisi si mayat misalnya, maka potongan tadi tidak usah dimandikan, akan tetapi cukup ditayammumi. Yang demikian ini bisa dilakukan bila dalam realitasnya potongan tersebut tidak bercampur dengan najis. Lain halnya jika pada tubuh korban masih ditemukan najis dan kondisi mayatnya tidak boleh terkena air, maka ia tidak perlu ditayammumi.5( Kendati demikian, bila ditilik lebih jauh, pendapat Ima>m asy-Sya>fi‘i tersebut mempunyai kesamaan dengan peristiwa bersejarah dari perang Jama>>>>>>l, tepatnya persoalan yang dialami oleh sahabat Abdurrahman, di mana tubuhnya terpotong-potong. Tangannya yang telah terpisah dari jasad dimakan oleh burung Nasar dan dibawa terbang ke Makkah, hingga akhirnya ditemukan oleh sahabat lain yang kemudian pengurusannya diproses sebagaimana layaknya pengurusan mayat biasa, yaitu dikafani, disalati dan dikebumikan.6( Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang bercampur antara Muslim dengan non-Muslim dan tidak bisa dikenali lagi antara keduanya, maka tetaplah wajib dimandikan dan disalatkan. Pendapat ini senada dengan pemikiran Ima>m Ma>lik, Ah}mad bin Hanba>l, Da>wud az}-Z{a>hiri dan Ibn Munzir 7).
Bertolak dari sudut pandang kedua tokoh maz\hab di atas, maka persoalan yang menurut penyusun sangat penting untuk dibahas adalah mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Ima>m Abu> Hani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim yang sudah tidak teridentifikasi lagi? Tanpa melihat apa yang melatar belakangi perbedaan antara keduanya, tentunya tidak akan didapatkan solusi yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dari paparan di atas, penyusun mencoba menelusuri dan membandingkan pandangan dan alasan kedua tokoh tersebut tentang hukum perawatan jena>z\ah yang kondisi tubuhnya tidak wajar ataupun tidak normal dan diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang sudah bercampur baur. Kajian ini menjadi menarik sebab mereka sama-sama berasal dari aliran Sunni.8) Di samping itu, mereka juga mempunyai sudut sistem ijtiha>>>>>>>>>>>>>>>>>d yang berbeda dalam melihat permasalahan hukum.9)
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: