BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Setiap agama –sebagaiamana juga dengan Islam- lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan kemudian menciptakan tradisi. Kebesaran sebuah agama, oleh karenanya, akan diukur antara lain melalui kebesaran tradisi yang ditinggalkan. Sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penganutnya, disamping tentu saja oleh muatan ajaran atau doktrinnya. Karena agama tidak muncul di ruang hampa, maka kemunculannyapun merupakan respon terhadap “realitas”. Sehingga makna dan kebesaran agama tidak bisa dilepaskan dari “realitas” yang melahirkannya dan berkembang dalam sebuah lanskap histroris yang cukup dinamis.Ajaran dan tradisi agama yang paling hakiki sesungguhnya bisa kita lihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasinya adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yakni Tuhan. Dalam Islam diyakini bahwa yang membedakan manusia hanyalah prestasi dan kualitas ketakwaannya, sementara bicara soal takwa, hanya Tuhan semata yang punya hak prerogratif melakukan penilaian.
Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini diejawantah dengan keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa dan bahkan agama. Karena itu, setiap agama selalu memiliki dua aspek ajaran; ketuhanan (vertikal) dan kemanusiaan (horizontal) atau dalam bahasa yang sering kita dengar adalah habl min al-nas dan habl min-allah. Dalam tradisi Islam, aspek vertikal berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan sementara aspek horizontal berisi seperangkat tuntutan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dengan manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitar. Sayangnya, aspek horizontal ini tidak terimplementasikan dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Barangkali disinilah letak pentingnya membahas hubungan sesama manusia dengan manusia baik secara pribadi maupun kolektif dari perspektif fiqh. Sejauh yang kita amati, fiqh cenderung mengedepankan sudut pandang antagonistik bahkan penolakan terhadap “orang lain” dan “komunitas lain”. Salah satunya adalah persoalan pernikahan antar/beda agama. Hampir semua doktrin agama-agama yang ditafsirkan oleh
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Setiap agama –sebagaiamana juga dengan Islam- lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan kemudian menciptakan tradisi. Kebesaran sebuah agama, oleh karenanya, akan diukur antara lain melalui kebesaran tradisi yang ditinggalkan. Sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penganutnya, disamping tentu saja oleh muatan ajaran atau doktrinnya. Karena agama tidak muncul di ruang hampa, maka kemunculannyapun merupakan respon terhadap “realitas”. Sehingga makna dan kebesaran agama tidak bisa dilepaskan dari “realitas” yang melahirkannya dan berkembang dalam sebuah lanskap histroris yang cukup dinamis.Ajaran dan tradisi agama yang paling hakiki sesungguhnya bisa kita lihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasinya adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yakni Tuhan. Dalam Islam diyakini bahwa yang membedakan manusia hanyalah prestasi dan kualitas ketakwaannya, sementara bicara soal takwa, hanya Tuhan semata yang punya hak prerogratif melakukan penilaian.
Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini diejawantah dengan keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa dan bahkan agama. Karena itu, setiap agama selalu memiliki dua aspek ajaran; ketuhanan (vertikal) dan kemanusiaan (horizontal) atau dalam bahasa yang sering kita dengar adalah habl min al-nas dan habl min-allah. Dalam tradisi Islam, aspek vertikal berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan sementara aspek horizontal berisi seperangkat tuntutan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dengan manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitar. Sayangnya, aspek horizontal ini tidak terimplementasikan dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Barangkali disinilah letak pentingnya membahas hubungan sesama manusia dengan manusia baik secara pribadi maupun kolektif dari perspektif fiqh. Sejauh yang kita amati, fiqh cenderung mengedepankan sudut pandang antagonistik bahkan penolakan terhadap “orang lain” dan “komunitas lain”. Salah satunya adalah persoalan pernikahan antar/beda agama. Hampir semua doktrin agama-agama yang ditafsirkan oleh