I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi kaitannya dengan proses interaksi antar budaya dikenal dengan berbagai istilah, di antaranya Communication Between Culture (Samovar, 2006), Intercultural Communication (Samovar dan Porter, 1994), dan secara khusus digunakan istilah Silent Language (Hall, 1990), yaitu proses komunikasi yang terjadi antar budaya dengan bahasa non-verbal.
Komunikasi antarbudaya yang lebih intens dapat ditemui dalam komunikasi interpersonal yang terjadi dalam keluarga, yaitu yang dibentuk oleh ikatan pernikahan, khususnya pernikahan yang terjadi antarbangsa. Sebagaimana diberitakan dalam Kompas (08/10/2004), bahwa pernikahan antarbangsa kini semakin biasa. Mereka yang bersekolah atau mencari kerja ke luar negeri semakin banyak jumlahnya, baik perempuan maupun laki-laki, dan interaksi tersebut meningkatkan peluang meningkatnya jumlah pernikahan antarbangsa. Demikian pula dengan keterbukaan ekonomi suatu negara, menyebabkan masuk pula pencari kerja berkewarganegaraan asing ke Indonesia sehingga meningkatkan juga peluang pernikahan antarbangsa. Data mengenai jumlah pernikahan antarbangsa yang terjadi di Indonesia, sebagaimana menurut data Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), pada tahun 2002 saja tercatat sebanyak 4.420 pasangan. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data riil terakhir masih belum dipublikasikan.
Dalam keluarga terjadi komunikasi antara suami dan istri, maupun antara orang tua dengan anak. Antara suami dan istri, misalnya, dikarenakan datang dari dua budaya yang berbeda, maka proses pemahaman terhadap masing-masing budaya merupakan sesuatu yang sangat penting. Seperti diungkapkan oleh Tubbs dan Moss (2001:297), bahwa komunikasi dalam sebuah keluarga melibatkan komunikasi interpersonal yang terjadi antara seluruh anggota keluarga yang memiliki ciri keakraban (diadic communication), yang dengannya dapat dikomunikasikan mengenai value, belief, dan worldview di antara anggota keluarga tersebut. Dalam konteks ini dikenal istilah low context communication dan high context communcation, yaitu proses komunikasi yang satu bersifat penggunaan bahasa atau isyarat yang secara langsung bermakna apa adanya (direct dan non-ambiguous), dan satunya lagi makna yang sesungguhnya tersembunyi (indirect dan ambiguous) dari apa yang diucapkan dan diisyaratkan (Gudykunst, 1996 dalam Wurtz, 2005:2).
Dari klasifikasi HC dan LC di atas, budaya Indonesia menurut Mulyana, (2004:294) masuk ke jenis high context communication, yaitu jenis budaya bangsa timur, di mana apa yang diucapkan belum tentu sama dengan makna yang sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara barat lebih ke arah low context communication, yaitu mengemukakan pesan yang ingin disampaikan secara tegas dan apa adanya meskipun di hadapan publik. Masalah terjadi jika kedua jenis budaya ini bersatu, yaitu seringkali memunculkan miss-communication, dan akibat terburuknya adalah muncul konflik antara kedua pihak tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang akan diangkat adalah pernikahan antarbangsa yang terjadi antara bangsa Amerika (laki-laki) dan Indonesia (Wanita), di mana seperti telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, kedua bangsa ini memiliki perbedaan pola komunikasi, yaitu yang satu low context communication dan satuya high context communication. Upaya untuk menjalin komunikasi dan seluk beluk dalam memahami kebudayaan di antara mereka merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti.
1.3 Perumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi yang tumbuh pada pasangan pernikahan antarbangsa dalam menilai pernikahan mereka?
2. Bagaimana pola komunikasi yang diterapkan antara orang tua dengan anak oleh pasangan pernikahan antarbangsa?
3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi oleh pasangan pernikahan antarbangsa dalam masalah komunikasi di antara mereka?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui persepsi yang tumbuh pada pasangan pernikahan antarbangsa dalam menilai pernikahan mereka.
2. Mengetahui pola komunikasi yang diterapkan antara orang tua dengan anak oleh pasangan pernikahan antarbangsa.
3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh pasangan pernikahan antarbangsa dalam masalah komunikasi di antara mereka.
1.5 Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan akademis
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, yaitu sebagai sumber referensi dan sumbangan informasi mengenai pola komunikasi di antara pasangan pernikahan antarbangsa.
2. Kegunaan praktis
Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pihak yang berkepentingan dengan masalah pola komunikasi di antara pasangan dan anak dalam keluarga pernikahan antarbangsa, sehingga bagi pasangan pernikahan antarbangsa yang baru menikah, hal ini bisa dijadikan referensi untuk menjalin pola komunikasi di antara mereka.
II. OBJEK PENELITIAN
2.1 Gambaran Pernikahan Antar Bangsa di Indonesia
Di Indonesia, perkawinan WNI (Warga Negara Indonesia) dengan orang yang berasal luar negeri cukup sering terjadi. Masalah perkawinan campuran ini adalah isu yang sangat rumit. Hal yang menarik tentang perkawinan campuran di Indonesia adalah banyaknya contoh di mana yang wanita dari perkawinan adalah WNI (Warga Negara Indonesia), dan yang lelaki adalah WNA. Sulit mencari contoh sebaliknya. Misalnya, di situs web untuk pasangan campuran The International Couples Homepage, sudah tercatat 33 pasangan dengan salah seorang (isteri atau suami) yang berasal dari Indonesia (dapat diakses melalui http://members.fortunecity.com/canzian/Couples.html).
2.2 Contoh Kasus Pernikahan Antarbangsa
Lia, (24 tahun), seorang karyawan swasta di bilangan Sudirman, Jakarta mengalami kebingungan apakah mau meneruskan hubungan dengan Jhon (29 tahun), seorang pria asal Yunani. Selain berbeda hukum perkawinan, Lia juga mengaku tak tahu sama sekali budaya pacarnya itu. Ia mengenal calon suami karena satu kantor. Adat dan kebiasaan keluarga bangsa Yunani termasuk yang agak pelik. (Detik.com pada kolom Detiknews, 28/10/2007).
Susahnya menikah beda bangsa dibenarkan oleh penulis buku 'Love and Shock', Hartati Nur Widjaja. Menurut perempuan yang juga telah menikah dengan pria Yunani itu, susahnya menikah dengan orang Yunani akan ditemui saat akan memperoleh surat keterangan single dari Kedubes Yunani. Harus calon suami yang pro-aktif meminta surat ini, baru bisa ke KUA di Indonesia.
Ries Makmur (56) mengalami hal yang sama. Meskipun demikian, meskipun terdapat masalah tetapi ketika cintra maka semuanya harus dihadapi. Ia mengaku telah mengarungi bahtera perkawinan dengan orang Amerika selama 34 tahun dan berpindah-pindah negara lebih dari 5 negara (Detik.com pada kolom Detiknews, 28/10/2007).
2.3 Masalah yang Muncul dari Pernikahan Antarbangsa
Wanita Asia memiliki anggapan diri yang berbeda dari para wanita Barat, demikian hasil riset yang dilakukan terhadap wanita di 22 dari 12 negara penting Asia. Wanita Asia menganggap diri mereka menggairahkan, liar, kasar, nakal, bersemangat, kuat dan bahkan suka menggoda, mereka juga tidak merasa merana atau tertekan.
Namun, secara umum persepsi Barat mengenai wanita Asia adalah mungil, lembut, lemah gemulai, cantik, penyayang, penurut, dan dapat dipercaya. Ada juga anggapan buruk, bahwa wanita Asia mudah didapatkan, bahkan "dibeli" karena terdesak kebutuhan ekonomi, atau seperti wanita Filipina yang seolah semuanya wanita bar dan hostes, padahal kenyataannya tak sedikit wanita Filipina mempunyai pendidikan tinggi, atau wanita Indonesia yang mampu mengharmonisasikan keadaan sekitarnya. Wanita Hong Kong dan China yang cerdik atau jing ling. Wanita India, meskipun berbaju "sari" bisa mengerjakan apa saja. Wanita Jepang, penurut dan sangat setia, dan wanita Singapura yang positif dan aktif (Kompas, Kolom Kita, 14 Juni 2008).
Sementara, pria warga negara asing (WNA) umumnya dicitrakan kaya, gagah dan tampan. Namun, itu semua adalah pandangan stereotif yang belum tentu benar adanya. Hanya pandangan sekilas yang berupa stigma terhadap kebudayaan Barat yang sedang mengalami kemajuan.
Kasus yang banyak muncul, adalah adanya “benturan karakter” dari pasangan yang berbeda kultur. Karakter pria Inggris misalnya, dan wanita Asia (termasuk Indonesia) sangat berbeda dengan karakter wanita Inggris. Samovar (1995) mengatakan bahwa wanita Barat lebih independen dibanding wanita Asia, sehingga hal ini jika pria Barat menikah dengan wanita Asia, wanita Asia selalu ikut atas kemauan pria Barat. Kasus yang sering muncul adalah berpindahnya wanita Asia ke negeri suaminya, yang tentu saja menimbulkan gegar budaya bagi wanita Asia tersebut.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Komunikasi Antarbudaya/Antarbangsa (KAB)
Beberapa pendapat tentang definisi komunikasi antarbudaya, yaitu:
1.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi kaitannya dengan proses interaksi antar budaya dikenal dengan berbagai istilah, di antaranya Communication Between Culture (Samovar, 2006), Intercultural Communication (Samovar dan Porter, 1994), dan secara khusus digunakan istilah Silent Language (Hall, 1990), yaitu proses komunikasi yang terjadi antar budaya dengan bahasa non-verbal.
Komunikasi antarbudaya yang lebih intens dapat ditemui dalam komunikasi interpersonal yang terjadi dalam keluarga, yaitu yang dibentuk oleh ikatan pernikahan, khususnya pernikahan yang terjadi antarbangsa. Sebagaimana diberitakan dalam Kompas (08/10/2004), bahwa pernikahan antarbangsa kini semakin biasa. Mereka yang bersekolah atau mencari kerja ke luar negeri semakin banyak jumlahnya, baik perempuan maupun laki-laki, dan interaksi tersebut meningkatkan peluang meningkatnya jumlah pernikahan antarbangsa. Demikian pula dengan keterbukaan ekonomi suatu negara, menyebabkan masuk pula pencari kerja berkewarganegaraan asing ke Indonesia sehingga meningkatkan juga peluang pernikahan antarbangsa. Data mengenai jumlah pernikahan antarbangsa yang terjadi di Indonesia, sebagaimana menurut data Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), pada tahun 2002 saja tercatat sebanyak 4.420 pasangan. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data riil terakhir masih belum dipublikasikan.
Dalam keluarga terjadi komunikasi antara suami dan istri, maupun antara orang tua dengan anak. Antara suami dan istri, misalnya, dikarenakan datang dari dua budaya yang berbeda, maka proses pemahaman terhadap masing-masing budaya merupakan sesuatu yang sangat penting. Seperti diungkapkan oleh Tubbs dan Moss (2001:297), bahwa komunikasi dalam sebuah keluarga melibatkan komunikasi interpersonal yang terjadi antara seluruh anggota keluarga yang memiliki ciri keakraban (diadic communication), yang dengannya dapat dikomunikasikan mengenai value, belief, dan worldview di antara anggota keluarga tersebut. Dalam konteks ini dikenal istilah low context communication dan high context communcation, yaitu proses komunikasi yang satu bersifat penggunaan bahasa atau isyarat yang secara langsung bermakna apa adanya (direct dan non-ambiguous), dan satunya lagi makna yang sesungguhnya tersembunyi (indirect dan ambiguous) dari apa yang diucapkan dan diisyaratkan (Gudykunst, 1996 dalam Wurtz, 2005:2).
Dari klasifikasi HC dan LC di atas, budaya Indonesia menurut Mulyana, (2004:294) masuk ke jenis high context communication, yaitu jenis budaya bangsa timur, di mana apa yang diucapkan belum tentu sama dengan makna yang sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara barat lebih ke arah low context communication, yaitu mengemukakan pesan yang ingin disampaikan secara tegas dan apa adanya meskipun di hadapan publik. Masalah terjadi jika kedua jenis budaya ini bersatu, yaitu seringkali memunculkan miss-communication, dan akibat terburuknya adalah muncul konflik antara kedua pihak tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang akan diangkat adalah pernikahan antarbangsa yang terjadi antara bangsa Amerika (laki-laki) dan Indonesia (Wanita), di mana seperti telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, kedua bangsa ini memiliki perbedaan pola komunikasi, yaitu yang satu low context communication dan satuya high context communication. Upaya untuk menjalin komunikasi dan seluk beluk dalam memahami kebudayaan di antara mereka merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti.
1.3 Perumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi yang tumbuh pada pasangan pernikahan antarbangsa dalam menilai pernikahan mereka?
2. Bagaimana pola komunikasi yang diterapkan antara orang tua dengan anak oleh pasangan pernikahan antarbangsa?
3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi oleh pasangan pernikahan antarbangsa dalam masalah komunikasi di antara mereka?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui persepsi yang tumbuh pada pasangan pernikahan antarbangsa dalam menilai pernikahan mereka.
2. Mengetahui pola komunikasi yang diterapkan antara orang tua dengan anak oleh pasangan pernikahan antarbangsa.
3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh pasangan pernikahan antarbangsa dalam masalah komunikasi di antara mereka.
1.5 Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan akademis
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, yaitu sebagai sumber referensi dan sumbangan informasi mengenai pola komunikasi di antara pasangan pernikahan antarbangsa.
2. Kegunaan praktis
Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pihak yang berkepentingan dengan masalah pola komunikasi di antara pasangan dan anak dalam keluarga pernikahan antarbangsa, sehingga bagi pasangan pernikahan antarbangsa yang baru menikah, hal ini bisa dijadikan referensi untuk menjalin pola komunikasi di antara mereka.
II. OBJEK PENELITIAN
2.1 Gambaran Pernikahan Antar Bangsa di Indonesia
Di Indonesia, perkawinan WNI (Warga Negara Indonesia) dengan orang yang berasal luar negeri cukup sering terjadi. Masalah perkawinan campuran ini adalah isu yang sangat rumit. Hal yang menarik tentang perkawinan campuran di Indonesia adalah banyaknya contoh di mana yang wanita dari perkawinan adalah WNI (Warga Negara Indonesia), dan yang lelaki adalah WNA. Sulit mencari contoh sebaliknya. Misalnya, di situs web untuk pasangan campuran The International Couples Homepage, sudah tercatat 33 pasangan dengan salah seorang (isteri atau suami) yang berasal dari Indonesia (dapat diakses melalui http://members.fortunecity.com/canzian/Couples.html).
2.2 Contoh Kasus Pernikahan Antarbangsa
Lia, (24 tahun), seorang karyawan swasta di bilangan Sudirman, Jakarta mengalami kebingungan apakah mau meneruskan hubungan dengan Jhon (29 tahun), seorang pria asal Yunani. Selain berbeda hukum perkawinan, Lia juga mengaku tak tahu sama sekali budaya pacarnya itu. Ia mengenal calon suami karena satu kantor. Adat dan kebiasaan keluarga bangsa Yunani termasuk yang agak pelik. (Detik.com pada kolom Detiknews, 28/10/2007).
Susahnya menikah beda bangsa dibenarkan oleh penulis buku 'Love and Shock', Hartati Nur Widjaja. Menurut perempuan yang juga telah menikah dengan pria Yunani itu, susahnya menikah dengan orang Yunani akan ditemui saat akan memperoleh surat keterangan single dari Kedubes Yunani. Harus calon suami yang pro-aktif meminta surat ini, baru bisa ke KUA di Indonesia.
Ries Makmur (56) mengalami hal yang sama. Meskipun demikian, meskipun terdapat masalah tetapi ketika cintra maka semuanya harus dihadapi. Ia mengaku telah mengarungi bahtera perkawinan dengan orang Amerika selama 34 tahun dan berpindah-pindah negara lebih dari 5 negara (Detik.com pada kolom Detiknews, 28/10/2007).
2.3 Masalah yang Muncul dari Pernikahan Antarbangsa
Wanita Asia memiliki anggapan diri yang berbeda dari para wanita Barat, demikian hasil riset yang dilakukan terhadap wanita di 22 dari 12 negara penting Asia. Wanita Asia menganggap diri mereka menggairahkan, liar, kasar, nakal, bersemangat, kuat dan bahkan suka menggoda, mereka juga tidak merasa merana atau tertekan.
Namun, secara umum persepsi Barat mengenai wanita Asia adalah mungil, lembut, lemah gemulai, cantik, penyayang, penurut, dan dapat dipercaya. Ada juga anggapan buruk, bahwa wanita Asia mudah didapatkan, bahkan "dibeli" karena terdesak kebutuhan ekonomi, atau seperti wanita Filipina yang seolah semuanya wanita bar dan hostes, padahal kenyataannya tak sedikit wanita Filipina mempunyai pendidikan tinggi, atau wanita Indonesia yang mampu mengharmonisasikan keadaan sekitarnya. Wanita Hong Kong dan China yang cerdik atau jing ling. Wanita India, meskipun berbaju "sari" bisa mengerjakan apa saja. Wanita Jepang, penurut dan sangat setia, dan wanita Singapura yang positif dan aktif (Kompas, Kolom Kita, 14 Juni 2008).
Sementara, pria warga negara asing (WNA) umumnya dicitrakan kaya, gagah dan tampan. Namun, itu semua adalah pandangan stereotif yang belum tentu benar adanya. Hanya pandangan sekilas yang berupa stigma terhadap kebudayaan Barat yang sedang mengalami kemajuan.
Kasus yang banyak muncul, adalah adanya “benturan karakter” dari pasangan yang berbeda kultur. Karakter pria Inggris misalnya, dan wanita Asia (termasuk Indonesia) sangat berbeda dengan karakter wanita Inggris. Samovar (1995) mengatakan bahwa wanita Barat lebih independen dibanding wanita Asia, sehingga hal ini jika pria Barat menikah dengan wanita Asia, wanita Asia selalu ikut atas kemauan pria Barat. Kasus yang sering muncul adalah berpindahnya wanita Asia ke negeri suaminya, yang tentu saja menimbulkan gegar budaya bagi wanita Asia tersebut.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Komunikasi Antarbudaya/Antarbangsa (KAB)
Beberapa pendapat tentang definisi komunikasi antarbudaya, yaitu: