ABSTRAK
Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa dalam Islam melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika akan melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan.
Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa kepada tercapainya tujuan perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau kebebasan anak gadis dalam menentukan calon suaminya.
Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis tersebut, ternyata di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat. Hal ini diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama menyatakan bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada persetujuan pun, perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat persetujuan adalah sesuatu yang menentukan (wajib). Artinya apabila persetujuan tidak ada, maka perkawinan batal alias tidak sah. Pada golongan pertama termasuk imam Sya>fi‘i<>s}id asy-Syari<‘ah atau yang lebih dikenal sebagai memelihara lima unsur pokok dalam syari'at agama (h}ifz ad-Dil). Dengan harapan apa yang menjadi tujuan syari‘ah berupa maslahah bisa dimunculkan.
Berdasarkan metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar dari perbedaan pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha’ adalah karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mant}u>q nas} (makna eksplisit) yang dikuatkan dengan ‘illat as}-s}uqr dalam is|tinba>t hukumnya. Sementara mayoritas fuqaha’ menggunakan mafhu>m mukha>lafah (makna implisit) dalam is|tinba>t hukumnya yang dikuatkan dengan memakai ‘illat al-bikr.
Penelitian yang dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa dalam Islam melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika akan melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan.
Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa kepada tercapainya tujuan perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau kebebasan anak gadis dalam menentukan calon suaminya.
Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis tersebut, ternyata di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat. Hal ini diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama menyatakan bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada persetujuan pun, perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat persetujuan adalah sesuatu yang menentukan (wajib). Artinya apabila persetujuan tidak ada, maka perkawinan batal alias tidak sah. Pada golongan pertama termasuk imam Sya>fi‘i<>s}id asy-Syari<‘ah atau yang lebih dikenal sebagai memelihara lima unsur pokok dalam syari'at agama (h}ifz ad-Di
Berdasarkan metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar dari perbedaan pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha’ adalah karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mant}u>q nas} (makna eksplisit) yang dikuatkan dengan ‘illat as}-s}uqr dalam is|tinba>t hukumnya. Sementara mayoritas fuqaha’ menggunakan mafhu>m mukha>lafah (makna implisit) dalam is|tinba>t hukumnya yang dikuatkan dengan memakai ‘illat al-bikr.
Penelitian yang dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.