ABSTRAK
Dalam dunia Islam, terdapat perbedaan pendapat yang sangat mencolok di antara dua mazhab besar, yaitu Sunni dan Syi'ah. Perbedaan tersebut pada awalnya bersifat dan bertendensi politis. Namun watak politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama, sehingga dalam orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar keimanan dan akidah tetapi juga berkembang dalam masalah fikih dan masalah furu`.
Penelitian ini mengangkat permasalahan imam yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi`ah. Penelitian ini berusaha menelaah penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan imam dalam al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir seperti, dari kalangan Sunni yaitu tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, sedangkan dari kalangan Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba'i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.
Upaya pengumpulan dan penyusunan data yang kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi dan analisa serta interpretasi tentang arti data yang didapat untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan utuh dari kedua mufassir, menjadikan metode deskriptif-analitis lebih layak diterapkan dalam penelitian ini, sehingga dapat mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal keduanya.
Penafsiran-penafsiran al-Tabari yang menonjolkan penggunaan riwayat menjadi salah satu pertimbangan penting yang dinilai secara partikular menjadi contoh penting tafsir bi al-ma'sur. Hal ini berbeda dengan al-Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y terlebih lagi keberadaan dia yang berlatar belakang teologis Syi'ah Imamiyah, sangat memepengaruhi penafsiran-penafsiran makna "imam" di dalam al-Qur'an yang selaras dengan pandangan-pandangan Syi'ah. Karena bahasan ini terkait sekali dengan rukun iman yang ketiga dalam mazhab Syi'ah.
al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki kesamaan metode penafsiran yaitu menggunakan metode tahlili. Perbedaan keduanya antara lain: al-Tabari dalam orientasi penaafsirannya menggabungkan antara orientasi al-tafsir bi al-ma'sur dan al-tafsir bi al-ra'y, meskipun lebih dominan bi al-ma'sur. Sedangkan penggunaan ra'y hanya sebatas pada penjelasan analisa bahasa dalam penafsirannya. Lain halnya dengan al-Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y dengan corak al-tafsir al-falsafi. Latar belakang teologisnya yang Syi`ah sangat mempengaruhi penafsiran-penafsiran al-Tabataba'i terhadap makna "imam" di dalam al-Qur'an. Seperti halnya al-Tabari, al-Tabataba'i terkadang mengemukakan analisa bahasa dalam menafsirkan ayat. Dalam penggunaan riwayat al-Tabataba'i hanya menerima riwayat-riwayat yang benar-benar mutawatir dari Nabi dan imam-imam Ahl al-Bayt yang ma`sum. Dari aspek substansi penafsiran, al-Tabari dan al-Tabataba'i meiliki persamaan ketika menafsirkan "imam" dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur'an pada tujuh ayat. Sedangkan perbedaan penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang makna "imam" ada pada lima ayat.
Dalam dunia Islam, terdapat perbedaan pendapat yang sangat mencolok di antara dua mazhab besar, yaitu Sunni dan Syi'ah. Perbedaan tersebut pada awalnya bersifat dan bertendensi politis. Namun watak politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama, sehingga dalam orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar keimanan dan akidah tetapi juga berkembang dalam masalah fikih dan masalah furu`.
Penelitian ini mengangkat permasalahan imam yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi`ah. Penelitian ini berusaha menelaah penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan imam dalam al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir seperti, dari kalangan Sunni yaitu tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, sedangkan dari kalangan Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba'i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.
Upaya pengumpulan dan penyusunan data yang kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi dan analisa serta interpretasi tentang arti data yang didapat untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan utuh dari kedua mufassir, menjadikan metode deskriptif-analitis lebih layak diterapkan dalam penelitian ini, sehingga dapat mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal keduanya.
Penafsiran-penafsiran al-Tabari yang menonjolkan penggunaan riwayat menjadi salah satu pertimbangan penting yang dinilai secara partikular menjadi contoh penting tafsir bi al-ma'sur. Hal ini berbeda dengan al-Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y terlebih lagi keberadaan dia yang berlatar belakang teologis Syi'ah Imamiyah, sangat memepengaruhi penafsiran-penafsiran makna "imam" di dalam al-Qur'an yang selaras dengan pandangan-pandangan Syi'ah. Karena bahasan ini terkait sekali dengan rukun iman yang ketiga dalam mazhab Syi'ah.
al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki kesamaan metode penafsiran yaitu menggunakan metode tahlili. Perbedaan keduanya antara lain: al-Tabari dalam orientasi penaafsirannya menggabungkan antara orientasi al-tafsir bi al-ma'sur dan al-tafsir bi al-ra'y, meskipun lebih dominan bi al-ma'sur. Sedangkan penggunaan ra'y hanya sebatas pada penjelasan analisa bahasa dalam penafsirannya. Lain halnya dengan al-Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y dengan corak al-tafsir al-falsafi. Latar belakang teologisnya yang Syi`ah sangat mempengaruhi penafsiran-penafsiran al-Tabataba'i terhadap makna "imam" di dalam al-Qur'an. Seperti halnya al-Tabari, al-Tabataba'i terkadang mengemukakan analisa bahasa dalam menafsirkan ayat. Dalam penggunaan riwayat al-Tabataba'i hanya menerima riwayat-riwayat yang benar-benar mutawatir dari Nabi dan imam-imam Ahl al-Bayt yang ma`sum. Dari aspek substansi penafsiran, al-Tabari dan al-Tabataba'i meiliki persamaan ketika menafsirkan "imam" dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur'an pada tujuh ayat. Sedangkan perbedaan penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang makna "imam" ada pada lima ayat.