BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor
yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia, disamping juga merupakan
karunia Tuhan yang perlu disyukuri. Oleh karena itu kesehatan perlu dipelihara dan
ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikannya. Menurut
Hendrik L Blum dalam buku The Planning for Health (1974) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia digolongkan kedalam empat faktor
pokok yaitu : faktor keturunan, faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan
kesehatan (Anonim,1984).
Penyakit diare atau juga sering disebut gastroenteritis masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit diare adalah sekitar 200-
400 kejadian di antara 1000 penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian di
Indonesia dapat ditemukan penderita diare sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya,
dengan sebagian besar (70%-80%) dari penderita ini adalah anak di bawah umur
lima tahun (
40 juta kejadian). Sebagian dari penderita (1%-2%) akan mengalami
dehidrasi apabila tidak ditolong dengan segera, sedangkan (50%-60%) di antaranya
bisa mengakibatkan kematian. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah 350.000-
500.000 anak di bawah umur 5 tahun meninggal setiap tahunnya (Noerasid dkk,
1988). Menurut data profil kesehatan Dati II se-Jawa Tengah tahun 1998 diare
menempati urutan pertama pada sepuluh besar penyakit pasien rawat inap di rumah
sakit pada golongan umur 0-4 tahun dan umur >= 60 tahun, dan diare merupakan
penyakit penyebab kematian penderita rawat inap di rumah sakit tahun 1997-1998
tertinggi dengan jumlah 1431 orang (Anonim, 2000c).
Masih tingginya angka kejadian menuntut adanya berbagai upaya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan. Salah satu bentuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan adalah kegiatan berupa pelayanan rawat inap di rumah sakit. Menurut
laporan bulanan unit catatan medik Rumah Sakit Islam Klaten (RSIK) dalam daftar
10 besar penyakit terbanyak penderita rawat inap tahun 2001, diare menempati urutan
kedua dengan 526 kasus setelah Infark miokard akut (penyakit jantung) dengan 541
kasus, tahun 2002 urutan pertama dengan 567 kasus, tahun 2003 urutan kedua dengan
445 kasus setelah kasus commutio cerebri (gegar otak) dengan 565 kasus, dan hingga
bulan September 2004 telah tercatat pada urutan pertama dengan 339 kasus.
Salah satu unsur penting di dalam upaya pelayanan kesehatan adalah
tersedianya obat-obatan. Hal tersebut juga disebutkan dalam salah satu kebijakan obat
nasional, yaitu tercukupinya persediaan obat dan alat kesehatan yang bermutu baik
dengan penyebaran yang merata dan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas
serta meningkatkan efisiensi , kerasionalan dan ketepatan penggunaan (Prabowo,
1986). Kerasionalan penggunaan obat erat berkaitan dengan penulisan resep,
ketersediaan obat, peracikan obat, aturan pakai yang benar (meliputi dosis, interval,
waktu dan lama penggunaan), khasiat serta keamanan dan mutu obat (Ashadi, 1997).
Kerasionalan penggunaan obat membutuhkan peningkatan seluruh proses terapi.
Proses terapi tersebut mencakup diagnosis, pemilihan kelas terapi dan jenis obat,
penentuan dosis dan cara pemberian, pemberian obat pada pasien, serta adanya
evaluasi hasil terapi (Suryawati, 1997).
Pengobatan diare akut adalah dengan minum cairan yang cukup. Pada
penderita yang muntahpun, harus minum sedikit demi sedikit untuk mengatasi
dehidrasi, yang selanjutnya bisa membantu menghentikan muntahnya jika muntah
berlangsung terus dan terjadi dehidrasi berat, mungkin diperlukan infus cairan dan
elektrolit. Karena antibiotik dapat menyebabkan diare dan merangsang pertumbuhan
organisme yang resisten terhadap antibiotik, maka antibiotik jarang digunakan
meskipun diketahui penyebabnya adalah bakteri. Antibiotik bisa digunakan yaitu
pada infeksi bakteri tertentu, yaitu campylobacter, shigella dan vibrio cholerae
(Grant, 1984).
Fenomena yang masih sering terlihat adalah banyaknya kasus diare akut yang
ditangani dengan pemberian antibiotik dan kurang yakin dengan rehidrasi yang justru
sangat penting. Penyebab kematian utama dari penderita diare akut adalah jatuhnya
penderita ke dalam status dehidrasi oleh karena hilangnya cairan tubuh secara
berlebihan melalui buang air besar yang sering, dan muntah (vomitus) (Grant, 1984).
Dari penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap RS Panti Rapih yogyakarta
menyebutkan bahwa obat yang diberikan pada kasus diare atau gastroenteritis akut
pada anak bervariasi antara 2-10 jenis obat, dengan sebagian besar meresepkan
antimikroba. Hal ini menimbulkan dampak negatif yang mungkin timbul, diantaranya
bahaya resistensi kuman terhadap antibiotika, efek samping obat, serta peningkatan
biaya pengobatan (Angelina, 1999). Hal tersebut di atas memerlukan adanya berbagai
upaya penelitian khususnya mengenai pola peresepan penyakit diare akut dalam
usaha untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul.
B. Perumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang, permasalahan penelitian dirumuskan sebagai
berikut ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor
yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia, disamping juga merupakan
karunia Tuhan yang perlu disyukuri. Oleh karena itu kesehatan perlu dipelihara dan
ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikannya. Menurut
Hendrik L Blum dalam buku The Planning for Health (1974) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia digolongkan kedalam empat faktor
pokok yaitu : faktor keturunan, faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan
kesehatan (Anonim,1984).
Penyakit diare atau juga sering disebut gastroenteritis masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit diare adalah sekitar 200-
400 kejadian di antara 1000 penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian di
Indonesia dapat ditemukan penderita diare sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya,
dengan sebagian besar (70%-80%) dari penderita ini adalah anak di bawah umur
lima tahun (
40 juta kejadian). Sebagian dari penderita (1%-2%) akan mengalami
dehidrasi apabila tidak ditolong dengan segera, sedangkan (50%-60%) di antaranya
bisa mengakibatkan kematian. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah 350.000-
500.000 anak di bawah umur 5 tahun meninggal setiap tahunnya (Noerasid dkk,
1988). Menurut data profil kesehatan Dati II se-Jawa Tengah tahun 1998 diare
menempati urutan pertama pada sepuluh besar penyakit pasien rawat inap di rumah
sakit pada golongan umur 0-4 tahun dan umur >= 60 tahun, dan diare merupakan
penyakit penyebab kematian penderita rawat inap di rumah sakit tahun 1997-1998
tertinggi dengan jumlah 1431 orang (Anonim, 2000c).
Masih tingginya angka kejadian menuntut adanya berbagai upaya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan. Salah satu bentuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan adalah kegiatan berupa pelayanan rawat inap di rumah sakit. Menurut
laporan bulanan unit catatan medik Rumah Sakit Islam Klaten (RSIK) dalam daftar
10 besar penyakit terbanyak penderita rawat inap tahun 2001, diare menempati urutan
kedua dengan 526 kasus setelah Infark miokard akut (penyakit jantung) dengan 541
kasus, tahun 2002 urutan pertama dengan 567 kasus, tahun 2003 urutan kedua dengan
445 kasus setelah kasus commutio cerebri (gegar otak) dengan 565 kasus, dan hingga
bulan September 2004 telah tercatat pada urutan pertama dengan 339 kasus.
Salah satu unsur penting di dalam upaya pelayanan kesehatan adalah
tersedianya obat-obatan. Hal tersebut juga disebutkan dalam salah satu kebijakan obat
nasional, yaitu tercukupinya persediaan obat dan alat kesehatan yang bermutu baik
dengan penyebaran yang merata dan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas
serta meningkatkan efisiensi , kerasionalan dan ketepatan penggunaan (Prabowo,
1986). Kerasionalan penggunaan obat erat berkaitan dengan penulisan resep,
ketersediaan obat, peracikan obat, aturan pakai yang benar (meliputi dosis, interval,
waktu dan lama penggunaan), khasiat serta keamanan dan mutu obat (Ashadi, 1997).
Kerasionalan penggunaan obat membutuhkan peningkatan seluruh proses terapi.
Proses terapi tersebut mencakup diagnosis, pemilihan kelas terapi dan jenis obat,
penentuan dosis dan cara pemberian, pemberian obat pada pasien, serta adanya
evaluasi hasil terapi (Suryawati, 1997).
Pengobatan diare akut adalah dengan minum cairan yang cukup. Pada
penderita yang muntahpun, harus minum sedikit demi sedikit untuk mengatasi
dehidrasi, yang selanjutnya bisa membantu menghentikan muntahnya jika muntah
berlangsung terus dan terjadi dehidrasi berat, mungkin diperlukan infus cairan dan
elektrolit. Karena antibiotik dapat menyebabkan diare dan merangsang pertumbuhan
organisme yang resisten terhadap antibiotik, maka antibiotik jarang digunakan
meskipun diketahui penyebabnya adalah bakteri. Antibiotik bisa digunakan yaitu
pada infeksi bakteri tertentu, yaitu campylobacter, shigella dan vibrio cholerae
(Grant, 1984).
Fenomena yang masih sering terlihat adalah banyaknya kasus diare akut yang
ditangani dengan pemberian antibiotik dan kurang yakin dengan rehidrasi yang justru
sangat penting. Penyebab kematian utama dari penderita diare akut adalah jatuhnya
penderita ke dalam status dehidrasi oleh karena hilangnya cairan tubuh secara
berlebihan melalui buang air besar yang sering, dan muntah (vomitus) (Grant, 1984).
Dari penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap RS Panti Rapih yogyakarta
menyebutkan bahwa obat yang diberikan pada kasus diare atau gastroenteritis akut
pada anak bervariasi antara 2-10 jenis obat, dengan sebagian besar meresepkan
antimikroba. Hal ini menimbulkan dampak negatif yang mungkin timbul, diantaranya
bahaya resistensi kuman terhadap antibiotika, efek samping obat, serta peningkatan
biaya pengobatan (Angelina, 1999). Hal tersebut di atas memerlukan adanya berbagai
upaya penelitian khususnya mengenai pola peresepan penyakit diare akut dalam
usaha untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul.
B. Perumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang, permasalahan penelitian dirumuskan sebagai
berikut ini.