BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang dianggap sakral. Dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikatkan hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses regenerasi manusia di muka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah . Dan tujuan lain dari perkawinan yang merupakan hak dan kewajiban bersama suami-istri ialah terpenuhinya kebutuhan biologis atau seks.
Untuk mencapai kehidupan seksual yang bersih, suci, halal, dan masuk dalam kategori ibadah, Islām mengkonsepsikan agar seorang muslim yang telah mampu lahir dan bathin untuk segera mengadakan perkawinan. Di sini perkawinan dipandang sebagai suatu ikatan yang dapat menetralisir dorongan seksual manusia, sehingga menjadi suatu rahmat yang tidak terhingga nilainya. Islām juga memandang perkawinan sebagai lembaga yang dapat mengantisipasi terjadinya perilaku seksual menyimpang .
Karena begitu sakralnya perkawinan, maka pemerintah merasa perlu untuk mengatur permasalahan ini dalam sebuah undang-undang. Untuk itu kemudian muncul Undang-undang Perkawinan yang kehadirannya sebagai implementasi dari harapan tersebut. Selain itu, permasalahan seputar perkawinan juga di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Burgerlijk Wetboek (BW).
Dari ketiga sumber hukum positif di atas, yaitu Undang-undang Perkawinan pasal 6-12 , BW. pasal 27-49 dan KHI. pasal 14 , pada hakikatnya tidak ada satupun yang menyebutkan dan mensyaratkan bahwa suatu perkawinan itu harus dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Adapun salah satu syaratnya adalah adanya calon suami dan calon istri atau kedua calon mempelai. Tetapi, ketika dikatakan calon suami, maka secara otomatis akan muncul anggapan bahwa dia adalah laki-laki. Begitu juga sebaliknya, bila dikatakan calon istri, maka anggapan bahwa dia perempuanpun akan muncul.
Dalam hal ini, lalu bagaimana kedudukan waria yang notabene seorang laki-laki tetapi secara psikologis dia seorang perempuan, atau sebaliknya seorang waria yang notabene seorang wanita tetapi secara psikologis dia laki-laki. Padahal, kenyataan di lapangan mengungkapkan adanya “perkawinan” yang terjadi di antara mereka. Sementara di sisi lain, Isla>m memang melarang perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Tetapi waria, walaupun secara fisik wanita atau laki-laki namun kondisi psikologisnya bertentangan dengan kondisi fisiknya. Dan hal itu tidak bisa mereka nafikan begitu saja, karena ada gen yang mereka bawa sejak lahir. Disamping itu, kenyataan ini juga menyangkut pada aktifitas seksual waria yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran seperti halnya pada manusia umumnya. Oleh karena itu, para pembuat hukum harus mencari solusi hukum yang akan diterapkan pada mereka, agar mereka juga dapat beraktifitas dan mempunyai hak sekaligus kewajiban sebagaimana manusia pada umumnya. Dengan adanya hukum yang mengatur mereka, maka diharapkan masyarakat juga dapat menerima keberadaan mereka, sehingga mereka dapat bangkit dari “mimpi-mimpi buruknya” selama ini dan tidak terjebak lagi dalam kehidupan malam.
Berkaitan dengan permasalahan waria, sebagai agama universal, Isla>m mengelompokkan golongan ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah khuns\a yang dalam istilah kontemporer dikenal sebagai hermaprodite, yaitu seseorang yang alat kelaminnya bisa dibedakan antara laki-laki atau perempuan. Sedangkan kelompok kedua adalah khuns\a musykil yang mempunyai dua alat kelamin yang tidak dapat dibedakan laki-laki atau perempuan .
Terlepas dari hermaprodite (khuns\a), bagaimanakah kedudukan waria di dalam Islām. Apakah mereka juga dapat diakui sebagaimana khuns\a. Sebab, seperti yang telah dipaparkan di muka, bahwa menjadi waria bukanlah suatu keinginan. Sebagaimana perkataan Merlyn Sopjan, si Ratu Waria Indonesia, bahwa hidup menjadi waria bukanlah sebuah pilihan melainkan lakonan. Menurutnya, manusia ibarat wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan wayang itu telah dikonsep dan disutradarai oleh Tuhan sedemikian rupa dan manusia sebagai makhluknya hanya tinggal menjalaninya. Demikian juga keberadaan waria merupakan takdir sekaligus anugerah Tuhan yang mestinya harus disyukuri .
Dalam menentukan hukum yang dipakai terhadap waria, menurut Aly Manshur dan Iskandar, mengutip pendapat Juharto, adalah dengan cara melihat kecondongannya. Kalau condong ke laki-laki, maka baginya berlaku hukum sebagaimana laki-laki, tetapi kalau condong ke perempuan maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum sebagaimana perempuan. Akan tetapi, kalau tidak diketahui kecondongannya, maka diberlakukan hukum yang menguntungkan .
Berbicara mengenai waria, tidak bisa dilepaskan dengan orientasi seks yang dilakukan. Bila dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara psikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu laki-laki, meskipun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang dilakukan oleh artis kenamaan Dorce Gamalama.
Operasi kelamin tidak sesederhana orang berkata atau bayangkan. Sebab, bila seseorang memutuskan untuk melakukan operasi kelamin, maka ia harus benar-benar siap dengan kondisi barunya, sehingga ia nantinya tidak kecewa bila hasilnya tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan dan harapkan. Selain itu, ia harus mengikuti beberapa terapi terlebih dahulu setelah dinyatakan oleh dokter bahwa ia memang mengalami kelainan dan operasi adalah satu-satunya jalan yang terbaik bagi dirinya. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bila dilihat dari kondisi ekonomi para waria di Yogyakarta yang rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah bahkan diantara mereka tidak tamat SD.
Berangkat dari kenyataan di atas maka penyusun merasa tertarik dan terpanggil untuk mencoba memaparkan adanya “perkawinan” waria di tengah-tengah masyarakat kota Yogyakarta yang kemudian dibedah menggunakan kaca mata Isla>m untuk ditarik suatu kesimpulan mengenai status hukum dari perkawinan tersebut. Kaum waria atau transeksual seharusnya dilihat sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat yang keberadaanya tidak melulu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja. Mereka punya hak yang sama dalam kehidupan ini seperti manusia umumnya untuk menentukan nasibnya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari paparan yang penyusun kemukakan diatas, maka pokok masalah yang akan penyusun jawab dalam penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang dianggap sakral. Dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikatkan hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses regenerasi manusia di muka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah . Dan tujuan lain dari perkawinan yang merupakan hak dan kewajiban bersama suami-istri ialah terpenuhinya kebutuhan biologis atau seks.
Untuk mencapai kehidupan seksual yang bersih, suci, halal, dan masuk dalam kategori ibadah, Islām mengkonsepsikan agar seorang muslim yang telah mampu lahir dan bathin untuk segera mengadakan perkawinan. Di sini perkawinan dipandang sebagai suatu ikatan yang dapat menetralisir dorongan seksual manusia, sehingga menjadi suatu rahmat yang tidak terhingga nilainya. Islām juga memandang perkawinan sebagai lembaga yang dapat mengantisipasi terjadinya perilaku seksual menyimpang .
Karena begitu sakralnya perkawinan, maka pemerintah merasa perlu untuk mengatur permasalahan ini dalam sebuah undang-undang. Untuk itu kemudian muncul Undang-undang Perkawinan yang kehadirannya sebagai implementasi dari harapan tersebut. Selain itu, permasalahan seputar perkawinan juga di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Burgerlijk Wetboek (BW).
Dari ketiga sumber hukum positif di atas, yaitu Undang-undang Perkawinan pasal 6-12 , BW. pasal 27-49 dan KHI. pasal 14 , pada hakikatnya tidak ada satupun yang menyebutkan dan mensyaratkan bahwa suatu perkawinan itu harus dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Adapun salah satu syaratnya adalah adanya calon suami dan calon istri atau kedua calon mempelai. Tetapi, ketika dikatakan calon suami, maka secara otomatis akan muncul anggapan bahwa dia adalah laki-laki. Begitu juga sebaliknya, bila dikatakan calon istri, maka anggapan bahwa dia perempuanpun akan muncul.
Dalam hal ini, lalu bagaimana kedudukan waria yang notabene seorang laki-laki tetapi secara psikologis dia seorang perempuan, atau sebaliknya seorang waria yang notabene seorang wanita tetapi secara psikologis dia laki-laki. Padahal, kenyataan di lapangan mengungkapkan adanya “perkawinan” yang terjadi di antara mereka. Sementara di sisi lain, Isla>m memang melarang perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Tetapi waria, walaupun secara fisik wanita atau laki-laki namun kondisi psikologisnya bertentangan dengan kondisi fisiknya. Dan hal itu tidak bisa mereka nafikan begitu saja, karena ada gen yang mereka bawa sejak lahir. Disamping itu, kenyataan ini juga menyangkut pada aktifitas seksual waria yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran seperti halnya pada manusia umumnya. Oleh karena itu, para pembuat hukum harus mencari solusi hukum yang akan diterapkan pada mereka, agar mereka juga dapat beraktifitas dan mempunyai hak sekaligus kewajiban sebagaimana manusia pada umumnya. Dengan adanya hukum yang mengatur mereka, maka diharapkan masyarakat juga dapat menerima keberadaan mereka, sehingga mereka dapat bangkit dari “mimpi-mimpi buruknya” selama ini dan tidak terjebak lagi dalam kehidupan malam.
Berkaitan dengan permasalahan waria, sebagai agama universal, Isla>m mengelompokkan golongan ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah khuns\a yang dalam istilah kontemporer dikenal sebagai hermaprodite, yaitu seseorang yang alat kelaminnya bisa dibedakan antara laki-laki atau perempuan. Sedangkan kelompok kedua adalah khuns\a musykil yang mempunyai dua alat kelamin yang tidak dapat dibedakan laki-laki atau perempuan .
Terlepas dari hermaprodite (khuns\a), bagaimanakah kedudukan waria di dalam Islām. Apakah mereka juga dapat diakui sebagaimana khuns\a. Sebab, seperti yang telah dipaparkan di muka, bahwa menjadi waria bukanlah suatu keinginan. Sebagaimana perkataan Merlyn Sopjan, si Ratu Waria Indonesia, bahwa hidup menjadi waria bukanlah sebuah pilihan melainkan lakonan. Menurutnya, manusia ibarat wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan wayang itu telah dikonsep dan disutradarai oleh Tuhan sedemikian rupa dan manusia sebagai makhluknya hanya tinggal menjalaninya. Demikian juga keberadaan waria merupakan takdir sekaligus anugerah Tuhan yang mestinya harus disyukuri .
Dalam menentukan hukum yang dipakai terhadap waria, menurut Aly Manshur dan Iskandar, mengutip pendapat Juharto, adalah dengan cara melihat kecondongannya. Kalau condong ke laki-laki, maka baginya berlaku hukum sebagaimana laki-laki, tetapi kalau condong ke perempuan maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum sebagaimana perempuan. Akan tetapi, kalau tidak diketahui kecondongannya, maka diberlakukan hukum yang menguntungkan .
Berbicara mengenai waria, tidak bisa dilepaskan dengan orientasi seks yang dilakukan. Bila dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara psikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu laki-laki, meskipun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang dilakukan oleh artis kenamaan Dorce Gamalama.
Operasi kelamin tidak sesederhana orang berkata atau bayangkan. Sebab, bila seseorang memutuskan untuk melakukan operasi kelamin, maka ia harus benar-benar siap dengan kondisi barunya, sehingga ia nantinya tidak kecewa bila hasilnya tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan dan harapkan. Selain itu, ia harus mengikuti beberapa terapi terlebih dahulu setelah dinyatakan oleh dokter bahwa ia memang mengalami kelainan dan operasi adalah satu-satunya jalan yang terbaik bagi dirinya. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bila dilihat dari kondisi ekonomi para waria di Yogyakarta yang rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah bahkan diantara mereka tidak tamat SD.
Berangkat dari kenyataan di atas maka penyusun merasa tertarik dan terpanggil untuk mencoba memaparkan adanya “perkawinan” waria di tengah-tengah masyarakat kota Yogyakarta yang kemudian dibedah menggunakan kaca mata Isla>m untuk ditarik suatu kesimpulan mengenai status hukum dari perkawinan tersebut. Kaum waria atau transeksual seharusnya dilihat sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat yang keberadaanya tidak melulu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja. Mereka punya hak yang sama dalam kehidupan ini seperti manusia umumnya untuk menentukan nasibnya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari paparan yang penyusun kemukakan diatas, maka pokok masalah yang akan penyusun jawab dalam penelitian ini adalah :