BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suatu peristiwa manusia yang sangat sederhana.
Lebih-lebih dalam ajaran Islam, pernikahan hanya membaca syahadat dan janji
nikah. Namun, pernikahan merupakan suatu peristiwa yang dapat menimbulkan
berbagai gejala kejiwaan termasuk di dalamnya kecemasan, sebelum pernikahan
terjadi, ketika pernikahan terjadi dan sejenak sesudah pernikahan itu terjadi.
Individu yang sudah matang secara fisik untuk menikah, tidak semuanya
siap melaksanakan pernikahan. Banyak sekali pemuda dan pemudi yang secara
fisik sudah sangat matang untuk menikah, secara ekonomipun sudah siap untuk
menikah, tetapi tidak berani melaksanakan pernikahan karena merasa belum siap.
Dengan demikian penundaan atau ketidaksiapan melaksanakan pernikahan bukan
semata- mata disebabkan persoalan materiil, tetapi juga persoalan psikis atau
mental, yakni perasaan. Perasaan tidak siap menghadapi pernikahan ini juga
bermacam jenisnya seperti malas, sedih, takut, tegang dan lain-lainnya.
Satu di antara jenis gangguan psikis adalah kecemasan. Kecemasan
merupakan gejala kejiwaan yang dapat mengganggu keinginan seseorang untuk
menikah. Karena dengan cemas saat menghadapi pernikahan ini seseorang dapat
menjadi ragu-ragu untuk menikah. Hal ini sangat membahayakan bagi pasangan
pernikahan tersebut. Keraguan bukan hanya dapat mengakibatkan putusnya
hubungan keduanya, tetapi yang lebih membahayakan adalah karena ragu
kemudian menjadi takut untuk menikah tetapi justru melakukan hubungan seks di
luar nikah. Padahal ini merupakan dosa besar bagi seluruh umat manusia. Selain
itu pula, jika kecemasan terus meningkat, maka akan mempengaruhi syaraf
otonom individu yang bersangkutan dan berakibat melukai organ-organ tubuh
tertentu. Selain merupakan pusat dari kelainan neurotis, kecemasan yang berperan
dalam gangguan psikofisiologis yang terlihat sebagai penyakit jasmaniah tertentu.
Oleh karena itu perlu sekali mendapat perhatian.
Setiap manusia sering mempunyai kondisi kecemasan yang berbeda- beda
dalam menghadapi pernikahan. Diantara mahasiswa Fakultas Ekonomi
Manajemen UPN Yogyakarta banyak yang telah lama mengadakan hubungan
kasih dengan lawan jenis, tetapi banyak juga yang belum melanjutkannya ke
jenjang pernikahan. Hal inipun bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kurang
percaya diri, takut tidak akan bahagia, khawatir pernikahannya gagal dan masih
banyak lagi faktor penyebab mereka menunda pernikahan yang akan diungkap
dalam penelitian ini.
Mahasiswa UPN khususnya dan mahasiswa lainnya di Indonesia pada
umumnya banyak yang tidak siap mental untuk menikah. Namun, sayangnya
mereka malah melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan. Mereka
memang takut untuk menikah namun mereka tidak takut melakukan hubungan
suami istri yang seharusnya belum boleh mereka lakukan.
Kita lihat di tayangan kriminal televisi baik patroli, sergap, buser maupun
masih banyak lagi tayangan lainnya, pihak aparat kepolisian sering merazia atau
menggrebek tempat kos-kosan mahasiswa yang diduga disalahgunakan untuk
tindak perzinaan. Hal ini memang sangat menjamur. Baru-baru ini di Yogyakarta
juga terjadi. Pihak kepolisian Yogyakarta sering melakukan operasi pekat
(Penyakit Masyarakat) yang didalamnya termasuk pelacuran, judi dan termasuk
juga perzinahan. Banyak penghuni kos ataupun pengunjung hotel kelas melati di
Yogyakarta yang tertangkap melakukan tindak asusila adalah mahasiswa. Mereka
yang berpasangan dan tertangkap basah sedang berduaan di kamar bila ditanya
mengaku sebagai pasangan suami istri namun saat diminta kartu identitasnya
ternyata tertulis belum kawin (Herwin Endradata dalam tayangan Patroli
Indosiar, edisi hari Sabtu, 13 September 2003).
Hubungan yang terjalin terlalu dekat bila tidak segera diambil tindakan
biasanya akan semakin menjauh. Terbukti, baru-baru ini di sebuah SLTA di
Wonosari, sebanyak 5 siswi dikeluarkan karena terbukti hamil di luar nikah
(Herlambang dalam Solopos, Selasa, 25 Mei 2004). Bagi pasangan yang
mempunyai kasus seperti ini biasanya adalah kalangan muda yang senang
mencoba- coba namun karena seringnya mencoba akhirnya terpeleset dan jatuh.
Menurut data statistik kriminal Kepolisian Yogyakarta sebanyak 51%
mahasiswa yang melakukan aborsi sebab kasus di atas. Dan sebanyak 35%
mahasiswa yang melakukan aborsi hasil perkosaan (Iwan Kurniawa dalam.
Harian Meteor Yogyakarta, Selasa, 9 Februari 2004) . Mereka yang melakukan
aborsi karena tidak siap untuk menikah namun mereka terlanjur merasakan suatu
hal yang tidak seharusnya sudah mereka lakukan, sehingga untuk menghilangkan
aib mereka melakukan abortus atau menggugurkan kandungan. Hal ini sangat
membahayakan kesehatan baik bagi ibu dan si bayi. Bila sampai usia kandungan
yang terlalu tua aborsi tetap dilakukan, bukan tidak mungkin si bayi tetap hidup
namun cacat mental. Ada banyak kasus seperti ini. Bila bukan bayinya yang cacat
mental, kemungkinan ibunya akan meninggal juga bisa terjadi.
Hal ini merupakan tugas berat bagi para orang tua maupun para pendidik.
Mahasiswa yang katanya adalah siswa yang sudah maha ternyata malah
menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya. Bukan menjadi baik justru
menjadi buruk. Pendidik, orang tua dan lembaga umumlah yang wajib
mengingatkan dan ikut membantu supaya mahasiswa atau individu yang sudah
siap menikah untuk segera menikah agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan
oleh semua pihak. Kehidupan bermasyarakat akan menuntut satu dan lainnya
untuk saling membantu demi upaya terwujudnya lingkungan yang dinamis selaras
dengan norma lingkungan yang ada.
Penyebab orang menjadi cemas saat akan menikah sangat bervariasi. Ada
satu contoh mahasiswa UPN yang menjalin hubungan dekat atau istilah umumnya
berpacaran namun berbeda keyakinan. Mereka sudah menjalin hubungan dekat
dalam jangka waktu yang lama. Ketika mereka mendapati kenyataan bahwa
pernikahan di Indonesia haruslah dalam satu agama, mereka bingung, cemas dan
takut. Apakah hubungan cinta yang cukup lama yang telah mereka jalani harus
terpisah karena perbedaan agama ? Akhirnya mereka memutuskan untuk
menunda pernikahan mereka. Mereka takut dan cemas apakah keluarga mereka
masing-masing bisa menerima pasangan masing-masing. Mereka memahami
bahwa masing-masing keluarga mempunyai keyakinan berbeda, dan sampai saat
ini belum bisa menyatu. Meskipun masing-masing pasangan sudah sampai taraf
yang serius artinya sudah diperkenalkan dengan orang tua masing-masing, tetap
belum ada penyelesaian pada masalah mereka. Masing-masing dari mereka tidak
ada yang mau mengalah, sehingga akhirnya mereka menunda pernikahan sampai
batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Hal ini berarti mereka mengalami
kecemasan pada saat memutuskan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Menurut Hawari (1997) kecemasan saat akan menikah biasa dialami oleh
pasangan pernikahan baik yang melakukan pernikahan di usia muda, usia madya
ataupun memasuki usia yang dianggap rawan untuk melangsungkan pernikahan.
Usia muda ini berkisar antara 18 sampai dengan 21 tahun. Sedangkan usia madya
berkisar antara 22 sampai 24 bagi putri dan 25 sampai 28 bagi putra. Sedangkan
usia yang dianggap rawan oleh masyarakat untuk melangsungkan pernikahan
adalah usia 25 ke atas bagi puteri dan 30 ke atas bagi putra. Dianggap rawan
karena menurut reproduksi telah melewati masa subur dan sulit mendapatkan
keturunan. Meskipun ada satu atau dua orang yang tetap mendapatkan karunia
mempunyai keturunan kandung di usia yang dianggap rawan. Hal itu merupakan
pengecualian.
Ada pula contoh, mahasiswa UPN yang telah siap untuk menikah, telah
melakukan segala prosesi persiapan suatu pernikahan. Namun, di tengah jalan,
karena minimnya pengetahuan tentang hubungan seks, dan salah satu pasangan
tersebut takut untuk menjalaninya, akhirnya dengan sangat terpaksa pernikahan
tersebut ditunda. Situasi seperti inilah yang bisa dikatagorikan sebagai unsur
kecemasan menghadapi pernikahan.
Kecemasan, di samping merupakan gejala jiwa yang dapat menimbulkan
peristiwa lain, kecemasan sendiri sebenarnya merupakan gejala yang
keberadaannya dipengaruhi oleh gejala lain. Kecemasan memerlukan penyaluran
ataupun pemindahan pada aktivitas yang lain. Vinacle (Uswatun, 2000)
mengungkapkan bahwa di dalam diri manusia terdapat beberapa kehidupan jiwa.
Satu di antara kehidupan jiwa yang sering sekali berpengaruh terhadap kehidupan
jiwa yang lain adalah kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir dapat bersifat positif
dan negatif.
Individu di dunia ini tidak dengan begitu saja mampu berpikir secara
positif, itu yang menjadi masalah. Seseorang yang dalam kehidupannya selalu
dipenuhi dengan prasangka buruk, terlalu khawatir tentu akan sulit menyamakan
dirinya dengan orang lain yang ada dalam lingkungannya. Percaya pada diri
sendiri adalah salah satu pegangan dalam menghadapi setiap permasalahan yang
dia hadapi. Kesulitan menyamakan dirinya dengan lingkungan yang ada di
sekitarnya inilah yang mendorong individu untuk sulit beradaptasi. Dan bila itu
terjadi bukan mustahil akan terjadi kesenjangan dan kehidupan emosinya.
Ketidakstabilan emosi akan mempengaruhi rasa cemas individu dalam setiap
menghadapi masalah.
Menghadapi rasa cemas yang timbul saat akan menikah diperlukan kondisi
psikologis yang sehat. Di antara banyak hal yang membuat kondisi psikologis
sehat adalah berpikir positif. Seperti yang dikemukakan oleh Eperson (Setiabudi,
1999) bahwa individu yang berpikir positif akan mempunyai suasana hati dan
perasaan yang lebih positif serta tingkat energi yang lebih tinggi dan bermuatan.
Seandainya individu memandang masalah yang dia hadapi dengan penuh optimis
mampu menyelesaikannya maka masalah itu akan menjadi ringan dan benang
masalah yang semula ruwet tak terselesaikan menjadi mencair dan mudah untuk
diuraikan penyelesaiannya. Sesungguhnya permasalahan yang dihadapi seseorang
sering menjadi lebih berat dikarenakan cara individu memandang permasalahan.
Individu yang berpikir positif cenderung akan lebih kuat dalam mengatasi
kecemasan saat akan menikah. Hal ini dikarenakan dia menyadari akan
keterbatasan dirinya serta ketidakmampuannya. Karenanya dia akan berusaha agar
semua kelemahannya tertutupi sehingga apa yang membuat dirinya tampak lemah
akan tampak sebagai kekuatannya. Sangat lain sekali dengan individu yang
berpikir negatif. Individu tersebut akan sulit sekali menyelesaikan beban masalah
yang ditanggungnya. Hal ini dikarenakan dia tidak menyadari bahwa dirinya
mampu menyelesaikan masalah. Dia takut menghadapi masalah di masa depan.
Dia khawatir bahwa jalan keluar yang dia pilih akan berakibat fatal.
Sesungguhnya kefatalan akibat atas jalan keluar yang dia pilih adalah semata-
mata kekurangpercayaan individu. Individu yang kurang percaya diri akan salah
menempatkan diri yang akan berakibat pada salah mengambil keputusan.
Sehingga apa yang dikhawatirkan akan benar-benar terjadi yakni kegagalan.
Kecemasan tidaklah memandang kapan, tempat dan apa kegiatannya.
Apapun aktivitas seseorang bila sudah didera kecemasan tidak akan pernah
tentram, nyaman dalam menjalankan hidup. Beradaptasi dengan lingkungan yang
baru yang harus dihadapinya merupakan salah satu cara ampuh untuk
menghilangkan kecemasan. Untuk mampu beradaptasi dengan baik dibutuhkan
pikiran yang segar yang lepas dari berbagai masalah dan tidak terbebani. Hal itu
bisa didapatkan dengan cara berpikir positif, berkonsentrasi dan menghilangkan
pikiran buruk.
Berpikir positif merupakan salah satu bentuk pengendalian diri. Dengan
demikian, individu terdorong untuk selalu menggunakan pikirannya secara positif
dan baik sehingga tercipta jalan keluar yang baik untuk semua pihak. Berpikir
positif membantu individu dalam menyelesaikan setiap inci masalah baik masalah
yang menyangkut dirinya pribadi maupun masalah yang menyangkut keluarga
atau masyarakat.
Permasalahan tersebut sangat penting untuk diketahui atau diungkap,
karena menyangkut kondisi kehidupan psikis seseorang. Sedangkan kehidupan
psikis seseorang merupakan sesuatu yang utama, yang lebih dari pokok. Kondisi
kehidupan psikis yang tidak prima dapat mengakibatkan yang bersangkutan
kehilangan kemanusiaannya. Bila sudah kehilangan kemanusiaannya maka bukan
tidak mungkin akan mengakibatkan ketidakstabilan emosinya yang akan
mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan yang menentukan masa
depan individu yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas penulis mengajukan rumusan masalah sebagai
berikut “apakah terdapat hubungan antara berpikir positif dengan kecemasan saat
menghadapi pernikahan”. Mengacu dari rumusan masalah tersebut penulis tertarik
untuk menguji lebih lanjut secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul
: " Hubungan Berpikir Positif dengan Kecemasan Menghadapi Pernikahan ".
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suatu peristiwa manusia yang sangat sederhana.
Lebih-lebih dalam ajaran Islam, pernikahan hanya membaca syahadat dan janji
nikah. Namun, pernikahan merupakan suatu peristiwa yang dapat menimbulkan
berbagai gejala kejiwaan termasuk di dalamnya kecemasan, sebelum pernikahan
terjadi, ketika pernikahan terjadi dan sejenak sesudah pernikahan itu terjadi.
Individu yang sudah matang secara fisik untuk menikah, tidak semuanya
siap melaksanakan pernikahan. Banyak sekali pemuda dan pemudi yang secara
fisik sudah sangat matang untuk menikah, secara ekonomipun sudah siap untuk
menikah, tetapi tidak berani melaksanakan pernikahan karena merasa belum siap.
Dengan demikian penundaan atau ketidaksiapan melaksanakan pernikahan bukan
semata- mata disebabkan persoalan materiil, tetapi juga persoalan psikis atau
mental, yakni perasaan. Perasaan tidak siap menghadapi pernikahan ini juga
bermacam jenisnya seperti malas, sedih, takut, tegang dan lain-lainnya.
Satu di antara jenis gangguan psikis adalah kecemasan. Kecemasan
merupakan gejala kejiwaan yang dapat mengganggu keinginan seseorang untuk
menikah. Karena dengan cemas saat menghadapi pernikahan ini seseorang dapat
menjadi ragu-ragu untuk menikah. Hal ini sangat membahayakan bagi pasangan
pernikahan tersebut. Keraguan bukan hanya dapat mengakibatkan putusnya
hubungan keduanya, tetapi yang lebih membahayakan adalah karena ragu
kemudian menjadi takut untuk menikah tetapi justru melakukan hubungan seks di
luar nikah. Padahal ini merupakan dosa besar bagi seluruh umat manusia. Selain
itu pula, jika kecemasan terus meningkat, maka akan mempengaruhi syaraf
otonom individu yang bersangkutan dan berakibat melukai organ-organ tubuh
tertentu. Selain merupakan pusat dari kelainan neurotis, kecemasan yang berperan
dalam gangguan psikofisiologis yang terlihat sebagai penyakit jasmaniah tertentu.
Oleh karena itu perlu sekali mendapat perhatian.
Setiap manusia sering mempunyai kondisi kecemasan yang berbeda- beda
dalam menghadapi pernikahan. Diantara mahasiswa Fakultas Ekonomi
Manajemen UPN Yogyakarta banyak yang telah lama mengadakan hubungan
kasih dengan lawan jenis, tetapi banyak juga yang belum melanjutkannya ke
jenjang pernikahan. Hal inipun bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kurang
percaya diri, takut tidak akan bahagia, khawatir pernikahannya gagal dan masih
banyak lagi faktor penyebab mereka menunda pernikahan yang akan diungkap
dalam penelitian ini.
Mahasiswa UPN khususnya dan mahasiswa lainnya di Indonesia pada
umumnya banyak yang tidak siap mental untuk menikah. Namun, sayangnya
mereka malah melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan. Mereka
memang takut untuk menikah namun mereka tidak takut melakukan hubungan
suami istri yang seharusnya belum boleh mereka lakukan.
Kita lihat di tayangan kriminal televisi baik patroli, sergap, buser maupun
masih banyak lagi tayangan lainnya, pihak aparat kepolisian sering merazia atau
menggrebek tempat kos-kosan mahasiswa yang diduga disalahgunakan untuk
tindak perzinaan. Hal ini memang sangat menjamur. Baru-baru ini di Yogyakarta
juga terjadi. Pihak kepolisian Yogyakarta sering melakukan operasi pekat
(Penyakit Masyarakat) yang didalamnya termasuk pelacuran, judi dan termasuk
juga perzinahan. Banyak penghuni kos ataupun pengunjung hotel kelas melati di
Yogyakarta yang tertangkap melakukan tindak asusila adalah mahasiswa. Mereka
yang berpasangan dan tertangkap basah sedang berduaan di kamar bila ditanya
mengaku sebagai pasangan suami istri namun saat diminta kartu identitasnya
ternyata tertulis belum kawin (Herwin Endradata dalam tayangan Patroli
Indosiar, edisi hari Sabtu, 13 September 2003).
Hubungan yang terjalin terlalu dekat bila tidak segera diambil tindakan
biasanya akan semakin menjauh. Terbukti, baru-baru ini di sebuah SLTA di
Wonosari, sebanyak 5 siswi dikeluarkan karena terbukti hamil di luar nikah
(Herlambang dalam Solopos, Selasa, 25 Mei 2004). Bagi pasangan yang
mempunyai kasus seperti ini biasanya adalah kalangan muda yang senang
mencoba- coba namun karena seringnya mencoba akhirnya terpeleset dan jatuh.
Menurut data statistik kriminal Kepolisian Yogyakarta sebanyak 51%
mahasiswa yang melakukan aborsi sebab kasus di atas. Dan sebanyak 35%
mahasiswa yang melakukan aborsi hasil perkosaan (Iwan Kurniawa dalam.
Harian Meteor Yogyakarta, Selasa, 9 Februari 2004) . Mereka yang melakukan
aborsi karena tidak siap untuk menikah namun mereka terlanjur merasakan suatu
hal yang tidak seharusnya sudah mereka lakukan, sehingga untuk menghilangkan
aib mereka melakukan abortus atau menggugurkan kandungan. Hal ini sangat
membahayakan kesehatan baik bagi ibu dan si bayi. Bila sampai usia kandungan
yang terlalu tua aborsi tetap dilakukan, bukan tidak mungkin si bayi tetap hidup
namun cacat mental. Ada banyak kasus seperti ini. Bila bukan bayinya yang cacat
mental, kemungkinan ibunya akan meninggal juga bisa terjadi.
Hal ini merupakan tugas berat bagi para orang tua maupun para pendidik.
Mahasiswa yang katanya adalah siswa yang sudah maha ternyata malah
menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya. Bukan menjadi baik justru
menjadi buruk. Pendidik, orang tua dan lembaga umumlah yang wajib
mengingatkan dan ikut membantu supaya mahasiswa atau individu yang sudah
siap menikah untuk segera menikah agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan
oleh semua pihak. Kehidupan bermasyarakat akan menuntut satu dan lainnya
untuk saling membantu demi upaya terwujudnya lingkungan yang dinamis selaras
dengan norma lingkungan yang ada.
Penyebab orang menjadi cemas saat akan menikah sangat bervariasi. Ada
satu contoh mahasiswa UPN yang menjalin hubungan dekat atau istilah umumnya
berpacaran namun berbeda keyakinan. Mereka sudah menjalin hubungan dekat
dalam jangka waktu yang lama. Ketika mereka mendapati kenyataan bahwa
pernikahan di Indonesia haruslah dalam satu agama, mereka bingung, cemas dan
takut. Apakah hubungan cinta yang cukup lama yang telah mereka jalani harus
terpisah karena perbedaan agama ? Akhirnya mereka memutuskan untuk
menunda pernikahan mereka. Mereka takut dan cemas apakah keluarga mereka
masing-masing bisa menerima pasangan masing-masing. Mereka memahami
bahwa masing-masing keluarga mempunyai keyakinan berbeda, dan sampai saat
ini belum bisa menyatu. Meskipun masing-masing pasangan sudah sampai taraf
yang serius artinya sudah diperkenalkan dengan orang tua masing-masing, tetap
belum ada penyelesaian pada masalah mereka. Masing-masing dari mereka tidak
ada yang mau mengalah, sehingga akhirnya mereka menunda pernikahan sampai
batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Hal ini berarti mereka mengalami
kecemasan pada saat memutuskan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Menurut Hawari (1997) kecemasan saat akan menikah biasa dialami oleh
pasangan pernikahan baik yang melakukan pernikahan di usia muda, usia madya
ataupun memasuki usia yang dianggap rawan untuk melangsungkan pernikahan.
Usia muda ini berkisar antara 18 sampai dengan 21 tahun. Sedangkan usia madya
berkisar antara 22 sampai 24 bagi putri dan 25 sampai 28 bagi putra. Sedangkan
usia yang dianggap rawan oleh masyarakat untuk melangsungkan pernikahan
adalah usia 25 ke atas bagi puteri dan 30 ke atas bagi putra. Dianggap rawan
karena menurut reproduksi telah melewati masa subur dan sulit mendapatkan
keturunan. Meskipun ada satu atau dua orang yang tetap mendapatkan karunia
mempunyai keturunan kandung di usia yang dianggap rawan. Hal itu merupakan
pengecualian.
Ada pula contoh, mahasiswa UPN yang telah siap untuk menikah, telah
melakukan segala prosesi persiapan suatu pernikahan. Namun, di tengah jalan,
karena minimnya pengetahuan tentang hubungan seks, dan salah satu pasangan
tersebut takut untuk menjalaninya, akhirnya dengan sangat terpaksa pernikahan
tersebut ditunda. Situasi seperti inilah yang bisa dikatagorikan sebagai unsur
kecemasan menghadapi pernikahan.
Kecemasan, di samping merupakan gejala jiwa yang dapat menimbulkan
peristiwa lain, kecemasan sendiri sebenarnya merupakan gejala yang
keberadaannya dipengaruhi oleh gejala lain. Kecemasan memerlukan penyaluran
ataupun pemindahan pada aktivitas yang lain. Vinacle (Uswatun, 2000)
mengungkapkan bahwa di dalam diri manusia terdapat beberapa kehidupan jiwa.
Satu di antara kehidupan jiwa yang sering sekali berpengaruh terhadap kehidupan
jiwa yang lain adalah kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir dapat bersifat positif
dan negatif.
Individu di dunia ini tidak dengan begitu saja mampu berpikir secara
positif, itu yang menjadi masalah. Seseorang yang dalam kehidupannya selalu
dipenuhi dengan prasangka buruk, terlalu khawatir tentu akan sulit menyamakan
dirinya dengan orang lain yang ada dalam lingkungannya. Percaya pada diri
sendiri adalah salah satu pegangan dalam menghadapi setiap permasalahan yang
dia hadapi. Kesulitan menyamakan dirinya dengan lingkungan yang ada di
sekitarnya inilah yang mendorong individu untuk sulit beradaptasi. Dan bila itu
terjadi bukan mustahil akan terjadi kesenjangan dan kehidupan emosinya.
Ketidakstabilan emosi akan mempengaruhi rasa cemas individu dalam setiap
menghadapi masalah.
Menghadapi rasa cemas yang timbul saat akan menikah diperlukan kondisi
psikologis yang sehat. Di antara banyak hal yang membuat kondisi psikologis
sehat adalah berpikir positif. Seperti yang dikemukakan oleh Eperson (Setiabudi,
1999) bahwa individu yang berpikir positif akan mempunyai suasana hati dan
perasaan yang lebih positif serta tingkat energi yang lebih tinggi dan bermuatan.
Seandainya individu memandang masalah yang dia hadapi dengan penuh optimis
mampu menyelesaikannya maka masalah itu akan menjadi ringan dan benang
masalah yang semula ruwet tak terselesaikan menjadi mencair dan mudah untuk
diuraikan penyelesaiannya. Sesungguhnya permasalahan yang dihadapi seseorang
sering menjadi lebih berat dikarenakan cara individu memandang permasalahan.
Individu yang berpikir positif cenderung akan lebih kuat dalam mengatasi
kecemasan saat akan menikah. Hal ini dikarenakan dia menyadari akan
keterbatasan dirinya serta ketidakmampuannya. Karenanya dia akan berusaha agar
semua kelemahannya tertutupi sehingga apa yang membuat dirinya tampak lemah
akan tampak sebagai kekuatannya. Sangat lain sekali dengan individu yang
berpikir negatif. Individu tersebut akan sulit sekali menyelesaikan beban masalah
yang ditanggungnya. Hal ini dikarenakan dia tidak menyadari bahwa dirinya
mampu menyelesaikan masalah. Dia takut menghadapi masalah di masa depan.
Dia khawatir bahwa jalan keluar yang dia pilih akan berakibat fatal.
Sesungguhnya kefatalan akibat atas jalan keluar yang dia pilih adalah semata-
mata kekurangpercayaan individu. Individu yang kurang percaya diri akan salah
menempatkan diri yang akan berakibat pada salah mengambil keputusan.
Sehingga apa yang dikhawatirkan akan benar-benar terjadi yakni kegagalan.
Kecemasan tidaklah memandang kapan, tempat dan apa kegiatannya.
Apapun aktivitas seseorang bila sudah didera kecemasan tidak akan pernah
tentram, nyaman dalam menjalankan hidup. Beradaptasi dengan lingkungan yang
baru yang harus dihadapinya merupakan salah satu cara ampuh untuk
menghilangkan kecemasan. Untuk mampu beradaptasi dengan baik dibutuhkan
pikiran yang segar yang lepas dari berbagai masalah dan tidak terbebani. Hal itu
bisa didapatkan dengan cara berpikir positif, berkonsentrasi dan menghilangkan
pikiran buruk.
Berpikir positif merupakan salah satu bentuk pengendalian diri. Dengan
demikian, individu terdorong untuk selalu menggunakan pikirannya secara positif
dan baik sehingga tercipta jalan keluar yang baik untuk semua pihak. Berpikir
positif membantu individu dalam menyelesaikan setiap inci masalah baik masalah
yang menyangkut dirinya pribadi maupun masalah yang menyangkut keluarga
atau masyarakat.
Permasalahan tersebut sangat penting untuk diketahui atau diungkap,
karena menyangkut kondisi kehidupan psikis seseorang. Sedangkan kehidupan
psikis seseorang merupakan sesuatu yang utama, yang lebih dari pokok. Kondisi
kehidupan psikis yang tidak prima dapat mengakibatkan yang bersangkutan
kehilangan kemanusiaannya. Bila sudah kehilangan kemanusiaannya maka bukan
tidak mungkin akan mengakibatkan ketidakstabilan emosinya yang akan
mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan yang menentukan masa
depan individu yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas penulis mengajukan rumusan masalah sebagai
berikut “apakah terdapat hubungan antara berpikir positif dengan kecemasan saat
menghadapi pernikahan”. Mengacu dari rumusan masalah tersebut penulis tertarik
untuk menguji lebih lanjut secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul
: " Hubungan Berpikir Positif dengan Kecemasan Menghadapi Pernikahan ".