BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Motivasi merupakan dasar yang menjadi pendorong seseorang dalam
bertingkah laku, dengan kata lain seseorang berperilaku karena didasari oleh adanya
motif. Begitu juga dalam orang bekerja, orang tidak akan melakukan suatu pekerjaan
bila tidak ada motivasi yang mendorongnya. Sebagian besar dari motivasi seseorang
dalam bekerja adalah untuk mendapatkan nilai ekonomis yang berwujud materi,
seperti gaji, upah, bonus, dsb ( Kartono, 1985 ), namun saat ini motif seseorang dalam
bekerja tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga non materi. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Anorogo dan Widiyanti ( 1990 ) bahwa motif uang tidak lagi
menjadi motif primer. Saat ini orang tidak hanya membutuhkan materi atau uang,
tetapi juga membutuhkan adanya rasa puas, rasa aman, dan adanya rasa kecintaan
terhadap pekerjaan itu. Banyak kita temukan contoh kasusnya dalam kehidupan sehari
– hari, misalnya saja seorang pegawai yang menolak pekerjaan baru karena alasan
kecintaan dan rasa suka terhadap pekerjaan yang lama walaupun pekerjaan yang baru
memberikan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang lama. Jadi
motif uang tidak selamanya menjadi motif utama dalam seseorang bekerja, masih
banyak motif dan kebutuhan – kebutuha n lain yang dapat menjadi pendorong
seseorang dalam bekerja.
Motivasi kerja merupakan salah satu proses untuk mencapai hasil kerja yang
baik. Bila motivasi kerja seseorang baik, maka kemungkinan untuk mencapai hasil
kerjanya pun baik. Anorogo ( 1992 ) berpendapat bahwa kuat lemahnya motivasi
kerja karyawan akan menentukan besar kecilnya prestasi. Setiap orang yang bekerja
pasti menginginkan hasil dan prestasi kerja yang baik agar apa yang menjadi
tujuannya dalam bekerja dapat terwujud, akan tetapi hal ini kembali lagi pada
motivasi kerja dari masing – masing individu sebagai faktor pendorongnya. Menurut
Wahjosumidjo ( 1987 ), motivasi kerja merupakan tingkah laku seseorang yang
biasanya didorong oleh keinginan atau kebutuhan yang harus diambil, diawasi, dan
diarahkan untuk melaksanakan tugas agar mencapai hasil kerja yang diinginkan.
Salah satu faktor penghambat seseorang dalam bekerja adalah tidak adanya
motivasi dan tidak adanya motivasi dapat disebabkan karena adanya kelelahan dalam
diri individu. Kelelahan bisa membuat seseorang menjadi malas untuk melakukan
sesuatu, tidak hanya kelelahan secara fisik melainkan juga secara mental dan
emosional. Sedangkan menurut As’ad ( 1995 ) motivasi kerja merupakan sesuatu
yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Selain itu, kondisi lingkungan
kerja yang meliputi suhu udara dalam ruangan, kebersihan tempat kerja, fasilitas
kerja, dan peralatan kerja juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi motivasi
kerja seseorang. Dikemukakan oleh Jurgensen ( Miranti, 2004 ) bahwa kondisi
lingkungan dan fasilitas kerja adalah salah satu faktor yang dapat mendorong motivasi
kerja. Dengan lingkungan dan fasilitas kerja yang tidak mendukung, maka akan
berpengaruh terhadap motivasi kerja seseorang dan hal ini tentu saja secara tidak
langsung akan berdampak terhadap hasil dan prestasi kerja. Hubungan interpersonal
dengan pimpinan dan rekan kerja juga menjadi faktor yang penting dalam
mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Hubungan kerja yang baik dan harmonis
dapat meningkatkan motivasi kerja karena orang akan merasa aman, nyaman, dan
mendapat dukungkan dari orang – orang disekitarnya dalam bekerja. Semua faktor
tersebut di atas adalah faktor – faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja,
namun masih banyak faktor lain yang juga mempengaruhi motivasi kerja seseorang,
seperti adanya faktor kebutuhan, baik kebutuhan secara materi maupun non materi.
Masinis kereta api adalah orang yang berperan langsung dalam
mengoperasikan jalannya kereta api. Masinis kereta api memiliki tanggung jawab
membawa penumpangnya dengan selamat sampai stasiun tujuan, selain itu masinis
kereta api memiliki kewajiban untuk menaati rambu – rambu sinyal yang ada dan
memberikan peringatan kepada pemakai jalan saat melewati perlintasan kereta api
agar terjadinya kecelakaan dapat terhindarkan karena mengingat sebagai manusia
kadang ada kalanya mengalami kelalaian. Motivasi kerja yang tinggi sangat
diperlukan bagi masinis kereta api, bila masinis kereta api tidak memiliki motivasi
kerja yang tinggi maka kemungkinan terjadinya kelalaian kerja pun akan tinggi dan
yang pada akhirnya dapat berdampak pada terjadinya kecelakaan kerja. Tidak sedikit
kecelakaan kereta api yang disebabkan oleh kelalaian masinis, setidaknya setiap tahun
kecelakaan kereta api selalu terjadi baik dalam skala kecil maupun besar. Bahkan
pada tahun 2001 sampai tahun 2002, angka tingkat kecelakaan kereta api mengalami
peningkatan sebesar 64 %, hal ini berarti kasus kecelakaan kereta api bertambah
setengah lebih dari angka kecelakaan tahun sebelumnya dan tentu saja jumlah korban
yang meninggal maupun luka – luka pun mengalami peningkatan ( Kompas, edisi 28
Januari 2003). Maka dari itu, motivasi kerja yang tinggi sangat diperlukan bagi
setiap pekerja karena terjadinya resiko kerja selalu ada, apalagi bagi masinis kereta
api yang juga memiliki resiko pekerjaan yang cukup tinggi dan berkaitan langsung
dengan keselamatan orang banyak. Setidaknya dengan motivasi kerja tinggi yang
dimiliki masinis akan membantu dalam menurunkan angka tingkat kecelakaan kerja,
yaitu tingkat kecelakaan kereta api.
Sebagai orang yang berperan langsung terhadap beroperasinya kereta api,
banyak kendala yang dialami oleh masinis dan salah satu kendalanya adalah
kelelahan. Kelelahan tidak hanya berupa kelelahan secara fisik, melainkan juga
kelelahan secara mental maupun emosional. Setiap masinis memiliki jam tugas sekitar
6 sampai 8 jam setiap harinya, hal ini tentu saja cukup melelahkan apalagi bila tidak
didukung oleh ruang lingkup kerja yang leluasa. Masinis kereta api bekerja di dalam
suatu ruangan yang disebut dengan ’ lokomotif ’ kereta api dimana sebagian besar
bagiannya terbuat dari baja serta dikelilingi oleh mesin - mesin yang tentu saja dapat
membuat kebisingan, belum lagi dengan sirkulasi udara yang tidak leluasa untuk
keluar masuk karena ruangan yang tidak dilengkapi dengan ventilasi udara yang
cukup. Jam kerja malam dengan resiko ngantuk dan cape pun dapat menjadi faktor
yang menyebabkan kelelahan secara fisik. Walaupun demikian, PT. Kereta Api juga
mengupayakan agar kelelahan secara fisik dari masinis kereta api dapat dikurangi,
misalnya dengan mengurangi jam kerja dari delapan jam menjadi enam sehari dan
juga dengan diadakannya tes kesehatan fisik sebelum para masinis menjalankan
tugasnya guna mendapatkan kelayakan kerja ( Kompas, edisi 28 Januari 2003 ).
Kelelahan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kelelahan secara mental dan
emosional. Kelelahan secara mental menyangkut bagaimana hubungan interpersonal
dari masing – masing individu, terutama hubungannya dengan pimpinan dan rekan
kerja. Dampak dari kelelahan secara mental akan membuat seseorang bersikap sinis
terhadap orang lain dan selalu berpandangan yang negatif terhadap orang lain. Bila
seseorang sudah mengalami kelelahan secara fisik, maka orang tersebut cenderung
akan bersikap tidak peduli terhadap orang lain, bahkan terhadap pimpinan dan rekan
kerjanya. Sedangkan beban tugas yang berat serta jenis pekerjaan ya ng monoton bisa
membuat seseorang mengalami depresi dan frustrasi. Sikap depresi serta frustrasi
inilah yang menyebabkan seseorang mengalami kelelahan secara emosional. Hal ini
berarti, kelelahan secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh terhadap motivasi
kerja karena dengan kelelahan yang berlebihan akan menurunkan semangat seseorang
dalam bekerja.
Kelelahan fisik, mental, maupun emosional dapat disebut dengan istilah
burnout. Istilah burnout
biasanya digunakan dalam dunia kerja untuk menunjukkan
satu jenis stres, yang juga menyatakan keadaan individu dalam hubungannya dengan
pekerjaan. Baron dan Greenberg ( 1995 ) menyatakan burnout adalah suatu sindrom
dari kelelahan emosional, fisik, dan kelelahan mental yang berhubungan dengan
perasaan dari harga diri yang rendah dan juga sebagai hasil dari stres yang berlebihan.
Oleh karena itu, melihat pentingnya motivasi kerja bagi setiap pekerja
terutama bagi masinis kereta api yang memiliki tanggung jawab kerja terhadap
keselamatan orang banyak serta kecenderunganburnout yang dialami oleh masinis
kereta api, maka penulis berkeinginan meneliti ”apakah ada hubungan antara
burnout dengan motivasi kerja pada masinis kereta api ? ” dengan mengacu pada
rumusan masalah tersebut, maka penulis mengambil judul penelitian ”Hubungan
Antara Burnout Dengan Motivasi Kerja Pada Masinis Kereta Api ”.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Motivasi merupakan dasar yang menjadi pendorong seseorang dalam
bertingkah laku, dengan kata lain seseorang berperilaku karena didasari oleh adanya
motif. Begitu juga dalam orang bekerja, orang tidak akan melakukan suatu pekerjaan
bila tidak ada motivasi yang mendorongnya. Sebagian besar dari motivasi seseorang
dalam bekerja adalah untuk mendapatkan nilai ekonomis yang berwujud materi,
seperti gaji, upah, bonus, dsb ( Kartono, 1985 ), namun saat ini motif seseorang dalam
bekerja tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga non materi. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Anorogo dan Widiyanti ( 1990 ) bahwa motif uang tidak lagi
menjadi motif primer. Saat ini orang tidak hanya membutuhkan materi atau uang,
tetapi juga membutuhkan adanya rasa puas, rasa aman, dan adanya rasa kecintaan
terhadap pekerjaan itu. Banyak kita temukan contoh kasusnya dalam kehidupan sehari
– hari, misalnya saja seorang pegawai yang menolak pekerjaan baru karena alasan
kecintaan dan rasa suka terhadap pekerjaan yang lama walaupun pekerjaan yang baru
memberikan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang lama. Jadi
motif uang tidak selamanya menjadi motif utama dalam seseorang bekerja, masih
banyak motif dan kebutuhan – kebutuha n lain yang dapat menjadi pendorong
seseorang dalam bekerja.
Motivasi kerja merupakan salah satu proses untuk mencapai hasil kerja yang
baik. Bila motivasi kerja seseorang baik, maka kemungkinan untuk mencapai hasil
kerjanya pun baik. Anorogo ( 1992 ) berpendapat bahwa kuat lemahnya motivasi
kerja karyawan akan menentukan besar kecilnya prestasi. Setiap orang yang bekerja
pasti menginginkan hasil dan prestasi kerja yang baik agar apa yang menjadi
tujuannya dalam bekerja dapat terwujud, akan tetapi hal ini kembali lagi pada
motivasi kerja dari masing – masing individu sebagai faktor pendorongnya. Menurut
Wahjosumidjo ( 1987 ), motivasi kerja merupakan tingkah laku seseorang yang
biasanya didorong oleh keinginan atau kebutuhan yang harus diambil, diawasi, dan
diarahkan untuk melaksanakan tugas agar mencapai hasil kerja yang diinginkan.
Salah satu faktor penghambat seseorang dalam bekerja adalah tidak adanya
motivasi dan tidak adanya motivasi dapat disebabkan karena adanya kelelahan dalam
diri individu. Kelelahan bisa membuat seseorang menjadi malas untuk melakukan
sesuatu, tidak hanya kelelahan secara fisik melainkan juga secara mental dan
emosional. Sedangkan menurut As’ad ( 1995 ) motivasi kerja merupakan sesuatu
yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Selain itu, kondisi lingkungan
kerja yang meliputi suhu udara dalam ruangan, kebersihan tempat kerja, fasilitas
kerja, dan peralatan kerja juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi motivasi
kerja seseorang. Dikemukakan oleh Jurgensen ( Miranti, 2004 ) bahwa kondisi
lingkungan dan fasilitas kerja adalah salah satu faktor yang dapat mendorong motivasi
kerja. Dengan lingkungan dan fasilitas kerja yang tidak mendukung, maka akan
berpengaruh terhadap motivasi kerja seseorang dan hal ini tentu saja secara tidak
langsung akan berdampak terhadap hasil dan prestasi kerja. Hubungan interpersonal
dengan pimpinan dan rekan kerja juga menjadi faktor yang penting dalam
mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Hubungan kerja yang baik dan harmonis
dapat meningkatkan motivasi kerja karena orang akan merasa aman, nyaman, dan
mendapat dukungkan dari orang – orang disekitarnya dalam bekerja. Semua faktor
tersebut di atas adalah faktor – faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja,
namun masih banyak faktor lain yang juga mempengaruhi motivasi kerja seseorang,
seperti adanya faktor kebutuhan, baik kebutuhan secara materi maupun non materi.
Masinis kereta api adalah orang yang berperan langsung dalam
mengoperasikan jalannya kereta api. Masinis kereta api memiliki tanggung jawab
membawa penumpangnya dengan selamat sampai stasiun tujuan, selain itu masinis
kereta api memiliki kewajiban untuk menaati rambu – rambu sinyal yang ada dan
memberikan peringatan kepada pemakai jalan saat melewati perlintasan kereta api
agar terjadinya kecelakaan dapat terhindarkan karena mengingat sebagai manusia
kadang ada kalanya mengalami kelalaian. Motivasi kerja yang tinggi sangat
diperlukan bagi masinis kereta api, bila masinis kereta api tidak memiliki motivasi
kerja yang tinggi maka kemungkinan terjadinya kelalaian kerja pun akan tinggi dan
yang pada akhirnya dapat berdampak pada terjadinya kecelakaan kerja. Tidak sedikit
kecelakaan kereta api yang disebabkan oleh kelalaian masinis, setidaknya setiap tahun
kecelakaan kereta api selalu terjadi baik dalam skala kecil maupun besar. Bahkan
pada tahun 2001 sampai tahun 2002, angka tingkat kecelakaan kereta api mengalami
peningkatan sebesar 64 %, hal ini berarti kasus kecelakaan kereta api bertambah
setengah lebih dari angka kecelakaan tahun sebelumnya dan tentu saja jumlah korban
yang meninggal maupun luka – luka pun mengalami peningkatan ( Kompas, edisi 28
Januari 2003). Maka dari itu, motivasi kerja yang tinggi sangat diperlukan bagi
setiap pekerja karena terjadinya resiko kerja selalu ada, apalagi bagi masinis kereta
api yang juga memiliki resiko pekerjaan yang cukup tinggi dan berkaitan langsung
dengan keselamatan orang banyak. Setidaknya dengan motivasi kerja tinggi yang
dimiliki masinis akan membantu dalam menurunkan angka tingkat kecelakaan kerja,
yaitu tingkat kecelakaan kereta api.
Sebagai orang yang berperan langsung terhadap beroperasinya kereta api,
banyak kendala yang dialami oleh masinis dan salah satu kendalanya adalah
kelelahan. Kelelahan tidak hanya berupa kelelahan secara fisik, melainkan juga
kelelahan secara mental maupun emosional. Setiap masinis memiliki jam tugas sekitar
6 sampai 8 jam setiap harinya, hal ini tentu saja cukup melelahkan apalagi bila tidak
didukung oleh ruang lingkup kerja yang leluasa. Masinis kereta api bekerja di dalam
suatu ruangan yang disebut dengan ’ lokomotif ’ kereta api dimana sebagian besar
bagiannya terbuat dari baja serta dikelilingi oleh mesin - mesin yang tentu saja dapat
membuat kebisingan, belum lagi dengan sirkulasi udara yang tidak leluasa untuk
keluar masuk karena ruangan yang tidak dilengkapi dengan ventilasi udara yang
cukup. Jam kerja malam dengan resiko ngantuk dan cape pun dapat menjadi faktor
yang menyebabkan kelelahan secara fisik. Walaupun demikian, PT. Kereta Api juga
mengupayakan agar kelelahan secara fisik dari masinis kereta api dapat dikurangi,
misalnya dengan mengurangi jam kerja dari delapan jam menjadi enam sehari dan
juga dengan diadakannya tes kesehatan fisik sebelum para masinis menjalankan
tugasnya guna mendapatkan kelayakan kerja ( Kompas, edisi 28 Januari 2003 ).
Kelelahan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kelelahan secara mental dan
emosional. Kelelahan secara mental menyangkut bagaimana hubungan interpersonal
dari masing – masing individu, terutama hubungannya dengan pimpinan dan rekan
kerja. Dampak dari kelelahan secara mental akan membuat seseorang bersikap sinis
terhadap orang lain dan selalu berpandangan yang negatif terhadap orang lain. Bila
seseorang sudah mengalami kelelahan secara fisik, maka orang tersebut cenderung
akan bersikap tidak peduli terhadap orang lain, bahkan terhadap pimpinan dan rekan
kerjanya. Sedangkan beban tugas yang berat serta jenis pekerjaan ya ng monoton bisa
membuat seseorang mengalami depresi dan frustrasi. Sikap depresi serta frustrasi
inilah yang menyebabkan seseorang mengalami kelelahan secara emosional. Hal ini
berarti, kelelahan secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh terhadap motivasi
kerja karena dengan kelelahan yang berlebihan akan menurunkan semangat seseorang
dalam bekerja.
Kelelahan fisik, mental, maupun emosional dapat disebut dengan istilah
burnout. Istilah burnout
biasanya digunakan dalam dunia kerja untuk menunjukkan
satu jenis stres, yang juga menyatakan keadaan individu dalam hubungannya dengan
pekerjaan. Baron dan Greenberg ( 1995 ) menyatakan burnout adalah suatu sindrom
dari kelelahan emosional, fisik, dan kelelahan mental yang berhubungan dengan
perasaan dari harga diri yang rendah dan juga sebagai hasil dari stres yang berlebihan.
Oleh karena itu, melihat pentingnya motivasi kerja bagi setiap pekerja
terutama bagi masinis kereta api yang memiliki tanggung jawab kerja terhadap
keselamatan orang banyak serta kecenderunganburnout yang dialami oleh masinis
kereta api, maka penulis berkeinginan meneliti ”apakah ada hubungan antara
burnout dengan motivasi kerja pada masinis kereta api ? ” dengan mengacu pada
rumusan masalah tersebut, maka penulis mengambil judul penelitian ”Hubungan
Antara Burnout Dengan Motivasi Kerja Pada Masinis Kereta Api ”.