BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga dalam memenuhi kebutuhannya
manusia akan memerlukan bantuan atau berhubungan dengan orang lain. Dalam
berhubungan dengan orang lain diperlukan ketrampilan-ketrampilan tertentu sehingga
dapat tercipta suatu hubungan yang baik dan harmonis. Ketrampilan tertentu tersebut
misalnya sikap jujur dan terbuka, kecakapan untuk memulai pembicaraan dan
inisiatif. Ketrampilan tersebut menurut Lazarus (Prabaningsih, 1999) disebut sebagai
perilaku asertif.
Perilaku asertif tersebut diperlukan dalam menciptakan suatu hubungan yang
baik dan harmonis, dengan perilaku asertif akan didapatkan suatu hubungan sosial
yang sehat. Hubungan sosial yang sehat tersebut artinya, bahwa individu yang
berperilaku asertif akan mempertimbangkan perasaan dan keterbatasannya sehingga
kegagalan tidak akan membuatnya hancur dan lemah. Ini berarti bahwa individu
tersebut mempunyai usaha untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkannya dan dalam
mewujudkan keinginannya tersebut ditandai dengan adanya kesesuaian sosial.
Individu yang tidak memiliki sikap asertif akan cenderung untuk menjauhi
sosial (orang lain) karena ketidakmampuannya dalam mewujudkan keinginannya atau
sebaliknya individu akan mengorbankan keinginan - keinginannya untuk memuaskan
sosialnya (orang lain), walaupun individu tersebut merasa berkeberatan untuk 'tunduk'
pada tuntutan sosial (orang lain) tersebut. Davis (1981) memberikan pendapat bahwa
perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung ke tujuan dan memiliki
pendapat yang teguh. Menurut Lazarus (Prabaningsih, 1999) asertif merupakan suatu
tingkah laku individu yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan
emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya serta adanya keadaan yang efektif
yang mendukung perilakunya tersebut.
Pada umumnya seseorang yang asertif adalah orang yang mampu mengenal
dirinya dengan baik, sehingga mampu menentukan pilihan, keinginan dan tujuan
hidupnya tanpa harus dipengaruhi orang lain (Blooms dalam Nugroho, 2000).
Perilaku yang tegas tersebut yang merupakan cerminan dari sikap yang asertif
tersebut disebut sebagai asertivitas. Jadi asertivitas merupakan perwujudan atau
bentuk nyata dari perilaku asertif. Seseorang yang asertif adalah mereka yang menilai
bahwa orang boleh berpendapat sesuai pendapat dirinya dengan memperhatikan hak-
hak orang lain dengan sungguh-sungguh.
Kenyataan menunjukkan seringkali individu sulit untuk dapat berperilaku
asertif, sehingga ada ungkapan dalam masyarakat kita tentang istilah 'sulit berkata
tidak', istilah 'asal bapak senang' ataupun istilah -istilah lain yang menunjukkan
sulitnya untuk berperilaku asertif. Padahal asertivitas sebagai bentuk perilaku asertif
diperlukan dalam kehidupan seseorang untuk menyesesuaikan diri terhadap aspek-
aspek kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan modern. Kehidupan modern yang
dimaksud adalah suatu pola kehidupan sosial yang menghormati nilai-nilai
keterbukaan, individualitas dan progresif.
Konsekuensi dari hal tersebut diatas adalah terbentuknya sikap mental
manusia modern, ialah manusia yang memiliki pribadi terbuka, mampu mengambil
keputusan secara cepat,memiliki pengetahuan luas dan selalu berfikir alternatif.
Untuk menghasilkan manusia-manusia yang modern, diperlukan fasilitas yang
mampu memenuhi kebutuhan individu sebagai manusia modern. Kebutuhan tersebut
bisa bersifat fisik maupun psikis. Salah satu kebutuhan psikis yang amat mendasar
adalah kebutuhan akan harga diri.
Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian diri yang
dilakukan oleh individu yang berkaitan dengan diri sendiri, penilaian tersebut
mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan, serta menunjukkan seberapa jauh
individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Selain itu
harga diri dapat diartikan sebagai pengalaman individu yang bersifat subjektif
diperoleh melalui kegiatan atau proses interaksi dengan lingkungannya berdasarkan
sejumlah penghargaan, penerimaan dan perlakukan yang dialami individu tersebut.
(Koentjoro, 1989) menyatakan harga diri berasal dari interaksi dengan lingkungan
dan sejumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatiaan orang lain yang diterimanya.
Sedangkan Walgito (1991) menyatakan bahwa kebutuhan akan harga diri ini akan
berperan penting dalam perilaku manusia pada kehidupan sehari-harinya. Lebih jauh
Branden (1981) mengatakan bahwa harga diri dapat mempengaruhi, proses berfikir,
emosi dan keputusan yang diambil serta nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang.
Untuk berpeluang sukses seseorang dituntut untuk memiliki harga diri yang
tinggi. Bagi mereka yang memiliki harga diri rendah, mau tak mau harus
mengubahnya menjadi tinggi. Mengubah harga diri melalui proses sedikit demi
sedikit dan tidak bisa dengan segera. Untuk dapat memperbaiki harga diri ini, banyak
hal dapat dilakukan. Namun hal yang paling mudah adalah dangan refleksi dan
perbandingan, yang disebut sebagai self evaluation maintenance (Brigham, 1991).
Refleksi ini dilakukan dengan menggunakan atribut yang kuat dan membanggakan
dan menguntungkan dirinya sehingga meningkatkan harga dirinya, misalnya: status
sosial, tempat tinggal dan kedudukan orangtua. Perbandingan dilakukan dengan cara
melihat kekurangan orang lain, jadi subyek membandingkan keadaan dirinya dengan
orang lain yang lebih rendah.
Dalam prakteknya, seringkali orang memerlukan bantuan orang lain.Polisi
sebagai alat negara, seringkali berhubungan dan berinteraksi langsung dengan
masyarakat. Dalam berhubungan dengan orang lain diperlukan ketrampilan-
ketrampilan tertentu sehingga dapat tercipta suatu hubungan yang baik dan harmonis.
Ketrampilan tertentu tersebut misalnya sikap jujur dan terbuka, kecakapan untuk
memulai pembicaraan dan inisiatif. Ketrampilan tersebut menurut Lazarus
(Prabaningsih, 1999) disebut sebagai perilaku asertif. Namun tak jarang adanya
“godaan-godaan” ataupun “rayuan tertentu” menjadikan para polisi tidak mampu
untuk berperilaku asertif. Godaan atau rayuan tersebut misalnya berupa uang (suap),
fasilitas dan kemudahan dalam mengakses suatu layanan. Perilaku tidak asertif
tersebut seringkali dikeluhkan oleh masyarakat luas, polisi sebagai abdi masyarakat
diharapkan mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk dapat berperilaku tegas,
ramah dan terbuka. Perilaku ini disebut sebagai perilaku asertif. Diharapkan dengan
berperilaku asertif aparat kepolisian akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai
abdi masyarakat dengan lebih baik.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa harga diri merupakan suatu
kebutuhan mendasar bagi individu. Oleh karena itu, apabila kebutuhan akan harga
diri ini tidak terpenuhi, maka individu akan merasa tidak berarti dan tidak berharga.
Sehingga individu menjadi cemas, sulit memusatkan perhatian pada tugas dan
terganggu pada tingkat emosi dan proses berfikirnya. Hal tersebut akan menyebabkan
individu menjadi cemas dalam menghadapi situasi-situasi baru maupun gagal dalam
melakukan interaksi sosial (Brochner dalam Handayani, 2000).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis dapat merumuskan suatu
permasalahan: Apakah ada hubungan antara harga diri dengan asertivitas?. Untuk itu
penulis melakukan penelitian dengan judul "Hubungan antara Harga Diri dengan
Asertivitas".
B. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga dalam memenuhi kebutuhannya
manusia akan memerlukan bantuan atau berhubungan dengan orang lain. Dalam
berhubungan dengan orang lain diperlukan ketrampilan-ketrampilan tertentu sehingga
dapat tercipta suatu hubungan yang baik dan harmonis. Ketrampilan tertentu tersebut
misalnya sikap jujur dan terbuka, kecakapan untuk memulai pembicaraan dan
inisiatif. Ketrampilan tersebut menurut Lazarus (Prabaningsih, 1999) disebut sebagai
perilaku asertif.
Perilaku asertif tersebut diperlukan dalam menciptakan suatu hubungan yang
baik dan harmonis, dengan perilaku asertif akan didapatkan suatu hubungan sosial
yang sehat. Hubungan sosial yang sehat tersebut artinya, bahwa individu yang
berperilaku asertif akan mempertimbangkan perasaan dan keterbatasannya sehingga
kegagalan tidak akan membuatnya hancur dan lemah. Ini berarti bahwa individu
tersebut mempunyai usaha untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkannya dan dalam
mewujudkan keinginannya tersebut ditandai dengan adanya kesesuaian sosial.
Individu yang tidak memiliki sikap asertif akan cenderung untuk menjauhi
sosial (orang lain) karena ketidakmampuannya dalam mewujudkan keinginannya atau
sebaliknya individu akan mengorbankan keinginan - keinginannya untuk memuaskan
sosialnya (orang lain), walaupun individu tersebut merasa berkeberatan untuk 'tunduk'
pada tuntutan sosial (orang lain) tersebut. Davis (1981) memberikan pendapat bahwa
perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung ke tujuan dan memiliki
pendapat yang teguh. Menurut Lazarus (Prabaningsih, 1999) asertif merupakan suatu
tingkah laku individu yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan
emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya serta adanya keadaan yang efektif
yang mendukung perilakunya tersebut.
Pada umumnya seseorang yang asertif adalah orang yang mampu mengenal
dirinya dengan baik, sehingga mampu menentukan pilihan, keinginan dan tujuan
hidupnya tanpa harus dipengaruhi orang lain (Blooms dalam Nugroho, 2000).
Perilaku yang tegas tersebut yang merupakan cerminan dari sikap yang asertif
tersebut disebut sebagai asertivitas. Jadi asertivitas merupakan perwujudan atau
bentuk nyata dari perilaku asertif. Seseorang yang asertif adalah mereka yang menilai
bahwa orang boleh berpendapat sesuai pendapat dirinya dengan memperhatikan hak-
hak orang lain dengan sungguh-sungguh.
Kenyataan menunjukkan seringkali individu sulit untuk dapat berperilaku
asertif, sehingga ada ungkapan dalam masyarakat kita tentang istilah 'sulit berkata
tidak', istilah 'asal bapak senang' ataupun istilah -istilah lain yang menunjukkan
sulitnya untuk berperilaku asertif. Padahal asertivitas sebagai bentuk perilaku asertif
diperlukan dalam kehidupan seseorang untuk menyesesuaikan diri terhadap aspek-
aspek kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan modern. Kehidupan modern yang
dimaksud adalah suatu pola kehidupan sosial yang menghormati nilai-nilai
keterbukaan, individualitas dan progresif.
Konsekuensi dari hal tersebut diatas adalah terbentuknya sikap mental
manusia modern, ialah manusia yang memiliki pribadi terbuka, mampu mengambil
keputusan secara cepat,memiliki pengetahuan luas dan selalu berfikir alternatif.
Untuk menghasilkan manusia-manusia yang modern, diperlukan fasilitas yang
mampu memenuhi kebutuhan individu sebagai manusia modern. Kebutuhan tersebut
bisa bersifat fisik maupun psikis. Salah satu kebutuhan psikis yang amat mendasar
adalah kebutuhan akan harga diri.
Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian diri yang
dilakukan oleh individu yang berkaitan dengan diri sendiri, penilaian tersebut
mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan, serta menunjukkan seberapa jauh
individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Selain itu
harga diri dapat diartikan sebagai pengalaman individu yang bersifat subjektif
diperoleh melalui kegiatan atau proses interaksi dengan lingkungannya berdasarkan
sejumlah penghargaan, penerimaan dan perlakukan yang dialami individu tersebut.
(Koentjoro, 1989) menyatakan harga diri berasal dari interaksi dengan lingkungan
dan sejumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatiaan orang lain yang diterimanya.
Sedangkan Walgito (1991) menyatakan bahwa kebutuhan akan harga diri ini akan
berperan penting dalam perilaku manusia pada kehidupan sehari-harinya. Lebih jauh
Branden (1981) mengatakan bahwa harga diri dapat mempengaruhi, proses berfikir,
emosi dan keputusan yang diambil serta nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang.
Untuk berpeluang sukses seseorang dituntut untuk memiliki harga diri yang
tinggi. Bagi mereka yang memiliki harga diri rendah, mau tak mau harus
mengubahnya menjadi tinggi. Mengubah harga diri melalui proses sedikit demi
sedikit dan tidak bisa dengan segera. Untuk dapat memperbaiki harga diri ini, banyak
hal dapat dilakukan. Namun hal yang paling mudah adalah dangan refleksi dan
perbandingan, yang disebut sebagai self evaluation maintenance (Brigham, 1991).
Refleksi ini dilakukan dengan menggunakan atribut yang kuat dan membanggakan
dan menguntungkan dirinya sehingga meningkatkan harga dirinya, misalnya: status
sosial, tempat tinggal dan kedudukan orangtua. Perbandingan dilakukan dengan cara
melihat kekurangan orang lain, jadi subyek membandingkan keadaan dirinya dengan
orang lain yang lebih rendah.
Dalam prakteknya, seringkali orang memerlukan bantuan orang lain.Polisi
sebagai alat negara, seringkali berhubungan dan berinteraksi langsung dengan
masyarakat. Dalam berhubungan dengan orang lain diperlukan ketrampilan-
ketrampilan tertentu sehingga dapat tercipta suatu hubungan yang baik dan harmonis.
Ketrampilan tertentu tersebut misalnya sikap jujur dan terbuka, kecakapan untuk
memulai pembicaraan dan inisiatif. Ketrampilan tersebut menurut Lazarus
(Prabaningsih, 1999) disebut sebagai perilaku asertif. Namun tak jarang adanya
“godaan-godaan” ataupun “rayuan tertentu” menjadikan para polisi tidak mampu
untuk berperilaku asertif. Godaan atau rayuan tersebut misalnya berupa uang (suap),
fasilitas dan kemudahan dalam mengakses suatu layanan. Perilaku tidak asertif
tersebut seringkali dikeluhkan oleh masyarakat luas, polisi sebagai abdi masyarakat
diharapkan mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk dapat berperilaku tegas,
ramah dan terbuka. Perilaku ini disebut sebagai perilaku asertif. Diharapkan dengan
berperilaku asertif aparat kepolisian akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai
abdi masyarakat dengan lebih baik.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa harga diri merupakan suatu
kebutuhan mendasar bagi individu. Oleh karena itu, apabila kebutuhan akan harga
diri ini tidak terpenuhi, maka individu akan merasa tidak berarti dan tidak berharga.
Sehingga individu menjadi cemas, sulit memusatkan perhatian pada tugas dan
terganggu pada tingkat emosi dan proses berfikirnya. Hal tersebut akan menyebabkan
individu menjadi cemas dalam menghadapi situasi-situasi baru maupun gagal dalam
melakukan interaksi sosial (Brochner dalam Handayani, 2000).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis dapat merumuskan suatu
permasalahan: Apakah ada hubungan antara harga diri dengan asertivitas?. Untuk itu
penulis melakukan penelitian dengan judul "Hubungan antara Harga Diri dengan
Asertivitas".
B. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :