BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan salah satu aset terpenting sebagai penggerak
pembangunan. Menurut As’ad (1995), faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang
pesat adalah faktor manusianya. Kualitas sumber daya manusia pada negara-negara
berkembang masih kalah bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini
disebabkan dalam setiap proses kegiatan ekonomi mulai dari pengumpulan bahan
mentah sampai dengan pemasaran hasil produksi, dibutuhkan hadirnya seorang atau
sekelompok orang yang benar-benar menguasai untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 adalah
harga mahal yang harus dibayar untuk model pembangunan kapitalistik pilihan
pemerintah, yang pada dasarnya mengejar pertumbuhan tinggi, ekspansi usaha, dan
koglomerasi. Indonesia menderita paling parah dibandingkan negara-negara Asia
lainnya, seperti Thailand, Philipina atau Malaysia.
Salah satu ciri yang menonjol pada negara-negara maju adalah banyaknya
wirausahawan atau wiraswastawan. Kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Barat
dan Jepang, menurut Sumahamijaya (1979), adalah justru karena mereka mampu
melahirkan tenaga-tenaga yang mempunyai minat wirausaha tinggi sebanyak 2 %
dari jumlah penduduk, 20 % tenaga wiraswasta menengah, dan sisanya adalah tenaga
wiraswasta biasa.
Kata wirausaha atau wiraswasta dalam bahasa Indonesia adalah padanan kata
bahasa Prancis enterpreneur, yang sudah dikenal sejak abad 17. Kata enterpreneur
berasal dari kata kerja entreprendre. Wirausaha merupakan gabungan kata wira (=
gagah berani, perkasa) dan usaha. Jadi wirausaha berarti orang yang gagah berani
atau perkasa dalam usaha. Kata “wiraswasta” terdiri dari kata wira (= gagah berani,
perkasa) dan swa ( = sendiri, mandiri). Jadi wiraswasta berarti orang yang gagah
berani atau perkasa dan mandiri. (Riyanti, 2003)
Smith (Riyanti, 2003) mendefinisikan wirausaha sebagai orang yang memiliki
pandangan yang tidak lazim yang dapat mengenali tuntutan potensial atas barang dan
Jasa. Baptise (Riyanti, 2003) berpendapat wirausaha adalah orang yang memiliki seni
dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha ekonomi yang baru. Sukardi
(1991) mengemukakan wirausaha adalah seseorang yang bersedia mengambil risiko
pribadi untuk mengemukan peluang usaha, mendirikan, mengelola, mengembangkan,
dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri, dimana kelangsungan hidupnya
tergantung pada tindakannya sendiri.
Wirausaha adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan
menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial,
psikologis, dan sosial yang menyertainya, serta menerima jasa moneter dan kepuasan
pribadi (Brandt, 1986).
Cahyono (1983) menyatakan bahwa minat jiwa wirausaha adalah kemauan
dan kemampuan berdiri sendiri, merdeka lahir dan batin dengan tekat yang kuat
berusaha mencapai kemajuan hidup dengan keluhuran budinya, serta dilandasi
dengan rasa percaya pada diri sendiri untuk mencapai kemajuan, keberhasilan hidup
tanpa bergantung pada orang lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa seorang
wirausahawan tidak boleh dihinggapi rasa pesimis, tetapi optimis yang menyala-nyala
di dada yang membuat dirinya menjadi manusia yang penuh kreativitas dan tabah
menghadapi segala cobaan. Rasa optimis itulah yang menjadi tenaga pendorong yang
sangat besar pada dirinya untuk maju.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri juga adalah dunia pendidikan
Indonesia belum mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Padahal dengan sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa
Indonesia bisa mengatasi berbagai tantangan pembangunan seperti masalah lapangan
pekerjaan dan pendidikan. Indikasi rendahnya Sumber Daya Insani (SDI) Indonesia
ialah besarnya kesenjangan pendapatan, besarnya pengangguran dan rendahnya
pendidikan rata-rata tenaga kerja. Secara komparatif kondisi sumber daya insani
(SDI) Indonesia dibandingkan dengan SDI mancanegara masih tergolong rendah
yaitu peringkat ke-98. Sementara itu peringkat SDI Filipina 84, Thailand 66,
Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37, Hongkong 25, Australia 9, Belanda 8, dan
Jepang peringkat pertama, (Hadipranata, 2000).
Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa angka pengangguran pada tahun 2002
mencapai 9,05 persen atau sebanyak 9,1 juta penduduk menganggur dan tidak
memiliki pekerjaan. Para pengangguran ini menyebar di daerah perkotaan dan
pedesaan, jumlah laki-laki dan perempuan sebanding, tetapi pertumbuhan
pengangguran di perkotaan jauh lebih cepat di banding di pedesaan. Dengan
demikian dibandingan dengan keadaan 1996 dalam enam tahun terakhir secara
absolut jumlah penganggur bertambah sebanyak 7,2 juta orang. Penganggur
perempuan naik dari 2,1 juta orang menjadi 4,4 juta orang pada tahun 2002,
sedangkan pria naik dari 2,3 juta menjadi 4,7 juta orang. Dengan melihat kenyataan
periode tahun 1996-2002 jika tidak diantisipasi maka tingkat pengangguran akan
meningkat, dan mungkin pertumbuhannya sekitar satu persen tahun pada 2003
(Kompas, 2003)
Beberapa cara telah dilakukan untuk mengurangi pengangguran, antara lain
yaitu membuka lowongan kerja melalui bursa kerja. Seperti yang dilakukan oleh Asia
Expo untuk mengadakan acara bursa kerja yang ke sembilan kalinya. Acara yang
disponsori oleh JobsDB.com dan DepNaKer ini digelar pada tanggal 27-28 Januari
2004. PT JobsDB Indonesia yang terkenal sebagai penyelenggara bursa kerja online
menyajikan lebih dari 1500 lowongan kerja dari dalam dan luar negeri. Pihak Dirjen
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri sendiri juga tidak ragu
menyokong ajang ini mengingat masalah tenaga kerja masih saja menjadi masalah
pelik di Indonesia.
Pada bursa kerja tersebut ribuan pencari kerja akan datang dalam pameran
Career 2004 ini. Selain rekruitmen calon pekerja secara langsung para pencari kerja
juga dapat melamar pekerjaan secara online pada terminal komputer yang tersedia.
Berbagai lowongan kerja dari industri perbankan, otomotif, TI, konsultan, dan
lainnya tersedia di pameran bursa kerja ini. (www.infokerja.web.id, 2004)
Saat menghadapi sulitnya lapangan pekerjaan, optimisme memang tetap harus
dibangun. Akan tetapi, realitas yang adapun tak bisa disembunyikan. Bahwa
sederetan problem ketenagakerjaan yang menjadi penyakit lama negeri ini belum juga
tampak ada tanda-tanda menuju kondisi yang lebih cerah dan menjanjikan. Kenapa
bisa begitu banyak pengangguran? Menurut Nuryati (2003) sebenarnya banyaknya
pengangguran ini paling tidak berpangkal pada tiga hal. Pertama, banyaknya
angkatan kerja baru yang setiap tahun mengalir, namun tidak tertampung oleh
kesempatan kerja. Keadaan demikian yang berlangsung terus-menerus telah
menghasilkan tumpukan pengangguran. Ditambah lagi dengan persoalan kedua,
yaitu adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi mereka yang memang
sebelumnya bekerja. Ketiga, kebanyakan orang tidak dapat berusaha mandiri akibat
tidak memiliki modal, lahan, keahlian (skill) maupun kesempatan. Persoalan pertama
dimungkinkan karena tidak seimbangnya penawaran tenaga kerja dengan kebutuhan.
Baik karena sempitnya lapangan kerja ataupun tidak sesuainya keahlian yang
ditawarkan oleh pencari kerja dengan keahlian yang diperlukan. Tentu hal ini
merupakan dampak dari kebijakan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi
daripada pemerataan sehingga yang tumbuh bukanlah perkembangan ekonomi rakyat,
melainkan konglomerasi oleh segelintir orang. Selain itu, dunia pendidikan yang
tidak menukik kepada persoalan praktis yang diperlukan dalam kehidupan, hanya
akan memperparah banyaknya pengangguran. Apalagi pendidikan yang serba
tanggung. Memahami kerangka teoritis setengah-setengah. Ujungnya ke sini tidak ke
sana pun tidak. Muara semua itu adalah pengangguran.
Kehidupan di tengah masyarakat modern memiliki tingkat mobilitas dan
perubahan yang tinggi dan dapat menganggu kestabilan emosi seseorang. Hal ini
karena suatu perubahan yang dialami individu belum tentu menyenangkan, tetapi ada
kalanya muncul situasi yang membawa kecemasan. Tingkat persaingan semakin
tinggi untuk mendapatkan suatu pekerjaan atau kesempatan bekerja dapat
menyebabkan kecemasan bagi individu yang belum mendapat pekerjaan.Kecemasan
terhadap sempitnya lapangan pekerjaan dapat disebabkan antara lain oleh banyaknya
pengangguran yang ada di negara Indonesia.
Rasa cemas akan sempitnya lapangan pekerjaan dapat muncul karena adanya
faktor situasi-situasi yang telah disebutkan di atas, dimana semakin sulitnya dan
semakin berkurangnya lapangan pekerjaan yang dapat dimasuki kelak setelah
mahasiswa menyelesaikan studinya terlebih-lebih kaitannya dengan kondisi krisis
ekonomi saat ini.
Iskandar (1984) mengatakan bahwa kecemasan merupakan faktor emosional.
Kecemasan merupakan sebagian dari dinamika kehidupan yang tidak mungkin
ditiadakan. Meichati (1983) menyatakan bahwa kecemasan adalah bentuk perasaan
yang biasanya diiringi dengan suasana hati yang kurang menyenangkan, kecemasan
sering dialami terhadap hal-hal yang belum diketahui kepastiannya, misal terhadap
masa daepannya, terhadap rencana yang sedang diangankan dan sebagainya.
Hoesodo (1991), mengatakan kecemasan disebabkan tekanan dari dalam diri
seseorang yang merasa takut akan terjadinya sesuatu hal yang tidak layak, dan ini
berhubungan dengan harga dirinya, individu yang mengalami kecemasan hanya
mengenai konflik secara samar-samar dan hanya menyadari suatu keadaan yang
menakutkan. Kecemasan merupakan keadaan atau kondisi emosi yang tidak
menyenangkan yang dicirikan dengan perasaan tegang, keadaan dan kekhawatiran
kerena tergiatnya atau terbangkitnya sistem syaraf otonom
Pengertian kecemasan akan sempitnya lapangan pekerjaan dengan kaitannya
dalam penelitian ini diartikan adalah perasaan takut atau perasaan tidak tenang yang
dapat meningkatkan ketegangan dalam menghadapi kurangnya kesempatan yang
dimiliki individu dalam lapangan pekerjaan atau profesi tertentu.
Cemas tidaknya seseorang terhadap sempitnya lapangan pekerjaan bukan
berasal dari pengakuan umum Oleh karena itu diharapkan apabila seseorang merasa
cemas terhadap kesempatan lapangan pekerjaan dan menyadari bahwa ia harus
memecahkan masalah tersebut, maka akan timbul prakarsa, ide–ide yang cemerlang
untuk mencari terobosan guna menanggulangi keterbatasan lapangan pekerjaan
karena semakin tingginya tingkat persaingan kerja. Terobosan yang dapat dilakukan
antara lain menumbuhkan minat untuk berwirausaha.
Kenyataan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang semula meningkat,
sekarang merosot tajam, disebabkan banyaknya perusahaan yang tidak dapat
mempertahankan usahanya. Perusahaan berusaha mempertahankan perusahaan tetap
berjalan namun pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi,
sehingga tidak jarang perusahaan terpaksa ditutup dengan alasan terus merugi. Ada
sebagian perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja, seperti pemutusan
hubungan kerja karyawan bank yang terlikuidasi pada beberapa waktu yang lalu
sehingga mengakibatkan banyak tenaga kerja yang menganggur. Apabila jumlah
tersebut ditambah dengan lulusan perguruan tinggi yang ada maka jumlah
pengangguran akan bertambah besar (Rahmad, 1999).
Berdasarkan kenyataan ini dapat dibuat pertanyaan penelitian apakah ada
hubungan antara kecemasan terhadap sempitnya lapangan pekerjaan dengan minat
berwirausaha?. Mengacu pada pertanyaan penelitian tersebut peneliti tertarik untuk
menguji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul: Hubungan antara
Kecemasan terhadap Sempitnya Lapangan Pekerjaan dengan Minat Berwirausaha.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan salah satu aset terpenting sebagai penggerak
pembangunan. Menurut As’ad (1995), faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang
pesat adalah faktor manusianya. Kualitas sumber daya manusia pada negara-negara
berkembang masih kalah bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini
disebabkan dalam setiap proses kegiatan ekonomi mulai dari pengumpulan bahan
mentah sampai dengan pemasaran hasil produksi, dibutuhkan hadirnya seorang atau
sekelompok orang yang benar-benar menguasai untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 adalah
harga mahal yang harus dibayar untuk model pembangunan kapitalistik pilihan
pemerintah, yang pada dasarnya mengejar pertumbuhan tinggi, ekspansi usaha, dan
koglomerasi. Indonesia menderita paling parah dibandingkan negara-negara Asia
lainnya, seperti Thailand, Philipina atau Malaysia.
Salah satu ciri yang menonjol pada negara-negara maju adalah banyaknya
wirausahawan atau wiraswastawan. Kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Barat
dan Jepang, menurut Sumahamijaya (1979), adalah justru karena mereka mampu
melahirkan tenaga-tenaga yang mempunyai minat wirausaha tinggi sebanyak 2 %
dari jumlah penduduk, 20 % tenaga wiraswasta menengah, dan sisanya adalah tenaga
wiraswasta biasa.
Kata wirausaha atau wiraswasta dalam bahasa Indonesia adalah padanan kata
bahasa Prancis enterpreneur, yang sudah dikenal sejak abad 17. Kata enterpreneur
berasal dari kata kerja entreprendre. Wirausaha merupakan gabungan kata wira (=
gagah berani, perkasa) dan usaha. Jadi wirausaha berarti orang yang gagah berani
atau perkasa dalam usaha. Kata “wiraswasta” terdiri dari kata wira (= gagah berani,
perkasa) dan swa ( = sendiri, mandiri). Jadi wiraswasta berarti orang yang gagah
berani atau perkasa dan mandiri. (Riyanti, 2003)
Smith (Riyanti, 2003) mendefinisikan wirausaha sebagai orang yang memiliki
pandangan yang tidak lazim yang dapat mengenali tuntutan potensial atas barang dan
Jasa. Baptise (Riyanti, 2003) berpendapat wirausaha adalah orang yang memiliki seni
dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha ekonomi yang baru. Sukardi
(1991) mengemukakan wirausaha adalah seseorang yang bersedia mengambil risiko
pribadi untuk mengemukan peluang usaha, mendirikan, mengelola, mengembangkan,
dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri, dimana kelangsungan hidupnya
tergantung pada tindakannya sendiri.
Wirausaha adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan
menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial,
psikologis, dan sosial yang menyertainya, serta menerima jasa moneter dan kepuasan
pribadi (Brandt, 1986).
Cahyono (1983) menyatakan bahwa minat jiwa wirausaha adalah kemauan
dan kemampuan berdiri sendiri, merdeka lahir dan batin dengan tekat yang kuat
berusaha mencapai kemajuan hidup dengan keluhuran budinya, serta dilandasi
dengan rasa percaya pada diri sendiri untuk mencapai kemajuan, keberhasilan hidup
tanpa bergantung pada orang lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa seorang
wirausahawan tidak boleh dihinggapi rasa pesimis, tetapi optimis yang menyala-nyala
di dada yang membuat dirinya menjadi manusia yang penuh kreativitas dan tabah
menghadapi segala cobaan. Rasa optimis itulah yang menjadi tenaga pendorong yang
sangat besar pada dirinya untuk maju.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri juga adalah dunia pendidikan
Indonesia belum mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Padahal dengan sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa
Indonesia bisa mengatasi berbagai tantangan pembangunan seperti masalah lapangan
pekerjaan dan pendidikan. Indikasi rendahnya Sumber Daya Insani (SDI) Indonesia
ialah besarnya kesenjangan pendapatan, besarnya pengangguran dan rendahnya
pendidikan rata-rata tenaga kerja. Secara komparatif kondisi sumber daya insani
(SDI) Indonesia dibandingkan dengan SDI mancanegara masih tergolong rendah
yaitu peringkat ke-98. Sementara itu peringkat SDI Filipina 84, Thailand 66,
Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37, Hongkong 25, Australia 9, Belanda 8, dan
Jepang peringkat pertama, (Hadipranata, 2000).
Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa angka pengangguran pada tahun 2002
mencapai 9,05 persen atau sebanyak 9,1 juta penduduk menganggur dan tidak
memiliki pekerjaan. Para pengangguran ini menyebar di daerah perkotaan dan
pedesaan, jumlah laki-laki dan perempuan sebanding, tetapi pertumbuhan
pengangguran di perkotaan jauh lebih cepat di banding di pedesaan. Dengan
demikian dibandingan dengan keadaan 1996 dalam enam tahun terakhir secara
absolut jumlah penganggur bertambah sebanyak 7,2 juta orang. Penganggur
perempuan naik dari 2,1 juta orang menjadi 4,4 juta orang pada tahun 2002,
sedangkan pria naik dari 2,3 juta menjadi 4,7 juta orang. Dengan melihat kenyataan
periode tahun 1996-2002 jika tidak diantisipasi maka tingkat pengangguran akan
meningkat, dan mungkin pertumbuhannya sekitar satu persen tahun pada 2003
(Kompas, 2003)
Beberapa cara telah dilakukan untuk mengurangi pengangguran, antara lain
yaitu membuka lowongan kerja melalui bursa kerja. Seperti yang dilakukan oleh Asia
Expo untuk mengadakan acara bursa kerja yang ke sembilan kalinya. Acara yang
disponsori oleh JobsDB.com dan DepNaKer ini digelar pada tanggal 27-28 Januari
2004. PT JobsDB Indonesia yang terkenal sebagai penyelenggara bursa kerja online
menyajikan lebih dari 1500 lowongan kerja dari dalam dan luar negeri. Pihak Dirjen
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri sendiri juga tidak ragu
menyokong ajang ini mengingat masalah tenaga kerja masih saja menjadi masalah
pelik di Indonesia.
Pada bursa kerja tersebut ribuan pencari kerja akan datang dalam pameran
Career 2004 ini. Selain rekruitmen calon pekerja secara langsung para pencari kerja
juga dapat melamar pekerjaan secara online pada terminal komputer yang tersedia.
Berbagai lowongan kerja dari industri perbankan, otomotif, TI, konsultan, dan
lainnya tersedia di pameran bursa kerja ini. (www.infokerja.web.id, 2004)
Saat menghadapi sulitnya lapangan pekerjaan, optimisme memang tetap harus
dibangun. Akan tetapi, realitas yang adapun tak bisa disembunyikan. Bahwa
sederetan problem ketenagakerjaan yang menjadi penyakit lama negeri ini belum juga
tampak ada tanda-tanda menuju kondisi yang lebih cerah dan menjanjikan. Kenapa
bisa begitu banyak pengangguran? Menurut Nuryati (2003) sebenarnya banyaknya
pengangguran ini paling tidak berpangkal pada tiga hal. Pertama, banyaknya
angkatan kerja baru yang setiap tahun mengalir, namun tidak tertampung oleh
kesempatan kerja. Keadaan demikian yang berlangsung terus-menerus telah
menghasilkan tumpukan pengangguran. Ditambah lagi dengan persoalan kedua,
yaitu adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi mereka yang memang
sebelumnya bekerja. Ketiga, kebanyakan orang tidak dapat berusaha mandiri akibat
tidak memiliki modal, lahan, keahlian (skill) maupun kesempatan. Persoalan pertama
dimungkinkan karena tidak seimbangnya penawaran tenaga kerja dengan kebutuhan.
Baik karena sempitnya lapangan kerja ataupun tidak sesuainya keahlian yang
ditawarkan oleh pencari kerja dengan keahlian yang diperlukan. Tentu hal ini
merupakan dampak dari kebijakan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi
daripada pemerataan sehingga yang tumbuh bukanlah perkembangan ekonomi rakyat,
melainkan konglomerasi oleh segelintir orang. Selain itu, dunia pendidikan yang
tidak menukik kepada persoalan praktis yang diperlukan dalam kehidupan, hanya
akan memperparah banyaknya pengangguran. Apalagi pendidikan yang serba
tanggung. Memahami kerangka teoritis setengah-setengah. Ujungnya ke sini tidak ke
sana pun tidak. Muara semua itu adalah pengangguran.
Kehidupan di tengah masyarakat modern memiliki tingkat mobilitas dan
perubahan yang tinggi dan dapat menganggu kestabilan emosi seseorang. Hal ini
karena suatu perubahan yang dialami individu belum tentu menyenangkan, tetapi ada
kalanya muncul situasi yang membawa kecemasan. Tingkat persaingan semakin
tinggi untuk mendapatkan suatu pekerjaan atau kesempatan bekerja dapat
menyebabkan kecemasan bagi individu yang belum mendapat pekerjaan.Kecemasan
terhadap sempitnya lapangan pekerjaan dapat disebabkan antara lain oleh banyaknya
pengangguran yang ada di negara Indonesia.
Rasa cemas akan sempitnya lapangan pekerjaan dapat muncul karena adanya
faktor situasi-situasi yang telah disebutkan di atas, dimana semakin sulitnya dan
semakin berkurangnya lapangan pekerjaan yang dapat dimasuki kelak setelah
mahasiswa menyelesaikan studinya terlebih-lebih kaitannya dengan kondisi krisis
ekonomi saat ini.
Iskandar (1984) mengatakan bahwa kecemasan merupakan faktor emosional.
Kecemasan merupakan sebagian dari dinamika kehidupan yang tidak mungkin
ditiadakan. Meichati (1983) menyatakan bahwa kecemasan adalah bentuk perasaan
yang biasanya diiringi dengan suasana hati yang kurang menyenangkan, kecemasan
sering dialami terhadap hal-hal yang belum diketahui kepastiannya, misal terhadap
masa daepannya, terhadap rencana yang sedang diangankan dan sebagainya.
Hoesodo (1991), mengatakan kecemasan disebabkan tekanan dari dalam diri
seseorang yang merasa takut akan terjadinya sesuatu hal yang tidak layak, dan ini
berhubungan dengan harga dirinya, individu yang mengalami kecemasan hanya
mengenai konflik secara samar-samar dan hanya menyadari suatu keadaan yang
menakutkan. Kecemasan merupakan keadaan atau kondisi emosi yang tidak
menyenangkan yang dicirikan dengan perasaan tegang, keadaan dan kekhawatiran
kerena tergiatnya atau terbangkitnya sistem syaraf otonom
Pengertian kecemasan akan sempitnya lapangan pekerjaan dengan kaitannya
dalam penelitian ini diartikan adalah perasaan takut atau perasaan tidak tenang yang
dapat meningkatkan ketegangan dalam menghadapi kurangnya kesempatan yang
dimiliki individu dalam lapangan pekerjaan atau profesi tertentu.
Cemas tidaknya seseorang terhadap sempitnya lapangan pekerjaan bukan
berasal dari pengakuan umum Oleh karena itu diharapkan apabila seseorang merasa
cemas terhadap kesempatan lapangan pekerjaan dan menyadari bahwa ia harus
memecahkan masalah tersebut, maka akan timbul prakarsa, ide–ide yang cemerlang
untuk mencari terobosan guna menanggulangi keterbatasan lapangan pekerjaan
karena semakin tingginya tingkat persaingan kerja. Terobosan yang dapat dilakukan
antara lain menumbuhkan minat untuk berwirausaha.
Kenyataan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang semula meningkat,
sekarang merosot tajam, disebabkan banyaknya perusahaan yang tidak dapat
mempertahankan usahanya. Perusahaan berusaha mempertahankan perusahaan tetap
berjalan namun pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi,
sehingga tidak jarang perusahaan terpaksa ditutup dengan alasan terus merugi. Ada
sebagian perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja, seperti pemutusan
hubungan kerja karyawan bank yang terlikuidasi pada beberapa waktu yang lalu
sehingga mengakibatkan banyak tenaga kerja yang menganggur. Apabila jumlah
tersebut ditambah dengan lulusan perguruan tinggi yang ada maka jumlah
pengangguran akan bertambah besar (Rahmad, 1999).
Berdasarkan kenyataan ini dapat dibuat pertanyaan penelitian apakah ada
hubungan antara kecemasan terhadap sempitnya lapangan pekerjaan dengan minat
berwirausaha?. Mengacu pada pertanyaan penelitian tersebut peneliti tertarik untuk
menguji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul: Hubungan antara
Kecemasan terhadap Sempitnya Lapangan Pekerjaan dengan Minat Berwirausaha.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :