BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sektor pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam program
pembangunan dewasa ini. Berdasarkan pendidikan maka akan tercipta sumber daya
yang sangat berguna dalam pembangunan suatu negara. Guru merupakan figur
manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam
pendidikan. Namun, guru tidak hanya bertugas memberikan pengetahuan dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas, tetapi juga harus dapat mengembangkan
kepribadian anak. Oleh karena itu guru harus mengetahui lebih dari sekedar masalah
bagaimana mengajar yang efektif, namun juga harus dapat membantu murid dalam
mengembangkan aspek kepribadiannya untuk bekal hidup bermasyarakat.
Guru, menurut Usman (1990), adalah seseorang yang bekerja dibidang
pendidikan dan pengajaran yang ikut serta bertanggung jawab membantu anak
didiknya mencapai kedewasaan, sehingga siap memasuki lingkungan masyarakat
yang lebih luas. Dalam hal ini guru bertindak sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai
pengajar, guru menyampaikan pengetahuan, tugas ini lebih mengarah pada
pengembangan aspek kognitif. Guru sebagai pendidik mempunyai kewajiban untuk
mengembangkan aspek emosi atau afeksi anak didiknya. Oleh karena itu, guru
menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan anak dalam menjalani
pendidikannya sehingga nantinya akan berguna bagi nusa dan bangsa.
Guru dan anak didik adalah dua sosok yang tidak dapat dipisahkan dari dunia
pendidikan. Dari fenomena yang ada, guru Sekolah Dasar mendidik, mengajar, dan
bertatap muka langsung dengan anak didik yang sama setiap hari. Lain halnya
dengan guru SMP atau SMU, mereka mengajar anak didik hanya pada jam tertentu.
Dan anak didik yang ditemui berbeda pada setiap jamnya, sehingga para guru SMP
atau SMU dapat merasakan adanya variasi dalam satu hari pelaksanaan kerjanya.
Pekerjaan sebagai guru Sekolah Dasar, mengharuskannya mendidik anak-
anak yang belum dewasa, selain harus menjadi contoh yang baik untuk anak
didiknya. Guru yang humanis, populis dan demokratis, akan melahirkan anak didik
yang humanis dan demokratis pula. Sebaliknya, guru yang arogan, pemarah, dan
otoriter akan menumbuhkan anak didik yang demikian pula. Selain itu, guru juga
harus mampu memahami dan memaklumi sifat kekanak-kanakan anak didik yang
senantiasa muncul, yang berbeda pada setiap individu. Namun pada dasarnya, guru
adalah manusia biasa yang mempunyai emosi dan kesabaran yang terbatas terhadap
masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah dalam kehidupan pribadinya.
Kompleksnya permasalahan anak didik tersebut menambah beban tugas guru.
Tekanan-tekanan dan persoalan-persoalan yang dihadapi para guru ini dapat
menimbulkan stres. Kyriacou (dalam Praswati dan Napitupulu, 1998)
mengemukakan adanya tujuh sumber stres bagi guru, yaitu rendahnya motivasi siswa
dalam performanya di sekolah, tingkah laku siswa yang kurang disiplin, kesempatan
karir yang terbatas, penghasilan yang rendah, perlengkapan mengajar yang
sederhana, dan kelas yang sangat besar. Stres juga dapat muncul akibat tekanan
waktu dan batas waktu mengajar yang pendek, rendahnya pengetahuan masyarakat
mengenai profesinya, konflik dengan atasan dan rekan kerja, perubahan yang cepat
terhadap tuntutan kurikulum serta lambatnya adaptasi program sekolah untuk
mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat.
Manusia akan mengalami stres apabila kurang mampu mengadaptasikan
keinginan dengan kenyataan. Hal ini mengganggu, baik secara fisik maupun psikis.
Reaksi stres ini biasanya berisikan keluhan, baik aspek fisik maupun emosional.
Keluhan tersebut akan menimbulkan upaya untuk mengatasinya. Sebagian besar
orang berusaha dengan berbagai macam cara mengelola stres sehingga justru dapat
meningkatkan kematangan dan wawasan dalam bekerja. Namun usaha untuk
mengatasi stres tersebut, ada yang berhasil dan ada yang gagal. Individu yang tidak
berhasil mengatasi stres cenderung menghindar atau menarik diri secara psikologis
dari pekerjaannya. Ketidakmampuan tersebut, membuat seseorang terbelenggu dalam
situasi yang memperburuk kondisi fisik maupun mentalnya, sehingga akan
mendatangkan konsekuensi negatif yang berupa penurunan motivasi dan prestasi,
serta dapat menimbulkan masalah yang serius (dalam Andriani dan Subekti, 2004).
Kondisi stres yang berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan
individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk dimana apatisme, sinisme,
frustrasi, penarikan diri menjadi berkembang. Dalam kondisi seperti ini, kualitas
pengajaran guru jelas akan terganggu. Kondisi tersebut disebut sebagai sindrom
burnout (dalam Praswati dan Napitupulu, 1998). Sedangkan Gunarsa & Gunarsa
(dalam Rohman dkk, 1997) menyatakan kegagalan dalam menyelesaikan tekanan
yang muncul akibat aktivitas kerja, mencakup tiga aspek, yaitu tekanan fisik, mental,
dan emosional. Ketiga bentuk tekanan ini bilamana dibiarkan berlarut-larut dan tidak
segera ditanggulangi, akan menimbulkan gejala yang disebut burnout.
Burnout adalah sejenis stres yang banyak dialami oleh orang-orang yang
bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya, seperti
perawatan kesehatan, pendidikan, kepolisian, keagamaan, dan sebagainya. Jenis
reaksi terhadap pekerjaan ini meliputi reaksi-reaksi sikap dan emosional sebagai
akibat dari pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan. Seringkali
tanda awal dari burnout adalah suatu perasaan bahwa dirinya mengalami kelelahan
emosional terhadap pekerjaannya. Bila diminta menjelaskan apa yang dirasakan,
seorang pekerja yang lelah secara emosional akan berkata ia merasa kehabisan
tenaga, dan lelah secara fisik (dalam Desler, 1992). Burnout biasanya terjadi bukan
karena satu atau dua kejadian yang traumatis tetapi karena akumulasi yang bertahap
dari tekanan kerja yang berat (dalam Santrock, 2002).
Banyak penelitian membuktikan bahwa guru merupakan profesi yang
beresiko tinggi untuk terkena stres kerja yang bersifat kronis yang sangat
memungkinkan untuk dapat menimbulkan burnout (dalam Praswati dan Napitupulu,
1998). Muchinsky (dalam Rosyid, 1996) menyatakan bahwa burnout merupakan
sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang muncul diantara orang-orang yang
bekerja pada people work seperti guru, perawat, polisi, konselor, dokter, dan pekerja
sosial, meskipun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada profesi non
human service.
Russell dan Velsen pada tahun 1987 (dalam Rohman dkk, 1997) meneliti
hubungan job stress dengan burnout di kalangan guru sekolah. Mereka menemukan
bahwa guru-guru yang mendapatkan dukungan sosial dari para atasan mereka secara
berulang kali merasakan berkurangnya kelelahan emosional, guru-guru menjadi
bersifat lebih positif terhadap pekerjaan, siswa-siswanya, dan semakin meningkat
prestasi kerjanya. Hal ini didukung oleh Davis dan Newstroom (dalam Andriani dan
Subekti, 2004) yang menyatakan bahwa beberapa orang yang mengalami burnout
disebabkan karena mereka merasa sendirian, kehilangan hubungan hangat dengan
orang di sekitarnya, seperti keluarga dan rekan kerja.
Burnout juga dapat disebabkan karena konflik peran dalam pekerjaan, dimana
individu merasa ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan keadaannya serta
kekaburan peran, dimana individu tidak memahami pekerjaan yang dilakukan
sehingga akan mempengaruhi munculnya burnout. Senada dengan pernyataan
Rachman (2005) bahwa kenyataan yang terjadi saat ini, mayoritas guru mengajar di
sekolah bukan disebabkan faktor idealisme dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap
negara. Tetapi faktor ekonomi yang menjadikan profesi guru sebagai pekerjaan
alternatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Prawasti dan Napitupulu (1998) tentang
peranan dimensi gaya kepemimpinan atasan yang dipersepsi terhadap burnout pada
guru SMU swasta di Jakarta, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa gaya
kepemimpinan participating dan delegating memberikan sumbangan yang bermakna
terhadap burnout pada dimensi depersonalization pada guru SMU swasta di Jakarta.
Hasil ini menunjukkan, bahwa semakin guru melihat atasannya turut berpartisipasi
dengan bawahan dalam membuat keputusan serta aktif menyemangati bawahannya,
maka kecenderungan guru untuk mengalami burnout semakin rendah. Hal ini senada
dengan Cherniss (dalam Praswati dan Napitupulu, 1998) yang mengemukakan secara
garis besar gaya kepemimpinan merupakan faktor yang menyumbang terjadinya stres
guru.
Watson dan Tregerthan (dalam Rohman dkk, 1997) menyatakan bahwa
burnout adalah bentuk kelelahan emosional yang disebabkan oleh pekerjaan yang
banyak mengandung muatan emosional dan terjadi pada individu yang terlalu peka.
Oleh karena itu kecerdasan emosional menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya kecenderungan burnout.
Burnout merupakan keadaan internal negatif yang ditandai dengan tiga
simtom, yaitu simtom fisik, emosional, dan mental, dan burnout terjadi pada situasi
yang menuntut seseorang untuk bertanggung jawab secara emosional terhadap
pekerjaannya (dalam Rostiana, 1998). Sedangkan kemampuan untuk mengontrol
sikap dan perilaku dalam mengekspresikan atau mengkomunikasikan setiap emosi
yang dirasakan oleh seseorang merupakan salah satu bagian dari kecerdasan
emosional (dalam Yen dkk, 2003).
Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi biasanya mudah berempati,
mampu mengendalikan emosi, gigih, mudah beradaptasi, disukai dan mampu
mencari jalan keluar serta bekerja dengan tim (dalam Efiati, 2004), sehingga akan
mampu meminimalkan kecenderungan burnout yang dialami oleh guru tersebut.
Kondisi burnout muncul bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi organisasi, namun
merupakan hasil interaksi antara kondisi organisasi dengan karakteristik individu.
Burnout merupakan suatu situasi dimana karyawan menderita kelelahan
kronis, kebosanan, dan menarik diri dari pekerjaan. Gejala seperti penarikan diri ini
merupakan gejala burnout akibat tekanan psikologis yang disebabkan oleh stres pada
pekerjaan pelayanan sosial. Gejala tersebut timbul karena dalam pekerjaan ini
dituntut adanya persiapan emosional yang matang dalam menghadapi orang lain.
Bila seseorang dapat melakukan suatu kontrol emosi dengan baik, diharapkan
muncul suatu kesadaran diri yang baik pula, yaitu dengan mewujudkan emosi dalam
porsi yang tepat, serta mengelola emosi agar terkendali sehingga dapat dimanfaatkan
untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia (dalam Darmapatmi dkk, 2003).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional menyumbang
persentase yang lebih besar dalam keberhasilan masa depan seseorang, dibandingkan
dengan kecerdasan intelektual yang biasanya diukur dengan Intelligent Quotient (IQ)
(dalam Efiati, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Yen, Tjahjoanggoro & Atmadji
(2003) tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi kerja
distributor Multi Level Marketing, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa ada
hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi kerja
distributor Multi Level Marketing. Artinya semakin tinggi kecerdasan emosional,
maka semakin tinggi prestasi kerja distributor tersebut, dan sebaliknya.
Burnout terjadi ketika seorang karyawan kehabisan sumber daya fisik dan
mental yang disebabkan karena bekerja keras yang berlebihan. Gejala burnout ini
menyebabkan efektifitas kerja seseorang menurun, hubungan sosial antar rekan kerja
renggang dan timbul perasaan negatif terhadap orang lain, pekerjaan, dan tempat
kerja (dalam Andriani dan Subekti, 2004). Di sini kecerdasan emosional mempunyai
peranan penting yang menguntungkan, yaitu dapat memunculkan kreativitas, bersifat
jujur mengenai diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan
orang lain, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karier, dan dapat
menyelamatkan diri dari kehancuran (dalam Yen dkk, 2003).
Kecerdasan emosional juga menuntut manusia untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan diri dan orang lain (dalam Yen dkk, 2003). Namun demikian,
pada kenyataannya kecerdasan emosional sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kecenderungan burnout pada guru, perlu mendapat perhatian karena faktor
tersebut cukup relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Banyak media massa
memberi contoh perilaku yang buruk, baik melalui cerita fiksi dalam sinetron
maupun fakta yang dikemas dalam berita-berita politik yang saling memaki, tidak
menghargai perasaan dan keberadaan orang lain, menghalalkan semua cara untuk
mencapai keinginan pribadi serta melarikan diri ke hal-hal negatif saat mengalami
keterpurukan.
Guru diharapkan mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi sehingga
mampu meminimalkan kecenderungan burnout. Namun pada kenyataannya di
banyak tempat masih saja terdapat kasus guru yang bertindak otoriter dengan
kekerasan fisik pada anak didiknya atau pada rekan sejawatnya. Hal ini terjadi karena
individu kurang mampu mengelola emosinya sehingga menimbulkan stres yang
berulang terjadi atau sering disebut dengan sindrom burnout.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
hubungan antara kecerdasan emosional dengan kecenderungan burnout pada guru
Sekolah Dasar. Dan mengajukan rumusan masalah sebagai berikut : “Apakah ada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan kecenderungan burnout pada guru
Sekolah Dasar.” Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis melakukan
penelitian dengan judul : “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan
Kecenderungan Burnout Pada Guru Sekolah Dasar.”
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sektor pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam program
pembangunan dewasa ini. Berdasarkan pendidikan maka akan tercipta sumber daya
yang sangat berguna dalam pembangunan suatu negara. Guru merupakan figur
manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam
pendidikan. Namun, guru tidak hanya bertugas memberikan pengetahuan dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas, tetapi juga harus dapat mengembangkan
kepribadian anak. Oleh karena itu guru harus mengetahui lebih dari sekedar masalah
bagaimana mengajar yang efektif, namun juga harus dapat membantu murid dalam
mengembangkan aspek kepribadiannya untuk bekal hidup bermasyarakat.
Guru, menurut Usman (1990), adalah seseorang yang bekerja dibidang
pendidikan dan pengajaran yang ikut serta bertanggung jawab membantu anak
didiknya mencapai kedewasaan, sehingga siap memasuki lingkungan masyarakat
yang lebih luas. Dalam hal ini guru bertindak sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai
pengajar, guru menyampaikan pengetahuan, tugas ini lebih mengarah pada
pengembangan aspek kognitif. Guru sebagai pendidik mempunyai kewajiban untuk
mengembangkan aspek emosi atau afeksi anak didiknya. Oleh karena itu, guru
menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan anak dalam menjalani
pendidikannya sehingga nantinya akan berguna bagi nusa dan bangsa.
Guru dan anak didik adalah dua sosok yang tidak dapat dipisahkan dari dunia
pendidikan. Dari fenomena yang ada, guru Sekolah Dasar mendidik, mengajar, dan
bertatap muka langsung dengan anak didik yang sama setiap hari. Lain halnya
dengan guru SMP atau SMU, mereka mengajar anak didik hanya pada jam tertentu.
Dan anak didik yang ditemui berbeda pada setiap jamnya, sehingga para guru SMP
atau SMU dapat merasakan adanya variasi dalam satu hari pelaksanaan kerjanya.
Pekerjaan sebagai guru Sekolah Dasar, mengharuskannya mendidik anak-
anak yang belum dewasa, selain harus menjadi contoh yang baik untuk anak
didiknya. Guru yang humanis, populis dan demokratis, akan melahirkan anak didik
yang humanis dan demokratis pula. Sebaliknya, guru yang arogan, pemarah, dan
otoriter akan menumbuhkan anak didik yang demikian pula. Selain itu, guru juga
harus mampu memahami dan memaklumi sifat kekanak-kanakan anak didik yang
senantiasa muncul, yang berbeda pada setiap individu. Namun pada dasarnya, guru
adalah manusia biasa yang mempunyai emosi dan kesabaran yang terbatas terhadap
masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah dalam kehidupan pribadinya.
Kompleksnya permasalahan anak didik tersebut menambah beban tugas guru.
Tekanan-tekanan dan persoalan-persoalan yang dihadapi para guru ini dapat
menimbulkan stres. Kyriacou (dalam Praswati dan Napitupulu, 1998)
mengemukakan adanya tujuh sumber stres bagi guru, yaitu rendahnya motivasi siswa
dalam performanya di sekolah, tingkah laku siswa yang kurang disiplin, kesempatan
karir yang terbatas, penghasilan yang rendah, perlengkapan mengajar yang
sederhana, dan kelas yang sangat besar. Stres juga dapat muncul akibat tekanan
waktu dan batas waktu mengajar yang pendek, rendahnya pengetahuan masyarakat
mengenai profesinya, konflik dengan atasan dan rekan kerja, perubahan yang cepat
terhadap tuntutan kurikulum serta lambatnya adaptasi program sekolah untuk
mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat.
Manusia akan mengalami stres apabila kurang mampu mengadaptasikan
keinginan dengan kenyataan. Hal ini mengganggu, baik secara fisik maupun psikis.
Reaksi stres ini biasanya berisikan keluhan, baik aspek fisik maupun emosional.
Keluhan tersebut akan menimbulkan upaya untuk mengatasinya. Sebagian besar
orang berusaha dengan berbagai macam cara mengelola stres sehingga justru dapat
meningkatkan kematangan dan wawasan dalam bekerja. Namun usaha untuk
mengatasi stres tersebut, ada yang berhasil dan ada yang gagal. Individu yang tidak
berhasil mengatasi stres cenderung menghindar atau menarik diri secara psikologis
dari pekerjaannya. Ketidakmampuan tersebut, membuat seseorang terbelenggu dalam
situasi yang memperburuk kondisi fisik maupun mentalnya, sehingga akan
mendatangkan konsekuensi negatif yang berupa penurunan motivasi dan prestasi,
serta dapat menimbulkan masalah yang serius (dalam Andriani dan Subekti, 2004).
Kondisi stres yang berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan
individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk dimana apatisme, sinisme,
frustrasi, penarikan diri menjadi berkembang. Dalam kondisi seperti ini, kualitas
pengajaran guru jelas akan terganggu. Kondisi tersebut disebut sebagai sindrom
burnout (dalam Praswati dan Napitupulu, 1998). Sedangkan Gunarsa & Gunarsa
(dalam Rohman dkk, 1997) menyatakan kegagalan dalam menyelesaikan tekanan
yang muncul akibat aktivitas kerja, mencakup tiga aspek, yaitu tekanan fisik, mental,
dan emosional. Ketiga bentuk tekanan ini bilamana dibiarkan berlarut-larut dan tidak
segera ditanggulangi, akan menimbulkan gejala yang disebut burnout.
Burnout adalah sejenis stres yang banyak dialami oleh orang-orang yang
bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya, seperti
perawatan kesehatan, pendidikan, kepolisian, keagamaan, dan sebagainya. Jenis
reaksi terhadap pekerjaan ini meliputi reaksi-reaksi sikap dan emosional sebagai
akibat dari pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan. Seringkali
tanda awal dari burnout adalah suatu perasaan bahwa dirinya mengalami kelelahan
emosional terhadap pekerjaannya. Bila diminta menjelaskan apa yang dirasakan,
seorang pekerja yang lelah secara emosional akan berkata ia merasa kehabisan
tenaga, dan lelah secara fisik (dalam Desler, 1992). Burnout biasanya terjadi bukan
karena satu atau dua kejadian yang traumatis tetapi karena akumulasi yang bertahap
dari tekanan kerja yang berat (dalam Santrock, 2002).
Banyak penelitian membuktikan bahwa guru merupakan profesi yang
beresiko tinggi untuk terkena stres kerja yang bersifat kronis yang sangat
memungkinkan untuk dapat menimbulkan burnout (dalam Praswati dan Napitupulu,
1998). Muchinsky (dalam Rosyid, 1996) menyatakan bahwa burnout merupakan
sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang muncul diantara orang-orang yang
bekerja pada people work seperti guru, perawat, polisi, konselor, dokter, dan pekerja
sosial, meskipun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada profesi non
human service.
Russell dan Velsen pada tahun 1987 (dalam Rohman dkk, 1997) meneliti
hubungan job stress dengan burnout di kalangan guru sekolah. Mereka menemukan
bahwa guru-guru yang mendapatkan dukungan sosial dari para atasan mereka secara
berulang kali merasakan berkurangnya kelelahan emosional, guru-guru menjadi
bersifat lebih positif terhadap pekerjaan, siswa-siswanya, dan semakin meningkat
prestasi kerjanya. Hal ini didukung oleh Davis dan Newstroom (dalam Andriani dan
Subekti, 2004) yang menyatakan bahwa beberapa orang yang mengalami burnout
disebabkan karena mereka merasa sendirian, kehilangan hubungan hangat dengan
orang di sekitarnya, seperti keluarga dan rekan kerja.
Burnout juga dapat disebabkan karena konflik peran dalam pekerjaan, dimana
individu merasa ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan keadaannya serta
kekaburan peran, dimana individu tidak memahami pekerjaan yang dilakukan
sehingga akan mempengaruhi munculnya burnout. Senada dengan pernyataan
Rachman (2005) bahwa kenyataan yang terjadi saat ini, mayoritas guru mengajar di
sekolah bukan disebabkan faktor idealisme dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap
negara. Tetapi faktor ekonomi yang menjadikan profesi guru sebagai pekerjaan
alternatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Prawasti dan Napitupulu (1998) tentang
peranan dimensi gaya kepemimpinan atasan yang dipersepsi terhadap burnout pada
guru SMU swasta di Jakarta, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa gaya
kepemimpinan participating dan delegating memberikan sumbangan yang bermakna
terhadap burnout pada dimensi depersonalization pada guru SMU swasta di Jakarta.
Hasil ini menunjukkan, bahwa semakin guru melihat atasannya turut berpartisipasi
dengan bawahan dalam membuat keputusan serta aktif menyemangati bawahannya,
maka kecenderungan guru untuk mengalami burnout semakin rendah. Hal ini senada
dengan Cherniss (dalam Praswati dan Napitupulu, 1998) yang mengemukakan secara
garis besar gaya kepemimpinan merupakan faktor yang menyumbang terjadinya stres
guru.
Watson dan Tregerthan (dalam Rohman dkk, 1997) menyatakan bahwa
burnout adalah bentuk kelelahan emosional yang disebabkan oleh pekerjaan yang
banyak mengandung muatan emosional dan terjadi pada individu yang terlalu peka.
Oleh karena itu kecerdasan emosional menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya kecenderungan burnout.
Burnout merupakan keadaan internal negatif yang ditandai dengan tiga
simtom, yaitu simtom fisik, emosional, dan mental, dan burnout terjadi pada situasi
yang menuntut seseorang untuk bertanggung jawab secara emosional terhadap
pekerjaannya (dalam Rostiana, 1998). Sedangkan kemampuan untuk mengontrol
sikap dan perilaku dalam mengekspresikan atau mengkomunikasikan setiap emosi
yang dirasakan oleh seseorang merupakan salah satu bagian dari kecerdasan
emosional (dalam Yen dkk, 2003).
Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi biasanya mudah berempati,
mampu mengendalikan emosi, gigih, mudah beradaptasi, disukai dan mampu
mencari jalan keluar serta bekerja dengan tim (dalam Efiati, 2004), sehingga akan
mampu meminimalkan kecenderungan burnout yang dialami oleh guru tersebut.
Kondisi burnout muncul bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi organisasi, namun
merupakan hasil interaksi antara kondisi organisasi dengan karakteristik individu.
Burnout merupakan suatu situasi dimana karyawan menderita kelelahan
kronis, kebosanan, dan menarik diri dari pekerjaan. Gejala seperti penarikan diri ini
merupakan gejala burnout akibat tekanan psikologis yang disebabkan oleh stres pada
pekerjaan pelayanan sosial. Gejala tersebut timbul karena dalam pekerjaan ini
dituntut adanya persiapan emosional yang matang dalam menghadapi orang lain.
Bila seseorang dapat melakukan suatu kontrol emosi dengan baik, diharapkan
muncul suatu kesadaran diri yang baik pula, yaitu dengan mewujudkan emosi dalam
porsi yang tepat, serta mengelola emosi agar terkendali sehingga dapat dimanfaatkan
untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia (dalam Darmapatmi dkk, 2003).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional menyumbang
persentase yang lebih besar dalam keberhasilan masa depan seseorang, dibandingkan
dengan kecerdasan intelektual yang biasanya diukur dengan Intelligent Quotient (IQ)
(dalam Efiati, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Yen, Tjahjoanggoro & Atmadji
(2003) tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi kerja
distributor Multi Level Marketing, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa ada
hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi kerja
distributor Multi Level Marketing. Artinya semakin tinggi kecerdasan emosional,
maka semakin tinggi prestasi kerja distributor tersebut, dan sebaliknya.
Burnout terjadi ketika seorang karyawan kehabisan sumber daya fisik dan
mental yang disebabkan karena bekerja keras yang berlebihan. Gejala burnout ini
menyebabkan efektifitas kerja seseorang menurun, hubungan sosial antar rekan kerja
renggang dan timbul perasaan negatif terhadap orang lain, pekerjaan, dan tempat
kerja (dalam Andriani dan Subekti, 2004). Di sini kecerdasan emosional mempunyai
peranan penting yang menguntungkan, yaitu dapat memunculkan kreativitas, bersifat
jujur mengenai diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan
orang lain, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karier, dan dapat
menyelamatkan diri dari kehancuran (dalam Yen dkk, 2003).
Kecerdasan emosional juga menuntut manusia untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan diri dan orang lain (dalam Yen dkk, 2003). Namun demikian,
pada kenyataannya kecerdasan emosional sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kecenderungan burnout pada guru, perlu mendapat perhatian karena faktor
tersebut cukup relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Banyak media massa
memberi contoh perilaku yang buruk, baik melalui cerita fiksi dalam sinetron
maupun fakta yang dikemas dalam berita-berita politik yang saling memaki, tidak
menghargai perasaan dan keberadaan orang lain, menghalalkan semua cara untuk
mencapai keinginan pribadi serta melarikan diri ke hal-hal negatif saat mengalami
keterpurukan.
Guru diharapkan mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi sehingga
mampu meminimalkan kecenderungan burnout. Namun pada kenyataannya di
banyak tempat masih saja terdapat kasus guru yang bertindak otoriter dengan
kekerasan fisik pada anak didiknya atau pada rekan sejawatnya. Hal ini terjadi karena
individu kurang mampu mengelola emosinya sehingga menimbulkan stres yang
berulang terjadi atau sering disebut dengan sindrom burnout.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
hubungan antara kecerdasan emosional dengan kecenderungan burnout pada guru
Sekolah Dasar. Dan mengajukan rumusan masalah sebagai berikut : “Apakah ada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan kecenderungan burnout pada guru
Sekolah Dasar.” Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis melakukan
penelitian dengan judul : “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan
Kecenderungan Burnout Pada Guru Sekolah Dasar.”
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: