BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran anak pinggiran atau sering disebut anak jalanan di tengah
masyarakat merupakan kondisi dilematis yang sampai saat ini belum terselesaikan
secara sempurna. Di satu sisi keberadaan anak jalanan seolah tidak dipedulikan
atau belum memperoleh perhatian serius, tapi di sisi lain mereka sering dianggap
sebagai sumber kenakalan dan kriminalitas. Mereka dengan sengaja dipisahkan
dari kegembiraan sebagai layaknya seorang anak, karena alasan estetika, martabat,
kepantasan atau kepatutan budaya, mereka kehilangan kemerdekaan dan
kesempatan memperoleh hak-haknya (Irawati, 2001).
Anak jalanan adalah anak-anak yang berada di bawah usia 20 tahun, yang
menghabiskan sebagian besar waktu di jalanan. Menurut hasil Lokakarya
Nasional Anak Jalanan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial pada bulan
Oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan
waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau di tempat-tempat
umum lainnya. Mereka adalah anak-anak yang dipaksa untuk berjuang demi
hidup dengan cara bekerja membanting tulang mengumpulkan uang rupiah demi
rupiah untuk menyambung hidupnya dan keluarga (Ismudiyati Y.S. dan Hastjarjo
T.D., 2003).
Putra (1996) mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang sebagian besar
menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau
tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan dalam konteks ini seseorang yang
berada antara usia 6 – 18 tahun.
Kehidupan di jalanan sering menimbulkan berbagai konflik dan benturan
dalam diri anak jalanan, sikap orang tua atau masyarakat dianggap tidak
memahami mereka, dan benar-benar memberi rasa tidak nyaman pada diri anak
jalanan. Anak jalanan memandang diri mereka tidak baik, merasa menjadi orang-
orang terbuang, yang kesemuanya itu disebabkan oleh kejadian-kejadian yang
dialami dalam keluarga atau lingkungan mereka. Seringkali mereka diperlakukan
secara tidak wajar, dijadikan objek kemarahan, bahkan kadang-kadang dirampas
hak-haknya sebagai anak pada umumnya, sehingga keadaan tersebut
menyebabkan anak-anak jalanan tidak pernah merasa puas dengan keadaan
dirinya sendiri (Irawati, 2001).
Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan
seksual terlebih bagi mereka yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali
mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya
digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan.
Setara (1999) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan
mengalami hubungan seksual akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan
oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau jepang baris. Di
kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan
oleh sekelompok orang tertentu. Belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan
media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak
jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya (Kompas, 4 September 2000)
(Shalahuddin O., 2004).
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Bentuk
perilaku seksual ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai
tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Isriati, 1999).
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang telah dilakukan anak
jalanan. Seperti yang diberitakan Koran harian Solopos (Ant, 2002) tentang
tertangkapnya anak jalanan oleh aparat Polsek Kartasura, karena mereka
memperkosa salah satu karyawati kantin sebuah rumah sakit di Kartasura.
Kasus di atas menunjukkan semakin banyaknya perilaku dari anak jalanan
yang keluar dari batas dan nilai moral yang ada di masyarakat. Perbuatan-
perbuatan tersebut merugikan orang lain, meresahkan dan mengancam
ketentraman masyarakat.
Faturochman (1992) menyebutkan bahwa faktor-faktor di luar diri
individu yang mempengaruhi sikap terhadap hubungan seksual pra nikah pada
anak jalanan adalah tingkat pendidikan orang tua, sedangkan faktor di dalam diri
individu adalah karakteristik fisik yang meliputi jenis kelamin dan usia,
sedangkan karakteristik psikologis antara lain kepribadian dan inteligensi.
Goleman (1997) menawarkan kecerdasan emosional sebagai langkah jitu
menuju ke arah suksesnya seseorang agar dapat mengatasi hambatan-hambatan
dalam menghadapi kehidupan. Goleman (1997), menambahkan lebih lanjut bahwa
kecerdasan emosional atau yang popular dikenal dengan emotional intelligence
(EI), mencakup beberapa kemampuan untuk mengelola perasaan, diantaranya:
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi,
mengendalikan dorongan primitif, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun
kesusahan, dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan untuk
berpikir, serta berempati dan berdoa.
Goleman (1997) menyatakan bahwa emosi berperan besar terhadap suatu
tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional. Manusia
lebih sering bertindak sesuai dengan emosinya daripada menggunakan pikiran,
padahal emosi mempunyai peran penting dalam keberhasilan seseorang baik di
tempat kerja, tempat belajar, di rumah, dan hubungan sesama maupun diri sendiri.
Penelitian Damasio pada kasus Elliot, Elliot mengalami kerusakan pada daerah
korteks prefrontalis. Mereka tidak rasional, tetapi fungsi inteligensi dan perhatian
tidak terpengaruh. Elliot kehilangan kemampuan pengalaman emosi dan
kehilangan pengarah emosi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa sirkuit korteks prefrontalis dan amigdala
merupakan titik temu antara kognisi dan emosi yang membimbing ke arah
pengambilan keputusan yang masuk akal (Tekad, 2001).
Menurut Goleman (1997), kecerdasan emosional adalah sisi lain dari
kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi
kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan dan motivasi diri serta empati
dan kecakapan sosial. Dari komponen-komponen kecerdasan emosional yang
dikemukakan para ahli tersebut, tampak bahwa segala perilaku termasuk perilaku
Kesadaran diri dan kendali dorongan hati berarti kemampuan mengenali perasaan,
pikiran dan kondisi emosi serta mampu menahan diri dan menunda kepuasan,
ketekunan berarti perilaku individu dalam melakukan sesuatu yang sungguh-
sungguh dan ulet. Semangat dan motivasi diri berarti mempunyai kemauan yang
kuat dalam mengarahkan emosinya. Empati dan kecakapan sosial berarti
kemampuan mengenali, memahami dan mengelola emosi orang lain dengan
bertindak bijaksana dan mampu menempatkan diri sesuai kondisi dan etika.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah
“Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku seksual pra
nikah anak jalanan di rumah singgah anak bangsa Semarang?” Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan antara
Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Seksual Pra Nikah Anak Jalanan di
Rumah Singgah Anak Bangsa Semarang.”
B. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran anak pinggiran atau sering disebut anak jalanan di tengah
masyarakat merupakan kondisi dilematis yang sampai saat ini belum terselesaikan
secara sempurna. Di satu sisi keberadaan anak jalanan seolah tidak dipedulikan
atau belum memperoleh perhatian serius, tapi di sisi lain mereka sering dianggap
sebagai sumber kenakalan dan kriminalitas. Mereka dengan sengaja dipisahkan
dari kegembiraan sebagai layaknya seorang anak, karena alasan estetika, martabat,
kepantasan atau kepatutan budaya, mereka kehilangan kemerdekaan dan
kesempatan memperoleh hak-haknya (Irawati, 2001).
Anak jalanan adalah anak-anak yang berada di bawah usia 20 tahun, yang
menghabiskan sebagian besar waktu di jalanan. Menurut hasil Lokakarya
Nasional Anak Jalanan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial pada bulan
Oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan
waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau di tempat-tempat
umum lainnya. Mereka adalah anak-anak yang dipaksa untuk berjuang demi
hidup dengan cara bekerja membanting tulang mengumpulkan uang rupiah demi
rupiah untuk menyambung hidupnya dan keluarga (Ismudiyati Y.S. dan Hastjarjo
T.D., 2003).
Putra (1996) mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang sebagian besar
menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau
tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan dalam konteks ini seseorang yang
berada antara usia 6 – 18 tahun.
Kehidupan di jalanan sering menimbulkan berbagai konflik dan benturan
dalam diri anak jalanan, sikap orang tua atau masyarakat dianggap tidak
memahami mereka, dan benar-benar memberi rasa tidak nyaman pada diri anak
jalanan. Anak jalanan memandang diri mereka tidak baik, merasa menjadi orang-
orang terbuang, yang kesemuanya itu disebabkan oleh kejadian-kejadian yang
dialami dalam keluarga atau lingkungan mereka. Seringkali mereka diperlakukan
secara tidak wajar, dijadikan objek kemarahan, bahkan kadang-kadang dirampas
hak-haknya sebagai anak pada umumnya, sehingga keadaan tersebut
menyebabkan anak-anak jalanan tidak pernah merasa puas dengan keadaan
dirinya sendiri (Irawati, 2001).
Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan
seksual terlebih bagi mereka yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali
mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya
digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan.
Setara (1999) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan
mengalami hubungan seksual akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan
oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau jepang baris. Di
kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan
oleh sekelompok orang tertentu. Belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan
media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak
jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya (Kompas, 4 September 2000)
(Shalahuddin O., 2004).
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Bentuk
perilaku seksual ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai
tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Isriati, 1999).
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang telah dilakukan anak
jalanan. Seperti yang diberitakan Koran harian Solopos (Ant, 2002) tentang
tertangkapnya anak jalanan oleh aparat Polsek Kartasura, karena mereka
memperkosa salah satu karyawati kantin sebuah rumah sakit di Kartasura.
Kasus di atas menunjukkan semakin banyaknya perilaku dari anak jalanan
yang keluar dari batas dan nilai moral yang ada di masyarakat. Perbuatan-
perbuatan tersebut merugikan orang lain, meresahkan dan mengancam
ketentraman masyarakat.
Faturochman (1992) menyebutkan bahwa faktor-faktor di luar diri
individu yang mempengaruhi sikap terhadap hubungan seksual pra nikah pada
anak jalanan adalah tingkat pendidikan orang tua, sedangkan faktor di dalam diri
individu adalah karakteristik fisik yang meliputi jenis kelamin dan usia,
sedangkan karakteristik psikologis antara lain kepribadian dan inteligensi.
Goleman (1997) menawarkan kecerdasan emosional sebagai langkah jitu
menuju ke arah suksesnya seseorang agar dapat mengatasi hambatan-hambatan
dalam menghadapi kehidupan. Goleman (1997), menambahkan lebih lanjut bahwa
kecerdasan emosional atau yang popular dikenal dengan emotional intelligence
(EI), mencakup beberapa kemampuan untuk mengelola perasaan, diantaranya:
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi,
mengendalikan dorongan primitif, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun
kesusahan, dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan untuk
berpikir, serta berempati dan berdoa.
Goleman (1997) menyatakan bahwa emosi berperan besar terhadap suatu
tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional. Manusia
lebih sering bertindak sesuai dengan emosinya daripada menggunakan pikiran,
padahal emosi mempunyai peran penting dalam keberhasilan seseorang baik di
tempat kerja, tempat belajar, di rumah, dan hubungan sesama maupun diri sendiri.
Penelitian Damasio pada kasus Elliot, Elliot mengalami kerusakan pada daerah
korteks prefrontalis. Mereka tidak rasional, tetapi fungsi inteligensi dan perhatian
tidak terpengaruh. Elliot kehilangan kemampuan pengalaman emosi dan
kehilangan pengarah emosi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa sirkuit korteks prefrontalis dan amigdala
merupakan titik temu antara kognisi dan emosi yang membimbing ke arah
pengambilan keputusan yang masuk akal (Tekad, 2001).
Menurut Goleman (1997), kecerdasan emosional adalah sisi lain dari
kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi
kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan dan motivasi diri serta empati
dan kecakapan sosial. Dari komponen-komponen kecerdasan emosional yang
dikemukakan para ahli tersebut, tampak bahwa segala perilaku termasuk perilaku
Kesadaran diri dan kendali dorongan hati berarti kemampuan mengenali perasaan,
pikiran dan kondisi emosi serta mampu menahan diri dan menunda kepuasan,
ketekunan berarti perilaku individu dalam melakukan sesuatu yang sungguh-
sungguh dan ulet. Semangat dan motivasi diri berarti mempunyai kemauan yang
kuat dalam mengarahkan emosinya. Empati dan kecakapan sosial berarti
kemampuan mengenali, memahami dan mengelola emosi orang lain dengan
bertindak bijaksana dan mampu menempatkan diri sesuai kondisi dan etika.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah
“Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku seksual pra
nikah anak jalanan di rumah singgah anak bangsa Semarang?” Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan antara
Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Seksual Pra Nikah Anak Jalanan di
Rumah Singgah Anak Bangsa Semarang.”
B. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: