BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dunia industri dan sektor usaha berkembang dengan pesat sekali
berkat penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin kompleksnya
masyarakat modern studi mengenai masalah-masalah manusia dalam sistem
ekonomi dan proses produksi juga semakin penting, khususnya studi yang
menyangkut upaya pembinaan staf manager dengan pemilikan kemampuan
manajerial tinggi, disamping upaya penyiapan karyawan sebagai tenaga
terlatih. Maka sektor usaha dan industri sebagai alat ekonomis masyarakat
modern perlu menggunakan asas-asas teknologis dan prinsip-prinsip sosial
psikologis untuk memecahkan berbagai masalah manajemen, produksi dan
relasi antar manusia.
Namun demikian sumber daya manusia merupakan sektor yang paling
penting di dalam perusahaan. Sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan
merupakan salah satu faktor penggerak untuk perkembangan dan kemajuan
perusahaan. Adanya sumber daya manusia yang potensial akan lebih
mempermudah pengaturan serta pembagian tugas yang harus diselesaikan.
Metode-metode ilmiah dan psikologis yang tepat dan akurat dengan
menggunakan data kuantitatif dipakai tidak hanya untuk mempertinggi hasil
produksi saja, akan tetapi juga dipakai terhadap para pekerja, buruh, pegawai
anggota organisasi dalam hal penempatan mereka pada tugas-tugas yang
sesuai dengan skill dan bakat masing-masing. Juga untuk memberikan
pelatihan yang perlu bagi setiap anggota dan pegawai agar mereka mampu
menanggapi setiap permasalahan manusiawi di perusahaan, lembaga dan
pabrik-pabrik, misalnya masalah karyawan, konflik-konflik, frustasi, tidak
disiplin, gaji dibawah standar minimum dan sebagainya.
Data Kepaniteraan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan
(KP2K) Jateng memperlihatkan persoalan efisiensi, upah, indisipliner dan
persoalan kondisi kurang harmonisnya hubungan antara pengusaha dengan
karyawan atau buruh. Data KP2K Jateng juga menunjukkan jumlah
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) kerap terjadi pada sektor usaha
industri pengolahan. Pada tahun 2003, jumlah perkara pada sektor usaha ini
sebanyak 11 perkara dengan jumlah tenaga kerja 1.666 orang sedangkan PHI
pada sektor usaha ini sampai juni 2004 mencapai 13 perkara dengan jumlah
tenaga kerja 3.513 orang (Kompas, 22 januari 2005)
Lingkungan pekerjaan seringkali dicirikan oleh adanya konflik-konflik
destruktif yang berdampak negatif. Ini termasuk kerusakan fisik dan
emosional, hilangnya keyakinan dan turunnya harga diri. Dampak negatif dari
konflik interpersonal di tempat kerja terbukti mempengaruhi pribadi maupun
tingkat organisasi. Pada tahap berikutnya, konflik mempengaruhi pula prestasi
organisasi atau unit secara keseluruhan. Pada tahap awal, dampak negatif
konflik interpersonal menyebabkan stress yang dikaitkan dengan tampilnya
reaksi-reaksi psikologis, fisik dan tingkah laku.
Pada tingkat psikologis, reaksi-reaksi yang biasa muncul berupa
kesulitan berkonsentrasi dan berfikir jernih, yang diikuti dengan
meningkatnya rasa mudah marah dan ketidakmampuan untuk rileks.
Menghadapi konflik tentu saja menimbulkan stress, yang pada gilirannya akan
meningkatkan sinisme terhadap klien atau rekan kerja yang akan menuju
konflik lebih jauh. Reaksi ini kemungkinan akan mengurangi objektifitas
seseorang dan memperlihatkan ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol
sikap yang terus menerus menyalahkan orang lain. Oleh karena itu,
pengelolaan konflik interpersonal memegang peranan penting dalam
mengurangi stress di tempat kerja.
Berdasarkan kenyataan tersebut terlihat bahwa ketrampilan manajerial
dan teknis saja belum cukup untuk mengelola dunia bisnis dan industri sebab
belum dapat memecahkan masalah-maalah moral, kebaikan, kebahagiaan,
keadilan dan kesejahteraan lahir dan batin di tengah masyarakat luas.
Tambahan pula, dunia bisnis dan industri pada masa sekarang lebih banyak
memerlukan sikap moral yang benar dan baik untuk menjamin keadilan dan
kesejahteraan serta relasi antar manusiawi yang mantap. Sikap merupakan
organisasi kognitif yang dinamis dan banyak dimuati unsur-unsur emosional
dan disertai kesiagaan untuk bereaksi, yang khusus dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman masa lampau sehingga sifatnya sangat dinamis
dalam memberikan pengarahan pada setiap tingkah laku karyawan. Maka
sikap ini dipengaruhi oleh sukses dan kegagalan-kagagalan pengalaman
dimasa lalu. Kegagalan dan sukses itu sedikit atau banyak akan mengubah
sikap menjadi tingkah laku terhadap suatu situasi. Adapun yang dimaksud
dengan sikap kerja adalah sikap menyukai atau tidak menyukai terhadap
pekerjaan yang dihadapi, yang juga dipengaruhi oleh perasaan dan pikiran
individu yang bersangkutan (As’ad, 1998).
Walgito (1987) menyatakan bahwa sikap adalah keadaan diri manusia
yang menggerakkan untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan
tertentu di dalam menanggapi objek dan terbentuk atas dasar pengalaman-
pengalaman. Sikap merupakan suatu pandangan atau perasaan terhadap suatu
obyek tertentu dimana sikap tersebut akan disertai oleh kecenderungan untuk
bertindak sesuai dengan perasaan suka atau tidak suka terhadap objek tertentu
(dalam Gerungan, 2000).
Karyawan adalah makluk sosial yang menjadi bagian dari suatu
kelompok sosial dan tim kerja tertentu. Jika dia tidak sanggup bekerja sama
secara kooperatif dengan teman sejawatnya, betapapun tinggi kemampuan
teknis dan intelektualnya, pastilah dia tidak akan betah bekerja ditempat itu
dan tidak akan mampu berprestasi secara maksimum. Juga, ruang kerja yang
sehat dan suhu kamar yang sejuk tidak akan bisa memberikan imbangan psikis
berupa kesenangan kerja apabila relasi diantara pegawai atau karyawan tidak
lancar dan managemen perusahaan tidak memuaskan atau tidak manusiawi
sifatnya. Sehingga semakin jelas bagi kita bahwa sikap emosional mereka
terhadap pekerjaan dan kawan-kawan sejawatnya, suasana hati, baik buruknya
kondisi fisik lingkungan kerjanya sangat berperan penting dalam
pembentukan sikap kerja para karyawan yang berpengaruh terhadap prestasi
kerja.
Silalahi (dalam Wijayanti, 1995) juga menerangkan bahwa prestasi
kerja dan produktifitas kerja dapat dicapai dengan adanya perasaan memiliki
atas pekerjaan tersebut. Akan lebih jelas lagi apabila rasa memiliki tersebut
juga disertai dengan adanya sikap positif terhadap organisasi dan
pekerjaannya. Sejauh mana individu dengan batas kualifikasi masing-masing
melaksanakan pekerjaannya dengan baik sangat variatif tergantung pada sikap
mereka terhadap perusahaan, atasan, rekan sekerja serta aspek-aspek lainnya.
Di jelaskan oleh Anastasi (1989) bahwa kadangkala karyawan yang
kemampuannya biasa-biasa saja, tetapi mempunyai sikap kerja yang baik
ternyata dapat mencapai prestasi kerja yang baik begitu juga sebaliknya.
Wexley dan Yukl (1992) mengatakan bahwa sikap kerja merupakan
bagian perasaan terhadap pekerjaan sebab dengan adanya perasaan puas
terhadap aspek-aspek dalam bekerja akan sangat berpengaruh terhadap baik
buruknya sikap kerja karyawan terhadap aspek-aspek kerja tersebut. Iklim
kerja yang menyenangkan dan disiplin kerja yang tinggi tidak bisa ditegakkan
atas landasan ancaman-ancaman terus menerus, misalnya ancaman pemecatan
dan sanksi hukum resmi termasuk pula insentif uang sebagai bentuk hadiah
akan tetapi apresiasi dan perasaan suka atau senang terhadap pekerjaan
lingkungan kerja, kawan-kawan sejawat dan pada atasanlah yang menjadi
motif pokok untuk mendorong seseorang suka bekerja di perusahaan. Ada
beberapa individu yang berperangai malas, agresif, selalu curiga dan bersikap
bermusuhan disebabkan oleh” kecenderungan-kecenderungan alamiah” atau
sikap mental yang salah, semua ini disebabkan gangguan psikis emosional
sehingga menyebabkan mereka bertingkah laku abnormal dan sikap kerja
yang buruk.
Jika emosi-emosi karyawan menjadi lebih positif sehingga moralnya
bisa dipertinggi maka akan muncul tim kerja yang akrab dan penuh
persahabatan lalu orang jadi lebih rajin dan senang bekerja. Penelitian
menunjukkan bahwa monotomi dari pekerjaan mudah menimbukan kejenuhan
dan sikap depresif pesimistis. Mengubah sikap kerja karyawan tidak harus
memberikan kuliah, ceramah secara terus-menerus tetapi juga diperlukan
motivasi dalam diri karyawan dalam mengatur suasana hati, sikap emosional
mereka terhadap pekerjaan dan kawan-kawan sejawatnya, baik buruknya
kondisi fisik kerja. Hendaknya perubahan sikap itu harus dilandaskan pada
prinsip kesukarelaan, dimana mereka menyadari dan merasakan kebutuhan
untuk mengubah sikap sendiri tanpa mendapat tekanan, ancaman dan rasa
ketakutan. Sikap baru itu secara konkret dirasakan lebih dekat pada realitas
hidup yang wajar-wajar saja. Faktor yang terdapat dalam pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, emosi dalam diri individu (Azwar, 1998)
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pengelolaan emosi yang
baik mempunyai andil besar dalam pengambilan keputusan untuk bertindak.
Besarnya pengaruh emosi dalam bertindak, sangatlah diperlukan karyawan
bagaimana membentuk emosi yang cerdas bagi individu. Seorang karyawan
yang cerdas secara emosional akan dapat mengetahui dan menangani serta
mengelola perasaan mereka sendiri dengan baik, mereka dapat memotivasi
dirinya untuk berprestasi mampu bertahan menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun
kesusahan dan mampu berempati serta membina hubungan baik dengan
lingkungan kerja. Mewujudkan sikap kerja yang baik diperlukan emosional
yang baik, cerdas dan terkontrol sehingga diperlukan kecerdasan emosional
yang tinggi dari karyawan karena reaksi atau respon karyawan banyak
dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti emosi, kepribadian, persepsi yang
semuanya itu tercermin dalam sikap karyawan terhadap pekerjaan.
Kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer (dalam Shapiro,
1997) adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri, mengelola emosi diri,
mengelola emosi orang lain, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri dan
kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Sehingga memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi diharapkan seseorang menemukan
keberhasilan baik didunia pribadi maupun dunia kerja. Suasana hati atau
emosi yang terdapat dalam diri karyawan ketika sedang bekerja bisa
merupakan emosi yang positif dan juga yang negatif. Selain itu kecerdasan
emosional merupakan dasar pembentukan emosi yang mencakup ketrampilan
individu dalam membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi (Patton,
1998)
Kemampuan dalam mengontrol diri untuk proses pengaktifan sikap
kerja sangat diperlukan bagi individu untuk mampu dalam memotivasi diri
secara terus-menerus dan tekun dalam memacu semangat diri agar dapat
berprilaku secara lebih baik dan bermanfaat. Hal ini didukung oleh pendapat
Goleman (2000) bahwa yang dimaksud kecerdasan emosional termasuk
didalamnya kemampuan untuk mengontrol diri, memacu semangat diri, tetap
tekun serta dapat memotivasi diri sendiri. Orang-orang yang kekurangan
dalam kemampuan emosional ini terus-menerus melawan perasaan-perasaan
gelisah dan penyesalan. Mereka yang memiliki kelebihan dalam hal ini dapat
kembali bersemangat jauh lebih cepat dari rintangan hidup. Mengatasi
perasaan adalah kemampuan yang secara alami mengikuti dan mengenali
perasaan kita, sementara kesadaran diri adalah sifat kunci dari kecerdasan
emosi (Alder, 2001)
Sehubungan dengan masalah di atas maka penulis memandang perlu
untuk melakukan penelitian sampai sejauh mana adanya hubungan dan saling
terkait diantara permasalahan yang ada tersebut. Sikap kerja yang baik akan
lebih mudah ditegakkan bila timbul dari kesadaran diri, sehingga dengan
kecerdasan emosional yang tinggi pula karyawan mampu menjaga semangat
kerja tersebut untuk memotivasinya mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Sehingga dengan asumsi tersebut di atas menimbulkan pertanyaan bagi
penulis apakah ada keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan sikap
kerja? Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hubungan
antara kecerdasan emosional dengan sikap kerja karyawan.
B.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dunia industri dan sektor usaha berkembang dengan pesat sekali
berkat penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin kompleksnya
masyarakat modern studi mengenai masalah-masalah manusia dalam sistem
ekonomi dan proses produksi juga semakin penting, khususnya studi yang
menyangkut upaya pembinaan staf manager dengan pemilikan kemampuan
manajerial tinggi, disamping upaya penyiapan karyawan sebagai tenaga
terlatih. Maka sektor usaha dan industri sebagai alat ekonomis masyarakat
modern perlu menggunakan asas-asas teknologis dan prinsip-prinsip sosial
psikologis untuk memecahkan berbagai masalah manajemen, produksi dan
relasi antar manusia.
Namun demikian sumber daya manusia merupakan sektor yang paling
penting di dalam perusahaan. Sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan
merupakan salah satu faktor penggerak untuk perkembangan dan kemajuan
perusahaan. Adanya sumber daya manusia yang potensial akan lebih
mempermudah pengaturan serta pembagian tugas yang harus diselesaikan.
Metode-metode ilmiah dan psikologis yang tepat dan akurat dengan
menggunakan data kuantitatif dipakai tidak hanya untuk mempertinggi hasil
produksi saja, akan tetapi juga dipakai terhadap para pekerja, buruh, pegawai
anggota organisasi dalam hal penempatan mereka pada tugas-tugas yang
sesuai dengan skill dan bakat masing-masing. Juga untuk memberikan
pelatihan yang perlu bagi setiap anggota dan pegawai agar mereka mampu
menanggapi setiap permasalahan manusiawi di perusahaan, lembaga dan
pabrik-pabrik, misalnya masalah karyawan, konflik-konflik, frustasi, tidak
disiplin, gaji dibawah standar minimum dan sebagainya.
Data Kepaniteraan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan
(KP2K) Jateng memperlihatkan persoalan efisiensi, upah, indisipliner dan
persoalan kondisi kurang harmonisnya hubungan antara pengusaha dengan
karyawan atau buruh. Data KP2K Jateng juga menunjukkan jumlah
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) kerap terjadi pada sektor usaha
industri pengolahan. Pada tahun 2003, jumlah perkara pada sektor usaha ini
sebanyak 11 perkara dengan jumlah tenaga kerja 1.666 orang sedangkan PHI
pada sektor usaha ini sampai juni 2004 mencapai 13 perkara dengan jumlah
tenaga kerja 3.513 orang (Kompas, 22 januari 2005)
Lingkungan pekerjaan seringkali dicirikan oleh adanya konflik-konflik
destruktif yang berdampak negatif. Ini termasuk kerusakan fisik dan
emosional, hilangnya keyakinan dan turunnya harga diri. Dampak negatif dari
konflik interpersonal di tempat kerja terbukti mempengaruhi pribadi maupun
tingkat organisasi. Pada tahap berikutnya, konflik mempengaruhi pula prestasi
organisasi atau unit secara keseluruhan. Pada tahap awal, dampak negatif
konflik interpersonal menyebabkan stress yang dikaitkan dengan tampilnya
reaksi-reaksi psikologis, fisik dan tingkah laku.
Pada tingkat psikologis, reaksi-reaksi yang biasa muncul berupa
kesulitan berkonsentrasi dan berfikir jernih, yang diikuti dengan
meningkatnya rasa mudah marah dan ketidakmampuan untuk rileks.
Menghadapi konflik tentu saja menimbulkan stress, yang pada gilirannya akan
meningkatkan sinisme terhadap klien atau rekan kerja yang akan menuju
konflik lebih jauh. Reaksi ini kemungkinan akan mengurangi objektifitas
seseorang dan memperlihatkan ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol
sikap yang terus menerus menyalahkan orang lain. Oleh karena itu,
pengelolaan konflik interpersonal memegang peranan penting dalam
mengurangi stress di tempat kerja.
Berdasarkan kenyataan tersebut terlihat bahwa ketrampilan manajerial
dan teknis saja belum cukup untuk mengelola dunia bisnis dan industri sebab
belum dapat memecahkan masalah-maalah moral, kebaikan, kebahagiaan,
keadilan dan kesejahteraan lahir dan batin di tengah masyarakat luas.
Tambahan pula, dunia bisnis dan industri pada masa sekarang lebih banyak
memerlukan sikap moral yang benar dan baik untuk menjamin keadilan dan
kesejahteraan serta relasi antar manusiawi yang mantap. Sikap merupakan
organisasi kognitif yang dinamis dan banyak dimuati unsur-unsur emosional
dan disertai kesiagaan untuk bereaksi, yang khusus dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman masa lampau sehingga sifatnya sangat dinamis
dalam memberikan pengarahan pada setiap tingkah laku karyawan. Maka
sikap ini dipengaruhi oleh sukses dan kegagalan-kagagalan pengalaman
dimasa lalu. Kegagalan dan sukses itu sedikit atau banyak akan mengubah
sikap menjadi tingkah laku terhadap suatu situasi. Adapun yang dimaksud
dengan sikap kerja adalah sikap menyukai atau tidak menyukai terhadap
pekerjaan yang dihadapi, yang juga dipengaruhi oleh perasaan dan pikiran
individu yang bersangkutan (As’ad, 1998).
Walgito (1987) menyatakan bahwa sikap adalah keadaan diri manusia
yang menggerakkan untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan
tertentu di dalam menanggapi objek dan terbentuk atas dasar pengalaman-
pengalaman. Sikap merupakan suatu pandangan atau perasaan terhadap suatu
obyek tertentu dimana sikap tersebut akan disertai oleh kecenderungan untuk
bertindak sesuai dengan perasaan suka atau tidak suka terhadap objek tertentu
(dalam Gerungan, 2000).
Karyawan adalah makluk sosial yang menjadi bagian dari suatu
kelompok sosial dan tim kerja tertentu. Jika dia tidak sanggup bekerja sama
secara kooperatif dengan teman sejawatnya, betapapun tinggi kemampuan
teknis dan intelektualnya, pastilah dia tidak akan betah bekerja ditempat itu
dan tidak akan mampu berprestasi secara maksimum. Juga, ruang kerja yang
sehat dan suhu kamar yang sejuk tidak akan bisa memberikan imbangan psikis
berupa kesenangan kerja apabila relasi diantara pegawai atau karyawan tidak
lancar dan managemen perusahaan tidak memuaskan atau tidak manusiawi
sifatnya. Sehingga semakin jelas bagi kita bahwa sikap emosional mereka
terhadap pekerjaan dan kawan-kawan sejawatnya, suasana hati, baik buruknya
kondisi fisik lingkungan kerjanya sangat berperan penting dalam
pembentukan sikap kerja para karyawan yang berpengaruh terhadap prestasi
kerja.
Silalahi (dalam Wijayanti, 1995) juga menerangkan bahwa prestasi
kerja dan produktifitas kerja dapat dicapai dengan adanya perasaan memiliki
atas pekerjaan tersebut. Akan lebih jelas lagi apabila rasa memiliki tersebut
juga disertai dengan adanya sikap positif terhadap organisasi dan
pekerjaannya. Sejauh mana individu dengan batas kualifikasi masing-masing
melaksanakan pekerjaannya dengan baik sangat variatif tergantung pada sikap
mereka terhadap perusahaan, atasan, rekan sekerja serta aspek-aspek lainnya.
Di jelaskan oleh Anastasi (1989) bahwa kadangkala karyawan yang
kemampuannya biasa-biasa saja, tetapi mempunyai sikap kerja yang baik
ternyata dapat mencapai prestasi kerja yang baik begitu juga sebaliknya.
Wexley dan Yukl (1992) mengatakan bahwa sikap kerja merupakan
bagian perasaan terhadap pekerjaan sebab dengan adanya perasaan puas
terhadap aspek-aspek dalam bekerja akan sangat berpengaruh terhadap baik
buruknya sikap kerja karyawan terhadap aspek-aspek kerja tersebut. Iklim
kerja yang menyenangkan dan disiplin kerja yang tinggi tidak bisa ditegakkan
atas landasan ancaman-ancaman terus menerus, misalnya ancaman pemecatan
dan sanksi hukum resmi termasuk pula insentif uang sebagai bentuk hadiah
akan tetapi apresiasi dan perasaan suka atau senang terhadap pekerjaan
lingkungan kerja, kawan-kawan sejawat dan pada atasanlah yang menjadi
motif pokok untuk mendorong seseorang suka bekerja di perusahaan. Ada
beberapa individu yang berperangai malas, agresif, selalu curiga dan bersikap
bermusuhan disebabkan oleh” kecenderungan-kecenderungan alamiah” atau
sikap mental yang salah, semua ini disebabkan gangguan psikis emosional
sehingga menyebabkan mereka bertingkah laku abnormal dan sikap kerja
yang buruk.
Jika emosi-emosi karyawan menjadi lebih positif sehingga moralnya
bisa dipertinggi maka akan muncul tim kerja yang akrab dan penuh
persahabatan lalu orang jadi lebih rajin dan senang bekerja. Penelitian
menunjukkan bahwa monotomi dari pekerjaan mudah menimbukan kejenuhan
dan sikap depresif pesimistis. Mengubah sikap kerja karyawan tidak harus
memberikan kuliah, ceramah secara terus-menerus tetapi juga diperlukan
motivasi dalam diri karyawan dalam mengatur suasana hati, sikap emosional
mereka terhadap pekerjaan dan kawan-kawan sejawatnya, baik buruknya
kondisi fisik kerja. Hendaknya perubahan sikap itu harus dilandaskan pada
prinsip kesukarelaan, dimana mereka menyadari dan merasakan kebutuhan
untuk mengubah sikap sendiri tanpa mendapat tekanan, ancaman dan rasa
ketakutan. Sikap baru itu secara konkret dirasakan lebih dekat pada realitas
hidup yang wajar-wajar saja. Faktor yang terdapat dalam pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, emosi dalam diri individu (Azwar, 1998)
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pengelolaan emosi yang
baik mempunyai andil besar dalam pengambilan keputusan untuk bertindak.
Besarnya pengaruh emosi dalam bertindak, sangatlah diperlukan karyawan
bagaimana membentuk emosi yang cerdas bagi individu. Seorang karyawan
yang cerdas secara emosional akan dapat mengetahui dan menangani serta
mengelola perasaan mereka sendiri dengan baik, mereka dapat memotivasi
dirinya untuk berprestasi mampu bertahan menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun
kesusahan dan mampu berempati serta membina hubungan baik dengan
lingkungan kerja. Mewujudkan sikap kerja yang baik diperlukan emosional
yang baik, cerdas dan terkontrol sehingga diperlukan kecerdasan emosional
yang tinggi dari karyawan karena reaksi atau respon karyawan banyak
dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti emosi, kepribadian, persepsi yang
semuanya itu tercermin dalam sikap karyawan terhadap pekerjaan.
Kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer (dalam Shapiro,
1997) adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri, mengelola emosi diri,
mengelola emosi orang lain, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri dan
kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Sehingga memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi diharapkan seseorang menemukan
keberhasilan baik didunia pribadi maupun dunia kerja. Suasana hati atau
emosi yang terdapat dalam diri karyawan ketika sedang bekerja bisa
merupakan emosi yang positif dan juga yang negatif. Selain itu kecerdasan
emosional merupakan dasar pembentukan emosi yang mencakup ketrampilan
individu dalam membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi (Patton,
1998)
Kemampuan dalam mengontrol diri untuk proses pengaktifan sikap
kerja sangat diperlukan bagi individu untuk mampu dalam memotivasi diri
secara terus-menerus dan tekun dalam memacu semangat diri agar dapat
berprilaku secara lebih baik dan bermanfaat. Hal ini didukung oleh pendapat
Goleman (2000) bahwa yang dimaksud kecerdasan emosional termasuk
didalamnya kemampuan untuk mengontrol diri, memacu semangat diri, tetap
tekun serta dapat memotivasi diri sendiri. Orang-orang yang kekurangan
dalam kemampuan emosional ini terus-menerus melawan perasaan-perasaan
gelisah dan penyesalan. Mereka yang memiliki kelebihan dalam hal ini dapat
kembali bersemangat jauh lebih cepat dari rintangan hidup. Mengatasi
perasaan adalah kemampuan yang secara alami mengikuti dan mengenali
perasaan kita, sementara kesadaran diri adalah sifat kunci dari kecerdasan
emosi (Alder, 2001)
Sehubungan dengan masalah di atas maka penulis memandang perlu
untuk melakukan penelitian sampai sejauh mana adanya hubungan dan saling
terkait diantara permasalahan yang ada tersebut. Sikap kerja yang baik akan
lebih mudah ditegakkan bila timbul dari kesadaran diri, sehingga dengan
kecerdasan emosional yang tinggi pula karyawan mampu menjaga semangat
kerja tersebut untuk memotivasinya mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Sehingga dengan asumsi tersebut di atas menimbulkan pertanyaan bagi
penulis apakah ada keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan sikap
kerja? Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hubungan
antara kecerdasan emosional dengan sikap kerja karyawan.
B.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :