BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia remaja adalah usia yang penuh gejolak akibat adanya peralihan
masa anak-anak ke masa dewasa. Gejolak ini muncul seiring dengan
berkembangnya arah fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju
kedewasaan, seperti pencarian identitas dan pemantapan posisi dalam lingkungan
sosialnya. Remaja dituntut untuk berperan secara tepat di dalam masyarakat
sehingga mendorong dirinya untuk mencari kesesuaian peran dan posisi yang
diinginkannya dan juga disetujui oleh masyarakat.
Remaja juga mengalami perkembangan fisik dan rohani, khususnya dalam
perkembangan seksualitas. Karena itu mulai muncul dorongan-dorongan seksual
yang kadang kuat. Bila tidak mampu menahan dorongan ini, terutama karena
kurang matangnya emosi pada saat usia remaja maka mudah sekali terjerumus
dalam hubungan seksual. Tapi tidak sedikit remaja yang rela melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenisnya dikarenakan keinginan untuk mencari
sensasi dalam hubungan sosial dengan teman sebayanya agar lebih dihargai dan
diterima dalam kelompoknya.
Masa remaja ini perlu mendapat perhatian khusus karena pada masa
remaja dianggap sebagai masa kritis, sebagai akibat dari proses
perkembangannya. Umumnya remaja merasa gelisah, lekas marah dan
keseimbangannya mudah goyah. Remaja tidak mau dianggap anak-anak lagi,
tetapi remaja juga menyadari bahwa mereka belum dapat dimasukkan dalam
golongan orang dewasa.
Dari Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr Gregory D. Zimet pada 188
pelajar yang berusia 12 dan 14 tahun yang duduk dikelas tujuh di Indianapolis
menunjukkan bahwa perempuan memiliki harga diri yang lebih tinggi apabila
masih perawan dan sebaliknya laki-laki akan memiliki harga diri yang lebih tinggi
apabila sudah tidak perjaka. Harga diri digunakan secara berbeda dikalangan
remaja putri dan remaja putra dalam hal inisiatif melakukan hubungan seks.
Perilaku seksual dikalangan remaja putri seringkali dikaitkan dengan karakteristik
masyarakat sebagai perilaku yang secara sosial menyimpang, sebaliknya perilaku
seksual dikalangan remaja putra seringkali dianggap sebagai suatu yang bisa
diterima dalam masyarakat. Harga diri dalam remaja terkait dengan masalah
keperawanan dan keperjakaan seorang remaja. (Zimet, 2001).
Kebebasan perilaku seksual di Indonesia semakin meningkat. Fenomena
meningkatnya perilaku ini dapat dijumpai baik dalam pengamatan kehidupan
sehari-hari maupun pada media massa. Bentuk kebebasan perilaku seksual itu
meliputi hubungan seksual. Kondisi tersebut akan lebih memprihatinkan lagi
ketika perilaku kebebasan seksual itu bukan saja terbatas pada manusia dewasa
namun juga remaja, karena remaja cenderung belum memiliki kematangan emosi
dalam menghadapi berbagai problem perkembangannya sehingga masih sering
bertindak tanpa memikirkan akibat dari perbuatan yang dilakukan dan mudah
terpengaruh dengan lingkungan sosialnya. Hasil penelitian Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia mengenai perilaku seksual di kalangan siswa SLTA di
Jakarta dan Banjarsari, menunjukkan sebanyak 20% dari total responden
menyatakan pernah berhubungan seks. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas
Diponegoro Semarang dan Dinas Kesehatan Jawa Tengah juga menyimpulkan
bahwa sekitar 10% dari 6000 siswa SLTA di Jawa Tengah pernah melakukan
hubungan intim (Magdalena, 2000).
Menurut Mu’tadin (2002), perilaku seksual adalah segala tingkah laku
yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan
sesama jenisnya. Bentuk perilaku seksual ini bermacam-macam, mulai dari
perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama.
Perkembangan seksual menjadi menonjol dalam rentang kehidupan remaja
karena perubahan dalam sikap dan tingkah laku sosialnya yaitu dengan beralihnya
perhatian remaja terhadap lawan jenisnya, kemudian diikuti saling tertarik, saling
mendekati dan keinginan untuk mengadakan kontak fisik yang diwarnai nafsu
seksual (Monk, Knoers dan Haditono, 1996). Hal ini memungkinkan dorongan
seksual termanifestasikan dalam bentuk tingkah laku atau yang disebut dengan
perilaku seksual.
Masalah remaja sebenarnya bermacam-macam, diantaranya adalah
masalah hubungan remaja itu sendiri, masalah narkotika, masalah seksualitas,
masalah hubungan dengan orang tua, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa orang tualah yang mula-mula bertanggung jawab atas tingkah laku
anaknya khususnya remaja. Masalah-masalah tersebut telah menjadi kenyataan
dalam masyarakat.
Kurangnya pengetahuan tentang masalah seks bagi remaja menjadikan
remaja mencoba untuk melakukan hal-hal mengenai masalah seks tanpa
menyadari bahaya yang akan timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan
yang ditimbulkan oleh perilaku seksualnya mulai bermunculan, remaja takut
untuk mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya.
Harapan terhadap remaja adalah seorang remaja mempunyai kematangan
emosi, kestabilan emosi dan kontrol emosi yang baik sehingga mampu bertindak
rasional dan tidak mencari sensasi negatif yang disebabkan pengaruh dari
lingkungan, tetapi kenyataannya angka kenakalan remaja terus meningkat dari
tahun ke tahun. Terlihat dengan semakin bebasnya pergaulan remaja sehingga
banyak remaja yang menikah muda karena hamil di luar nikah dan masalah-
masalah aborsi yang dilakukan oleh remaja sebagai akibat kurang matangnya
emosi dalam diri remaja dan juga pengaruh dari pencarian sensasi dalam
pergaulannya.
Remaja memiliki emosi yang masih labil dan belum mencapai kematangan
pribadi. Perasaan belum mapan ini sering membawa mereka ke dalam kegelisahan
yang pada satu pihak ingin mencari sensasi dengan melakukan segala keinginan
yang ada, tetapi di pihak lain terbentuk akan ketidak mampuan untuk
melakukannya. Akibat dari kondisi ini remaja menjadi antipati, agresif bahkan
cenderung nakal (Mulyono, 1986).
Seorang remaja dikatakan matang emosinya apabila mendasarkan
kehidupannya atas dasar tanggung jawab dan nilai-nilai luhur manusiawi. Begitu
juga dalam hubungan sosial dengan teman sebayanya, remaja akan cenderung
terpengaruh dan mengikuti perilaku teman sebayanya tanpa memperdulikan
perasaan sendiri. Tapi dengan bertambahnya usia, maka pengaruh teman
sebayapun mulai akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin dikenal
sebagai individu yang mandiri (Hurlock, 1996).
Zuckerman (dalam Franken, 1988) berpendapat bahwa karakteristik
kepribadian mencari sensasi (sensasition seeking) sering dianggap sebagai salah
satu faktor internal yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku
menyimpang. Seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari sensasi dan
pengalaman baru, namun setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda-beda.
Seseorang pencari sensasi tinggi akan cenderung berani mengambil resiko
tinggi untuk sensasi baru. Sementara orang dengan sensasi rendah akan
cenderung menjadi orang yang tidak berani mengambil resiko atau mengambil
resiko rendah. Kecenderungan ini memuncak pada saat remaja memiliki energi
yang berlebih yang harus disalurkan, serta kecenderungan untuk mencoba hal-hal
yang baru dan menantang. Namun kecenderungan seseorang untuk mencari
sensasi tinggi dapat berpengaruh pada perilaku yang positif apabila menemukan
tantangan dari perilaku atau aktifitas yang dilakukan (Franken, 1988).
Menurut Wolker dan Roberts (1992), kecenderungan ini dapat mengarah
pada perilaku negatif apabila individu pencari sensasi tinggi merasa hanya
menemukan tantangan melalui cara-cara yang tidak diterima dimasyarakat,
misalnya melakukan seks bebas. Belum matangnya emosi remaja menyebabkan
remaja mudah terbawa pengaruh kelompok untuk melakukan perbuatan tertentu.
Damasio (Goleman, 1997) menyatakan bahwa emosi berperan besar
terhadap tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional.
Manusia sering bertindak sesuai emosinya dari pada menggunakan pikiran,
padahal tidak semua tindakan yang dilakukan berdasarkan emosi akan
mendatangkan kebaikan bagi seseorang.
Remaja pada umumnya dalam bertindak selalu menggunakan emosinya
dari pada pikirannya. Tetapi apabila emosi remaja belum mencapai kematangan
maka perbuatan yang dilakukan akan penuh semangat dan tidak mudah menyerah
karena emosi yang meledak-ledak pada usia remaja, meskipun bertentangan
dengan norma yang berlaku remaja akan berusaha mempertahankan pendiriannya
demi mencari sensasi untuk mendapat perhatian dari lingkungan sekitar. Hal ini
dapat dilihat dalam perilaku remaja sehari-hari dan termasuk juga dalam perilaku
seksualnya dengan lawan jenis. Faktor kematangan emosi sangat penting untuk
menentukan sikap dan perilaku remaja dalam menghadapi pergaulan yang penuh
dengan persaingan dengan melakukan sensasi-sensasi yang lebih menantang dan
umumnya melanggar aturan atau norma dalam masyarakat untuk dapat diterima
dan meningkatkan harga dirinya dengan teman sebaya maupun dengan
lingkungan.
Remaja yang matang emosinya akan lebih dapat membedakan sensasi-
sensasi dalam pergaulan kearah yang lebih positif sehingga tidak terjebak dalam
perilaku seks bebas namun pada kenyataannya banyak remaja yang hanya
mementingkan untuk lebih diperhatikan dan terlihat menonjol dalam
pergaulannya sehingga memiliki kecenderungan mencari sensasi-sensasi dalam
perilaku seksual bahkan rela melakukan hubungan seksual pranikah.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengajukan rumusan masalah
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara kematangan emosi dan
kecenderungan mencari sensasi dengan perilaku seksual pada remaja ?”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia remaja adalah usia yang penuh gejolak akibat adanya peralihan
masa anak-anak ke masa dewasa. Gejolak ini muncul seiring dengan
berkembangnya arah fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju
kedewasaan, seperti pencarian identitas dan pemantapan posisi dalam lingkungan
sosialnya. Remaja dituntut untuk berperan secara tepat di dalam masyarakat
sehingga mendorong dirinya untuk mencari kesesuaian peran dan posisi yang
diinginkannya dan juga disetujui oleh masyarakat.
Remaja juga mengalami perkembangan fisik dan rohani, khususnya dalam
perkembangan seksualitas. Karena itu mulai muncul dorongan-dorongan seksual
yang kadang kuat. Bila tidak mampu menahan dorongan ini, terutama karena
kurang matangnya emosi pada saat usia remaja maka mudah sekali terjerumus
dalam hubungan seksual. Tapi tidak sedikit remaja yang rela melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenisnya dikarenakan keinginan untuk mencari
sensasi dalam hubungan sosial dengan teman sebayanya agar lebih dihargai dan
diterima dalam kelompoknya.
Masa remaja ini perlu mendapat perhatian khusus karena pada masa
remaja dianggap sebagai masa kritis, sebagai akibat dari proses
perkembangannya. Umumnya remaja merasa gelisah, lekas marah dan
keseimbangannya mudah goyah. Remaja tidak mau dianggap anak-anak lagi,
tetapi remaja juga menyadari bahwa mereka belum dapat dimasukkan dalam
golongan orang dewasa.
Dari Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr Gregory D. Zimet pada 188
pelajar yang berusia 12 dan 14 tahun yang duduk dikelas tujuh di Indianapolis
menunjukkan bahwa perempuan memiliki harga diri yang lebih tinggi apabila
masih perawan dan sebaliknya laki-laki akan memiliki harga diri yang lebih tinggi
apabila sudah tidak perjaka. Harga diri digunakan secara berbeda dikalangan
remaja putri dan remaja putra dalam hal inisiatif melakukan hubungan seks.
Perilaku seksual dikalangan remaja putri seringkali dikaitkan dengan karakteristik
masyarakat sebagai perilaku yang secara sosial menyimpang, sebaliknya perilaku
seksual dikalangan remaja putra seringkali dianggap sebagai suatu yang bisa
diterima dalam masyarakat. Harga diri dalam remaja terkait dengan masalah
keperawanan dan keperjakaan seorang remaja. (Zimet, 2001).
Kebebasan perilaku seksual di Indonesia semakin meningkat. Fenomena
meningkatnya perilaku ini dapat dijumpai baik dalam pengamatan kehidupan
sehari-hari maupun pada media massa. Bentuk kebebasan perilaku seksual itu
meliputi hubungan seksual. Kondisi tersebut akan lebih memprihatinkan lagi
ketika perilaku kebebasan seksual itu bukan saja terbatas pada manusia dewasa
namun juga remaja, karena remaja cenderung belum memiliki kematangan emosi
dalam menghadapi berbagai problem perkembangannya sehingga masih sering
bertindak tanpa memikirkan akibat dari perbuatan yang dilakukan dan mudah
terpengaruh dengan lingkungan sosialnya. Hasil penelitian Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia mengenai perilaku seksual di kalangan siswa SLTA di
Jakarta dan Banjarsari, menunjukkan sebanyak 20% dari total responden
menyatakan pernah berhubungan seks. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas
Diponegoro Semarang dan Dinas Kesehatan Jawa Tengah juga menyimpulkan
bahwa sekitar 10% dari 6000 siswa SLTA di Jawa Tengah pernah melakukan
hubungan intim (Magdalena, 2000).
Menurut Mu’tadin (2002), perilaku seksual adalah segala tingkah laku
yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan
sesama jenisnya. Bentuk perilaku seksual ini bermacam-macam, mulai dari
perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama.
Perkembangan seksual menjadi menonjol dalam rentang kehidupan remaja
karena perubahan dalam sikap dan tingkah laku sosialnya yaitu dengan beralihnya
perhatian remaja terhadap lawan jenisnya, kemudian diikuti saling tertarik, saling
mendekati dan keinginan untuk mengadakan kontak fisik yang diwarnai nafsu
seksual (Monk, Knoers dan Haditono, 1996). Hal ini memungkinkan dorongan
seksual termanifestasikan dalam bentuk tingkah laku atau yang disebut dengan
perilaku seksual.
Masalah remaja sebenarnya bermacam-macam, diantaranya adalah
masalah hubungan remaja itu sendiri, masalah narkotika, masalah seksualitas,
masalah hubungan dengan orang tua, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa orang tualah yang mula-mula bertanggung jawab atas tingkah laku
anaknya khususnya remaja. Masalah-masalah tersebut telah menjadi kenyataan
dalam masyarakat.
Kurangnya pengetahuan tentang masalah seks bagi remaja menjadikan
remaja mencoba untuk melakukan hal-hal mengenai masalah seks tanpa
menyadari bahaya yang akan timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan
yang ditimbulkan oleh perilaku seksualnya mulai bermunculan, remaja takut
untuk mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya.
Harapan terhadap remaja adalah seorang remaja mempunyai kematangan
emosi, kestabilan emosi dan kontrol emosi yang baik sehingga mampu bertindak
rasional dan tidak mencari sensasi negatif yang disebabkan pengaruh dari
lingkungan, tetapi kenyataannya angka kenakalan remaja terus meningkat dari
tahun ke tahun. Terlihat dengan semakin bebasnya pergaulan remaja sehingga
banyak remaja yang menikah muda karena hamil di luar nikah dan masalah-
masalah aborsi yang dilakukan oleh remaja sebagai akibat kurang matangnya
emosi dalam diri remaja dan juga pengaruh dari pencarian sensasi dalam
pergaulannya.
Remaja memiliki emosi yang masih labil dan belum mencapai kematangan
pribadi. Perasaan belum mapan ini sering membawa mereka ke dalam kegelisahan
yang pada satu pihak ingin mencari sensasi dengan melakukan segala keinginan
yang ada, tetapi di pihak lain terbentuk akan ketidak mampuan untuk
melakukannya. Akibat dari kondisi ini remaja menjadi antipati, agresif bahkan
cenderung nakal (Mulyono, 1986).
Seorang remaja dikatakan matang emosinya apabila mendasarkan
kehidupannya atas dasar tanggung jawab dan nilai-nilai luhur manusiawi. Begitu
juga dalam hubungan sosial dengan teman sebayanya, remaja akan cenderung
terpengaruh dan mengikuti perilaku teman sebayanya tanpa memperdulikan
perasaan sendiri. Tapi dengan bertambahnya usia, maka pengaruh teman
sebayapun mulai akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin dikenal
sebagai individu yang mandiri (Hurlock, 1996).
Zuckerman (dalam Franken, 1988) berpendapat bahwa karakteristik
kepribadian mencari sensasi (sensasition seeking) sering dianggap sebagai salah
satu faktor internal yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku
menyimpang. Seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari sensasi dan
pengalaman baru, namun setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda-beda.
Seseorang pencari sensasi tinggi akan cenderung berani mengambil resiko
tinggi untuk sensasi baru. Sementara orang dengan sensasi rendah akan
cenderung menjadi orang yang tidak berani mengambil resiko atau mengambil
resiko rendah. Kecenderungan ini memuncak pada saat remaja memiliki energi
yang berlebih yang harus disalurkan, serta kecenderungan untuk mencoba hal-hal
yang baru dan menantang. Namun kecenderungan seseorang untuk mencari
sensasi tinggi dapat berpengaruh pada perilaku yang positif apabila menemukan
tantangan dari perilaku atau aktifitas yang dilakukan (Franken, 1988).
Menurut Wolker dan Roberts (1992), kecenderungan ini dapat mengarah
pada perilaku negatif apabila individu pencari sensasi tinggi merasa hanya
menemukan tantangan melalui cara-cara yang tidak diterima dimasyarakat,
misalnya melakukan seks bebas. Belum matangnya emosi remaja menyebabkan
remaja mudah terbawa pengaruh kelompok untuk melakukan perbuatan tertentu.
Damasio (Goleman, 1997) menyatakan bahwa emosi berperan besar
terhadap tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional.
Manusia sering bertindak sesuai emosinya dari pada menggunakan pikiran,
padahal tidak semua tindakan yang dilakukan berdasarkan emosi akan
mendatangkan kebaikan bagi seseorang.
Remaja pada umumnya dalam bertindak selalu menggunakan emosinya
dari pada pikirannya. Tetapi apabila emosi remaja belum mencapai kematangan
maka perbuatan yang dilakukan akan penuh semangat dan tidak mudah menyerah
karena emosi yang meledak-ledak pada usia remaja, meskipun bertentangan
dengan norma yang berlaku remaja akan berusaha mempertahankan pendiriannya
demi mencari sensasi untuk mendapat perhatian dari lingkungan sekitar. Hal ini
dapat dilihat dalam perilaku remaja sehari-hari dan termasuk juga dalam perilaku
seksualnya dengan lawan jenis. Faktor kematangan emosi sangat penting untuk
menentukan sikap dan perilaku remaja dalam menghadapi pergaulan yang penuh
dengan persaingan dengan melakukan sensasi-sensasi yang lebih menantang dan
umumnya melanggar aturan atau norma dalam masyarakat untuk dapat diterima
dan meningkatkan harga dirinya dengan teman sebaya maupun dengan
lingkungan.
Remaja yang matang emosinya akan lebih dapat membedakan sensasi-
sensasi dalam pergaulan kearah yang lebih positif sehingga tidak terjebak dalam
perilaku seks bebas namun pada kenyataannya banyak remaja yang hanya
mementingkan untuk lebih diperhatikan dan terlihat menonjol dalam
pergaulannya sehingga memiliki kecenderungan mencari sensasi-sensasi dalam
perilaku seksual bahkan rela melakukan hubungan seksual pranikah.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengajukan rumusan masalah
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara kematangan emosi dan
kecenderungan mencari sensasi dengan perilaku seksual pada remaja ?”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :