BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini remaja sering dipermasalahkan oleh masyarakat terutama para
orangtua dan pendidik. Salah satu dari sekian banyak masalah remaja adalah masalah
perilaku seks bebas. Masalah ini menjadi lebih hangat dibicarakan karena di lapangan
banyak ditemukan perilaku hubungan seks bebas di kalangan individu yang masih
berada dalam taraf pendidikan formal dan belum terikat dalam lembaga perkawinan.
Permasalahannya bukan saja dalam peningkatan frekuensi tapi juga pada
intensitasnya. Jadi tidak dapat diingkari, jika saat ini dampak negatif dari
penyalahgunaan seks cukup mengganggu ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kekeliruan individu yang masuk ke dunia seks bebas (free sex) sebenarnya
tidak sepenuhnya berasal dari diri mereka sendiri. Iklim kondusif membuat individu
banyak bertindak di luar batas. Situasi kondusif itu di antaranya adalah toleransi
yang longgar dari masyarakat terhadap perilaku yang melanggar moral. Sekarang
bila ada individu yang hamil di luar nikah sudah dinilai sebagai hal yang biasa.
Banyak sekali pemakluman soal moral yang menjadikan perilaku seks bebas itu
biasa.
Sebuah penelitian yang ditulis oleh sebuah surat kabar Jawa Pos,
menyebutkan bahwa di Jakarta ada 10,4% remaja yang bersekolah di SMU dan
Perguruan Tinggi yang sudah pernah melakukan hubungan seks diluar nikah
sedangkan di Surabaya ada 12,4%. Remaja yang tidak pernah melakukan hubungan
seks di luar nikah di Jakarta ada 89,6%, sedangkan di Surabaya ada 87,6%. Dari segi
pasangannya, remaja Jakarta yang melakukan hubungan seks di luar nikah dengan
pacarnya ada 73,6%, dengan temannya ada 15,1%, dan dengan PSK ada 8,5%,
sedangkan di Surabaya yang melakukan hubungan seks di luar nikah dengan
pacarnya ada 75,8%, dengan temannya ada 12,9%, dan dengan PSK ada 8,1%. Dari
segi usia, di Jakarta yang melakukan hubungan seks pranikah pada usia 17 tahun ada
27,4%, usia 18 tahun ada 13,2%, dan 15 tahun ada 11,3%, sedangkan di Surabaya
yang melakukan hubungan seks pranikah pada usia 19 tahun 23,7%, usia 18 tahun
ada 15,3%, dan usia 17 tahun ada 20,3% (Arianto, 2003).
Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan
Humaniora (LSCK PUSBIH) telah melakukan penelitian tentang penyimpangan
perilaku remaja, khususnya perilaku seks di luar nikah pada remaja selama tiga tahun
dimulai pada bulan Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar 1.660
responden yang berasal dari 16 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di
Yogya. Dari 1.660 responden itu, 97,05 persen mengaku sudah hilang
keperawanannya saat kuliah. Hanya ada tiga responden atau 0,18 persen saja yang
mengaku sama sekali belum pernah melakukan kegiatan seks, termasuk masturbasi
dan sama sekali belum pernah mengakses tontonan maupun bacaan berbau seks.
Berdasarkan hasil tersebut, total responden yang belum pernah melakukan hubungan
seks berpasangan hanya 2,95 persen atau 2,77 persen ditambah 0,18 persen.
Sementara sebanyak 97,05 persen telah melakukan kegiatan seks berpasangan.
Sebanyak 73 persen menggunakan metode coitus interuptus atau seks terputus.
Selebihnya menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas di pasaran (Wijayanto,
2002).
Sadli dan Zainul Biran (Rustam, 1993) dari hasil penelitiannya terhadap
1156 pelajar yang berasal dari 46 SLTA di Jakarta yang berusia 16 – 20 tahun,
mendapatkan 6,06% pria dan 4,41% wanita pernah melakukan hubungan kelamin
dengan pacarnya. Pangkahila (1998) dalam penelitiannya terhadap 633 murid SLTA
di Denpasar dan Singaraja menemukan ada 155 murid yang telah atau pernah
melakukan hubungan seks sebelum perkawinan.
Di Amerika Serikat dan Eropa selama beberapa puluh tahun belakangan ini
jumlah prostitusi menjadi berkurang karena adanya perilaku seks bebas. Dalam
penelitian lain di Amerika Serikat, orang yang menyetujui perilaku seks bebas di luar
nikah umumnya memiliki alasan sebagai berikut : sebagai pelepasan dorongan atau
hasrat atau nafsu seks, untuk mendapatkan kepuasan fisik dan psikis, memupuk
penyesuaian emosional dengan pacar, melatih fisik dan mental dalam menghadapi
perkawinan, sebagai tes kapasitas seksual kedua belah pihak (karena kegagalan dalam
hubungan seksual di luar nikah, akibatnya akan lebih ringan daripada sesudah
menikah) dan bisa mendorong perkawinan (Tirtahusada dalam Soelistijo, 2002).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa gejala perilaku seks bebas yang terjadi
pada remaja cukup memprihatinkan. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
seks bebas pada remaja, menurut Tirtahusada (Soelistijo, 2002) ada beberapa keadaan
yang mendorong seseorang melakukan hubungan seks bebas, yaitu pernah melihat
video porno, suka datang ke tempat-tempat hiburan, banyaknya tempat untuk
berkencan bagi remaja, longgarnya ikatan moral, tata susila, turunnya standart nilai
keperawanan pada saat nikah dan kematangan sosial seperti tidak memperdulikan
batas-batas pertemanan antara lawan jenis. Kematangan sosial diartikan sebagai
tingkah laku sosial yang dimiliki atau yang diperlihatkan individu yang sesuai dengan
taraf perkembangan sosialnya. Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk
individual maka dalam tindakanya juga menjurus pada kepentingan masyarakat
(Walgito, 1987).
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa, sehingga remaja cenderung untuk mencari identitas dirinya. Di satu sisi
lingkungan masih menganggapnya sebagai anak-anak dan sisi lain remaja ingin
diakui sebagai orang dewasa yang bisa menyelesaikan segala persoalan yang
dihadapinya. Kartono (1989) mengatakan bahwa watak atau pribadi seseorang yang
sudah dewasa itu pasti dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman hidup masa lalu,
dipengaruhi oleh perkembangan di masa lampau, khususnya dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman hidup masa kanak-kanak. Karena itu setiap periode
perkembangan baru selalu bertalian erat dengan periode yang mendahuluinya. Hal ini
menunjukkan hidup manusia merupakan satu kesatuan yang bulat.
Schullz (1991) mengatakan bahwa pengenalan diri yang memadai menuntut
pemahaman tentang hubungan atau perbedaan antara gambaran tentang diri yang
dimiliki seseorang dengan dirinya, menuntut keadaan yang sesungguhnya. Semakin
dekat hubungan antara kedua gagasan ini, maka individu akan semakin matang.
Surachmad (1980) mengatakan bahwa kematangan menunjukkan adanya
perubahan-perubahan dalam tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh perubahan
dari manusia itu sendiri. Dengan istilah belajar ditunjukkan adanya tingkah laku
manusia sebagai pengaruh pengalaman-pengalaman yang dijumpai oleh manusia
dalam hidupnya. Hal ini berarti, adanya pengalaman yang dijumpai oleh seseorang
akan memberikan pengaruh terhadap kemasakan pribadi yang bersangkutan, dengan
pengalaman, manusia belajar menemukan sesuatu gambaran mengenai dirinya sendiri
serta berbagai perilaku atau perbuatan yang ditimbulkannya, dengan pengalaman
pula, seseorang akan mempelajari hal-hal yang diperolehnya dari lingkungan sekitar
atau lingkungan sosialnya.
Di dalam kehidupan manusia tidak dapat lepas dari masalah sosial. Dalam diri
individu mempunyai kondisi ketidaktergantungan, adanya inisiatif untuk berprestasi,
adanya perbedaan respon terhadap stimulus yang berbeda, kemampuan penerapan
pengetahuan, mampu berkomunikasi, peka terzhadap kebutuhan orang lain, juga
adanya peningkatan kemampuan untuk menghubungkan kepuasan-kepuasan
kebutuhan-kebutuhan psikoseksual, kontrol diri yang cukup, kemauan bertanggung
jawab dan percaya diri (Pikunas dan Albercht dalam Daryanto, 1999).
Kematangan sosial akan mempengaruhi motivasi berprestasi karena tuntutan
kompetitif di lingkungan sosial akan mendorong atau memotivasi individu untuk
lebih berhasil dari yang lainya. Individu juga dituntut untuk berprestasi yaitu
menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial, mengatasi rintangan dan
memelihara kualitas prestasi yang tinggi, bersaing untuk melebihi perbuatanya yang
lampau dan mengungguli orang lain (Hall dan Linzey dalam Siswanto, 1996).
Lingkungan sosial ini bisa dari kehidupan diri sendiri yang dipengaruhi oleh
kehidupan ekonominya, pendidikan orang tua, jumlah anak dalam keluarga, sedang
dari luar misalnya lingkungan masyarakat hubungan interaksi dengan teman dan
pengaruh pergaulan sehingga dengan pengalaman-pengalaman tersebut akan
mempengaruhi perkembangan sosialnya.
Kematangan sosial tidak diperoleh dari faktor bawaan, tapi diperoleh dari
pengalaman-pengalaman hidup individu, pendidikan yang diberikan oleh orang tua
dan lingkungan masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Tujuan keseluruhan dari
setiap individu adalah ingin mencapai tingkat kematangan sosial dan dapat memenuhi
tingkat aktualisasi diri yang baik. Oleh karena itu remaja yang memiliki kamatangan
sosial akan mampu membedakan mana perilaku yang harus diikuti dan diteladani
serta mana perbuatan atau perilaku yang harus di tinggalkan. Semakin tinggi
kematangan sosial remaja maka akan semakin rendah kecenderungan berperilaku
seks bebas pada remaja, demikian sebaliknya (Walgito, 1987).
Berdasarkan kenyataan tersebut maka remaja rentan sekali dengan
terpengaruh oleh lingkungan sekitar dan oleh media cetak maupun media televisi
serta adanya video porno yang dapat membuat remaja ingin mencoba melakukan
perilaku seks sebelum nikah, dengan demikian betapa pentingnya remaja mengetahui
dan memahami tentang perilaku seks yang benar agar remaja tidak terjebak dalam
perilaku seks pranikah. Bagi remaja yang mempunyai kematangan sosial yang baik
maka remaja akan dapat memilih mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak
boleh dilakukan oleh remaja dalam bergaul dengan lawan jenis. Dengan begitu
remaja tidak mudah terpengaruh dengan adanya media cetak, televisi dan video porno
yang memutar film yang berbau seks. Semakin tinggi kematangan sosial remaja maka
semakin rendah kecenderungan perilaku seks bebas pada remaja.
Mengacu pada uraian-uraian dan teori yang telah dijelaskan di atas maka
dapat dibuat rumusan masalah apakah ada hubungan kematangan sosial dengan
kecenderungan perilaku seks bebas pada remaja ?. Sehubungan dengan rumusan
masalah tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menguji secara empirik dan
mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kematangan Sosial Dengan
Kecenderungan Perilaku Seks Bebas Pada Remaja”.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara kematangan sosial dengan kecenderungan perilaku
seks bebas pada remaja.
2. Mengetahui seberapa besar peranan kematangan sosial terhadap kecenderungan
perilaku seks bebas pada remaja.
3. Mengetahui seberapa besar kematangan sosial pada remaja.
4. Untuk mengetahui seberapa besar kecenderungan perilaku seks bebas pada
remaja.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini remaja sering dipermasalahkan oleh masyarakat terutama para
orangtua dan pendidik. Salah satu dari sekian banyak masalah remaja adalah masalah
perilaku seks bebas. Masalah ini menjadi lebih hangat dibicarakan karena di lapangan
banyak ditemukan perilaku hubungan seks bebas di kalangan individu yang masih
berada dalam taraf pendidikan formal dan belum terikat dalam lembaga perkawinan.
Permasalahannya bukan saja dalam peningkatan frekuensi tapi juga pada
intensitasnya. Jadi tidak dapat diingkari, jika saat ini dampak negatif dari
penyalahgunaan seks cukup mengganggu ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kekeliruan individu yang masuk ke dunia seks bebas (free sex) sebenarnya
tidak sepenuhnya berasal dari diri mereka sendiri. Iklim kondusif membuat individu
banyak bertindak di luar batas. Situasi kondusif itu di antaranya adalah toleransi
yang longgar dari masyarakat terhadap perilaku yang melanggar moral. Sekarang
bila ada individu yang hamil di luar nikah sudah dinilai sebagai hal yang biasa.
Banyak sekali pemakluman soal moral yang menjadikan perilaku seks bebas itu
biasa.
Sebuah penelitian yang ditulis oleh sebuah surat kabar Jawa Pos,
menyebutkan bahwa di Jakarta ada 10,4% remaja yang bersekolah di SMU dan
Perguruan Tinggi yang sudah pernah melakukan hubungan seks diluar nikah
sedangkan di Surabaya ada 12,4%. Remaja yang tidak pernah melakukan hubungan
seks di luar nikah di Jakarta ada 89,6%, sedangkan di Surabaya ada 87,6%. Dari segi
pasangannya, remaja Jakarta yang melakukan hubungan seks di luar nikah dengan
pacarnya ada 73,6%, dengan temannya ada 15,1%, dan dengan PSK ada 8,5%,
sedangkan di Surabaya yang melakukan hubungan seks di luar nikah dengan
pacarnya ada 75,8%, dengan temannya ada 12,9%, dan dengan PSK ada 8,1%. Dari
segi usia, di Jakarta yang melakukan hubungan seks pranikah pada usia 17 tahun ada
27,4%, usia 18 tahun ada 13,2%, dan 15 tahun ada 11,3%, sedangkan di Surabaya
yang melakukan hubungan seks pranikah pada usia 19 tahun 23,7%, usia 18 tahun
ada 15,3%, dan usia 17 tahun ada 20,3% (Arianto, 2003).
Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan
Humaniora (LSCK PUSBIH) telah melakukan penelitian tentang penyimpangan
perilaku remaja, khususnya perilaku seks di luar nikah pada remaja selama tiga tahun
dimulai pada bulan Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar 1.660
responden yang berasal dari 16 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di
Yogya. Dari 1.660 responden itu, 97,05 persen mengaku sudah hilang
keperawanannya saat kuliah. Hanya ada tiga responden atau 0,18 persen saja yang
mengaku sama sekali belum pernah melakukan kegiatan seks, termasuk masturbasi
dan sama sekali belum pernah mengakses tontonan maupun bacaan berbau seks.
Berdasarkan hasil tersebut, total responden yang belum pernah melakukan hubungan
seks berpasangan hanya 2,95 persen atau 2,77 persen ditambah 0,18 persen.
Sementara sebanyak 97,05 persen telah melakukan kegiatan seks berpasangan.
Sebanyak 73 persen menggunakan metode coitus interuptus atau seks terputus.
Selebihnya menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas di pasaran (Wijayanto,
2002).
Sadli dan Zainul Biran (Rustam, 1993) dari hasil penelitiannya terhadap
1156 pelajar yang berasal dari 46 SLTA di Jakarta yang berusia 16 – 20 tahun,
mendapatkan 6,06% pria dan 4,41% wanita pernah melakukan hubungan kelamin
dengan pacarnya. Pangkahila (1998) dalam penelitiannya terhadap 633 murid SLTA
di Denpasar dan Singaraja menemukan ada 155 murid yang telah atau pernah
melakukan hubungan seks sebelum perkawinan.
Di Amerika Serikat dan Eropa selama beberapa puluh tahun belakangan ini
jumlah prostitusi menjadi berkurang karena adanya perilaku seks bebas. Dalam
penelitian lain di Amerika Serikat, orang yang menyetujui perilaku seks bebas di luar
nikah umumnya memiliki alasan sebagai berikut : sebagai pelepasan dorongan atau
hasrat atau nafsu seks, untuk mendapatkan kepuasan fisik dan psikis, memupuk
penyesuaian emosional dengan pacar, melatih fisik dan mental dalam menghadapi
perkawinan, sebagai tes kapasitas seksual kedua belah pihak (karena kegagalan dalam
hubungan seksual di luar nikah, akibatnya akan lebih ringan daripada sesudah
menikah) dan bisa mendorong perkawinan (Tirtahusada dalam Soelistijo, 2002).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa gejala perilaku seks bebas yang terjadi
pada remaja cukup memprihatinkan. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
seks bebas pada remaja, menurut Tirtahusada (Soelistijo, 2002) ada beberapa keadaan
yang mendorong seseorang melakukan hubungan seks bebas, yaitu pernah melihat
video porno, suka datang ke tempat-tempat hiburan, banyaknya tempat untuk
berkencan bagi remaja, longgarnya ikatan moral, tata susila, turunnya standart nilai
keperawanan pada saat nikah dan kematangan sosial seperti tidak memperdulikan
batas-batas pertemanan antara lawan jenis. Kematangan sosial diartikan sebagai
tingkah laku sosial yang dimiliki atau yang diperlihatkan individu yang sesuai dengan
taraf perkembangan sosialnya. Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk
individual maka dalam tindakanya juga menjurus pada kepentingan masyarakat
(Walgito, 1987).
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa, sehingga remaja cenderung untuk mencari identitas dirinya. Di satu sisi
lingkungan masih menganggapnya sebagai anak-anak dan sisi lain remaja ingin
diakui sebagai orang dewasa yang bisa menyelesaikan segala persoalan yang
dihadapinya. Kartono (1989) mengatakan bahwa watak atau pribadi seseorang yang
sudah dewasa itu pasti dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman hidup masa lalu,
dipengaruhi oleh perkembangan di masa lampau, khususnya dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman hidup masa kanak-kanak. Karena itu setiap periode
perkembangan baru selalu bertalian erat dengan periode yang mendahuluinya. Hal ini
menunjukkan hidup manusia merupakan satu kesatuan yang bulat.
Schullz (1991) mengatakan bahwa pengenalan diri yang memadai menuntut
pemahaman tentang hubungan atau perbedaan antara gambaran tentang diri yang
dimiliki seseorang dengan dirinya, menuntut keadaan yang sesungguhnya. Semakin
dekat hubungan antara kedua gagasan ini, maka individu akan semakin matang.
Surachmad (1980) mengatakan bahwa kematangan menunjukkan adanya
perubahan-perubahan dalam tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh perubahan
dari manusia itu sendiri. Dengan istilah belajar ditunjukkan adanya tingkah laku
manusia sebagai pengaruh pengalaman-pengalaman yang dijumpai oleh manusia
dalam hidupnya. Hal ini berarti, adanya pengalaman yang dijumpai oleh seseorang
akan memberikan pengaruh terhadap kemasakan pribadi yang bersangkutan, dengan
pengalaman, manusia belajar menemukan sesuatu gambaran mengenai dirinya sendiri
serta berbagai perilaku atau perbuatan yang ditimbulkannya, dengan pengalaman
pula, seseorang akan mempelajari hal-hal yang diperolehnya dari lingkungan sekitar
atau lingkungan sosialnya.
Di dalam kehidupan manusia tidak dapat lepas dari masalah sosial. Dalam diri
individu mempunyai kondisi ketidaktergantungan, adanya inisiatif untuk berprestasi,
adanya perbedaan respon terhadap stimulus yang berbeda, kemampuan penerapan
pengetahuan, mampu berkomunikasi, peka terzhadap kebutuhan orang lain, juga
adanya peningkatan kemampuan untuk menghubungkan kepuasan-kepuasan
kebutuhan-kebutuhan psikoseksual, kontrol diri yang cukup, kemauan bertanggung
jawab dan percaya diri (Pikunas dan Albercht dalam Daryanto, 1999).
Kematangan sosial akan mempengaruhi motivasi berprestasi karena tuntutan
kompetitif di lingkungan sosial akan mendorong atau memotivasi individu untuk
lebih berhasil dari yang lainya. Individu juga dituntut untuk berprestasi yaitu
menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial, mengatasi rintangan dan
memelihara kualitas prestasi yang tinggi, bersaing untuk melebihi perbuatanya yang
lampau dan mengungguli orang lain (Hall dan Linzey dalam Siswanto, 1996).
Lingkungan sosial ini bisa dari kehidupan diri sendiri yang dipengaruhi oleh
kehidupan ekonominya, pendidikan orang tua, jumlah anak dalam keluarga, sedang
dari luar misalnya lingkungan masyarakat hubungan interaksi dengan teman dan
pengaruh pergaulan sehingga dengan pengalaman-pengalaman tersebut akan
mempengaruhi perkembangan sosialnya.
Kematangan sosial tidak diperoleh dari faktor bawaan, tapi diperoleh dari
pengalaman-pengalaman hidup individu, pendidikan yang diberikan oleh orang tua
dan lingkungan masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Tujuan keseluruhan dari
setiap individu adalah ingin mencapai tingkat kematangan sosial dan dapat memenuhi
tingkat aktualisasi diri yang baik. Oleh karena itu remaja yang memiliki kamatangan
sosial akan mampu membedakan mana perilaku yang harus diikuti dan diteladani
serta mana perbuatan atau perilaku yang harus di tinggalkan. Semakin tinggi
kematangan sosial remaja maka akan semakin rendah kecenderungan berperilaku
seks bebas pada remaja, demikian sebaliknya (Walgito, 1987).
Berdasarkan kenyataan tersebut maka remaja rentan sekali dengan
terpengaruh oleh lingkungan sekitar dan oleh media cetak maupun media televisi
serta adanya video porno yang dapat membuat remaja ingin mencoba melakukan
perilaku seks sebelum nikah, dengan demikian betapa pentingnya remaja mengetahui
dan memahami tentang perilaku seks yang benar agar remaja tidak terjebak dalam
perilaku seks pranikah. Bagi remaja yang mempunyai kematangan sosial yang baik
maka remaja akan dapat memilih mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak
boleh dilakukan oleh remaja dalam bergaul dengan lawan jenis. Dengan begitu
remaja tidak mudah terpengaruh dengan adanya media cetak, televisi dan video porno
yang memutar film yang berbau seks. Semakin tinggi kematangan sosial remaja maka
semakin rendah kecenderungan perilaku seks bebas pada remaja.
Mengacu pada uraian-uraian dan teori yang telah dijelaskan di atas maka
dapat dibuat rumusan masalah apakah ada hubungan kematangan sosial dengan
kecenderungan perilaku seks bebas pada remaja ?. Sehubungan dengan rumusan
masalah tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menguji secara empirik dan
mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kematangan Sosial Dengan
Kecenderungan Perilaku Seks Bebas Pada Remaja”.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara kematangan sosial dengan kecenderungan perilaku
seks bebas pada remaja.
2. Mengetahui seberapa besar peranan kematangan sosial terhadap kecenderungan
perilaku seks bebas pada remaja.
3. Mengetahui seberapa besar kematangan sosial pada remaja.
4. Untuk mengetahui seberapa besar kecenderungan perilaku seks bebas pada
remaja.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :