BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini tampak persaingan antar produsen semakin tinggi. Hal itu terlihat
dari semakin banyak merk produk yang muncul di pasar. Persaingan tersebut,
misalnya antara Produk PT Unilever Indonesia, PT Procter dan Gamble Indonesia,
PT Dino Industrial Indonesia maupun dengan perusahaan-perusahaan loka lainnya
seperti PT Sinar Antjol. Dahulu hanya ada pt Unilever yang mengeluarkan sabun
mandi, misalnya merk Lux dan Lifebuoy. Kemudian mendapat persaingan dari PT
Cusson Indonesia yang mengeluarkan sabun mandi, misalnya Merk Emperial Leather
dan Beauty Skin Care Soap.
Pasar konsumen yang berkembang terjadi karena munculnya berbagai macam
merk baru yang dapat mempengaruhi keberhasilan pemasaran suatu produk. Para
produsen seharusnya memperhitungkan merk-merk lain yang ada di pasaran agar
produk tetap digemari konsumen. Hal ini memang wajar dilakukan mengingat
kemungkinan pindak merk dapat saja terjadi pada konsumen yang lebih tertarik pada
merk lain. Krisis moneter telah menjangkau segi-segi kehidupan paling mendasar
sehingga menggoyahkan hampir seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini saat
seseorang memilih kemudian memutuskan untuk membeli suatu barang., maka
mereka akan melalui proses mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan
barang tersebut termasuk soal harga. Harga juga menentukan persaingan di pasar
konsumen tersebut. Dengan demikian produsen perlu berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan pelanggannya.
Bentuk persaingan antar produsen sangat beragam. Produsen tanpa segan-
segan meniru bentuk kemasan, warna kemasan, harga maupun bentuk komunikasi
dari produsen lain, sehingga antar merk lainnya menjadi serupa. Hal tersebut memang
potensi untuk konsumen berpindah ke merk lain. Kemasan bentuk, kesamaan isi
antara satu dengan merk lainnya dan kompetisi harga mempunyai potensi untuk
membuat konsumen berpindah ke merk lain (Loudon & Bitta, 1984).
Bentuk persaingan pada produk sabun misalnya mereka berlomba-lomba
untukmuncul di iklan TV atau mass media lainnya. di samping itu seringkali
produsen mengadakan atau menyelenggarakan kusi berhadiah, undian dan talk show.
Fenomena di atas menyebabkan masalah loyalitas konsumen sangat
diperhatikan oleh para produsen. Loyalitas konsumen tetap merupakan prioritas yang
harus dicapai oleh setiap produsen meskipun usaha untuk prestasi loyalitas konsumen
tersebut merupakan suatu hal yang tidak mudah. Hal senada juga dikemukakan oleh
(Engel, Blackwell & Miniard, 1994) bahwa loyalitas konsumen merupakan prestasi
puncak yang harus dicapai oleh setiap produsen. Hal ini dapat disadari bahwa
mencari atau menjaring pelanggan baru itu jauh lebih sulit. Oleh karena itu para
produsen cenderung untuk mempertahankan pelanggan lama. Peter dan Olson (1990)
juga mengemukakan bahwa pada pasar yang tinggi tingkat persaingannya, upaya
mempertahankan konsumen agar tidak berpindah ke merk lain atau dengan kata lain
meloyalkan konsumen dipandang lebih efisien dibanding mencari konsumen atau
pelanggan baru dengan cara menciptakan merk produk baru akan membutuhkan
biaya yang jauh lebih mahal, atau enam kali lebih mahal daripada biaya untuk
mempertahankan pelanggan.
Bila mengkaji loyalitas merk, ini akan berhubungan dengan masalah perilaku
konsumen. Loyalitas merk para dasarnya merupakan proses pengambilan keputusan
dalam membeli. Konsumen pada awal pembelian harus melakukan pencarian
mengenai bentuk produknya serta melakukan evaluasi atau penyeleksian alternatif
terhadap berbagai macam merk yang ada di pasaran, sehingga pada loyalitas merk ini
konsumen tidak perlu mengulang pencarian informasi lagi. Pendapat ini sejalan
dengan Engel, J.Y., dan Blackwell, R. D., (1995) yang menyatakan bahwa konsumen
mengadakan seleksi dari alternatif-alternatif pilihan dalam mencari informasi
mengenai produk. Langkah tersebut di atas merupakan suatu penyederhanaan
kegiatan proses pengambilan keputusan dalam membeli. Penyederhanaan tersebut
akan lebih menghemat proses berpikir dalam waktu untuk mencari informasi serta
melakukan penyeleksian berbagai merk atau produk Engel, J. F., Blackwell,R.D. &
Miniard, P. W. ( 1994). Hal tersebut di atas tentu saja akan lebih menguntungkan
konsumen, lebih-lebih konsumen yang mempunyai waktu yang terbatas.
Sebagai individu dan juga sekaligus sebagai konsumen, mereka selalu ingin
dipenuhi kebutuhannya. Kebutuhan itu muncul seiring dengan perkembangan
individu itu sendiri, sehingga kebutuhan dapat semakin berkembang pula. Dahulu
konsumen membeli hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan. Sekarang mereka
lebih memperhatikan pula masalah kualitas, sehingga kepuasan pribadi menjadi suatu
hal yang penting bagi setiap individu dan sudah menjadi semacam kebutuhan yang
selalu ingin dipenuhi.
Menurut Peter dan Olson (1990) jika konsumen merasa puas dengan produk
atau merk tertentu, mereka cenderung membeli lagi, menggunakan dan menceritakan
pada orang lain mengenai pengalamannya tersebut. Sebaliknya jika konsumen tidak
puas terhadap merk atau produk tertentu maka mereka cenderung mengeluh pada
perusahaan pengecer atau konsumen lain mengenai produk itu.
Banyak sumber mengatakan bahwa loyalitas identik dengan perilaku membeli
berulang, sehingga faktor kepuasan dipandang sebagai faktor yang sangat
menentukan bagi terbentuknya loyalitas merk. Menurut Peter dan Olson (1990),
loyalitas merk memang merupakan perilaku membeli berulang. Engel, J. F.,
Blackwell, R.D dan Miniard, P.W. (1994) menyebut perilaku tersebut sebagai
perilaku inersia. Perilaku inersia sering disebut pula sebagai loyalitas semu, karena
perilaku membeli berulang yang dilakukan bukan atas dasar proses pengambilan
keputusan membeli dengan pertimbangan pribadi, baik pertimbangan rasional
maupun emosional. Oleh karena itu pada perilaku inersia ini menjadi mudah
dipengaruhi oleh merk-merk lain untuk berganti ke merk lain. Apabila merk lain
menawarkan diskon, hadiah, atau label dengan kata “baru’, konsumen inersia artinya
konsumen jenis ini cenderung lebih tertarik untuk membeli merk tersebut dengan
alasan ingin mendapatkan diskon, hadiah atau harga murah sehingga mempunyai
kecenderungan lebih mudah untuk berpindah ke merk lain tersebut. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa yang membedakan kedua perilaku tersebut adalah dasar
pembentukanya dan konsistensinya. Loyalitas semacam ini terbentuk karena adanya
keterlibatan yang tinggi antara konsumen dengan merk yang dipilih.
Menurut penelitian Wardiyanto (1998) banyak keuntungan lain yang
diperoleh perusahaan apabila produk yang dihasilkan sudah mempunyai konsumen
yang loyal, antara lain adalah dapat dijual dengan harga lebih tinggi daripada produk
pesaing tanpa harus khawatir ditinggalkan pelanggannya. Keuntungan lain yang
diperoleh perusahaan adalah bahwa konsumen yang loyal juga dapat menjadi “agen”
perusahaan untuk mempengaruhi biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan, terutama
biaya pemasaran dan penjualan.
Loyalitas memang merupakan sesuatu yang diidamkan oleh semua
perusahaan karena demikian banyak keuntungan yang diperoleh perusahaan bila
mempunyai konsumen yang loyal. Akan tetapi kenyataan berbicara lain, tidak semua
merk dapat menciptakan pelanggan yang loyal dan sebaliknya tidak mudah pula
mempertahankan loyalitas merk yang sudah dicapai. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa tidak sedikit merk yang telah mempunyai pelanggan loyal,
tetapi karena lengah dan salah menerapkan strategi akhirnya ditinggalkan oleh
konsumennya. Contohnya adalah kasus yang terjadi produk mie instant Supermie.
Pada dekade lalu merk ini begitu menguasai pasar dan mempunyai pelanggan yang
begitu loyal sehingga merk apapun yang masuk selalu dikaitkan dengan Supermie.
Tidak aneh apabila masyarakat waktu itu selalu menyebut mie siap hidang semacam
ini dengan sebutan Supermie sehingga muncullah istilah Supermie merek Indomie
atau Supermie merk Sarimie. Akibatnya sulit bagi perusahaan lain untuk merebut
pasaran Supermie pada waktu itu. Tapi yang terjadi di kemudian Supermie menjadi
lengah dan salah dalam menerapkan strategi sehingga lambat laun konsumennya akan
direbut oleh Indomie. Kini, Indomie menguasai 60% pasar mie instant disusul oleh
Supermie (23%) dan Sarimie (6%).
Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi sebuah merk agar dapat
diterima oleh konsumen untuk menjadi pelanggan yang loyal. Salah satu kunci
penting bagi produsen adalah dengan memahami faktor-faktor apa yang membentuk
dan mempengaruhi konsumen dalam proses pembuatan keputusan pembelian.
Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan pembelian adalah pengaruh lingkungan, karakteristik pribadi konsumen,
dan proses psikologis. Ahli lainnya yaitu Kotler (1990) mengatakan bahwa keputusan
pembelian dari konsumen sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, lingkungan
sosial, pribadi psikologis dari konsumen yang bersangkutan.
Perkembangan teknologi dan inovasi pabrik yang berjalan sedemikian cepat
juga menentukan keputusan membeli produk. Perbedaan antara satu merk dengan
merk lain yang demikian tipisnya, sehingga sulit untuk dibedakan. Selain itu kondisi
semacam ini juga ditambah lagi dengan kuatnya posisi konsumen karena adanya
keleluasaan dalam memilih. Hal ini menuntut para perancang strategi perusahaan
untuk lebih memperhatikan faktor-faktor lain di luar produk yang mempunyai peran
dan pengaruh besar dalam menentukan proses pengambilan keputusan konsumen.
Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir dan merupakan
puncak aksi dalam perilaku memilih (Dunnette, 1976). memilih merupakan
pertimbangan yang dilakukan dalam diri manusia dan sebagai seleksi suatu alternatif
yang dipilih dan yang lainnya ditolaknya, yang berarti reaksi memilih ini hanya
ditujukan pada suatu obyek saja (Dakir, 1993). Pengertian pengambilan keputusan
adalah tindakan akhir dalam memilih salah satu dari beberapa alternatif berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan dalam diri manusia. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan adalah pengaruh dari lingkungan sosial dimana
konsumen tinggal.
Lingkungan sosial adalah segala macam bentuk interaksi sosial yang terjadi
antar satu orang dengan orang lain, sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk sosial,
manusia akan selalu melakukan interaksi sosial dengan manusia baik secara aktif baik
langsung maupun tidak langsung. Proses interaksi terjadi saling mempengaruhi antara
individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil yang diperoleh berupa perubahan
sikap dan perilaku sebagai akibat pembelajaran dan pengolahan informasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa loyalitas
merk merupakan tingkat tertinggi yang menjadi dambaan setiap produsen terhadap
merk-merk yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan banyaknya keuntungan dan
kemudahan yang diperoleh perusahaan apabila sudah mempunyai konsumen yang
loyal. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap perusahaan mampu menciptakan
loyalitas merk yang tinggi dan sebaliknya tidak semua perusahaan mampu
mempertahankan loyalitas konsumen terhadap merk. Salah satunya adalah dengan
memahami lingkungan serta pengaruh-pengaruh sosial yang bekerja di sekitar
konsumen, tingkat kepuasan pembeli terutama ketika proses pengambilan keputusan
dibuat.
Banyak kasus sering dijumpai seorang konsumen dapat mempunyai komitmen
yang tingi terhadap suatu merk karena adanya masukan ataupun penghargaan dari
orang-orang dekat yang dianggap mempunyai kredibilitas tinggi. Pengaruh semacam
ini pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh produsen untuk meningkatkan
kepercayaan dan kesetiaan konsumen terhadap merk yang dihasilkan.
Produk yang akan dibicarakan lebih lanjut di sini adalah produk sabun mandi.
Sabun mandi dapat digolongkan sebagai kosmetika, hal ini sesuai dengan definisi
kosmetika yang tercantum dalam peraturan kesehatan Republik Indonesia no.
220./MenKes/Per/IX/76 adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan atau dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada badan atau bagian
badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara atau menambah
daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk dalam golongan obat. Sabun
mandi bukanlah barang atau hal yang baru lagi untuk kalangan masyarakat kita
terutama bagi wanita (Rudatini, 1993). Menurut penelitian Setyaningsih (1992) sabun
mandi diharapkan dapat menjadikan penampilan wanita lebih muda, segar, berseri
dan cantik. Adanya kesadaran untuk menjadi cantik merupakan keinginan positif.
Bahkan setiap wanita sudah terbiasa menggunakan kosmetika untuk menjaga atau
merawat kulit, penampilan dan kecantikan diri karena setiap wanita pasti suka dipuji
akan penampilan dirinya (Widiastuti, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut di atas
Kotler menjelaskan suatu produk itu mengandung 3 unsur, yaitu; Inti produk adalah
apa yang sebenarnya diinginkan oleh seorang pembeli, yaitu manfaat produk; Wujud
produk, terdiri dari lima karakteristik, yaitu mutu, ciri khas, model, merk dan
kemasan; Produk tambahan, misalnya jaminan terhadap kemungkinan resiko, jasa
pelayanan periklanan dan sebagainya.
Sebagai suatu produk, produk sabun mandi tidak lepas dari unsur di atas.
Produk sabun mandi mempunyai bahan utama deterjen, bahan pembentuk busa,
bahan pengawet, bahan yang melarutkan garam-garam yang melekat pada kulit,
bahan pewarna dan bahan pewangi. Bahan deterjen yang terdapat dalam produk
sabun mandi tersebut semacam sabun yang berfungsi untuk membersihkan kuoit.
Bahan pembentuk busa sering digunakan dalam produk sabun mandi untuk mengikuti
selera pemakai, namun apabila kandungan bahan tersebut terlalu banyak dapat
menyebabkan iritasi pada kulit, sehingga menjadi gatal. Produk sabun mandi yang
baik sebenarnya adalah yang tidak mengganggu fisiologis kulit, produk sabun mandi
memerlukan keasaman atau dinyatakan dengan pH, yang seimbang dan tidak alkalis.
Apabila keadaan tersebut tidak terpebuhi, sabun mandi sering mengakibatkan kulit
kasar dan mengelupas (Tranggono, 1992). Dalam setiap produk sabun mandi ada
kemungkinan mempunyai tingkat keasaman yang berbeda-beda, sehingga berganti-
ganti sabun mandi dapat pula menyebabkan timbulnya gatal-gatal atau iritasi pada
kulit. Sabun mandi yang mereka telah merasa cocok dengan produk itu dan merasa
puas atau emosi seseorang terhadap suatu hal. Afeksi berarti menunjuk pada
perasaan suka atau tidak suka. Lefrancois (1986) menyatakan bahwa kepuasan
merupakan kebutuhan dasar yang dapat digambarkan sebagai suatu hal yang
menyenangkan sehingga akan memberi dampak positif yaitu memberikan citra positif
terhadap produk sekaligus identitas produk atau merk. Hal ini membuat
konsumen membeli produk sabun mandi hanya pada pada produk tertentu saja.
Mengingat produk sabun mandi di Indonesia sekarang ini juga semakin banyak
bermunculan di pasaran dengan berbagai merk, maka hal ini menarik perhatian
peneliti untuk mengkaji huhungan kepuasan terhadap produk sabun dengan loyalitas
mereknya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana hubungan antara kepuasan terhadap produk dengan
loyalitas merk pada konsumen sabun mandi?
B. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini tampak persaingan antar produsen semakin tinggi. Hal itu terlihat
dari semakin banyak merk produk yang muncul di pasar. Persaingan tersebut,
misalnya antara Produk PT Unilever Indonesia, PT Procter dan Gamble Indonesia,
PT Dino Industrial Indonesia maupun dengan perusahaan-perusahaan loka lainnya
seperti PT Sinar Antjol. Dahulu hanya ada pt Unilever yang mengeluarkan sabun
mandi, misalnya merk Lux dan Lifebuoy. Kemudian mendapat persaingan dari PT
Cusson Indonesia yang mengeluarkan sabun mandi, misalnya Merk Emperial Leather
dan Beauty Skin Care Soap.
Pasar konsumen yang berkembang terjadi karena munculnya berbagai macam
merk baru yang dapat mempengaruhi keberhasilan pemasaran suatu produk. Para
produsen seharusnya memperhitungkan merk-merk lain yang ada di pasaran agar
produk tetap digemari konsumen. Hal ini memang wajar dilakukan mengingat
kemungkinan pindak merk dapat saja terjadi pada konsumen yang lebih tertarik pada
merk lain. Krisis moneter telah menjangkau segi-segi kehidupan paling mendasar
sehingga menggoyahkan hampir seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini saat
seseorang memilih kemudian memutuskan untuk membeli suatu barang., maka
mereka akan melalui proses mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan
barang tersebut termasuk soal harga. Harga juga menentukan persaingan di pasar
konsumen tersebut. Dengan demikian produsen perlu berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan pelanggannya.
Bentuk persaingan antar produsen sangat beragam. Produsen tanpa segan-
segan meniru bentuk kemasan, warna kemasan, harga maupun bentuk komunikasi
dari produsen lain, sehingga antar merk lainnya menjadi serupa. Hal tersebut memang
potensi untuk konsumen berpindah ke merk lain. Kemasan bentuk, kesamaan isi
antara satu dengan merk lainnya dan kompetisi harga mempunyai potensi untuk
membuat konsumen berpindah ke merk lain (Loudon & Bitta, 1984).
Bentuk persaingan pada produk sabun misalnya mereka berlomba-lomba
untukmuncul di iklan TV atau mass media lainnya. di samping itu seringkali
produsen mengadakan atau menyelenggarakan kusi berhadiah, undian dan talk show.
Fenomena di atas menyebabkan masalah loyalitas konsumen sangat
diperhatikan oleh para produsen. Loyalitas konsumen tetap merupakan prioritas yang
harus dicapai oleh setiap produsen meskipun usaha untuk prestasi loyalitas konsumen
tersebut merupakan suatu hal yang tidak mudah. Hal senada juga dikemukakan oleh
(Engel, Blackwell & Miniard, 1994) bahwa loyalitas konsumen merupakan prestasi
puncak yang harus dicapai oleh setiap produsen. Hal ini dapat disadari bahwa
mencari atau menjaring pelanggan baru itu jauh lebih sulit. Oleh karena itu para
produsen cenderung untuk mempertahankan pelanggan lama. Peter dan Olson (1990)
juga mengemukakan bahwa pada pasar yang tinggi tingkat persaingannya, upaya
mempertahankan konsumen agar tidak berpindah ke merk lain atau dengan kata lain
meloyalkan konsumen dipandang lebih efisien dibanding mencari konsumen atau
pelanggan baru dengan cara menciptakan merk produk baru akan membutuhkan
biaya yang jauh lebih mahal, atau enam kali lebih mahal daripada biaya untuk
mempertahankan pelanggan.
Bila mengkaji loyalitas merk, ini akan berhubungan dengan masalah perilaku
konsumen. Loyalitas merk para dasarnya merupakan proses pengambilan keputusan
dalam membeli. Konsumen pada awal pembelian harus melakukan pencarian
mengenai bentuk produknya serta melakukan evaluasi atau penyeleksian alternatif
terhadap berbagai macam merk yang ada di pasaran, sehingga pada loyalitas merk ini
konsumen tidak perlu mengulang pencarian informasi lagi. Pendapat ini sejalan
dengan Engel, J.Y., dan Blackwell, R. D., (1995) yang menyatakan bahwa konsumen
mengadakan seleksi dari alternatif-alternatif pilihan dalam mencari informasi
mengenai produk. Langkah tersebut di atas merupakan suatu penyederhanaan
kegiatan proses pengambilan keputusan dalam membeli. Penyederhanaan tersebut
akan lebih menghemat proses berpikir dalam waktu untuk mencari informasi serta
melakukan penyeleksian berbagai merk atau produk Engel, J. F., Blackwell,R.D. &
Miniard, P. W. ( 1994). Hal tersebut di atas tentu saja akan lebih menguntungkan
konsumen, lebih-lebih konsumen yang mempunyai waktu yang terbatas.
Sebagai individu dan juga sekaligus sebagai konsumen, mereka selalu ingin
dipenuhi kebutuhannya. Kebutuhan itu muncul seiring dengan perkembangan
individu itu sendiri, sehingga kebutuhan dapat semakin berkembang pula. Dahulu
konsumen membeli hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan. Sekarang mereka
lebih memperhatikan pula masalah kualitas, sehingga kepuasan pribadi menjadi suatu
hal yang penting bagi setiap individu dan sudah menjadi semacam kebutuhan yang
selalu ingin dipenuhi.
Menurut Peter dan Olson (1990) jika konsumen merasa puas dengan produk
atau merk tertentu, mereka cenderung membeli lagi, menggunakan dan menceritakan
pada orang lain mengenai pengalamannya tersebut. Sebaliknya jika konsumen tidak
puas terhadap merk atau produk tertentu maka mereka cenderung mengeluh pada
perusahaan pengecer atau konsumen lain mengenai produk itu.
Banyak sumber mengatakan bahwa loyalitas identik dengan perilaku membeli
berulang, sehingga faktor kepuasan dipandang sebagai faktor yang sangat
menentukan bagi terbentuknya loyalitas merk. Menurut Peter dan Olson (1990),
loyalitas merk memang merupakan perilaku membeli berulang. Engel, J. F.,
Blackwell, R.D dan Miniard, P.W. (1994) menyebut perilaku tersebut sebagai
perilaku inersia. Perilaku inersia sering disebut pula sebagai loyalitas semu, karena
perilaku membeli berulang yang dilakukan bukan atas dasar proses pengambilan
keputusan membeli dengan pertimbangan pribadi, baik pertimbangan rasional
maupun emosional. Oleh karena itu pada perilaku inersia ini menjadi mudah
dipengaruhi oleh merk-merk lain untuk berganti ke merk lain. Apabila merk lain
menawarkan diskon, hadiah, atau label dengan kata “baru’, konsumen inersia artinya
konsumen jenis ini cenderung lebih tertarik untuk membeli merk tersebut dengan
alasan ingin mendapatkan diskon, hadiah atau harga murah sehingga mempunyai
kecenderungan lebih mudah untuk berpindah ke merk lain tersebut. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa yang membedakan kedua perilaku tersebut adalah dasar
pembentukanya dan konsistensinya. Loyalitas semacam ini terbentuk karena adanya
keterlibatan yang tinggi antara konsumen dengan merk yang dipilih.
Menurut penelitian Wardiyanto (1998) banyak keuntungan lain yang
diperoleh perusahaan apabila produk yang dihasilkan sudah mempunyai konsumen
yang loyal, antara lain adalah dapat dijual dengan harga lebih tinggi daripada produk
pesaing tanpa harus khawatir ditinggalkan pelanggannya. Keuntungan lain yang
diperoleh perusahaan adalah bahwa konsumen yang loyal juga dapat menjadi “agen”
perusahaan untuk mempengaruhi biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan, terutama
biaya pemasaran dan penjualan.
Loyalitas memang merupakan sesuatu yang diidamkan oleh semua
perusahaan karena demikian banyak keuntungan yang diperoleh perusahaan bila
mempunyai konsumen yang loyal. Akan tetapi kenyataan berbicara lain, tidak semua
merk dapat menciptakan pelanggan yang loyal dan sebaliknya tidak mudah pula
mempertahankan loyalitas merk yang sudah dicapai. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa tidak sedikit merk yang telah mempunyai pelanggan loyal,
tetapi karena lengah dan salah menerapkan strategi akhirnya ditinggalkan oleh
konsumennya. Contohnya adalah kasus yang terjadi produk mie instant Supermie.
Pada dekade lalu merk ini begitu menguasai pasar dan mempunyai pelanggan yang
begitu loyal sehingga merk apapun yang masuk selalu dikaitkan dengan Supermie.
Tidak aneh apabila masyarakat waktu itu selalu menyebut mie siap hidang semacam
ini dengan sebutan Supermie sehingga muncullah istilah Supermie merek Indomie
atau Supermie merk Sarimie. Akibatnya sulit bagi perusahaan lain untuk merebut
pasaran Supermie pada waktu itu. Tapi yang terjadi di kemudian Supermie menjadi
lengah dan salah dalam menerapkan strategi sehingga lambat laun konsumennya akan
direbut oleh Indomie. Kini, Indomie menguasai 60% pasar mie instant disusul oleh
Supermie (23%) dan Sarimie (6%).
Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi sebuah merk agar dapat
diterima oleh konsumen untuk menjadi pelanggan yang loyal. Salah satu kunci
penting bagi produsen adalah dengan memahami faktor-faktor apa yang membentuk
dan mempengaruhi konsumen dalam proses pembuatan keputusan pembelian.
Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan pembelian adalah pengaruh lingkungan, karakteristik pribadi konsumen,
dan proses psikologis. Ahli lainnya yaitu Kotler (1990) mengatakan bahwa keputusan
pembelian dari konsumen sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, lingkungan
sosial, pribadi psikologis dari konsumen yang bersangkutan.
Perkembangan teknologi dan inovasi pabrik yang berjalan sedemikian cepat
juga menentukan keputusan membeli produk. Perbedaan antara satu merk dengan
merk lain yang demikian tipisnya, sehingga sulit untuk dibedakan. Selain itu kondisi
semacam ini juga ditambah lagi dengan kuatnya posisi konsumen karena adanya
keleluasaan dalam memilih. Hal ini menuntut para perancang strategi perusahaan
untuk lebih memperhatikan faktor-faktor lain di luar produk yang mempunyai peran
dan pengaruh besar dalam menentukan proses pengambilan keputusan konsumen.
Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir dan merupakan
puncak aksi dalam perilaku memilih (Dunnette, 1976). memilih merupakan
pertimbangan yang dilakukan dalam diri manusia dan sebagai seleksi suatu alternatif
yang dipilih dan yang lainnya ditolaknya, yang berarti reaksi memilih ini hanya
ditujukan pada suatu obyek saja (Dakir, 1993). Pengertian pengambilan keputusan
adalah tindakan akhir dalam memilih salah satu dari beberapa alternatif berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan dalam diri manusia. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan adalah pengaruh dari lingkungan sosial dimana
konsumen tinggal.
Lingkungan sosial adalah segala macam bentuk interaksi sosial yang terjadi
antar satu orang dengan orang lain, sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk sosial,
manusia akan selalu melakukan interaksi sosial dengan manusia baik secara aktif baik
langsung maupun tidak langsung. Proses interaksi terjadi saling mempengaruhi antara
individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil yang diperoleh berupa perubahan
sikap dan perilaku sebagai akibat pembelajaran dan pengolahan informasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa loyalitas
merk merupakan tingkat tertinggi yang menjadi dambaan setiap produsen terhadap
merk-merk yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan banyaknya keuntungan dan
kemudahan yang diperoleh perusahaan apabila sudah mempunyai konsumen yang
loyal. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap perusahaan mampu menciptakan
loyalitas merk yang tinggi dan sebaliknya tidak semua perusahaan mampu
mempertahankan loyalitas konsumen terhadap merk. Salah satunya adalah dengan
memahami lingkungan serta pengaruh-pengaruh sosial yang bekerja di sekitar
konsumen, tingkat kepuasan pembeli terutama ketika proses pengambilan keputusan
dibuat.
Banyak kasus sering dijumpai seorang konsumen dapat mempunyai komitmen
yang tingi terhadap suatu merk karena adanya masukan ataupun penghargaan dari
orang-orang dekat yang dianggap mempunyai kredibilitas tinggi. Pengaruh semacam
ini pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh produsen untuk meningkatkan
kepercayaan dan kesetiaan konsumen terhadap merk yang dihasilkan.
Produk yang akan dibicarakan lebih lanjut di sini adalah produk sabun mandi.
Sabun mandi dapat digolongkan sebagai kosmetika, hal ini sesuai dengan definisi
kosmetika yang tercantum dalam peraturan kesehatan Republik Indonesia no.
220./MenKes/Per/IX/76 adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan atau dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada badan atau bagian
badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara atau menambah
daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk dalam golongan obat. Sabun
mandi bukanlah barang atau hal yang baru lagi untuk kalangan masyarakat kita
terutama bagi wanita (Rudatini, 1993). Menurut penelitian Setyaningsih (1992) sabun
mandi diharapkan dapat menjadikan penampilan wanita lebih muda, segar, berseri
dan cantik. Adanya kesadaran untuk menjadi cantik merupakan keinginan positif.
Bahkan setiap wanita sudah terbiasa menggunakan kosmetika untuk menjaga atau
merawat kulit, penampilan dan kecantikan diri karena setiap wanita pasti suka dipuji
akan penampilan dirinya (Widiastuti, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut di atas
Kotler menjelaskan suatu produk itu mengandung 3 unsur, yaitu; Inti produk adalah
apa yang sebenarnya diinginkan oleh seorang pembeli, yaitu manfaat produk; Wujud
produk, terdiri dari lima karakteristik, yaitu mutu, ciri khas, model, merk dan
kemasan; Produk tambahan, misalnya jaminan terhadap kemungkinan resiko, jasa
pelayanan periklanan dan sebagainya.
Sebagai suatu produk, produk sabun mandi tidak lepas dari unsur di atas.
Produk sabun mandi mempunyai bahan utama deterjen, bahan pembentuk busa,
bahan pengawet, bahan yang melarutkan garam-garam yang melekat pada kulit,
bahan pewarna dan bahan pewangi. Bahan deterjen yang terdapat dalam produk
sabun mandi tersebut semacam sabun yang berfungsi untuk membersihkan kuoit.
Bahan pembentuk busa sering digunakan dalam produk sabun mandi untuk mengikuti
selera pemakai, namun apabila kandungan bahan tersebut terlalu banyak dapat
menyebabkan iritasi pada kulit, sehingga menjadi gatal. Produk sabun mandi yang
baik sebenarnya adalah yang tidak mengganggu fisiologis kulit, produk sabun mandi
memerlukan keasaman atau dinyatakan dengan pH, yang seimbang dan tidak alkalis.
Apabila keadaan tersebut tidak terpebuhi, sabun mandi sering mengakibatkan kulit
kasar dan mengelupas (Tranggono, 1992). Dalam setiap produk sabun mandi ada
kemungkinan mempunyai tingkat keasaman yang berbeda-beda, sehingga berganti-
ganti sabun mandi dapat pula menyebabkan timbulnya gatal-gatal atau iritasi pada
kulit. Sabun mandi yang mereka telah merasa cocok dengan produk itu dan merasa
puas atau emosi seseorang terhadap suatu hal. Afeksi berarti menunjuk pada
perasaan suka atau tidak suka. Lefrancois (1986) menyatakan bahwa kepuasan
merupakan kebutuhan dasar yang dapat digambarkan sebagai suatu hal yang
menyenangkan sehingga akan memberi dampak positif yaitu memberikan citra positif
terhadap produk sekaligus identitas produk atau merk. Hal ini membuat
konsumen membeli produk sabun mandi hanya pada pada produk tertentu saja.
Mengingat produk sabun mandi di Indonesia sekarang ini juga semakin banyak
bermunculan di pasaran dengan berbagai merk, maka hal ini menarik perhatian
peneliti untuk mengkaji huhungan kepuasan terhadap produk sabun dengan loyalitas
mereknya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana hubungan antara kepuasan terhadap produk dengan
loyalitas merk pada konsumen sabun mandi?
B. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: