BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia, dalam perjalanan hidupnya banyak mengalami perubahan yang
mengarah pada suatu perkembangan jasmani maupun rohani. Perkembangan manusia
menurut Hurlock (1996) dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama disebut
prenatal yaitu perkembangan pada masa bayi, lalu pada masa kanak-kanak, masa
kanak-kanak akhir dan masa awal remaja, usia tengah baya dan terakhir usia lanjut.
Pada masa remaja terjadi suatu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, pada masa ini sikap, cara berpikir serta cara bertindak mengalami suatu
perubahan dimana dalam bersikap, berpikir maupun bertindak mengalami suatu
perubahan ke arah yang lebih matang. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-
sifat masa transisi atau peralihan, hal itu nampak adanya suatu gejala yang tiba-tiba
dalam permulaan masa remaja yaitu gejala timbulnya seksualitas yang pada
umumnya terjadi antara umur 12 sampai 16 tahun pada anak laki-laki dan 11 sampai
15 tahun pada anak wanita.
Struktur remaja bermula dari masa kanak-kanak, berlanjut memasuki masa
remaja. Pada masa kanak-kanak akhir ini biasanya terdapat ciri khas memasuki masa
remaja. Oleh karena itu jika pada masa kanak-kanak sudah berkembang prasangka,
maka pada saat menginjak masa remaja prasangka itu tetap ada dan bisa bertambah
dan berkurang. Dalam Hurlock (1980) dikatakan bahwa bertambah dan berkurangnya
prasangka dan diskriminasi selama masa-masa remaja sangat dipengaruhi oleh
lingkungan dimana remaja berada dan sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-
temannya. Remaja sebagai kelompok cenderung lebih pemilih dalam memilih rekan
dan teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja
yang mempunyai latar belakang psikis, sosial atau ekonominya berbeda kurang
disenangi dibandingkan dengan remaja yang latar belakangnya sama. Misalnya,
remaja yang mengalami cacat pada fisiknya akan cenderung memilih bergaul dengan
teman yang senasib dengannya. Bila menghadapi teman-teman yang kurang cocok
dan berlainan latar belakang, remaja cenderung tidak mempedulikan dan enggan
untuk bergaul secara dekat (Osterrieth dalam Hurlock, 1980).
Memasuki dunia cacat berarti sebuah dunia pengecualian, di sini secara
tersirat mengandung pengertian dunia yang biasa disebut abnormal. Cacat bawaan
atau sejak lahir yang disandang berbeda dengan cacat yang diderita pada masa
pertumbuhan atau bukan bawaan. Penyandang cacat bawaan lebih dapat
menyesuaikan diri karena sejak kecil sudah terbiasa melakukan aktivitas dengan
keadaan tubuh yang tidak sempurna sehingga lebih dapat menerima dirinya.
Sedangkan penyandang cacat tubuh bukan bawaan sulit bersosialisasi dengan
lingkungan. Kondisi fisik yang mengalami kelainan menyebabkan individu menjadi
lebih mudah tersinggung, merasa takut, lebih sensitif, pasif dan termenung. Ada
sebagian kapasitas yang dimiliki oleh orang-orang yang bukan penyandang cacat
tubuh tidak didapat pada orang-orang penyandang cacat tubuh. Oleh karena itu
penyandang cacat tubuh mempunyai kesulitan lebih besar dalam menjalani kehidupan
bersosialisasi dibandingkan dengan sesamanya yang tidak menyandang cacat tubuh,
karena aktivitas penyandang cacat tubuh menghadapi hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, sebagaimana menurut Rehabilitasi Internasional (dalam Adila,
1996).
Menurut Hammerman dan Maikowaki (Sukartono, 1976), konsep dasar
mengenai cacat tubuh ada 3 macam, yaitu impairment, disability dan handicap.
Impairment disebabkan adanya abnormalitas secara fisik, disini terjadi kemunduran
dalam fungsi atau kehilangan partial dari fungsi yang disebabkan oleh penyakit atau
luka. Sedangkan disability disebabkan berkurangnya suatu kemampuan untuk
melakukan aktivitas secara wajar hal ini dikarenakan organ tubuh yang cacat berat,
tidak ada (tidak berfungsi) rusak, terganggu yang berkaitan dengan gangguan
fungsional. Handicap, dimana keadaan yang diderita oleh individu akibat
disandangnya suatu impairment maupun disability. Individu disini memiliki
kemampuan di bawah normal yang mempunyai cacat anatomis atau fungsional
sehingga membuat diri seseorang sulit untuk bersaing dengan kawan sebayanya.
Dengan adanya rehabilitasi memungkinkan penyandang cacat tubuh mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Rehabilitasi disini bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan
fisik, mental dan sosial penyandang cacat, agar penyandang cacat tubuh mau dan
mampu untuk bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan, minat dan
pengalamannya, sehingga penyandang cacat tubuh mampu mandiri dalam kehidupan
dan penghidupan dalam masyarakat.
Kemampuan cacat tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan
masyarakat di sekelilingnya tidak terbentuk dengan sendirinya. Kemampuan ini
diperoleh dengan kemauan, usaha dan dorongan dari orang lain yang dekat dengan
penderita. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi penyesuaian diri bagi
penderita cacat tubuh. Bila keluarga dan lingkungan dapat menerima penderita apa
adanya, maka penderita dapat dengan mudah melakukan penyesuaian lingkungan.
Si penderita cacat tubuh akan merasa terasing dalam hubungan sosialnya
dengan lingkungan, hal ini dimungkinkan karena adanya prasangka negatif dari
penderita cacat tubuh terhadap kapasitas yang dimilikinya. Penderita cacat tubuh akan
mempunyai kesulitan bergaul yang lebih besar dalam menjalani kehidupan
dibandingkan dengan sesama teman yang tidak menderita cacat tubuh. Dan ini dapat
menyebabkan timbul sikap egosentris, fanatik, serta tuntutan yang berlebihan sebagai
bentuk kompensasi atas kekurangan yang dirasakannya (Johnson dan Meddinus,
1974).
Dalam menghadapi tantangan dan tuntutan, penderita cacat tubuh harus
memiliki keterbukaan diri dan pemahaman tentang siapa dirinya serta usaha untuk
pengembangan lebih lanjut. Pada penderita cacat tubuh yang mau membuka diri
berarti orang tersebut mengenali siapa dirinya dan bagaimana dirinya saat ini.
Sedangkan pada penderita cacat tubuh yang tidak dapat membuka diri akan merasa
dirinya tidak berharga. Sehingga keterbukaan dalam komunikasi sangat diperlukan
agar tumbuh saling pengertian, menghargai dan bermanfaat bagi kedua belah pihak
yang berhubungan. Dan sebaliknya sikap yang tertutup dalam komunikasi akan
mengganggu bahkan akan merusak hubungan dalam masyarakat oleh karena itu
keterbukaan diri dalam hubungan sosial mutlak diperlukan.
Keterbukaan diri merupakan faktor yang berpengaruh dalam hubungan antara
manusia. Adanya keterbukaan diri yang terjadi secara timbal balik dan secara terus
menerus akan meningkatkan keintiman antar pribadi. Sears (1988) menjelaskan
bahwa fungsi keterbukaan akan berjalan dengan baik bila mengandung unsur-unsur
tertentu. Unsur-unsur tersebut yaitu hubungan yang terus menerus dan
mempertimbangkan dengan penuh perhatian dan perasaan serta reaksi penerimaan
yang penuh pertimbangan.
Untuk menimbulkan sikap terbuka memang tidak selamanya mudah bagi
setiap remaja walaupun pada umumnya remaja sudah dianggap mempunyai
penyesuaian yang baik dengan lingkungannya. Melalui diskusi dengan keluarga,
sahabat, maupun lingkungan sosial mengenai masalah yang dihadapinya berarti
remaja telah membuka dirinya. Keterbukaan diri yang dimaksud adalah proses
pengkomunikasian secara verbal dan disengaja tentang diri pribadi kepada orang lain
sehingga memungkinkan bagi orang lain untuk mengenal secara benar dan dekat
individu yang membuka diri tersebut.
Lake (1996) mengemukakan bahwa social loneliness merupakan masalah
sosial pada setiap individu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya rasa social loneliness pada orang yang kehilangan salah satu anggota
badannya adalah akibat dari kecelakaan yang berasal dari keengganannya untuk
menerima bahwa orang lain bisa memahami keadaan, perasaan dan nilai pengalaman
hidup.
Social loneliness juga merupakan penyakit perilaku hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain, mungkin sebagai akibat
kurangnya kesempatan atau individu tersebut tidak memiliki keterampilan yang
dibutuhkan akibat dari kecelakaan yang dideritanya.
Remaja yang mengalami social loneliness sering mengalami kecemasan
dalam kehidupannya, terkadang memang sudah menunjukkan kepribadian yang
kurang mantap dan merasa rendah diri. Social loneliness merupakan bagian hidup
dari manusia, lama atau sebentar perasaan sepi itu tergantung pada mental orang dan
penyebabnya.
Menurut May yang dikutip oleh Koeswara (1987). Social loneliness adalah
perasaan tidak diterima dan terasing dari dunia luar sehingga menimbulkan perasaan
sengsara yang mengakibatkan perasaan frustasi, rasa putus asa serta kehilangan
kontak dengan orang lain yang mengakibatkan rasa rendah diri, rasa ditolak bahkan
depresi yang berkepanjangan.
Sears dkk (1988) berpendapat social loneliness adalah kegelisahan subjektif
yang dirasakan individu pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri
pentingnya, hilangnya ciri-ciri tersebut bersifat kuantitatif dan kualitatif. Hilangnya
ciri-ciri yang bersifat kuantitatif misalnya : bila individu tidak mempunyai teman atau
jumlah teman yang dimiliki tidak sesuai dengan harapan. Hilangnya ciri-ciri yang
bersifat kualitatif misalnya bila individu merasa hubungan yang terjalin dengan
temannya kurang mendalam, kurang memuaskan dan tidak sesuai dengan harapan.
Pada penderita cacat tubuh, kondisi yang mempercepat rasa social loneliness
dikarenakan adanya perubahan sosial yang kurang harmonis. Hal ini akan
menimbulkan social loneliness pada penderita cacat tubuh ditambah lagi adanya
sikap masyarakat yang menghindari penderita cacat tubuh karena tidak pantas bergaul
dengan penderita cacat tubuh. Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa terisolasi
secara psikis, tidak terkecuali penderita cacat tubuh. Ia memerlukan pengarahan diri
keluar pada orang lain, ia membutuhkan kontak dan komunikasi dengan orang lain, ia
ingin dicintai dan mencintai dan dihargai orang lain, ia ingin berdialog dan
mengadakan pertemuan dengan orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu
hambatan yang terjadi pada penderita cacat tubuh, sebab pada penderita cacat tubuh
dalam bersosialisasi sulit untuk bergaul dengan orang normal sehingga dirinya
merasa terputus dari segala aktivitas dan hubungan sosial dengan lingkungan terdekat
maupun masyarakat. Hal ini akan menimbulkan konflik kemudian memanifestasikan
diri dalam tingkah laku yang tertutup atau berwujud perilaku melarikan diri dan
menarik diri dari lingkungan sosial yang menyebabkan penderita cacat tubuh
mengalami social loneliness.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara keterbukaan diri dengan social loneliness
pada subyek penelitian.
2. Untuk mengetahui seberapa besar keterbukaan diri remaja pada subyek penelitian.
3. Untuk mengetahui seberapa besar social loneliness pada subyek penelitian.
4. Untuk mengetahui peranan atau sumbangan efektif keterbukaan diri terhadap
social loneliness pada subyek penelitian.
C. Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumbangan ilmu
pengetahuan pada umumnya, khususnya psikologi sosial.
2. Dari segi praktis, diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi
remaja, orang tua maupun pendidik.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia, dalam perjalanan hidupnya banyak mengalami perubahan yang
mengarah pada suatu perkembangan jasmani maupun rohani. Perkembangan manusia
menurut Hurlock (1996) dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama disebut
prenatal yaitu perkembangan pada masa bayi, lalu pada masa kanak-kanak, masa
kanak-kanak akhir dan masa awal remaja, usia tengah baya dan terakhir usia lanjut.
Pada masa remaja terjadi suatu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, pada masa ini sikap, cara berpikir serta cara bertindak mengalami suatu
perubahan dimana dalam bersikap, berpikir maupun bertindak mengalami suatu
perubahan ke arah yang lebih matang. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-
sifat masa transisi atau peralihan, hal itu nampak adanya suatu gejala yang tiba-tiba
dalam permulaan masa remaja yaitu gejala timbulnya seksualitas yang pada
umumnya terjadi antara umur 12 sampai 16 tahun pada anak laki-laki dan 11 sampai
15 tahun pada anak wanita.
Struktur remaja bermula dari masa kanak-kanak, berlanjut memasuki masa
remaja. Pada masa kanak-kanak akhir ini biasanya terdapat ciri khas memasuki masa
remaja. Oleh karena itu jika pada masa kanak-kanak sudah berkembang prasangka,
maka pada saat menginjak masa remaja prasangka itu tetap ada dan bisa bertambah
dan berkurang. Dalam Hurlock (1980) dikatakan bahwa bertambah dan berkurangnya
prasangka dan diskriminasi selama masa-masa remaja sangat dipengaruhi oleh
lingkungan dimana remaja berada dan sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-
temannya. Remaja sebagai kelompok cenderung lebih pemilih dalam memilih rekan
dan teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja
yang mempunyai latar belakang psikis, sosial atau ekonominya berbeda kurang
disenangi dibandingkan dengan remaja yang latar belakangnya sama. Misalnya,
remaja yang mengalami cacat pada fisiknya akan cenderung memilih bergaul dengan
teman yang senasib dengannya. Bila menghadapi teman-teman yang kurang cocok
dan berlainan latar belakang, remaja cenderung tidak mempedulikan dan enggan
untuk bergaul secara dekat (Osterrieth dalam Hurlock, 1980).
Memasuki dunia cacat berarti sebuah dunia pengecualian, di sini secara
tersirat mengandung pengertian dunia yang biasa disebut abnormal. Cacat bawaan
atau sejak lahir yang disandang berbeda dengan cacat yang diderita pada masa
pertumbuhan atau bukan bawaan. Penyandang cacat bawaan lebih dapat
menyesuaikan diri karena sejak kecil sudah terbiasa melakukan aktivitas dengan
keadaan tubuh yang tidak sempurna sehingga lebih dapat menerima dirinya.
Sedangkan penyandang cacat tubuh bukan bawaan sulit bersosialisasi dengan
lingkungan. Kondisi fisik yang mengalami kelainan menyebabkan individu menjadi
lebih mudah tersinggung, merasa takut, lebih sensitif, pasif dan termenung. Ada
sebagian kapasitas yang dimiliki oleh orang-orang yang bukan penyandang cacat
tubuh tidak didapat pada orang-orang penyandang cacat tubuh. Oleh karena itu
penyandang cacat tubuh mempunyai kesulitan lebih besar dalam menjalani kehidupan
bersosialisasi dibandingkan dengan sesamanya yang tidak menyandang cacat tubuh,
karena aktivitas penyandang cacat tubuh menghadapi hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, sebagaimana menurut Rehabilitasi Internasional (dalam Adila,
1996).
Menurut Hammerman dan Maikowaki (Sukartono, 1976), konsep dasar
mengenai cacat tubuh ada 3 macam, yaitu impairment, disability dan handicap.
Impairment disebabkan adanya abnormalitas secara fisik, disini terjadi kemunduran
dalam fungsi atau kehilangan partial dari fungsi yang disebabkan oleh penyakit atau
luka. Sedangkan disability disebabkan berkurangnya suatu kemampuan untuk
melakukan aktivitas secara wajar hal ini dikarenakan organ tubuh yang cacat berat,
tidak ada (tidak berfungsi) rusak, terganggu yang berkaitan dengan gangguan
fungsional. Handicap, dimana keadaan yang diderita oleh individu akibat
disandangnya suatu impairment maupun disability. Individu disini memiliki
kemampuan di bawah normal yang mempunyai cacat anatomis atau fungsional
sehingga membuat diri seseorang sulit untuk bersaing dengan kawan sebayanya.
Dengan adanya rehabilitasi memungkinkan penyandang cacat tubuh mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Rehabilitasi disini bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan
fisik, mental dan sosial penyandang cacat, agar penyandang cacat tubuh mau dan
mampu untuk bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan, minat dan
pengalamannya, sehingga penyandang cacat tubuh mampu mandiri dalam kehidupan
dan penghidupan dalam masyarakat.
Kemampuan cacat tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan
masyarakat di sekelilingnya tidak terbentuk dengan sendirinya. Kemampuan ini
diperoleh dengan kemauan, usaha dan dorongan dari orang lain yang dekat dengan
penderita. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi penyesuaian diri bagi
penderita cacat tubuh. Bila keluarga dan lingkungan dapat menerima penderita apa
adanya, maka penderita dapat dengan mudah melakukan penyesuaian lingkungan.
Si penderita cacat tubuh akan merasa terasing dalam hubungan sosialnya
dengan lingkungan, hal ini dimungkinkan karena adanya prasangka negatif dari
penderita cacat tubuh terhadap kapasitas yang dimilikinya. Penderita cacat tubuh akan
mempunyai kesulitan bergaul yang lebih besar dalam menjalani kehidupan
dibandingkan dengan sesama teman yang tidak menderita cacat tubuh. Dan ini dapat
menyebabkan timbul sikap egosentris, fanatik, serta tuntutan yang berlebihan sebagai
bentuk kompensasi atas kekurangan yang dirasakannya (Johnson dan Meddinus,
1974).
Dalam menghadapi tantangan dan tuntutan, penderita cacat tubuh harus
memiliki keterbukaan diri dan pemahaman tentang siapa dirinya serta usaha untuk
pengembangan lebih lanjut. Pada penderita cacat tubuh yang mau membuka diri
berarti orang tersebut mengenali siapa dirinya dan bagaimana dirinya saat ini.
Sedangkan pada penderita cacat tubuh yang tidak dapat membuka diri akan merasa
dirinya tidak berharga. Sehingga keterbukaan dalam komunikasi sangat diperlukan
agar tumbuh saling pengertian, menghargai dan bermanfaat bagi kedua belah pihak
yang berhubungan. Dan sebaliknya sikap yang tertutup dalam komunikasi akan
mengganggu bahkan akan merusak hubungan dalam masyarakat oleh karena itu
keterbukaan diri dalam hubungan sosial mutlak diperlukan.
Keterbukaan diri merupakan faktor yang berpengaruh dalam hubungan antara
manusia. Adanya keterbukaan diri yang terjadi secara timbal balik dan secara terus
menerus akan meningkatkan keintiman antar pribadi. Sears (1988) menjelaskan
bahwa fungsi keterbukaan akan berjalan dengan baik bila mengandung unsur-unsur
tertentu. Unsur-unsur tersebut yaitu hubungan yang terus menerus dan
mempertimbangkan dengan penuh perhatian dan perasaan serta reaksi penerimaan
yang penuh pertimbangan.
Untuk menimbulkan sikap terbuka memang tidak selamanya mudah bagi
setiap remaja walaupun pada umumnya remaja sudah dianggap mempunyai
penyesuaian yang baik dengan lingkungannya. Melalui diskusi dengan keluarga,
sahabat, maupun lingkungan sosial mengenai masalah yang dihadapinya berarti
remaja telah membuka dirinya. Keterbukaan diri yang dimaksud adalah proses
pengkomunikasian secara verbal dan disengaja tentang diri pribadi kepada orang lain
sehingga memungkinkan bagi orang lain untuk mengenal secara benar dan dekat
individu yang membuka diri tersebut.
Lake (1996) mengemukakan bahwa social loneliness merupakan masalah
sosial pada setiap individu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya rasa social loneliness pada orang yang kehilangan salah satu anggota
badannya adalah akibat dari kecelakaan yang berasal dari keengganannya untuk
menerima bahwa orang lain bisa memahami keadaan, perasaan dan nilai pengalaman
hidup.
Social loneliness juga merupakan penyakit perilaku hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain, mungkin sebagai akibat
kurangnya kesempatan atau individu tersebut tidak memiliki keterampilan yang
dibutuhkan akibat dari kecelakaan yang dideritanya.
Remaja yang mengalami social loneliness sering mengalami kecemasan
dalam kehidupannya, terkadang memang sudah menunjukkan kepribadian yang
kurang mantap dan merasa rendah diri. Social loneliness merupakan bagian hidup
dari manusia, lama atau sebentar perasaan sepi itu tergantung pada mental orang dan
penyebabnya.
Menurut May yang dikutip oleh Koeswara (1987). Social loneliness adalah
perasaan tidak diterima dan terasing dari dunia luar sehingga menimbulkan perasaan
sengsara yang mengakibatkan perasaan frustasi, rasa putus asa serta kehilangan
kontak dengan orang lain yang mengakibatkan rasa rendah diri, rasa ditolak bahkan
depresi yang berkepanjangan.
Sears dkk (1988) berpendapat social loneliness adalah kegelisahan subjektif
yang dirasakan individu pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri
pentingnya, hilangnya ciri-ciri tersebut bersifat kuantitatif dan kualitatif. Hilangnya
ciri-ciri yang bersifat kuantitatif misalnya : bila individu tidak mempunyai teman atau
jumlah teman yang dimiliki tidak sesuai dengan harapan. Hilangnya ciri-ciri yang
bersifat kualitatif misalnya bila individu merasa hubungan yang terjalin dengan
temannya kurang mendalam, kurang memuaskan dan tidak sesuai dengan harapan.
Pada penderita cacat tubuh, kondisi yang mempercepat rasa social loneliness
dikarenakan adanya perubahan sosial yang kurang harmonis. Hal ini akan
menimbulkan social loneliness pada penderita cacat tubuh ditambah lagi adanya
sikap masyarakat yang menghindari penderita cacat tubuh karena tidak pantas bergaul
dengan penderita cacat tubuh. Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa terisolasi
secara psikis, tidak terkecuali penderita cacat tubuh. Ia memerlukan pengarahan diri
keluar pada orang lain, ia membutuhkan kontak dan komunikasi dengan orang lain, ia
ingin dicintai dan mencintai dan dihargai orang lain, ia ingin berdialog dan
mengadakan pertemuan dengan orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu
hambatan yang terjadi pada penderita cacat tubuh, sebab pada penderita cacat tubuh
dalam bersosialisasi sulit untuk bergaul dengan orang normal sehingga dirinya
merasa terputus dari segala aktivitas dan hubungan sosial dengan lingkungan terdekat
maupun masyarakat. Hal ini akan menimbulkan konflik kemudian memanifestasikan
diri dalam tingkah laku yang tertutup atau berwujud perilaku melarikan diri dan
menarik diri dari lingkungan sosial yang menyebabkan penderita cacat tubuh
mengalami social loneliness.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara keterbukaan diri dengan social loneliness
pada subyek penelitian.
2. Untuk mengetahui seberapa besar keterbukaan diri remaja pada subyek penelitian.
3. Untuk mengetahui seberapa besar social loneliness pada subyek penelitian.
4. Untuk mengetahui peranan atau sumbangan efektif keterbukaan diri terhadap
social loneliness pada subyek penelitian.
C. Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumbangan ilmu
pengetahuan pada umumnya, khususnya psikologi sosial.
2. Dari segi praktis, diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi
remaja, orang tua maupun pendidik.