BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang murid semestinya tidak hanya diajarkan tentang suatu
pengetahuan atau suatu ilmu. Seorang murid juga harus diajarkan bagaimana
mengambil sikap, supaya nantinya bisa mengambil sikap atas suatu fenomena
sosial yang ada. Pembentukan manusia yang kuat harus dilakukan sejak kecil. Di
sekolah dasar kita masih belum bisa mengajarkan mengenai bagaimana
mengambil sikap, karena kondisi psikologis murid masih belum memungkinkan.
Tetapi di SMP, mereka sudah mulai mengerti peristiwa sosial yang terjadi, dan
sudah bisa mengambil sikap. Kenyataan yang terjadi yaitu ada kelemahan
kurikulum dalam pola pengajaran di tingkat SMP. Guru-guru hanya terbatas
mengajarkan ilmu pengetahuan sesuai bidang studinya, hampir tidak ada interaksi
yang kuat antara guru dan murid-murid di kelas. Seorang guru hanya masuk ke
dalam kelas sesuai jadwal yang ditentukan, itupun paling lama dua jam dalam satu
minggu. Guru sebagi pendidik seharusnya bisa mengajarkan tentang perilaku.
Mereka harus bisa mengembangkan nilai sikap pada murid, baik kognitif, ataupun
afektif ( Sukana, 2004)
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru BP di SMPN I
Matesih, penulis mendapatkan data faktual yang berhubungan dengan perilaku
interaksi sosial ke arah yang negatif, perilaku tersebut diwujudkan murid melalui
perkelahian dan mabuk-mabukan karena ada lomba sepakbola antar kelas. Hal
tersebut merupakan salah satu contoh permasalahan yang berhubungan dengan
interaksi sosial siswa, tetapi ke arah yang negatif, saling ada salah satu pihak yang
dirugikan. Contoh kasus tersebut kemungkinan besar tidak hanya terjadi di SMPN
I Matesih saja, tetapi bisa juga terjadi di sekolah-sekolah lain.
Seiring digalakkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
kurikulum rancangan tahun 2002 itu tidak hanya menitikberatkan penilaian
prestasi murid pada penguasaan materi atau nilai ujian semata. Guru juga harus
mencermati sikap dan perilaku murid. Indikator penilaian ini terutama diterapkan
pada mata pelajaran yang terkait dengan interaksi sosial murid. Mata pelajaran
yang dimaksud adalah Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
Pelajaran Budi Pekerti diarahkan membentuk perilaku dasar, diantaranya ketaatan
pada Tuhan Yang Maha Esa, toleransi, kedisiplinan, tanggung jawab, kasih
sayang, gotong royong, kesetiakawanan, sopan santun, dan kejujuran. (Iskandar,
2003)
Manusia tidak dapat hidup tanpa kehadiran individu lain. Hal ini sejalan
dengan pengertian manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Sebagai makhluk sosial yang perlu diperhatikan adalah manusia secara hakiki
dilahirkan selalu membutuhkan interaksi dengan individu lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu bertemu, saling
berkomunikasi sehingga berinteraksi satu sama lain. Individu dalam
bermasyarakat berperilaku sesuai dengan pola-pola perilaku yang dapat diterima
oleh lingkungan sosial.
Banner (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa interaksi sosial
merupakan dorongan kebutuhan manusia. Kebutuhan yang dimaksud adalah
untuk mengadakan hubungan sosial, sehingga individu yang mempunyai
pergaulan yang luas akan menunjukkan sikap yang luwes, karena dalam bergaul
individu mampu dipengaruhi, diubah, dan bersedia memperbaiki secara langsung
maupun tidak langsung. Soekanto, (1982) mengatakan setiap pergaulan itu sendiri
akan terjadi interaksi sosial, dimana interaksi sosial merupakan kunci dari semua
kehidupan sosial.
Menurut Partowisastro (1983) untuk dapat diterima dalam sebuah
lingkungan sosial baru, individu harus memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan perasaannya dengan benar, kemampuan untuk memiliki apa
yang akan dilakukan, dapat menyatakan hak-haknya yang sah tanpa melanggar
hak-hak individu lain, menghargai dirinya dan individu lain, mempunyai rasa
percaya diri, mampu berkata tidak bila diperlukan, melakukan apa yang telah
direncanakan dan mampu meminta individu lain untuk mengubah perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam lingkungan tersebut.
Konformitas merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses
kemasakan interaksi sosial, karena individu akan berhadapan dengan pengaruh
sosial yang berasal dari kelompoknya yang kadang-kadang bertentangan dengan
norma-norma yang selama ini ditanamkan orang tuanya sehingga seseorang akan
berperilaku konform dalam rangka memenuhi harapan-harapan kelompoknya dan
agar tidak dianggap sebagai orang yang menyimpang. Kohlberg (dalam Monks
dkk, 2001) menyatakan bahwa perkembangan moral khususnya dalam
peningkatan pengertian anak terhadap norma-norma akan melalui beberapa
stadium perkembangan yang diwujudkan anak dalam perilaku konformitas
mereka. Perilaku tersebut ditunjukkan anak melalui kepatuhan mereka terhadap
aturan orang tua, guru dan sekolah.
Perilaku konformitas pada stadium pertama ditunjukkan anak karena
untuk menghindari hukuman. Seorang anak cenderung bersikap konformis karena
untuk memperoleh hadiah sehingga mereka melakukan suatu perbuatan yang
dipandang baik oleh lingkungan dan juga untuk menghindari celaan supaya dapat
disenangi orang lain. Sikap konformitas harus dapat dibentuk dengan sebaik-
baiknya dengan diberikan pengetahuan tentang suatu hal positif yang dapat
dirasakan bahwa hasilnya sangat bermanfaat bagi siswa dan siswa mampu
merasakan manfaat terhadap apa yang baru saja dikerjakannya. Kecenderungan
anak bertingkah laku agresif, menentang aturan sekolah, berani terhadap orang tua
dan suka berkelahi seperti saat ini diakibatkan karena pengaruh sosial dalam
lingkungan pergaulannya, apabila pergaulan siswa sangat bebas tanpa pantauan
dari orang tua maupun guru di sekolah akan menyebabkan anak didiknya kurang
kontrol dan cenderung kurang mapan dengan tidak mau mentaati peraturan-
peraturan yang dibuat sekolah. Peraturan yang dibuat dalam sekolahan harus
mempertimbangkan dari berbagai aspek, tidak terpancang dari salah satu aspek
saja. Peraturan disekolah itu dibuat demi terciptanya sikap kedisiplinan dan rasa
tanggung jawab yang dibebankan oleh para muridnya, janganlah sebuah peraturan
akan mengakibatkan para murid takut untuk beraktifitas dan menyalurkan semua
ide-ide yang dimilikinya. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjalin di sekolah
harus dapat berjalan dengan sesuai dan mampu menciptakan hubungan yang
positif, dengan kemampuan interaksi yang baik akan menambah rasa percaya diri
yang tinggi dan kemampuan untuk membedakan berbagai hal yang harus ditiru
dan yang harus ditinggalkan, dengan proses tersebut siswa mempunyai rasa
kedisiplinan yang baik dan mampu menciptkaan suasana kerukunan terhadap
sesama.
Kreativitas merupakan faktor yang mempengaruhi manusia dalam
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab. Orang-orang yang kreatif berhasil
mencapai ide, gagasan, pemecahan, penyelesaian, cara kerja dan hal atau produk
baru (Campbell, 1986). Kreativitas yang dimiliki siswa memiliki peran yang akftif
dalam proses belajarnya karena dengan tingginya kreativitas akan lebih
mempunyai rasa dan sikap tanggung jawab. Levoy (dalam Munandar, 1999)
mendefisinikan kreativitas adalah kemampuan untuk mengkombinasikan ide-ide
lama sehingga menjadi suatu ide baru. Orang –orang yang kreatif mempunyai rasa
individualitas yang kuat. Mereka membuat keputusan sendiri. Oleh karena itu
pada umumnya orang-orang yang kreatif mampu berdiri tenang di tengah
kekacauan pendapat, tidak mudah termakan kabar angin dan cerita burung.
Mereka percaya kepada daya pikir mereka. Orang-orang yang kreatif apabila
menemukan atau diajukan suatu ide atau gagasan, pemecahan, cara kerja baru,
meski mereka melihat kekurang-kekurangannya. Rasa keingintahuan tentang hal-
hal yang ditemukan dalam hidup mereka dimiliki oleh orang-orang yang kreatif.
Penelitian ini penting dilakukan karena peneliti ini mengetahui tingkat hubungan
interaksi sosial siswa yang di tinjau dari konformitas dan kreativitas. Di harapkan
dengan mengetahui ke dua faktor tersebut dapat mengarahkan interaksi sosial para
siswa ke arah-arah yang positif dan bermanfaat.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam diri penulis timbul pertanyaan,
yaitu “apakah terdapat hubungan antara konformitas dan kreativitas siswa dengan
interaksi sosial di sekolah ?”. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Hubungan antara
konformitas dan kreativitas siswa dengan interaksi sosial di sekolah”.
B. Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konformitas dan
kreativitas dengan interaksi sosial di sekolah.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konformitas dengan
interaksi sosial disekolah.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kreativitas dengan
interaksi sosial di sekolah.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik manfaat yang
bersifat teoritis maupun manfaat yang bersifat praktis :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang murid semestinya tidak hanya diajarkan tentang suatu
pengetahuan atau suatu ilmu. Seorang murid juga harus diajarkan bagaimana
mengambil sikap, supaya nantinya bisa mengambil sikap atas suatu fenomena
sosial yang ada. Pembentukan manusia yang kuat harus dilakukan sejak kecil. Di
sekolah dasar kita masih belum bisa mengajarkan mengenai bagaimana
mengambil sikap, karena kondisi psikologis murid masih belum memungkinkan.
Tetapi di SMP, mereka sudah mulai mengerti peristiwa sosial yang terjadi, dan
sudah bisa mengambil sikap. Kenyataan yang terjadi yaitu ada kelemahan
kurikulum dalam pola pengajaran di tingkat SMP. Guru-guru hanya terbatas
mengajarkan ilmu pengetahuan sesuai bidang studinya, hampir tidak ada interaksi
yang kuat antara guru dan murid-murid di kelas. Seorang guru hanya masuk ke
dalam kelas sesuai jadwal yang ditentukan, itupun paling lama dua jam dalam satu
minggu. Guru sebagi pendidik seharusnya bisa mengajarkan tentang perilaku.
Mereka harus bisa mengembangkan nilai sikap pada murid, baik kognitif, ataupun
afektif ( Sukana, 2004)
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru BP di SMPN I
Matesih, penulis mendapatkan data faktual yang berhubungan dengan perilaku
interaksi sosial ke arah yang negatif, perilaku tersebut diwujudkan murid melalui
perkelahian dan mabuk-mabukan karena ada lomba sepakbola antar kelas. Hal
tersebut merupakan salah satu contoh permasalahan yang berhubungan dengan
interaksi sosial siswa, tetapi ke arah yang negatif, saling ada salah satu pihak yang
dirugikan. Contoh kasus tersebut kemungkinan besar tidak hanya terjadi di SMPN
I Matesih saja, tetapi bisa juga terjadi di sekolah-sekolah lain.
Seiring digalakkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
kurikulum rancangan tahun 2002 itu tidak hanya menitikberatkan penilaian
prestasi murid pada penguasaan materi atau nilai ujian semata. Guru juga harus
mencermati sikap dan perilaku murid. Indikator penilaian ini terutama diterapkan
pada mata pelajaran yang terkait dengan interaksi sosial murid. Mata pelajaran
yang dimaksud adalah Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
Pelajaran Budi Pekerti diarahkan membentuk perilaku dasar, diantaranya ketaatan
pada Tuhan Yang Maha Esa, toleransi, kedisiplinan, tanggung jawab, kasih
sayang, gotong royong, kesetiakawanan, sopan santun, dan kejujuran. (Iskandar,
2003)
Manusia tidak dapat hidup tanpa kehadiran individu lain. Hal ini sejalan
dengan pengertian manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Sebagai makhluk sosial yang perlu diperhatikan adalah manusia secara hakiki
dilahirkan selalu membutuhkan interaksi dengan individu lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu bertemu, saling
berkomunikasi sehingga berinteraksi satu sama lain. Individu dalam
bermasyarakat berperilaku sesuai dengan pola-pola perilaku yang dapat diterima
oleh lingkungan sosial.
Banner (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa interaksi sosial
merupakan dorongan kebutuhan manusia. Kebutuhan yang dimaksud adalah
untuk mengadakan hubungan sosial, sehingga individu yang mempunyai
pergaulan yang luas akan menunjukkan sikap yang luwes, karena dalam bergaul
individu mampu dipengaruhi, diubah, dan bersedia memperbaiki secara langsung
maupun tidak langsung. Soekanto, (1982) mengatakan setiap pergaulan itu sendiri
akan terjadi interaksi sosial, dimana interaksi sosial merupakan kunci dari semua
kehidupan sosial.
Menurut Partowisastro (1983) untuk dapat diterima dalam sebuah
lingkungan sosial baru, individu harus memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan perasaannya dengan benar, kemampuan untuk memiliki apa
yang akan dilakukan, dapat menyatakan hak-haknya yang sah tanpa melanggar
hak-hak individu lain, menghargai dirinya dan individu lain, mempunyai rasa
percaya diri, mampu berkata tidak bila diperlukan, melakukan apa yang telah
direncanakan dan mampu meminta individu lain untuk mengubah perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam lingkungan tersebut.
Konformitas merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses
kemasakan interaksi sosial, karena individu akan berhadapan dengan pengaruh
sosial yang berasal dari kelompoknya yang kadang-kadang bertentangan dengan
norma-norma yang selama ini ditanamkan orang tuanya sehingga seseorang akan
berperilaku konform dalam rangka memenuhi harapan-harapan kelompoknya dan
agar tidak dianggap sebagai orang yang menyimpang. Kohlberg (dalam Monks
dkk, 2001) menyatakan bahwa perkembangan moral khususnya dalam
peningkatan pengertian anak terhadap norma-norma akan melalui beberapa
stadium perkembangan yang diwujudkan anak dalam perilaku konformitas
mereka. Perilaku tersebut ditunjukkan anak melalui kepatuhan mereka terhadap
aturan orang tua, guru dan sekolah.
Perilaku konformitas pada stadium pertama ditunjukkan anak karena
untuk menghindari hukuman. Seorang anak cenderung bersikap konformis karena
untuk memperoleh hadiah sehingga mereka melakukan suatu perbuatan yang
dipandang baik oleh lingkungan dan juga untuk menghindari celaan supaya dapat
disenangi orang lain. Sikap konformitas harus dapat dibentuk dengan sebaik-
baiknya dengan diberikan pengetahuan tentang suatu hal positif yang dapat
dirasakan bahwa hasilnya sangat bermanfaat bagi siswa dan siswa mampu
merasakan manfaat terhadap apa yang baru saja dikerjakannya. Kecenderungan
anak bertingkah laku agresif, menentang aturan sekolah, berani terhadap orang tua
dan suka berkelahi seperti saat ini diakibatkan karena pengaruh sosial dalam
lingkungan pergaulannya, apabila pergaulan siswa sangat bebas tanpa pantauan
dari orang tua maupun guru di sekolah akan menyebabkan anak didiknya kurang
kontrol dan cenderung kurang mapan dengan tidak mau mentaati peraturan-
peraturan yang dibuat sekolah. Peraturan yang dibuat dalam sekolahan harus
mempertimbangkan dari berbagai aspek, tidak terpancang dari salah satu aspek
saja. Peraturan disekolah itu dibuat demi terciptanya sikap kedisiplinan dan rasa
tanggung jawab yang dibebankan oleh para muridnya, janganlah sebuah peraturan
akan mengakibatkan para murid takut untuk beraktifitas dan menyalurkan semua
ide-ide yang dimilikinya. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjalin di sekolah
harus dapat berjalan dengan sesuai dan mampu menciptakan hubungan yang
positif, dengan kemampuan interaksi yang baik akan menambah rasa percaya diri
yang tinggi dan kemampuan untuk membedakan berbagai hal yang harus ditiru
dan yang harus ditinggalkan, dengan proses tersebut siswa mempunyai rasa
kedisiplinan yang baik dan mampu menciptkaan suasana kerukunan terhadap
sesama.
Kreativitas merupakan faktor yang mempengaruhi manusia dalam
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab. Orang-orang yang kreatif berhasil
mencapai ide, gagasan, pemecahan, penyelesaian, cara kerja dan hal atau produk
baru (Campbell, 1986). Kreativitas yang dimiliki siswa memiliki peran yang akftif
dalam proses belajarnya karena dengan tingginya kreativitas akan lebih
mempunyai rasa dan sikap tanggung jawab. Levoy (dalam Munandar, 1999)
mendefisinikan kreativitas adalah kemampuan untuk mengkombinasikan ide-ide
lama sehingga menjadi suatu ide baru. Orang –orang yang kreatif mempunyai rasa
individualitas yang kuat. Mereka membuat keputusan sendiri. Oleh karena itu
pada umumnya orang-orang yang kreatif mampu berdiri tenang di tengah
kekacauan pendapat, tidak mudah termakan kabar angin dan cerita burung.
Mereka percaya kepada daya pikir mereka. Orang-orang yang kreatif apabila
menemukan atau diajukan suatu ide atau gagasan, pemecahan, cara kerja baru,
meski mereka melihat kekurang-kekurangannya. Rasa keingintahuan tentang hal-
hal yang ditemukan dalam hidup mereka dimiliki oleh orang-orang yang kreatif.
Penelitian ini penting dilakukan karena peneliti ini mengetahui tingkat hubungan
interaksi sosial siswa yang di tinjau dari konformitas dan kreativitas. Di harapkan
dengan mengetahui ke dua faktor tersebut dapat mengarahkan interaksi sosial para
siswa ke arah-arah yang positif dan bermanfaat.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam diri penulis timbul pertanyaan,
yaitu “apakah terdapat hubungan antara konformitas dan kreativitas siswa dengan
interaksi sosial di sekolah ?”. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Hubungan antara
konformitas dan kreativitas siswa dengan interaksi sosial di sekolah”.
B. Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konformitas dan
kreativitas dengan interaksi sosial di sekolah.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konformitas dengan
interaksi sosial disekolah.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kreativitas dengan
interaksi sosial di sekolah.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik manfaat yang
bersifat teoritis maupun manfaat yang bersifat praktis :