BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencintai orang lain yang berarti menghargai, memberi, menyejahterakan dan
menumbuhkembangkan orang lain, nampaknya makin surut sebagai motivasi
perilaku. Sebaliknya perilaku individualistik, keegoisan, ketidakpekaan dan bahkan
ketidakpedulian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain, terasa dan terlihat
makin mewarnai kehidupan. Kehidupan masyarakat modern ternyata tidak hanya
kering secara fisik, karena yang tumbuh bukan lagi pepohonan melainkan gedung-
gedung bertingkat yang berdiri menjulang ke atas, tetapi juga kering secara psikis,
karena motivasi manusiawi dalam hubungan personal semakin menipis, apalagi di
kota-kota besar yang cenderung individualistis dan pragmatis, prinsip untung rugi dan
timbal balik sering kali diterapkan pada segala sesuatunya. Begitupula dalam
kehidupan pada masa remaja, terlebih para remaja penyandang cacat.
Permasalahan yang dihadapi oleh para penyandang cacat seringkali
merupakan permasalahan yang khas, terutama jika dilihat dari interaksi sosial yang
hendak dibangunnya di dalam masyarakat. Pandangan negatif terhadap penyandang
cacat mengakibatkan mereka sering kurang mendapat tempat di masyarakat karena
anak seperti ini dianggap aneh serta menjijikkan, sehingga dikucilkan bahkan kata
dunia khusus di atas tidak jarang pula memberikan suatu tafsiran tentang posisi
minoritas bagi penyandang cacat dalam kancah kehidupan manusia normal pada
khususnya. Hal ini berarti ada suatu kekhususan yang dikenakan kepada para
penyandang cacat, misalnya hal-hal yang menyangkut kesempatan kerja, pendidikan
dan latihan di kalangan para penyandang cacat berbeda dengan mereka yang bukan
penyandang cacat. Apalagi penyediaan fasilitas sosial bagi mereka amat minimal.
Kedudukan sebagai warga masyarakat yang tergolong minoritas dalam hal
jumlah, ditambah lagi dengan keadaan fisik yang kurang menguntungkan dibanding
dengan manusia bukan penyandang cacat tentu saja akan membawa pengaruh di
dalam kehidupan psikologisnya. Keadaan yang “kurang” dibandingkan dengan
manusia bukan cacat membuahkan berbagai pandangan atau keyakinan yang tidak
terlalu positif bagi dirinya.
Secara relatif penyandang cacat akan mempunyai kesulitan yang lebih besar
dibandingkan dengan sesamanya yang normal di dalam menjalani kehidupan sosial,
karena pandangan lingkungan yang kurang menguntungkan akan mengakibatkan
timbulnya perasaan tidak mampu, putus asa, tidak berharga, tidak percaya pada diri
sendiri, merasa rendah diri dan kekhawatiran. Anak-anak ini selalu merasa gagal
dalam segala usahanya, ada bayangan ketakutan karena orang lain mampu melakukan
suatu tugas sedangkan dia merasa tidak mampu melakukannya (Kartono, 1989). Hal
tersebut akan mengakibatkan munculnya permasalahan baru seperti konflik batin dan
frustrasi dalam diri penyandang cacat, terutama dalam melakukan afiliasi dengan
orang lain, sehingga kebutuhan afiliasinya dapat terhambat, konflik batin dan frustasi
ini tidak jarang pula menyebabkan tumbuhnya sikap egosentris, fanatik dan
mempunyai tuntutan berlebih untuk berdiri sendiri. Sebagai bentuk kompensasi atas
kekurangan yang dirasakannya. Menurut Johnson dan Medinus (Marsudi, 1987)
penyandang cacat lebih terbebani dalam kehidupan sosialnya barangkali tidak terlalu
sulit untuk dilihat, berbagai benturan yang ditemui dalam kehidupannya baik karena
kurangnya fasilitas sosial maupun hambatan fisiknya akan menambah beban yang
harus disandang.
Remaja dengan kelainan fisik/cacat pada tubuh akan mempunyai kesulitan
yang lebih besar dalam menjalani kehidupan sosialnya dibandingkan dengan yang
tidak menyandang cacat tubuh, karena mereka mengalami hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Termasuk pula dalam sikap terhadap perilaku
altruistik.
Sikap terhadap perilaku altruistik memainkan peranan yang besar dari
aktivitas individu yang sering dilakukan tanpa membedakan orang. Di masa ini mulai
timbul kepekaan pada kebutuhan orang lain yang dihubungkan dengan masalah dan
kesulitan orang tersebut, keadaan ini disebabkan oleh nilai-nilai moral yang tertanam
pada individu dan mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan norma dalam
mayarakat.
Menurut Myers (1990) altruistik adalah perilaku menolong orang lain tanpa
pamrih. Perilaku itu bukan saja tidak mengharapkan balas jasa, tetapi juga tidak
memiliki tujuan-tujuan pribadi tertentu (self interest). Bantuan itu diberikan secara
tulus, sepenuh hati dan tidak memilih siapa yang akan dibantu
Kembali pada keberadaan manusia sebagai mahluk sosial, tentunya masih ada
keinginan manusia untuk meringankan beban sesamanya, kendati bentuk tindakan
menolong pada perilaku altruistik yang lebih dimotivasi oleh tanggung jawab pribadi
dan merugikan si penolong mendorong penulis mengambil sikap terhadap perilaku
altruistik sebagai tolak ukur dalam menghadapi fenomena perilaku prososial individu,
dikarenakan perilaku menolong demikian inilah yang dibutuhkan untuk mengatasi
permasalahan yang disebutkan di atas.
Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan
makhluk sosial. Di dalam kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu
lainnya. Hubungan antara individu satu dengan individu lain akan menghasilkan
proses interaksi sosial, karena sebagai makhluk sosial individu harus berinteraksi
dengan individu lainnya. Salah satu dorongan yang menghasilkan proses interaksi
sosial yaitu motivasi berafiliasi.
Motivasi berafiliasi adalah dorongan dalam diri individu yang mendorong
proses pembentukan, pertahanan atau hubungan positif yang berafeksi dengan
seseorang atau orang lain yang bertujuan untuk disukai dan diterima (Atkinson,
1994). Individu dengan kecenderungan demikian lebih menekankan pada
persahabatan dan akan berusaha untuk mempertahankan hubungan tersebut
Seseorang yang menderita cacat fisik sering merasa bahwa dirinya tidak
mampu melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang pada umumnya sehingga
menunjukkan sikap negatif pada orang lain, dan hal tersebut akan mempengaruhi
kemampuan penderita cacat fisik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
masyarakat sekelilingnya. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan tidak
terbentuk dengan sendirinya, tetapi diperoleh dengan kemauan, usaha dan dorongan
dari orang lain yang dekat dengan para penderita cacat terutama keluarga.
Motivasi berafiliasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
sikap terhadap perilaku altruistik. Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh
Martaniah (1984) menyebutkan bahwa dari pendapat para ahli dapat disimpulkan
bahwa motivasi berafiliasi adalah motivasi untuk berinteraksi dengan orang lain yang
dimanifestasikan untuk menyenangkan hati orang lain dan, menunjukkan sikap
menolong terhadap teman dan keluarga. Sebaliknya individu yang kurang
mempunyai motivasi berafiliasi, akan menghindari dari situasi pertolongan pada
orang lain yang membutuhkan dan cenderung melakukan atau memutuskan sesuatu
hal dari sudut pandangnya sendiri.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka selayaknya para penyandang cacat
mempunyai motivasi berafiliasi, sehingga akan mampu memahami orang lain, yaitu
mempunyai motif, niat, pikiran, perasaan yang akan menumbuhkan dorongan kuat
untuk bersikap positif terhadap perilaku alturistik bagi orang yang membutuhkan.
Kenyataanya kehidupan para penyandang cacat pada masa sekarang,
cenderung bersifat indvidualistik Orang cacat tubuh tidak menyadari potensinya
sebagai manusia bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu
dengan cacatnya, dari semua itu mereka hanya berusaha untuk menghindar dari orang
lain, dan menganggap orang-orang yang menghadapi kesulitan hanya dianggap
sebagai suatu hal yang wajar dalam hidup tanpa ada keinginan atau tindakan untuk
ikut mengatasi dan menanganinya. Keadaan ini dapat menjadi suatu problem bagi
kehidupan suatu kelompok besar dalam masyarakat yang dijadikan sebagai penerus
kehidupan suatu masyarakat.
Kita melihat sekarang banyak pengamen dan peminta-minta di tempat-tempat
umum yang kebanyakan mereka adalah penyandang cacat. Dalam hal ini penyandang
cacat memanfaatkan kecacatannya untuk memperoleh penghasilan dari belas kasihan
orang lain yang melihatnya. Terkadang penyandang cacat membuat ketrampilan yang
kemudian dijualnya di pasar-pasar khalayak ramai, tetapi ada unsur pemaksaan dalam
proses penjualan karena penyandang cacat merasa pantas untuk dikasihani.
Berdasarkan uraian di atas maka timbul permasalahan apakah ada hubungan
antara motivasi berafiliasi dengan sikap terhadap perilaku altruistik pada remaja
penyandang cacat?. Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut penulis
mengadakan penelitian dengan judul : “Hubungan Antara Motivasi Berafiliasi dengan
Sikap Terhadap Perilaku Altruistik Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik”.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara motivasi berafiliasi dengan sikap terhadap
perilaku altruistik pada remaja penyandang cacat.
2. Untuk mengetahui peranan motivasi berafiliasi terhadap sikap terhadap perilaku
altruistik pada remaja penyandang cacat.
3. Untuk mengetahui tingkat motivasi berafiliasi pada remaja penyandang cacat.
4. Untuk mengetahui tingkat sikap terhadap perilaku altruistik pada remaja
penyandang cacat.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencintai orang lain yang berarti menghargai, memberi, menyejahterakan dan
menumbuhkembangkan orang lain, nampaknya makin surut sebagai motivasi
perilaku. Sebaliknya perilaku individualistik, keegoisan, ketidakpekaan dan bahkan
ketidakpedulian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain, terasa dan terlihat
makin mewarnai kehidupan. Kehidupan masyarakat modern ternyata tidak hanya
kering secara fisik, karena yang tumbuh bukan lagi pepohonan melainkan gedung-
gedung bertingkat yang berdiri menjulang ke atas, tetapi juga kering secara psikis,
karena motivasi manusiawi dalam hubungan personal semakin menipis, apalagi di
kota-kota besar yang cenderung individualistis dan pragmatis, prinsip untung rugi dan
timbal balik sering kali diterapkan pada segala sesuatunya. Begitupula dalam
kehidupan pada masa remaja, terlebih para remaja penyandang cacat.
Permasalahan yang dihadapi oleh para penyandang cacat seringkali
merupakan permasalahan yang khas, terutama jika dilihat dari interaksi sosial yang
hendak dibangunnya di dalam masyarakat. Pandangan negatif terhadap penyandang
cacat mengakibatkan mereka sering kurang mendapat tempat di masyarakat karena
anak seperti ini dianggap aneh serta menjijikkan, sehingga dikucilkan bahkan kata
dunia khusus di atas tidak jarang pula memberikan suatu tafsiran tentang posisi
minoritas bagi penyandang cacat dalam kancah kehidupan manusia normal pada
khususnya. Hal ini berarti ada suatu kekhususan yang dikenakan kepada para
penyandang cacat, misalnya hal-hal yang menyangkut kesempatan kerja, pendidikan
dan latihan di kalangan para penyandang cacat berbeda dengan mereka yang bukan
penyandang cacat. Apalagi penyediaan fasilitas sosial bagi mereka amat minimal.
Kedudukan sebagai warga masyarakat yang tergolong minoritas dalam hal
jumlah, ditambah lagi dengan keadaan fisik yang kurang menguntungkan dibanding
dengan manusia bukan penyandang cacat tentu saja akan membawa pengaruh di
dalam kehidupan psikologisnya. Keadaan yang “kurang” dibandingkan dengan
manusia bukan cacat membuahkan berbagai pandangan atau keyakinan yang tidak
terlalu positif bagi dirinya.
Secara relatif penyandang cacat akan mempunyai kesulitan yang lebih besar
dibandingkan dengan sesamanya yang normal di dalam menjalani kehidupan sosial,
karena pandangan lingkungan yang kurang menguntungkan akan mengakibatkan
timbulnya perasaan tidak mampu, putus asa, tidak berharga, tidak percaya pada diri
sendiri, merasa rendah diri dan kekhawatiran. Anak-anak ini selalu merasa gagal
dalam segala usahanya, ada bayangan ketakutan karena orang lain mampu melakukan
suatu tugas sedangkan dia merasa tidak mampu melakukannya (Kartono, 1989). Hal
tersebut akan mengakibatkan munculnya permasalahan baru seperti konflik batin dan
frustrasi dalam diri penyandang cacat, terutama dalam melakukan afiliasi dengan
orang lain, sehingga kebutuhan afiliasinya dapat terhambat, konflik batin dan frustasi
ini tidak jarang pula menyebabkan tumbuhnya sikap egosentris, fanatik dan
mempunyai tuntutan berlebih untuk berdiri sendiri. Sebagai bentuk kompensasi atas
kekurangan yang dirasakannya. Menurut Johnson dan Medinus (Marsudi, 1987)
penyandang cacat lebih terbebani dalam kehidupan sosialnya barangkali tidak terlalu
sulit untuk dilihat, berbagai benturan yang ditemui dalam kehidupannya baik karena
kurangnya fasilitas sosial maupun hambatan fisiknya akan menambah beban yang
harus disandang.
Remaja dengan kelainan fisik/cacat pada tubuh akan mempunyai kesulitan
yang lebih besar dalam menjalani kehidupan sosialnya dibandingkan dengan yang
tidak menyandang cacat tubuh, karena mereka mengalami hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Termasuk pula dalam sikap terhadap perilaku
altruistik.
Sikap terhadap perilaku altruistik memainkan peranan yang besar dari
aktivitas individu yang sering dilakukan tanpa membedakan orang. Di masa ini mulai
timbul kepekaan pada kebutuhan orang lain yang dihubungkan dengan masalah dan
kesulitan orang tersebut, keadaan ini disebabkan oleh nilai-nilai moral yang tertanam
pada individu dan mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan norma dalam
mayarakat.
Menurut Myers (1990) altruistik adalah perilaku menolong orang lain tanpa
pamrih. Perilaku itu bukan saja tidak mengharapkan balas jasa, tetapi juga tidak
memiliki tujuan-tujuan pribadi tertentu (self interest). Bantuan itu diberikan secara
tulus, sepenuh hati dan tidak memilih siapa yang akan dibantu
Kembali pada keberadaan manusia sebagai mahluk sosial, tentunya masih ada
keinginan manusia untuk meringankan beban sesamanya, kendati bentuk tindakan
menolong pada perilaku altruistik yang lebih dimotivasi oleh tanggung jawab pribadi
dan merugikan si penolong mendorong penulis mengambil sikap terhadap perilaku
altruistik sebagai tolak ukur dalam menghadapi fenomena perilaku prososial individu,
dikarenakan perilaku menolong demikian inilah yang dibutuhkan untuk mengatasi
permasalahan yang disebutkan di atas.
Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan
makhluk sosial. Di dalam kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu
lainnya. Hubungan antara individu satu dengan individu lain akan menghasilkan
proses interaksi sosial, karena sebagai makhluk sosial individu harus berinteraksi
dengan individu lainnya. Salah satu dorongan yang menghasilkan proses interaksi
sosial yaitu motivasi berafiliasi.
Motivasi berafiliasi adalah dorongan dalam diri individu yang mendorong
proses pembentukan, pertahanan atau hubungan positif yang berafeksi dengan
seseorang atau orang lain yang bertujuan untuk disukai dan diterima (Atkinson,
1994). Individu dengan kecenderungan demikian lebih menekankan pada
persahabatan dan akan berusaha untuk mempertahankan hubungan tersebut
Seseorang yang menderita cacat fisik sering merasa bahwa dirinya tidak
mampu melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang pada umumnya sehingga
menunjukkan sikap negatif pada orang lain, dan hal tersebut akan mempengaruhi
kemampuan penderita cacat fisik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
masyarakat sekelilingnya. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan tidak
terbentuk dengan sendirinya, tetapi diperoleh dengan kemauan, usaha dan dorongan
dari orang lain yang dekat dengan para penderita cacat terutama keluarga.
Motivasi berafiliasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
sikap terhadap perilaku altruistik. Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh
Martaniah (1984) menyebutkan bahwa dari pendapat para ahli dapat disimpulkan
bahwa motivasi berafiliasi adalah motivasi untuk berinteraksi dengan orang lain yang
dimanifestasikan untuk menyenangkan hati orang lain dan, menunjukkan sikap
menolong terhadap teman dan keluarga. Sebaliknya individu yang kurang
mempunyai motivasi berafiliasi, akan menghindari dari situasi pertolongan pada
orang lain yang membutuhkan dan cenderung melakukan atau memutuskan sesuatu
hal dari sudut pandangnya sendiri.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka selayaknya para penyandang cacat
mempunyai motivasi berafiliasi, sehingga akan mampu memahami orang lain, yaitu
mempunyai motif, niat, pikiran, perasaan yang akan menumbuhkan dorongan kuat
untuk bersikap positif terhadap perilaku alturistik bagi orang yang membutuhkan.
Kenyataanya kehidupan para penyandang cacat pada masa sekarang,
cenderung bersifat indvidualistik Orang cacat tubuh tidak menyadari potensinya
sebagai manusia bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu
dengan cacatnya, dari semua itu mereka hanya berusaha untuk menghindar dari orang
lain, dan menganggap orang-orang yang menghadapi kesulitan hanya dianggap
sebagai suatu hal yang wajar dalam hidup tanpa ada keinginan atau tindakan untuk
ikut mengatasi dan menanganinya. Keadaan ini dapat menjadi suatu problem bagi
kehidupan suatu kelompok besar dalam masyarakat yang dijadikan sebagai penerus
kehidupan suatu masyarakat.
Kita melihat sekarang banyak pengamen dan peminta-minta di tempat-tempat
umum yang kebanyakan mereka adalah penyandang cacat. Dalam hal ini penyandang
cacat memanfaatkan kecacatannya untuk memperoleh penghasilan dari belas kasihan
orang lain yang melihatnya. Terkadang penyandang cacat membuat ketrampilan yang
kemudian dijualnya di pasar-pasar khalayak ramai, tetapi ada unsur pemaksaan dalam
proses penjualan karena penyandang cacat merasa pantas untuk dikasihani.
Berdasarkan uraian di atas maka timbul permasalahan apakah ada hubungan
antara motivasi berafiliasi dengan sikap terhadap perilaku altruistik pada remaja
penyandang cacat?. Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut penulis
mengadakan penelitian dengan judul : “Hubungan Antara Motivasi Berafiliasi dengan
Sikap Terhadap Perilaku Altruistik Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik”.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara motivasi berafiliasi dengan sikap terhadap
perilaku altruistik pada remaja penyandang cacat.
2. Untuk mengetahui peranan motivasi berafiliasi terhadap sikap terhadap perilaku
altruistik pada remaja penyandang cacat.
3. Untuk mengetahui tingkat motivasi berafiliasi pada remaja penyandang cacat.
4. Untuk mengetahui tingkat sikap terhadap perilaku altruistik pada remaja
penyandang cacat.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :