BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Situasi perekonomian semenjak 1997 tidak menunjukkan gejala membaik
bahkan kecenderungannya. Semakin tidak menentu krisis ekonomi yang berpanjangan
mengakibatkan problematika yang kompleks di berbagai bidang kehidupan bukan
hanya harga barang dan tarif jasa yang serba naik, tapi juga semakin banyak pengusaha
yang mengurangi produknya, bahkan terpaksa mematikan usaha mereka, ini berarti
semakin panjang barisan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh
perusahaan karena tidak mampu lagi membiayai produksi, akibatnya akan kian
menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri angka pengangguran cenderung terus meningakt
sementara itu laju pertumbuhan penduduk juga kian pesat, sehingga jumlah penduduk
usia produktif jiuga kian bertambah tanpa bisa dielakkan. Hal ini berimbas pada tidak
seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan kesempatan kerja yang ada. Selama
pembangunan jangka panjang dua puluh lima tahun pertama (PJP 1) perbandingan
antara kesempatan kerja yang tersedia baik melalui sektor formal maupun non formal.
Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa angka pengangguran pada tahun 2002
mencapai 9,05 persen atau sebanyak 9,1 juta penduduk menganggur dan tidak memiliki
pekerjaan. Para pengangguran ini menyebar di daerah perkotaan dan pedesaan, jumlah
laki-laki dan perempuan sebanding, tetapi pertumbuhan pengangguran di perkotaan
jauh lebih cepat di banding di pedesaan. Dengan demikian dibandingan dengan
keadaan 1996 dalam enam tahun terakhir secara absolut jumlah penganggur bertambah
sebanyak 7,2 juta orang. Penganggur perempuan naik dari 2,1 juta orang menjadi 4,4
juta orang pada tahun 2002, sedangkan pria naik dari 2,3 juta menjadi 4,7 juta orang.
Dengan melihat kenyataan periode tahun 1996-2002 jika tidak diantisipasi maka
tingkat pengangguran akan meningkat, dan mungkin pertumbuhannya sekitar satu
persen tahun 2003 (Wawasan, 2003)
Kesulitan yang dialami sekarang ini, ternyata jumlah kelulusan dari lembaga
pendidikan tinggi yang semakin meningkat tetapi tidak diikuti peningkatan yang
sepadan dengan penyediaan lapangan kerja Di samping itu terdapat tuntutan terhadap
lulusan dari pendidikan formal SLTA maupun perguruan tinggi yang berkualitas dan
profesional terhadap bidang keahliannya.
Dunia pendidikan dan dunia kerja mempunyai hubungan yang signifikan.
Bahkan peluang kerja seringkali ditentukan oleh pendidikan. Hal ini disebabkan karena
latar belakang pendidikan seseorang mencerminkan kecerdasan dan keterampilan.
Dengan semakin meningkatnya dunia pendidikan, meningkat pula aspirasi kaum muda
terpelajar untuk menyelesaikan studi baik menengah maupum tinggi sesuai dengan
jenis pekerjaan yang diinginkan. Kebanyakan siswa ataupun mahasiswa berorientasi
pada tujuan untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga secara otomatis mempunyai minat
agar dapat menyelesaikan studi secepatnya dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
keahliannya.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah dunia pendidikan Indonesia belum
mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal dengan sumber
daya manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa Indonesia bisa mengatasi
berbagai tantangan pembangunan seperti masalah lapangan pekerjaan dan pendidikan.
Indikasi rendahnya Sumber Daya Insani (SDI) Indonesia ialah besarnya kesenjangan
pendapatan, besarnya pengangguran dan rendahnya pendidikan rata-rata tenaga kerja.
Secara komparatif kondisi sumber daya insani (SDI) Indonesia dibandingkan dengan
SDI mancanegara masih tergolong rendah yaitu peringkat ke-98. Sementara itu
peringkat SDI Filipina 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37,
Hongkong 25, Australia 9, Belanda 8, dan Jepang peringkat pertama, (Hadipranata,
2000).
Sebenarnya jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar tidak menjadi
masalah jika pertumbuhan ekonomi nasional dapat mendukung dan memenuhi
kebutuhan rakyat, termasuk kesempatan kerja. Hal ini mengingat Indonesia mempunyai
kekayaan sumber alam yang melimpah, wilayah cukup luas dengan iklim tropis yang
sangat menguntungkan bagi berbagai kegiatan usaha seperti, persawahan, perkebunan,
kehutanan dan juga industri. Namun sayang potensi tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal, penciptaan kesempatan kerja masih berjalan lamban karena kebanyakan
angkatan kerja masih mengandalkan untuk bekerja pada orang lain dan tidak mandiri
secara ekonomi.
Tantangan-tantangan tersebut di atas pada dasarnya hanya dapat dihadapi dan
ditundukkan dengan sikap optimisme, yaitu menanggapi sesuatu rintangan dengan
keyakinan penuh untuk menang dan berhasil, tanpa pernah kehilangan harapan (Jaelani,
1999). Sikap optimisme ini harap ditanamkan sejak dini terhadap generasi muda dalam
hal ini remaja, karena pada usia remaja seorang dihadapkan pada suatu tugas untuk
memilih dan mempersiapkan diri akan suatu bidang pekerjaan.
Salah satu tugas perkembangan remaja adalah memilih dan mempersiapkan diri
untuk suatu bidang pekerjaan (Santrock, 2002). Tugas perkembangan ini disebut
sebagai tugas perkembangan vokasional. Kesiapan individu dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan vokasional disebut kematangan vokasional.
Mengutip pernyataan Grobbon dan Lohnes (Santrock, 2002 ) pencapaian kematangan
vokasional dapat dilihat melalui perilaku yang berhubungan dengan pemilihan
kurikulum, pemilihan pekerjaan, kemampuan mengemukakan kelebihan dan
kekurangan diri, ketelitian dan menafsirkan diri dan ketidak bergantungan dalam
pemilihan pekerjaan.
Remaja yang mampu menguasai dan menjalankan tugas-tugas perkembangan
vokasional bisa dikatakan telah mempunyai tingkat kematangan vokasional yang baik
(Anastasi, 1979). Kematangan vokasional terlihat dari cara individu dalam memilih
pekerjaan dan penuh keyakinan. Dengan keyakinan dalam menghadapi tantangan yang
ada diharapkan remaja dapat menjalankan tugas-tugas perkembangan vokasionalnya
dengan baik sehingga tidak mengandalkan untuk bergantung pada orang lain secara
ekonomi dan dalam jangka panjang dapat menciptakan lapangan kerja baru guna
mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi bangsa ini.
Optimisme berperan penting dalam menentukan dan mengarahkan perilaku
individu. Remaja akan memiliki keyakinan mencoba berperan dan melakukan
eksplorasi terhadap masalah-masalah pekerjaan melalui penggunaan waktu luang untuk
bekerja maupun dalam lingkungan sekolah. Remaja mulai mempertimbangkan
kepatuhan, serta kemampuan yang ada dalam dirinya dengan mencoba keluar dari
fantasinya. Dengan demikian, diharapkan remaja mengetahui kemampuan serta
kebutuhan tanpa dibayangi fantasinya, mampu membuat pertimbangan-pertimbangan
yang lebih realistis dalam melakukan pemilihan pekerjaan yang sesuai dengan dirinya
dan akan mencoba untuk memperoleh pekerjaan yang tepat.
Berdasarkan uaraian-uraian di atas dapat dibuat rumusan masalah: apakah
optimisme berkorelasi dengan kematangan vokasional? Mengacu pada rumusan
masalah tersebut peneliti tertarik untuk menguji secara empirik dengan mengadakan
penelitian berjudul: Hubungan antara optimisme dengan kematangan vokasional pada
remaja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Situasi perekonomian semenjak 1997 tidak menunjukkan gejala membaik
bahkan kecenderungannya. Semakin tidak menentu krisis ekonomi yang berpanjangan
mengakibatkan problematika yang kompleks di berbagai bidang kehidupan bukan
hanya harga barang dan tarif jasa yang serba naik, tapi juga semakin banyak pengusaha
yang mengurangi produknya, bahkan terpaksa mematikan usaha mereka, ini berarti
semakin panjang barisan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh
perusahaan karena tidak mampu lagi membiayai produksi, akibatnya akan kian
menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri angka pengangguran cenderung terus meningakt
sementara itu laju pertumbuhan penduduk juga kian pesat, sehingga jumlah penduduk
usia produktif jiuga kian bertambah tanpa bisa dielakkan. Hal ini berimbas pada tidak
seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan kesempatan kerja yang ada. Selama
pembangunan jangka panjang dua puluh lima tahun pertama (PJP 1) perbandingan
antara kesempatan kerja yang tersedia baik melalui sektor formal maupun non formal.
Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa angka pengangguran pada tahun 2002
mencapai 9,05 persen atau sebanyak 9,1 juta penduduk menganggur dan tidak memiliki
pekerjaan. Para pengangguran ini menyebar di daerah perkotaan dan pedesaan, jumlah
laki-laki dan perempuan sebanding, tetapi pertumbuhan pengangguran di perkotaan
jauh lebih cepat di banding di pedesaan. Dengan demikian dibandingan dengan
keadaan 1996 dalam enam tahun terakhir secara absolut jumlah penganggur bertambah
sebanyak 7,2 juta orang. Penganggur perempuan naik dari 2,1 juta orang menjadi 4,4
juta orang pada tahun 2002, sedangkan pria naik dari 2,3 juta menjadi 4,7 juta orang.
Dengan melihat kenyataan periode tahun 1996-2002 jika tidak diantisipasi maka
tingkat pengangguran akan meningkat, dan mungkin pertumbuhannya sekitar satu
persen tahun 2003 (Wawasan, 2003)
Kesulitan yang dialami sekarang ini, ternyata jumlah kelulusan dari lembaga
pendidikan tinggi yang semakin meningkat tetapi tidak diikuti peningkatan yang
sepadan dengan penyediaan lapangan kerja Di samping itu terdapat tuntutan terhadap
lulusan dari pendidikan formal SLTA maupun perguruan tinggi yang berkualitas dan
profesional terhadap bidang keahliannya.
Dunia pendidikan dan dunia kerja mempunyai hubungan yang signifikan.
Bahkan peluang kerja seringkali ditentukan oleh pendidikan. Hal ini disebabkan karena
latar belakang pendidikan seseorang mencerminkan kecerdasan dan keterampilan.
Dengan semakin meningkatnya dunia pendidikan, meningkat pula aspirasi kaum muda
terpelajar untuk menyelesaikan studi baik menengah maupum tinggi sesuai dengan
jenis pekerjaan yang diinginkan. Kebanyakan siswa ataupun mahasiswa berorientasi
pada tujuan untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga secara otomatis mempunyai minat
agar dapat menyelesaikan studi secepatnya dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
keahliannya.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah dunia pendidikan Indonesia belum
mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal dengan sumber
daya manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa Indonesia bisa mengatasi
berbagai tantangan pembangunan seperti masalah lapangan pekerjaan dan pendidikan.
Indikasi rendahnya Sumber Daya Insani (SDI) Indonesia ialah besarnya kesenjangan
pendapatan, besarnya pengangguran dan rendahnya pendidikan rata-rata tenaga kerja.
Secara komparatif kondisi sumber daya insani (SDI) Indonesia dibandingkan dengan
SDI mancanegara masih tergolong rendah yaitu peringkat ke-98. Sementara itu
peringkat SDI Filipina 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37,
Hongkong 25, Australia 9, Belanda 8, dan Jepang peringkat pertama, (Hadipranata,
2000).
Sebenarnya jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar tidak menjadi
masalah jika pertumbuhan ekonomi nasional dapat mendukung dan memenuhi
kebutuhan rakyat, termasuk kesempatan kerja. Hal ini mengingat Indonesia mempunyai
kekayaan sumber alam yang melimpah, wilayah cukup luas dengan iklim tropis yang
sangat menguntungkan bagi berbagai kegiatan usaha seperti, persawahan, perkebunan,
kehutanan dan juga industri. Namun sayang potensi tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal, penciptaan kesempatan kerja masih berjalan lamban karena kebanyakan
angkatan kerja masih mengandalkan untuk bekerja pada orang lain dan tidak mandiri
secara ekonomi.
Tantangan-tantangan tersebut di atas pada dasarnya hanya dapat dihadapi dan
ditundukkan dengan sikap optimisme, yaitu menanggapi sesuatu rintangan dengan
keyakinan penuh untuk menang dan berhasil, tanpa pernah kehilangan harapan (Jaelani,
1999). Sikap optimisme ini harap ditanamkan sejak dini terhadap generasi muda dalam
hal ini remaja, karena pada usia remaja seorang dihadapkan pada suatu tugas untuk
memilih dan mempersiapkan diri akan suatu bidang pekerjaan.
Salah satu tugas perkembangan remaja adalah memilih dan mempersiapkan diri
untuk suatu bidang pekerjaan (Santrock, 2002). Tugas perkembangan ini disebut
sebagai tugas perkembangan vokasional. Kesiapan individu dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan vokasional disebut kematangan vokasional.
Mengutip pernyataan Grobbon dan Lohnes (Santrock, 2002 ) pencapaian kematangan
vokasional dapat dilihat melalui perilaku yang berhubungan dengan pemilihan
kurikulum, pemilihan pekerjaan, kemampuan mengemukakan kelebihan dan
kekurangan diri, ketelitian dan menafsirkan diri dan ketidak bergantungan dalam
pemilihan pekerjaan.
Remaja yang mampu menguasai dan menjalankan tugas-tugas perkembangan
vokasional bisa dikatakan telah mempunyai tingkat kematangan vokasional yang baik
(Anastasi, 1979). Kematangan vokasional terlihat dari cara individu dalam memilih
pekerjaan dan penuh keyakinan. Dengan keyakinan dalam menghadapi tantangan yang
ada diharapkan remaja dapat menjalankan tugas-tugas perkembangan vokasionalnya
dengan baik sehingga tidak mengandalkan untuk bergantung pada orang lain secara
ekonomi dan dalam jangka panjang dapat menciptakan lapangan kerja baru guna
mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi bangsa ini.
Optimisme berperan penting dalam menentukan dan mengarahkan perilaku
individu. Remaja akan memiliki keyakinan mencoba berperan dan melakukan
eksplorasi terhadap masalah-masalah pekerjaan melalui penggunaan waktu luang untuk
bekerja maupun dalam lingkungan sekolah. Remaja mulai mempertimbangkan
kepatuhan, serta kemampuan yang ada dalam dirinya dengan mencoba keluar dari
fantasinya. Dengan demikian, diharapkan remaja mengetahui kemampuan serta
kebutuhan tanpa dibayangi fantasinya, mampu membuat pertimbangan-pertimbangan
yang lebih realistis dalam melakukan pemilihan pekerjaan yang sesuai dengan dirinya
dan akan mencoba untuk memperoleh pekerjaan yang tepat.
Berdasarkan uaraian-uraian di atas dapat dibuat rumusan masalah: apakah
optimisme berkorelasi dengan kematangan vokasional? Mengacu pada rumusan
masalah tersebut peneliti tertarik untuk menguji secara empirik dengan mengadakan
penelitian berjudul: Hubungan antara optimisme dengan kematangan vokasional pada
remaja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :