BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertemanan merupakan bagian yang tak bisa terlepaskan dari dunia
remaja. Hal ini menjadi sifat khas dari remaja yang selalu berada dalam pencarian jati
diri. Sehingga remaja akan mengalami berbagai macam peralihan, yaitu peralihan
dalam aspek biologis, kognisi, dan sosial. Dalam perkembangan sosial remaja, dapat
dilihat adanya dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lain
adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Dorongan menuju ke arah teman-teman
sebaya ini kemudian membentuk apa yang dinamakan pertemanan.
Pertemanan bagi remaja berfungsi sama halnya dengan anak-anak
yaitu memberi kesempatan untuk belajar bagaimana mengendalikan perilaku sosial,
mengembangkan keterampilan dan minat yang sesuai dengan usia, dan berbagi
masalah dan perasaan bersama. Alasan lain yang memotivasi remaja menjalin sebuah
pertemanan adalah karena tuntutan aspek human condition-nya, seperti mencari
kesenangan. Keinginan untuk memilih teman terjadi karena dengan berteman remaja
mendapatkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan ber-reward.
Membina pertemanan dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis
adalah salah satu bentuk pengembangan hubungan personal yang menjadi tugas
perkembangan remaja. Hartup (dalam Guralnik, 1988) menyatakan bahwa individu
yang tidak mampu menjalin hubungan secara akrab dengan teman akan mengalami
kesulitan pada perkembangan sosial dan emosionalnya di masa yang akan datang.
Teman atau orang yang dipercaya akan memberikan dukungan pada
seseorang saat emosi sedemikian peka, atau memberikan bantuan pada saat
dibutuhkan. Steinberg (1993) dengan mengutip pendapat Hartup, mengatakan bahwa
tidak adanya teman pada masa kanak-kanak sebenarnya berkaitan dengan banyaknya
gangguan psikologis dan problem-problem sosial. Sebaliknya pada masa dewasa,
adanya teman yang berkualitas, paling tidak satu orang akan bermanfaat bagi
kesehatan mental seseorang. Pada saat mengalami masalah-masalah psikologis,
seseorang mendapat dukungan sosial, justru karena adanya teman yang berkualitas.
Itu berarti bahwa relasi pertemanan yang berkualitas sangat penting dan berarti bagi
semua kelompok umur, lebih-lebih kelompok remaja.
Hubungan pertemanan yang di jalin oleh remaja tidak se-khusus
hubungan antara orang tua dan anak. Meskipun demikian, kadang interaksi antar
teman memiliki dasar kekuatan yang lebih besar daripada hubungan antara orang tua
dan anaknya (Hartup, 1992). Dari hasil penelitian didapatkan beberapa persepsi
remaja mengenai arti seorang teman dekat baginya seperti yang tercermin dalam
ungkapan, “Teman lebih dapat memahami diri saya daripada orang tua”, “Saya lebih
dapat menjadi diri sendiri karena bantuan teman dan bukannya orang tua”, atau “Saya
merasa lebih banyak belajar dari teman dekat daripada dengan orang tua saya”
(Youniss dan Smollar, dalam Sulistyowati 2002).
Dalam penelitian sebelumnya juga terdapat variasi baik kualitas
maupun kuantitas dalam pertemanan. Penelitian Berscheid, Snyder, dan Omoto
(dalam Sulistyowati 2002) menunjukkan ada perbedaan intensitas hubungan sosial
remaja. Mereka diminta untuk menilai siapakah seseorang yang dirasakan paling
dekat dalam hidupnya. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sebanyak 14 % menyebut
anggota keluarganya, 36 % menyebut teman dekat, 47 % menyebut pacar , dan
sisanya 3 % menyebut yang lain, dalam hal ini adalah teman biasa.
Kebanyakan remaja menggunakan pertemanan hanya sebatas untuk
memperoleh status atau lebih sekedar mencari popularitas tanpa mempertimbangkan
kualitas dari pertemanan tersebut. Seperti yang dialami oleh Ria, Ramdan, dan Fadli
beberapa siswa di SMU Negeri 65 Jakarta yang merasa tidak mendapatkan kualitas
dalam pertemanan mereka. Yang terjadi malah teman yang hanya enak diajak nonton,
jalan-jalan ke mall, ngedugem dan pulang larut malam. Selebihnya ? Untuk sekedar
mendengarkan keluh kesah saja, mereka tidak punya waktu, apalagi berdiskusi dan
bertukar pikiran. (Sawitri Supardi-Sadarjoen dalam Konsultasi Psikologi-Kompas 6
Juni 2004). Mengapa hal tersebut bisa terjadi ?
Ini menunjukkan ada yang menarik dari sebuah pertemanan yang
dijalin oleh remaja. Remaja tidak hanya berusaha menjalin pertemanan sebanyak-
banyaknya, tetapi mereka juga menginginkan sebuah pertemanan yang mendalam
atau mempunyai kualitas yang baik. Kasus di atas menunjukkan bahwa remaja
mengerti apa yang diinginkan dari sebuah pertemanan, maka remaja berkeras untuk
memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa. Seringkali hal
ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu stabilitas pertemanan remaja. Pertama,
karena kurangnya pengalaman maka remaja memilih teman yang kurang sesuai, tidak
seperti yang diharapkan, Pertengkaran sering terjadi dan kemudian pertemanan
mereka bubar. Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja
cenderung tidak realistik dengan standar yang ia tetapkan untuk teman-temannya. Ia
menjadi kritis bila teman-temannya tidak memenuhi standar dan kemudian berusaha
memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga menyebabkan pertengkaran dan
mengakhiri sebuah pertemanan.
Kualitas pertemanan memberikan nilai tersendiri bagi remaja. Tidak
hanya sebatas dapat diterima saja, tetapi yang lebih penting remaja menginginkan
teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan
membuatnya merasa aman dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-
masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua
maupun guru. Selain itu pertemanan yang berkualitas juga berfungsi sebagai media
untuk berdiskusi tentang segala hal yang menyangkut cita-cita, harapan, dan
perencanaan-perencanaan ke depan, seperti memilih dan mempersiapkan pekerjaan
atau memilih dan mempersiapkan pasangan hidup.
Banyak faktor yang menyebabkan kualitas pertemanan remaja tidak
seperti yang diharapkan. Kualitas pertemanan berkaitan dengan karakteristik dan
kepribadian seseorang, karena hal tersebut mencerminkan kematangan dari seseorang
tersebut. Kematangan seseorang ditentukan setelah melalui perkembangan mulai dari
kecil sampai menginjak masa remaja, yang kemudian disebut sebagai identitas diri.
Sangat penting bagi remaja untuk membentuk identitas diri. Identitas
diri merupakan perasaan keunikan seseorang, keinginan untuk menjadi orang yang
berarti, dan mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Identitas diri juga
berkaitan dengan karakter dan kepribadian seseorang. Apabila karakter dan
kepribadian seseorang tersebut tidak menyenangkan, maka seseorang juga akan
mengalami kegagalan dalam bersosialisasi atau berhubungan dengan lingkungannya.
Dan jika tingkat kegagalan itu cukup parah, maka ia akan mendapat stigma atau cap
buruk yang dapat membuatnya dikucilkan dan tidak disukai dalam pertemanan.
Apabila kondisi ini terus menerus berlangsung, maka akan timbul
perasaan kacau dan tertekan, sehingga remaja biasanya akan menarik diri dengan lari
dari sekolah, rumah atau mundur ke suatu gangguan emosi yang lebih serius dengan
puncaknya adalah bunuh diri. Angka bunuh diri di kalangan remaja dewasa ini terus
meningkat. Di Amerika Serikat terhitung 13 remaja tewas bunuh diri dalam sehari.
Sedangkan bentuk pengunduran diri yang paling meluas dikalangan remaja adalah
penggunaan obat terlarang (UMMI No 6/XII Oktober-November 2000).
Masa remaja terutama masa pencarian identitas diri bisa sangat
menekan jiwa dan merupakan periode yang membingungkan dalam
perkembangannya. Ketidakmampuan remaja untuk memahami keadaan dirinya akan
berpengaruh terhadap proses pertemanan tersebut. Apabila pertemanan tersebut
memuat nilai-nilai positif, maka seorang remaja akan dapat memperoleh banyak
manfaat yang sangat berarti dalam mengembangkan dirinya. Sebaliknya jika teman
membawa nilai yang tidak baik, maka seorang remaja dapat terseret ke arah yang
tidak baik pula.
Bourne (dalam Musen, 1989) mengatakan bahwa individu yang telah
mencapai rasa identitas diri yang mantap setelah masa pencarian yang aktif cenderung
lebih otonom dan kreatif. Mereka juga menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk
menjalin keakraban dengan lingkungannya, mempunyai identitas jenis kelamin sexual
yang mantap, konsep diri yang yang positif, dan penalaran moral yang lebih dewasa
serta mampu bersikap mandiri.
Dari hal-hal yang telah diungkapkan diatas, dapat dilihat bahwa untuk
mewujudkan hubungan pertemanan yang berkualitas, banyak remaja masih merasa
kesulitan. Hal ini dikarenakan kualitas pertemanan dalam hubungan pertemanan
memberikan nilai tersendiri dalam berteman. Hurlock (1997) menegaskan bahwa
teman memberikan pengaruh paling besar dalam kehidupan individu. Pertemanan
mengandung nilai-nilai spesifik seperti kepercayaan, keterbukaan, saling berbagi suka
dan duka, belajar mengatasi konflik secara efisien, dan lain sebagainya.
Menurut Rice (1996) untuk mendapatkan hubungan pertemanan yang
berkualitas, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah identitas diri. Hal ini sesuai
dengan teori Psikososial dari Erikson (dalam Suparmi dan Koesdwiratri 2001)
mengatakan bahwa kesuksesan suatu tahap perkembangan dipengaruhi oleh
kesuksesan tahap perkembangan sebelumnya. Dalam tulisan lain (Hall dan Lindzey,
1993) mengatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan
perilaku sosial anak dikemudian hari termasuk pertemanan adalah pembentukan
identitas diri.
Dari uraian permasalahan di atas beserta teori yang menguatkannya,
maka penulis tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara pembentukan
identitas diri dengan kualitas pertemanan. Sehingga penulis mengadakan penelitian
dengan judul “Hubungan Antara Pembentukan Identitas Diri Dengan Kualitas
Pertemanan Pada Remaja“.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
pembentukan identitas diri dengan kualitas pertemanan pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertemanan merupakan bagian yang tak bisa terlepaskan dari dunia
remaja. Hal ini menjadi sifat khas dari remaja yang selalu berada dalam pencarian jati
diri. Sehingga remaja akan mengalami berbagai macam peralihan, yaitu peralihan
dalam aspek biologis, kognisi, dan sosial. Dalam perkembangan sosial remaja, dapat
dilihat adanya dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lain
adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Dorongan menuju ke arah teman-teman
sebaya ini kemudian membentuk apa yang dinamakan pertemanan.
Pertemanan bagi remaja berfungsi sama halnya dengan anak-anak
yaitu memberi kesempatan untuk belajar bagaimana mengendalikan perilaku sosial,
mengembangkan keterampilan dan minat yang sesuai dengan usia, dan berbagi
masalah dan perasaan bersama. Alasan lain yang memotivasi remaja menjalin sebuah
pertemanan adalah karena tuntutan aspek human condition-nya, seperti mencari
kesenangan. Keinginan untuk memilih teman terjadi karena dengan berteman remaja
mendapatkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan ber-reward.
Membina pertemanan dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis
adalah salah satu bentuk pengembangan hubungan personal yang menjadi tugas
perkembangan remaja. Hartup (dalam Guralnik, 1988) menyatakan bahwa individu
yang tidak mampu menjalin hubungan secara akrab dengan teman akan mengalami
kesulitan pada perkembangan sosial dan emosionalnya di masa yang akan datang.
Teman atau orang yang dipercaya akan memberikan dukungan pada
seseorang saat emosi sedemikian peka, atau memberikan bantuan pada saat
dibutuhkan. Steinberg (1993) dengan mengutip pendapat Hartup, mengatakan bahwa
tidak adanya teman pada masa kanak-kanak sebenarnya berkaitan dengan banyaknya
gangguan psikologis dan problem-problem sosial. Sebaliknya pada masa dewasa,
adanya teman yang berkualitas, paling tidak satu orang akan bermanfaat bagi
kesehatan mental seseorang. Pada saat mengalami masalah-masalah psikologis,
seseorang mendapat dukungan sosial, justru karena adanya teman yang berkualitas.
Itu berarti bahwa relasi pertemanan yang berkualitas sangat penting dan berarti bagi
semua kelompok umur, lebih-lebih kelompok remaja.
Hubungan pertemanan yang di jalin oleh remaja tidak se-khusus
hubungan antara orang tua dan anak. Meskipun demikian, kadang interaksi antar
teman memiliki dasar kekuatan yang lebih besar daripada hubungan antara orang tua
dan anaknya (Hartup, 1992). Dari hasil penelitian didapatkan beberapa persepsi
remaja mengenai arti seorang teman dekat baginya seperti yang tercermin dalam
ungkapan, “Teman lebih dapat memahami diri saya daripada orang tua”, “Saya lebih
dapat menjadi diri sendiri karena bantuan teman dan bukannya orang tua”, atau “Saya
merasa lebih banyak belajar dari teman dekat daripada dengan orang tua saya”
(Youniss dan Smollar, dalam Sulistyowati 2002).
Dalam penelitian sebelumnya juga terdapat variasi baik kualitas
maupun kuantitas dalam pertemanan. Penelitian Berscheid, Snyder, dan Omoto
(dalam Sulistyowati 2002) menunjukkan ada perbedaan intensitas hubungan sosial
remaja. Mereka diminta untuk menilai siapakah seseorang yang dirasakan paling
dekat dalam hidupnya. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sebanyak 14 % menyebut
anggota keluarganya, 36 % menyebut teman dekat, 47 % menyebut pacar , dan
sisanya 3 % menyebut yang lain, dalam hal ini adalah teman biasa.
Kebanyakan remaja menggunakan pertemanan hanya sebatas untuk
memperoleh status atau lebih sekedar mencari popularitas tanpa mempertimbangkan
kualitas dari pertemanan tersebut. Seperti yang dialami oleh Ria, Ramdan, dan Fadli
beberapa siswa di SMU Negeri 65 Jakarta yang merasa tidak mendapatkan kualitas
dalam pertemanan mereka. Yang terjadi malah teman yang hanya enak diajak nonton,
jalan-jalan ke mall, ngedugem dan pulang larut malam. Selebihnya ? Untuk sekedar
mendengarkan keluh kesah saja, mereka tidak punya waktu, apalagi berdiskusi dan
bertukar pikiran. (Sawitri Supardi-Sadarjoen dalam Konsultasi Psikologi-Kompas 6
Juni 2004). Mengapa hal tersebut bisa terjadi ?
Ini menunjukkan ada yang menarik dari sebuah pertemanan yang
dijalin oleh remaja. Remaja tidak hanya berusaha menjalin pertemanan sebanyak-
banyaknya, tetapi mereka juga menginginkan sebuah pertemanan yang mendalam
atau mempunyai kualitas yang baik. Kasus di atas menunjukkan bahwa remaja
mengerti apa yang diinginkan dari sebuah pertemanan, maka remaja berkeras untuk
memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa. Seringkali hal
ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu stabilitas pertemanan remaja. Pertama,
karena kurangnya pengalaman maka remaja memilih teman yang kurang sesuai, tidak
seperti yang diharapkan, Pertengkaran sering terjadi dan kemudian pertemanan
mereka bubar. Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja
cenderung tidak realistik dengan standar yang ia tetapkan untuk teman-temannya. Ia
menjadi kritis bila teman-temannya tidak memenuhi standar dan kemudian berusaha
memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga menyebabkan pertengkaran dan
mengakhiri sebuah pertemanan.
Kualitas pertemanan memberikan nilai tersendiri bagi remaja. Tidak
hanya sebatas dapat diterima saja, tetapi yang lebih penting remaja menginginkan
teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan
membuatnya merasa aman dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-
masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua
maupun guru. Selain itu pertemanan yang berkualitas juga berfungsi sebagai media
untuk berdiskusi tentang segala hal yang menyangkut cita-cita, harapan, dan
perencanaan-perencanaan ke depan, seperti memilih dan mempersiapkan pekerjaan
atau memilih dan mempersiapkan pasangan hidup.
Banyak faktor yang menyebabkan kualitas pertemanan remaja tidak
seperti yang diharapkan. Kualitas pertemanan berkaitan dengan karakteristik dan
kepribadian seseorang, karena hal tersebut mencerminkan kematangan dari seseorang
tersebut. Kematangan seseorang ditentukan setelah melalui perkembangan mulai dari
kecil sampai menginjak masa remaja, yang kemudian disebut sebagai identitas diri.
Sangat penting bagi remaja untuk membentuk identitas diri. Identitas
diri merupakan perasaan keunikan seseorang, keinginan untuk menjadi orang yang
berarti, dan mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Identitas diri juga
berkaitan dengan karakter dan kepribadian seseorang. Apabila karakter dan
kepribadian seseorang tersebut tidak menyenangkan, maka seseorang juga akan
mengalami kegagalan dalam bersosialisasi atau berhubungan dengan lingkungannya.
Dan jika tingkat kegagalan itu cukup parah, maka ia akan mendapat stigma atau cap
buruk yang dapat membuatnya dikucilkan dan tidak disukai dalam pertemanan.
Apabila kondisi ini terus menerus berlangsung, maka akan timbul
perasaan kacau dan tertekan, sehingga remaja biasanya akan menarik diri dengan lari
dari sekolah, rumah atau mundur ke suatu gangguan emosi yang lebih serius dengan
puncaknya adalah bunuh diri. Angka bunuh diri di kalangan remaja dewasa ini terus
meningkat. Di Amerika Serikat terhitung 13 remaja tewas bunuh diri dalam sehari.
Sedangkan bentuk pengunduran diri yang paling meluas dikalangan remaja adalah
penggunaan obat terlarang (UMMI No 6/XII Oktober-November 2000).
Masa remaja terutama masa pencarian identitas diri bisa sangat
menekan jiwa dan merupakan periode yang membingungkan dalam
perkembangannya. Ketidakmampuan remaja untuk memahami keadaan dirinya akan
berpengaruh terhadap proses pertemanan tersebut. Apabila pertemanan tersebut
memuat nilai-nilai positif, maka seorang remaja akan dapat memperoleh banyak
manfaat yang sangat berarti dalam mengembangkan dirinya. Sebaliknya jika teman
membawa nilai yang tidak baik, maka seorang remaja dapat terseret ke arah yang
tidak baik pula.
Bourne (dalam Musen, 1989) mengatakan bahwa individu yang telah
mencapai rasa identitas diri yang mantap setelah masa pencarian yang aktif cenderung
lebih otonom dan kreatif. Mereka juga menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk
menjalin keakraban dengan lingkungannya, mempunyai identitas jenis kelamin sexual
yang mantap, konsep diri yang yang positif, dan penalaran moral yang lebih dewasa
serta mampu bersikap mandiri.
Dari hal-hal yang telah diungkapkan diatas, dapat dilihat bahwa untuk
mewujudkan hubungan pertemanan yang berkualitas, banyak remaja masih merasa
kesulitan. Hal ini dikarenakan kualitas pertemanan dalam hubungan pertemanan
memberikan nilai tersendiri dalam berteman. Hurlock (1997) menegaskan bahwa
teman memberikan pengaruh paling besar dalam kehidupan individu. Pertemanan
mengandung nilai-nilai spesifik seperti kepercayaan, keterbukaan, saling berbagi suka
dan duka, belajar mengatasi konflik secara efisien, dan lain sebagainya.
Menurut Rice (1996) untuk mendapatkan hubungan pertemanan yang
berkualitas, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah identitas diri. Hal ini sesuai
dengan teori Psikososial dari Erikson (dalam Suparmi dan Koesdwiratri 2001)
mengatakan bahwa kesuksesan suatu tahap perkembangan dipengaruhi oleh
kesuksesan tahap perkembangan sebelumnya. Dalam tulisan lain (Hall dan Lindzey,
1993) mengatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan
perilaku sosial anak dikemudian hari termasuk pertemanan adalah pembentukan
identitas diri.
Dari uraian permasalahan di atas beserta teori yang menguatkannya,
maka penulis tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara pembentukan
identitas diri dengan kualitas pertemanan. Sehingga penulis mengadakan penelitian
dengan judul “Hubungan Antara Pembentukan Identitas Diri Dengan Kualitas
Pertemanan Pada Remaja“.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
pembentukan identitas diri dengan kualitas pertemanan pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :