BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan
makhluk sosial. Dalam kehidupan sosial, individu tidak lepas dalam pergaulan
dengan individu lainnya, karena sebagai makhluk sosial individu harus
berinteraksi dengan individu lainnya. Begitu pula masa remaja secara psikologis,
pada masa remaja mulai terjadi usaha pencarian jati diri yang termanifestasi dalam
bentuk keinginan untuk berada didalam kelompok dengan cara bergaul dengan
orang lain disekitarnya (Mappiare, 1982).
Pada kehidupan sehari-hari, orang yang penyesuaian sosialnya tinggi akan
mudah mendapatkan teman, berkomunikasi dengan baik, menanyakan atau
memberikan informasi selama berkomunikasi. Hal tersebut dilakukan tanpa
menyebabkan perasaan tegang atau peraaan tidak enak lainnya. Dalam
lingkungan, seseorang yang mampu bergaul dapat mengemukakan pandangan
atau pendapat pribadi secara jelas tanpa menyakiti perasaan orang lain serta akan
berhasil menyakinkan lawan bicaranya mengenai pendapat-pendapat yang akan
dikemukakannya (Kelley, 1982).
Namun dalam bergaul tidak jarang individu mengalami kesulitan.
Khususnya pada remaja, tidak sedikit remaja yang menjadi seorang
individualistik, acuh, dan tidak peduli dengan orang lain maupun lingkungan.
Remaja ini lebih mementingkan kesenangan sendiri tanpa peduli dengan situasi
dan kondisi lain maupun lingkungan. Seperti dikemukakan Calhoun dan Acocella
(1995) bahwa remaja yang mengalami kesulitan penyesuaian sosial ditandai
dengan kurang beraninya memulai percakapan, sulit berkata tegas terhadap diri
maupun orang lain, akibatnya tidak mempunyai teman akrab.
Sebagai contoh ketika berada di sekolah, siswa yang penyesuaian
sosialnya baik akan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi secara baik pula
dengan teman-temannya di sekolah maupun dengan para guru. Interaksi yang
terjalin akan semakin menumbuhkan kebersamaan dan toleransi di antara siswa,
toleransi tersebut dapat berupa saling tolong menolong. Apabila salah satu siswa
mengalami kemunduran dalam hal pelajaran, maka dengan adanya penyesuaian
sosial yang baik siswa tersebut dapat meminta pertolongan siswa yang lainnya.
Di Indonesia pada tahun 1996 Pusbang Kurrandik (Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan) Balitbang Dikbud melakukan penelitian
terhadap 4994 siswa sekolah menengah atas di provinsi Jabar, Lampung, Kalbar
dan Jatim, mendapatkan hasil bahwa 696 dari siswa SLTA (13,94 %) tersebut
mengalami kesulitan dalam aktivitas belajar umum, dan 479 di antaranya
disebabkan oleh gangguan tingkah laku misalnya nakal, sulit diatur, suka
melawan, sering membolos dan berperilaku antisosial. Siswa dengan gangguan
tingkah laku ini seringkali mempunyai prestasi akademik di bawah taraf yang
diperkirakan (Wiguna, 2000)
Kartono, (1985) menyatakan bahwa penyesuaian sosial adalah
keberhasilan seseorang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap orang
lain pada umumnya dan pada kelompok pada khususnya. Penyesuaian sosial
dalam arti umum adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan
ataupun mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan sendiri. Dengan demikian
penyesuaian ada yang berarti “pasif” dimana individu yang dipengaruhi
lingkungan dan ada yang berarti “aktif” dimana individu yang mempengaruhi
lingkungan (Gerungan, 1987).
Menurut Mappiare (1982) penyesuaian sosial adalah kemampuan individu
untuk berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan sekitar dalam rangka
memenuhi kebutuhan untuk dapat diterima oleh orang lain baik sesama jenis
kelamin atau lawan jenis agar memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga.
Ketika individu mulai bergaul dengan orang lain, individu tidak lagi hanya
menerima, tapi individu juga dapat memberikan kontak sosial. Individu mulai
mengerti bahwa di dalam suatu kelompok terdapat norma-norma sosial yang
hendaknya dipatuhi dengan rela agar dapat melanjutkan hubungan dengan
kelompok tertentu secara lancar.
Menurut Meichati (1983) penyesuaian dapat berlangsung karena ada
dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan, dimana dalam pemenuhan
kebutuhan itu manusia berusaha mencapai keseimbangan antara tuntutan sosial
dengan harapan yang ada didalam dirinya. Dengan adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan maka individu dituntut untuk berinteraksi dengan individu
lain dan didalamnya akan terjadi proses saling mempengaruhi yang silih berganti
antara anggota-anggotanya.
Agar berhasil membina hubungan sosial dengan lingkungannya remaja
harus berperilaku asertif. Karena perilaku asertif merupakan salah satu faktor yang
penting agar seseorang mampu melakukan komunikasi yang bermakna dan
menyenangkan dengan orang lain. Komunikasi yang bermakna adalah
keterbukaan percakapan yang realistik, misal dapat mengkomunikasikan dengan
baik pikiran, perasaan, kesalahan atau kegagalan, masalah dan jalan keluarnya
kepada orang lain. Perilaku asertif dapat membantu seseorang dalam penyesuaian
sosial di masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam proses penyesuaian sosial
dibutuhkan keterbukaan, kesadaran diri, kemampuan menyesuaikan diri dan
perhatian terhadap hak-hak orang lain (Calhoun dan Acoccela, 1995).
Perilaku asertif sangat diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang lain
sebab sebagai makhluk sosial yang sepanjang hidupnya selalu terlibat dengan
orang lain maka disadari atau tidak kemampuan berhubungan dengan orang lain
sangat dibutuhkan oleh manusia. Kemampuan berkomunikasi atau berhubungan
dengan orang lain memiliki andil yang besar baik di lingkungan sekolah,
pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan pendapat Agustin
(1993) bahwa perilaku asertif dapat menolong seseorang untuk
mengkomunikasikan secara jelas dan tegas atas kebutuhan-kebutuhan, keinginan
dan perasaan kepada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas nampaklah bahwa perilaku asertif mempunyai
peranan yang penting bagi penyesuaian sosial. Bila individu berperilaku asertif,
mampu menyatakan perasaan dan keyakinan secara terbuka, langsung, jujur dan
sebagaimana mestinya akan mengembangkan dirinya lebih percaya diri, lebih
luwes, dan ramah serta lebih pandai bergaul sehingga akan memiliki penyesuaian
sosial yang baik.
Mengacu dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan
masalah adalah: apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan penyesuaian
sosial pada remaja. Dari rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk
mengkaji secara empirik dengan melaksanakan penelitian dengan judul
“Hubungan antara perilaku asertif dengan penyesuaian sosial pada remaja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif dengan penyesuaian sosial
pada remaja.
2. Untuk mengetahui sejauhmana kondisi perilaku asertif pada subjek penelitian.
3. Untuk mengetahui sejauhmana kondisi penyesuaian sosial pada subjek
penelitian.
C. Manfaat Penelitian
Apabila hipotesis penelitian ini terbukti maka diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan
makhluk sosial. Dalam kehidupan sosial, individu tidak lepas dalam pergaulan
dengan individu lainnya, karena sebagai makhluk sosial individu harus
berinteraksi dengan individu lainnya. Begitu pula masa remaja secara psikologis,
pada masa remaja mulai terjadi usaha pencarian jati diri yang termanifestasi dalam
bentuk keinginan untuk berada didalam kelompok dengan cara bergaul dengan
orang lain disekitarnya (Mappiare, 1982).
Pada kehidupan sehari-hari, orang yang penyesuaian sosialnya tinggi akan
mudah mendapatkan teman, berkomunikasi dengan baik, menanyakan atau
memberikan informasi selama berkomunikasi. Hal tersebut dilakukan tanpa
menyebabkan perasaan tegang atau peraaan tidak enak lainnya. Dalam
lingkungan, seseorang yang mampu bergaul dapat mengemukakan pandangan
atau pendapat pribadi secara jelas tanpa menyakiti perasaan orang lain serta akan
berhasil menyakinkan lawan bicaranya mengenai pendapat-pendapat yang akan
dikemukakannya (Kelley, 1982).
Namun dalam bergaul tidak jarang individu mengalami kesulitan.
Khususnya pada remaja, tidak sedikit remaja yang menjadi seorang
individualistik, acuh, dan tidak peduli dengan orang lain maupun lingkungan.
Remaja ini lebih mementingkan kesenangan sendiri tanpa peduli dengan situasi
dan kondisi lain maupun lingkungan. Seperti dikemukakan Calhoun dan Acocella
(1995) bahwa remaja yang mengalami kesulitan penyesuaian sosial ditandai
dengan kurang beraninya memulai percakapan, sulit berkata tegas terhadap diri
maupun orang lain, akibatnya tidak mempunyai teman akrab.
Sebagai contoh ketika berada di sekolah, siswa yang penyesuaian
sosialnya baik akan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi secara baik pula
dengan teman-temannya di sekolah maupun dengan para guru. Interaksi yang
terjalin akan semakin menumbuhkan kebersamaan dan toleransi di antara siswa,
toleransi tersebut dapat berupa saling tolong menolong. Apabila salah satu siswa
mengalami kemunduran dalam hal pelajaran, maka dengan adanya penyesuaian
sosial yang baik siswa tersebut dapat meminta pertolongan siswa yang lainnya.
Di Indonesia pada tahun 1996 Pusbang Kurrandik (Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan) Balitbang Dikbud melakukan penelitian
terhadap 4994 siswa sekolah menengah atas di provinsi Jabar, Lampung, Kalbar
dan Jatim, mendapatkan hasil bahwa 696 dari siswa SLTA (13,94 %) tersebut
mengalami kesulitan dalam aktivitas belajar umum, dan 479 di antaranya
disebabkan oleh gangguan tingkah laku misalnya nakal, sulit diatur, suka
melawan, sering membolos dan berperilaku antisosial. Siswa dengan gangguan
tingkah laku ini seringkali mempunyai prestasi akademik di bawah taraf yang
diperkirakan (Wiguna, 2000)
Kartono, (1985) menyatakan bahwa penyesuaian sosial adalah
keberhasilan seseorang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap orang
lain pada umumnya dan pada kelompok pada khususnya. Penyesuaian sosial
dalam arti umum adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan
ataupun mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan sendiri. Dengan demikian
penyesuaian ada yang berarti “pasif” dimana individu yang dipengaruhi
lingkungan dan ada yang berarti “aktif” dimana individu yang mempengaruhi
lingkungan (Gerungan, 1987).
Menurut Mappiare (1982) penyesuaian sosial adalah kemampuan individu
untuk berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan sekitar dalam rangka
memenuhi kebutuhan untuk dapat diterima oleh orang lain baik sesama jenis
kelamin atau lawan jenis agar memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga.
Ketika individu mulai bergaul dengan orang lain, individu tidak lagi hanya
menerima, tapi individu juga dapat memberikan kontak sosial. Individu mulai
mengerti bahwa di dalam suatu kelompok terdapat norma-norma sosial yang
hendaknya dipatuhi dengan rela agar dapat melanjutkan hubungan dengan
kelompok tertentu secara lancar.
Menurut Meichati (1983) penyesuaian dapat berlangsung karena ada
dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan, dimana dalam pemenuhan
kebutuhan itu manusia berusaha mencapai keseimbangan antara tuntutan sosial
dengan harapan yang ada didalam dirinya. Dengan adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan maka individu dituntut untuk berinteraksi dengan individu
lain dan didalamnya akan terjadi proses saling mempengaruhi yang silih berganti
antara anggota-anggotanya.
Agar berhasil membina hubungan sosial dengan lingkungannya remaja
harus berperilaku asertif. Karena perilaku asertif merupakan salah satu faktor yang
penting agar seseorang mampu melakukan komunikasi yang bermakna dan
menyenangkan dengan orang lain. Komunikasi yang bermakna adalah
keterbukaan percakapan yang realistik, misal dapat mengkomunikasikan dengan
baik pikiran, perasaan, kesalahan atau kegagalan, masalah dan jalan keluarnya
kepada orang lain. Perilaku asertif dapat membantu seseorang dalam penyesuaian
sosial di masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam proses penyesuaian sosial
dibutuhkan keterbukaan, kesadaran diri, kemampuan menyesuaikan diri dan
perhatian terhadap hak-hak orang lain (Calhoun dan Acoccela, 1995).
Perilaku asertif sangat diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang lain
sebab sebagai makhluk sosial yang sepanjang hidupnya selalu terlibat dengan
orang lain maka disadari atau tidak kemampuan berhubungan dengan orang lain
sangat dibutuhkan oleh manusia. Kemampuan berkomunikasi atau berhubungan
dengan orang lain memiliki andil yang besar baik di lingkungan sekolah,
pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan pendapat Agustin
(1993) bahwa perilaku asertif dapat menolong seseorang untuk
mengkomunikasikan secara jelas dan tegas atas kebutuhan-kebutuhan, keinginan
dan perasaan kepada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas nampaklah bahwa perilaku asertif mempunyai
peranan yang penting bagi penyesuaian sosial. Bila individu berperilaku asertif,
mampu menyatakan perasaan dan keyakinan secara terbuka, langsung, jujur dan
sebagaimana mestinya akan mengembangkan dirinya lebih percaya diri, lebih
luwes, dan ramah serta lebih pandai bergaul sehingga akan memiliki penyesuaian
sosial yang baik.
Mengacu dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan
masalah adalah: apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan penyesuaian
sosial pada remaja. Dari rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk
mengkaji secara empirik dengan melaksanakan penelitian dengan judul
“Hubungan antara perilaku asertif dengan penyesuaian sosial pada remaja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif dengan penyesuaian sosial
pada remaja.
2. Untuk mengetahui sejauhmana kondisi perilaku asertif pada subjek penelitian.
3. Untuk mengetahui sejauhmana kondisi penyesuaian sosial pada subjek
penelitian.
C. Manfaat Penelitian
Apabila hipotesis penelitian ini terbukti maka diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :