BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
persaingan di berbagai bidangpun semakin ketat termasuk di bidang industri,
dalam rangka menghadapi hal tersebut, maka suatu organisasi perlu meningkatkan
kualitas manusia sebagai penentu keberhasilan suatu perusahaan karena secanggih
apapun sarana kerja tanpa adanya fungsi tenaga kerja manusia, maka tidak akan
berarti keberadaan perusahan itu (As’ad, 1995).
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan pernyataan emosional yang
positif atau menyenangkan sebagai akibat dari apresiasi pekerja terhadap
pekerjaan tertentu (Locke, 1976). Saat ini studi yang berkaitan dengan kepuasan
kerja menjadi perhatian utama dalam penelitian bidang perilaku organisasional,
manajemen sumber daya manusia dan akuntansi manajemen (akuntansi perilaku).
Alasan yang dapat dikemukakan di sini, bahwa menurut Reggio (Yusriyanti Nur
Farida, 2003) kepuasan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kepuasan hidup pekerja karena sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja.
Penelitian-penelitian mengenai kepuasan kerja umumnya menguji kaitan antara
kepuasan kerja dengan implikasi atau konsekuensinya dan faktor-faktor
penyebabnya. Implikasi kepuasan kerja sering dikaitkan dengan peningkatan kerja
individual, kinerja organisasional, tingkat perputaran kerja dan kemangkiran
(Luthan, 1998).
Timbulnya kepuasan kerja yang diharapkan karyawan dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Manullang (dalam Radiq, 1998) menerangkan bahwa
seseorang akan dapat mencapai kepuasan kerja apabila kekecewaan di dalam
pekerjaan dapat dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Burt (dalam As’ad, 1987) bahwa faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja itu tidak hanya satu namun ada beberapa faktor antara lain :
1. Faktor hubungan antar karyawan, dimana terdiri dari hubungan antara
manajer dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja hubungan sosial
diantara karyawan, sugesti dari teman sekerja, serta emosi dan situasi
kerja.
2. Faktor individual dimana terdiri dari sikap orang terhadap pekerjaannya,
umur orang sewaktu bekerja dan jenis kelamin.
3. Faktor luar seperti keadaan keluarga, rekreasi dan pendidikan.
Berdasarkan dari kutipan jurnal Yusriyati Nur Farida (2003)
menerangkan bahwa kepuasan kerja pada dasarnya merupakan pernyataan
emosional yang positif atau menyenangkan sebagai akibat dari apresiasi pekerja
terhadap pekerjaan tertentu (Locke, 1976). Alasan yang dapat dikemukakan disini,
bahwa kepuasan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepuasan
hidup pekerja karena sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja, menurut
Reggio (Yusriyanti Nur Farida, 2003). Penelitian-penelitian mengenai kepuasan
kerja sering dikaitkan dengan peningkatan kerja individual, kerja kinerja
organisasional, tingkat perputaran kerja dan kemangkiran (Luthan, 1998). Salah
satu perilaku dari gaya kepemimpinan adalah adanya suatu tekanan atau
kebijaksanaan dari atasan kepada bawahan, yang menyebabkan adanya suatu
ketidaknyamanan kerja (job insecurity).
Berdasarkan hasil penelitian Greenhalgh dan Rosenblatt (1989) tersebut
maka dapat diketahui bahwa ketidaknyamanan kerja terdiri dari ancaman atas
faktor-faktor kompensasi. Menurut Anthony dan Govndarajan (1998) kompensasi
terdiri dari dua jenis yaitu, kompensasi finansial dan kompensasi sosial dan
psikologi. Jadi factor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu kompensasi
finansial yang terdiri dari gaji, bonus, benefit dan penghasilan (perquisites)
kemudian kompensasi sosial dan kompensasi psikologi yang terdiri dari promosi,
pemberian tanggung jawab yang lebih tinggi, pemberian otonomi, menempatkan
wilayah yang lebih baik serta pengakuan. Berdasarkan hal ini terdapat pengaruh
yang signifikan negatif antara ketidaknyamanan kerja dengan kepuasan kerja,
terdapat pengaruh yang positif antara kompensasi dengan kepuasan kerja dan
terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kompensasi dengan
ketidaknyamanan kerja (Yusriyati Nur Farida, 2003). Kepuasan kerja seseorang
karyawan dapat diperoleh dari sikap seorang pemimpin, maka sebuah perusahaan
atau organisasi agar dapat berjalan lancar diperlukan seorang pemimpin, yaitu
orang yang mampu mempengaruhi orang lain dan sekaligus mempunyai
wewenang manajerial dalam organisasi atau perusahaan (Mansoer, 1989).
Seorang pemimpin dalam memimpin anggotanya memerlukan gaya
kepemimpinan, sebab setiap gaya dalam kepemimpinan mempunyai ciri dan
perilaku khas yang membedakan antara gaya kepemimpinan satu dengan lainnya.
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda
dalam mengatur bawahannya. Berbagai gaya kepemimpinan yang ada tidak
mengharuskan seorang pemimpin menganut gaya kepemimpinan yang tunggal
(Flippo, 1997), maksudnya pemimpin tidak harus memilih suatu gaya
kepemimpinan yang benar-benar otokratik yang berbeda. Sistem pada organisasi
kerja, karyawan mendapat perintah, di atur dan di awasi oleh atasan. Mengatur,
mengawasi dan memberi yang jelas dan dapat dipahami oleh bawahan, juga cara
memerintah yang baik agar tidak menyingung perasaan bawahan yang akan
melaksanakannya. Diharapkan dengan cara tersebut karyawan bisa bekerja dengan
baik. Tetapi kadangkala atasan memberikan perintah dengan nada dan sikap yang
tidak menghargai kepada bawahan, sehingga akan menyebabkan bawahan tidak
puas dengan atasannya dan akan mempengaruhi hasil kerjanya.
Dua teori yang diambil dari kutipan Hardini (2001) yang menyebutkan
bahwa keberadaan pemimpin dalam perusahaan adalah sangat penting karena ia
memiliki peranan yang sangat strategis dalam mencapai tujuan perusahaan.
Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena
tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Jika
seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang
tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya kepemimpinan yang
tepat akan menimbulkan motivasi seseorang untuk berprestasi. Sukses tidaknya
karyawan dalam prestasi kerja dapat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan
atasannya (Thoha, 1995). Untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan, dalam
suatu perusahaan diperlukan kepemimpinan yang efektif. Corak atau gaya
kepemimpinan (leader ship style) seorang pemimpin akan sangat berpengaruh
terhadap afektifitas kegiatan perusahaan yang selanjutnya dapat mengarah pada
pencapaian tujuan perusahaan. Karyawan akan menilai dengan sendiri pola
kepemimpinan yang ditetapkan oleh atasannya, dan hal ini tidak bisa diabaikan.
Perbedaan gaya kepemimpinan dalam organisasi akan mempunyai pengaruh yang
berbeda pula pada partisipasi individu dan perilaku kelompok. Cara pandang
karyawan terhadap gaya kepemimpinan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh
subjektifitas karyawan yang bersangkutan, diantaranya adalah persepsi. Pada
penelitian ini gaya kepemimpinan yang akan diungkap adalah gaya kepemimpinan
otoriter.
Persepsi otoriter pada karyawan sendiri dapat dipersepsikan berbeda
antara karyawan yang satu dengan yang lain. Otoriter yang menurut Laswell, dkk
(As’ad, 1995) menyatakan otoriter adalah suatu kemampuan perilaku untuk
mempengaruhi tingkah laku sedemikian rupa, sehingga tingkah laku menjadi
sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasan.
Perusahaan yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang otoriter
terkadang cukup sukses dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan.
Hal ini dikarenakan pemimpin yang memiliki karakter gaya kepemimpinan
otoriter dapat mengontrol secara penuh. Jalannya produksi yang ada pada suatu
perusahaan. Segala aspek yang menunjang oprasional dari suatu proses produksi
benar-benar dibawah kendali pemimpin, termasuk didalamnya adalah karyawan.
Seorang pemimpin harus mengerti bahwa kepemimpinan, motivasi kerja dan
kualitas komunikasi merupakan suatu sistem di mana sikap hanyalah suatu
komponen saja dalam sistem. Komunikasi memegang peran yang sangat vital
dalam organisasi atau perusahaan, karena tenaga kerja berperan sebagai subyek
bagi berlangsungnya perusahaan. komunikasi seorang pemimpin dapat dengan mudah
menginterprestasikan kebutuhan yang ada dalam diri mereka (inner needs) ke
dalam tindakan (action). Siska, Sudardjo & Esti Hayu Purnamaningsih (2003)
mengungkapkan bahwa komunikasi interpersonal terjadi ketika seseorang
berkomunikasi secara langsung dengan orang lain dalam situasi one-to-one atau
dalam kelompok-kelompok kecil. Masalah yang berhubungan dengan kualitas
komunikasi menunjukkan bahwa jika kualitas komunikasi semakin baik, maka
produktivitas kerja pegawai akan meningkat secara bermakna (Bambang Setiaji &
Reni Ratnasari, 2001). Komunikasi secara interpersonal dengan masing-masing
anggota dalam perusahaan dapat saling mengkoordinasikan tingkah laku mereka
sehingga dapat secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Komunikasi yang terjalin dengan lancar, akan mendukung terciptanya suasana
hangat dalam proses pelaksanaan kerja.
Komunikasi merupakan hal yang amat penting dalam perilaku
organisasi. Sayangnya, komunikasi yang amat penting ini jarang dapat dimengerti
secara jelas sehingga menimbulkan beberapa hambatan. Komunikasi tidak sekedar
proses penyampaian informasi yang simbol-simbolnya dapat dilihat, didengar dan
dimengerti, tetapi proses penyampaian informasi secara keseluruhan termasuk di
dalamnya perasaan dan sikap dari orang yang menyampaikan tersebut. Didalam
praktek organisasi, komunikasi yang efektif merupakan prasyarat terbinanya
kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan organisasi, walaupun demikian
komunikasi akan tetap merupakan persoalan yang besar yang harus dihadapi oleh
setiap organisasi. Komunikasi acapkali dipergunakan sebagai alasan terjadinya
setiap persoalan di dunia ini.
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi pertanyaan penelitian
adalah “Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan
otoriter dan komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja”. Sehubungan
dengan pertanyaan penelitian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul “Hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan
otoriter dan komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja”.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
PENDAHULUAN
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
persaingan di berbagai bidangpun semakin ketat termasuk di bidang industri,
dalam rangka menghadapi hal tersebut, maka suatu organisasi perlu meningkatkan
kualitas manusia sebagai penentu keberhasilan suatu perusahaan karena secanggih
apapun sarana kerja tanpa adanya fungsi tenaga kerja manusia, maka tidak akan
berarti keberadaan perusahan itu (As’ad, 1995).
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan pernyataan emosional yang
positif atau menyenangkan sebagai akibat dari apresiasi pekerja terhadap
pekerjaan tertentu (Locke, 1976). Saat ini studi yang berkaitan dengan kepuasan
kerja menjadi perhatian utama dalam penelitian bidang perilaku organisasional,
manajemen sumber daya manusia dan akuntansi manajemen (akuntansi perilaku).
Alasan yang dapat dikemukakan di sini, bahwa menurut Reggio (Yusriyanti Nur
Farida, 2003) kepuasan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kepuasan hidup pekerja karena sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja.
Penelitian-penelitian mengenai kepuasan kerja umumnya menguji kaitan antara
kepuasan kerja dengan implikasi atau konsekuensinya dan faktor-faktor
penyebabnya. Implikasi kepuasan kerja sering dikaitkan dengan peningkatan kerja
individual, kinerja organisasional, tingkat perputaran kerja dan kemangkiran
(Luthan, 1998).
Timbulnya kepuasan kerja yang diharapkan karyawan dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Manullang (dalam Radiq, 1998) menerangkan bahwa
seseorang akan dapat mencapai kepuasan kerja apabila kekecewaan di dalam
pekerjaan dapat dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Burt (dalam As’ad, 1987) bahwa faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja itu tidak hanya satu namun ada beberapa faktor antara lain :
1. Faktor hubungan antar karyawan, dimana terdiri dari hubungan antara
manajer dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja hubungan sosial
diantara karyawan, sugesti dari teman sekerja, serta emosi dan situasi
kerja.
2. Faktor individual dimana terdiri dari sikap orang terhadap pekerjaannya,
umur orang sewaktu bekerja dan jenis kelamin.
3. Faktor luar seperti keadaan keluarga, rekreasi dan pendidikan.
Berdasarkan dari kutipan jurnal Yusriyati Nur Farida (2003)
menerangkan bahwa kepuasan kerja pada dasarnya merupakan pernyataan
emosional yang positif atau menyenangkan sebagai akibat dari apresiasi pekerja
terhadap pekerjaan tertentu (Locke, 1976). Alasan yang dapat dikemukakan disini,
bahwa kepuasan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepuasan
hidup pekerja karena sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja, menurut
Reggio (Yusriyanti Nur Farida, 2003). Penelitian-penelitian mengenai kepuasan
kerja sering dikaitkan dengan peningkatan kerja individual, kerja kinerja
organisasional, tingkat perputaran kerja dan kemangkiran (Luthan, 1998). Salah
satu perilaku dari gaya kepemimpinan adalah adanya suatu tekanan atau
kebijaksanaan dari atasan kepada bawahan, yang menyebabkan adanya suatu
ketidaknyamanan kerja (job insecurity).
Berdasarkan hasil penelitian Greenhalgh dan Rosenblatt (1989) tersebut
maka dapat diketahui bahwa ketidaknyamanan kerja terdiri dari ancaman atas
faktor-faktor kompensasi. Menurut Anthony dan Govndarajan (1998) kompensasi
terdiri dari dua jenis yaitu, kompensasi finansial dan kompensasi sosial dan
psikologi. Jadi factor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu kompensasi
finansial yang terdiri dari gaji, bonus, benefit dan penghasilan (perquisites)
kemudian kompensasi sosial dan kompensasi psikologi yang terdiri dari promosi,
pemberian tanggung jawab yang lebih tinggi, pemberian otonomi, menempatkan
wilayah yang lebih baik serta pengakuan. Berdasarkan hal ini terdapat pengaruh
yang signifikan negatif antara ketidaknyamanan kerja dengan kepuasan kerja,
terdapat pengaruh yang positif antara kompensasi dengan kepuasan kerja dan
terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kompensasi dengan
ketidaknyamanan kerja (Yusriyati Nur Farida, 2003). Kepuasan kerja seseorang
karyawan dapat diperoleh dari sikap seorang pemimpin, maka sebuah perusahaan
atau organisasi agar dapat berjalan lancar diperlukan seorang pemimpin, yaitu
orang yang mampu mempengaruhi orang lain dan sekaligus mempunyai
wewenang manajerial dalam organisasi atau perusahaan (Mansoer, 1989).
Seorang pemimpin dalam memimpin anggotanya memerlukan gaya
kepemimpinan, sebab setiap gaya dalam kepemimpinan mempunyai ciri dan
perilaku khas yang membedakan antara gaya kepemimpinan satu dengan lainnya.
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda
dalam mengatur bawahannya. Berbagai gaya kepemimpinan yang ada tidak
mengharuskan seorang pemimpin menganut gaya kepemimpinan yang tunggal
(Flippo, 1997), maksudnya pemimpin tidak harus memilih suatu gaya
kepemimpinan yang benar-benar otokratik yang berbeda. Sistem pada organisasi
kerja, karyawan mendapat perintah, di atur dan di awasi oleh atasan. Mengatur,
mengawasi dan memberi yang jelas dan dapat dipahami oleh bawahan, juga cara
memerintah yang baik agar tidak menyingung perasaan bawahan yang akan
melaksanakannya. Diharapkan dengan cara tersebut karyawan bisa bekerja dengan
baik. Tetapi kadangkala atasan memberikan perintah dengan nada dan sikap yang
tidak menghargai kepada bawahan, sehingga akan menyebabkan bawahan tidak
puas dengan atasannya dan akan mempengaruhi hasil kerjanya.
Dua teori yang diambil dari kutipan Hardini (2001) yang menyebutkan
bahwa keberadaan pemimpin dalam perusahaan adalah sangat penting karena ia
memiliki peranan yang sangat strategis dalam mencapai tujuan perusahaan.
Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena
tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Jika
seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang
tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya kepemimpinan yang
tepat akan menimbulkan motivasi seseorang untuk berprestasi. Sukses tidaknya
karyawan dalam prestasi kerja dapat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan
atasannya (Thoha, 1995). Untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan, dalam
suatu perusahaan diperlukan kepemimpinan yang efektif. Corak atau gaya
kepemimpinan (leader ship style) seorang pemimpin akan sangat berpengaruh
terhadap afektifitas kegiatan perusahaan yang selanjutnya dapat mengarah pada
pencapaian tujuan perusahaan. Karyawan akan menilai dengan sendiri pola
kepemimpinan yang ditetapkan oleh atasannya, dan hal ini tidak bisa diabaikan.
Perbedaan gaya kepemimpinan dalam organisasi akan mempunyai pengaruh yang
berbeda pula pada partisipasi individu dan perilaku kelompok. Cara pandang
karyawan terhadap gaya kepemimpinan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh
subjektifitas karyawan yang bersangkutan, diantaranya adalah persepsi. Pada
penelitian ini gaya kepemimpinan yang akan diungkap adalah gaya kepemimpinan
otoriter.
Persepsi otoriter pada karyawan sendiri dapat dipersepsikan berbeda
antara karyawan yang satu dengan yang lain. Otoriter yang menurut Laswell, dkk
(As’ad, 1995) menyatakan otoriter adalah suatu kemampuan perilaku untuk
mempengaruhi tingkah laku sedemikian rupa, sehingga tingkah laku menjadi
sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasan.
Perusahaan yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang otoriter
terkadang cukup sukses dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan.
Hal ini dikarenakan pemimpin yang memiliki karakter gaya kepemimpinan
otoriter dapat mengontrol secara penuh. Jalannya produksi yang ada pada suatu
perusahaan. Segala aspek yang menunjang oprasional dari suatu proses produksi
benar-benar dibawah kendali pemimpin, termasuk didalamnya adalah karyawan.
Seorang pemimpin harus mengerti bahwa kepemimpinan, motivasi kerja dan
kualitas komunikasi merupakan suatu sistem di mana sikap hanyalah suatu
komponen saja dalam sistem. Komunikasi memegang peran yang sangat vital
dalam organisasi atau perusahaan, karena tenaga kerja berperan sebagai subyek
bagi berlangsungnya perusahaan. komunikasi seorang pemimpin dapat dengan mudah
menginterprestasikan kebutuhan yang ada dalam diri mereka (inner needs) ke
dalam tindakan (action). Siska, Sudardjo & Esti Hayu Purnamaningsih (2003)
mengungkapkan bahwa komunikasi interpersonal terjadi ketika seseorang
berkomunikasi secara langsung dengan orang lain dalam situasi one-to-one atau
dalam kelompok-kelompok kecil. Masalah yang berhubungan dengan kualitas
komunikasi menunjukkan bahwa jika kualitas komunikasi semakin baik, maka
produktivitas kerja pegawai akan meningkat secara bermakna (Bambang Setiaji &
Reni Ratnasari, 2001). Komunikasi secara interpersonal dengan masing-masing
anggota dalam perusahaan dapat saling mengkoordinasikan tingkah laku mereka
sehingga dapat secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Komunikasi yang terjalin dengan lancar, akan mendukung terciptanya suasana
hangat dalam proses pelaksanaan kerja.
Komunikasi merupakan hal yang amat penting dalam perilaku
organisasi. Sayangnya, komunikasi yang amat penting ini jarang dapat dimengerti
secara jelas sehingga menimbulkan beberapa hambatan. Komunikasi tidak sekedar
proses penyampaian informasi yang simbol-simbolnya dapat dilihat, didengar dan
dimengerti, tetapi proses penyampaian informasi secara keseluruhan termasuk di
dalamnya perasaan dan sikap dari orang yang menyampaikan tersebut. Didalam
praktek organisasi, komunikasi yang efektif merupakan prasyarat terbinanya
kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan organisasi, walaupun demikian
komunikasi akan tetap merupakan persoalan yang besar yang harus dihadapi oleh
setiap organisasi. Komunikasi acapkali dipergunakan sebagai alasan terjadinya
setiap persoalan di dunia ini.
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi pertanyaan penelitian
adalah “Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan
otoriter dan komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja”. Sehubungan
dengan pertanyaan penelitian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul “Hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan
otoriter dan komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja”.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :