BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika karyawan mulai memasuki dunia kerja untuk pertama kali apakah ia
membayangkan kelak ketika usia memasuki senja, jabatan apakah yang dipegang?
Tentu hal ini tidak mudah karena 20 atau 30 tahun lagi situasi mungkin sudah
berubah sama sekali. Meramalkan jabatan apa saja yang akan dipegang selama
perjalanan hidup memang tidak mudah. Karyawan tidak mengetahui ‘ujung’ dari
perjalan karir, karena perubahan yang demikian cepat. Perubahan yang cepat
menjadikan asumsi-asumsi yang dipakai untuk meramalkan masa depan menjadi
tidak valid. Misalnya seorang sekretaris yang telah bekerja selama sepuluh tahun, dan
telah menduduki posisi senior secretary bertanya kepada dirinya sendiri apakah
sepuluh tahun lagi saya akan tetap menjadi sekretaris ?. Pada kenyataannya, seorang
yang pada awal karirnya menduduki posisi sekretaris, kemudian melewati banyak
situasi dan peluang yang terhampar selama menyusuri perjalanan karirnya dapat
berbelok, dan banyak diantaranya yang melompat menduduki jabatan
manajerial. Tetapi banyak pula yang tetap di jalur profesi sekretaris, karena
mengalami stagnasi dalam perkembangan karirnya. Tentu saja hal ini perlu diketahui
mengapa karyawan tersebut tidak dapat meningkat karirnya.
Aktivitas individu dalam perusahaan tidak dapat dipisahkan dari masalah
kerja, kerja sebagai salah satu perwujudan aktivitasnya, baik fisik maupun mental.
Bekerja merupakan suatu kegiatan yang unik, menyangkut aspek fisiologis,
psikologis, ekonomi, masyarakat, kematangan kepribadian dan aspek kekuasaan,
sehingga dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan dan
kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik yang
bersifat fisik, psikologis, maupun sosial. Kesempatan yang ditawarkan oleh
organisasi merupakan kebutuhan psikologis karyawan yang terwujud dalam bentuk
kedudukan. Kedudukan yang diberikan organisasi merupakan apa yang sering disebut
jenjang karir.
Karir merupakan suatu hal yang penting karena dapat memperkuat dan
meningkatkan identitas dan status individu, serta meningkatkan harga diri, karir juga
merupakan rangkaian pengalaman peran yang apabila diurut dengan tepat menuju
pada tingkat tanggung jawab, status, kekuasaan dan ganjaran. Namun untuk
mencapai tingkat karir tertentu bukanlah suatu hal yang sederhana. Pengembangan
karir seringkali tidak diterima secara positif oleh pimpinan. Hal ini dapat dipengaruhi
gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh atasan di perusahaan (Handoko dalam
Muhyi, 2005).
Peran kepemimpinan sangat diperlukan bagi pengembangan karir karyawan.
Menurut Suwandi (dalam Suranta, 2002) keberadaan pemimpin dalam perusahaan
adalah sangat penting karena ia memiliki peranan yang sangat strategis dalam
mencapai tujuan perusahaan. Kepemimpinan merupakan tulang punggung
pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk
mencapai tujuan organisasi.
Gaya kepempimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh
seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.
DeGroot (Suranta, 2002) melakukan studi untuk menguji hubungan antara gaya
kepimpinan kharismatik dan keefektifan kepemimpinan, kinerja bawahan, kepuasan
bawahan usaha bawahan dan komitmen bawahan. Hasil riset tersebut menyatakan
bahwa kepemimpinan kharismatik lebih efektif pada saat kinerja kelompok
meningkat dibandingkan pada saat kinerja individual meningkat.
Munculnya konflik dalam karir seseorang merupakan indikasi lemahnya
perencanaan dan pengembangan karir sebuah organisasi. Konflik ini akhirnya akan
mengurangi produktivitas kerja, keterlibatan dalam pekerjaan atau bahkan
memunculkan kasus-kasus perpindahan kerja yang tidak diinginkan (Yuwono, 2000).
Masalah-masalah akan timbul dalam lingkungan perusahaan apabila
hubungan kerjasama serta pola kepemimpinan terhadap karyawan tidak harmonis,
sehingga menyebabkan, karyawan bekerja tidak optimal, timbulnya kasus-kasus
indisipliner kerja dan pada keadaan lebih lanjut akan menyebabkan tingginya angka
keluar karyawan dari pekerjaannya. Hal-hal semacam ini akan membawa pengaruh
yang sangat buruk bagi karir karyawan dan kelangsungan perusahaan.
Sebagai contoh misalnya tentang keputusan mendadak yang dikeluarkan
direksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) perusahaan penerbangan terbesar di Asia
Tenggara itu. Surat Keputusan No. SKEP/0598/030.02/PTD/UT0000/03 tertanggal
11 Juli 2003 yang diteken Dirut Edwin Soedarmo itu berisi program merumahkan
karyawan. Itu berarti sejak 12 Juli 2003 pukul 00.00 WIB, seluruh karyawan yang
berjumlah 9.643 orang itu tak perlu lagi masuk kerja. Mereka cukup diam di rumah
dan memperoleh gaji seperti biasanya hingga 6 bulan mendatang. Kedengarannya
istilah merumahkan ini terkesan arif. Padahal, kalau ditengok lebih dalam hal itu tak
lebih merupakan "bab pendahuluan" dari sesuatu yang tak mengenakkan karyawan
(pekerja), yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) (Tempo, 2003).
Pada peristiwa lain perusahaan raksasa tekstil dan industri otomotif PT
Texmaco Group yang konon sempat memegang predikat terbesar se-Asia Tenggara
itu, juga mengalami kekacauan yang hebat. Sebab 50.000 karyawan di bawah grup
industri strategis yang berada di sejumlah kota di tiga provinsi, yaitu Jateng, Jatim,
dan Jabar itu akan menganggur atau kehilangan pekerjaan. Di samping itu
dampaknya dirasakan pula oleh ribuan penyalur atau distributor barang yang
berhubungan dengan pabrik itu, dan membawa multiplier effect terhadap ribuan
tenaga kerja. Bahkan jika diperhitungan, sekitar 200.000 keluarga buruh industri itu
akan terkena dampaknya jika terjadi PHK. Terpuruknya usaha perusahaan Texmaco
yang dipimpin Marimutu Sinivasan, antara lain karena kesalahan manajemen
perusahaan tersebut dan membengkaknya utang Texmaco. Terkait hal tersebut
menurut Berita Mingguan TEMPO (2003) kebangkrutan disebabkan juga karena
dugaan korupsi yang dilakukan pimpinan perusahaan Marimutu Sinivasan.
Salah satu gaya kepemimpinan yang efektif adalah gaya kepemimpinan
transformasional karena pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini akan mendorong
kemampuan mengambil keputusan dari para bawahannya. Pemimpin yang
menggunakan gaya kepemimpinan transformasional akan mencari berbagai pendapat
dan pemikiran dari para bawahan mengenai keputusan yang akan diambil. Ia akan
secara serius mendengarkan dan menilai pikiran-pikiran para bawahannya dan
menerima sumbangan pikiran mereka, sejauh pemikiran tersebut dapat dilaksanakan.
Para bawahan juga didorong untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan diri
dan menerima tanggungjawab lebih besar. Partisipasi karyawan dalam pengambilan
keputusan akan mempunyai dampak pada peningkatan hubungan manager dengan
bawahan, pencapaian kepuasan kerja serta peningkatan motivasi kerja karyawan.
Fenomena dalam dunia industri dan organisasi yang sering terlihat dewasa ini
adalah banyaknya kasus-kasus pekerjaan baik itu yang berkaitan dengan pekerja atau
buruh perusahaan maupun berkaitan dengan manajemen perusahaan secara
keseluruhan. yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pimpinan maupun
karyawan itu sendiri. Bagaimanakah peran gaya kepemimpinan transformasional
terhadap motivasi mengembangkan karir pada karyawan perlu dikupas lebih dalam
lagi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka rumusan masalah yang dibuat adalah:
Apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan
transformasional dengan motivasi mengembangkan karir? Mengacu dari rumusan
masalah tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:
Hubungan antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan
Motivasi Mengembangkan Karir.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika karyawan mulai memasuki dunia kerja untuk pertama kali apakah ia
membayangkan kelak ketika usia memasuki senja, jabatan apakah yang dipegang?
Tentu hal ini tidak mudah karena 20 atau 30 tahun lagi situasi mungkin sudah
berubah sama sekali. Meramalkan jabatan apa saja yang akan dipegang selama
perjalanan hidup memang tidak mudah. Karyawan tidak mengetahui ‘ujung’ dari
perjalan karir, karena perubahan yang demikian cepat. Perubahan yang cepat
menjadikan asumsi-asumsi yang dipakai untuk meramalkan masa depan menjadi
tidak valid. Misalnya seorang sekretaris yang telah bekerja selama sepuluh tahun, dan
telah menduduki posisi senior secretary bertanya kepada dirinya sendiri apakah
sepuluh tahun lagi saya akan tetap menjadi sekretaris ?. Pada kenyataannya, seorang
yang pada awal karirnya menduduki posisi sekretaris, kemudian melewati banyak
situasi dan peluang yang terhampar selama menyusuri perjalanan karirnya dapat
berbelok, dan banyak diantaranya yang melompat menduduki jabatan
manajerial. Tetapi banyak pula yang tetap di jalur profesi sekretaris, karena
mengalami stagnasi dalam perkembangan karirnya. Tentu saja hal ini perlu diketahui
mengapa karyawan tersebut tidak dapat meningkat karirnya.
Aktivitas individu dalam perusahaan tidak dapat dipisahkan dari masalah
kerja, kerja sebagai salah satu perwujudan aktivitasnya, baik fisik maupun mental.
Bekerja merupakan suatu kegiatan yang unik, menyangkut aspek fisiologis,
psikologis, ekonomi, masyarakat, kematangan kepribadian dan aspek kekuasaan,
sehingga dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan dan
kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik yang
bersifat fisik, psikologis, maupun sosial. Kesempatan yang ditawarkan oleh
organisasi merupakan kebutuhan psikologis karyawan yang terwujud dalam bentuk
kedudukan. Kedudukan yang diberikan organisasi merupakan apa yang sering disebut
jenjang karir.
Karir merupakan suatu hal yang penting karena dapat memperkuat dan
meningkatkan identitas dan status individu, serta meningkatkan harga diri, karir juga
merupakan rangkaian pengalaman peran yang apabila diurut dengan tepat menuju
pada tingkat tanggung jawab, status, kekuasaan dan ganjaran. Namun untuk
mencapai tingkat karir tertentu bukanlah suatu hal yang sederhana. Pengembangan
karir seringkali tidak diterima secara positif oleh pimpinan. Hal ini dapat dipengaruhi
gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh atasan di perusahaan (Handoko dalam
Muhyi, 2005).
Peran kepemimpinan sangat diperlukan bagi pengembangan karir karyawan.
Menurut Suwandi (dalam Suranta, 2002) keberadaan pemimpin dalam perusahaan
adalah sangat penting karena ia memiliki peranan yang sangat strategis dalam
mencapai tujuan perusahaan. Kepemimpinan merupakan tulang punggung
pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk
mencapai tujuan organisasi.
Gaya kepempimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh
seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.
DeGroot (Suranta, 2002) melakukan studi untuk menguji hubungan antara gaya
kepimpinan kharismatik dan keefektifan kepemimpinan, kinerja bawahan, kepuasan
bawahan usaha bawahan dan komitmen bawahan. Hasil riset tersebut menyatakan
bahwa kepemimpinan kharismatik lebih efektif pada saat kinerja kelompok
meningkat dibandingkan pada saat kinerja individual meningkat.
Munculnya konflik dalam karir seseorang merupakan indikasi lemahnya
perencanaan dan pengembangan karir sebuah organisasi. Konflik ini akhirnya akan
mengurangi produktivitas kerja, keterlibatan dalam pekerjaan atau bahkan
memunculkan kasus-kasus perpindahan kerja yang tidak diinginkan (Yuwono, 2000).
Masalah-masalah akan timbul dalam lingkungan perusahaan apabila
hubungan kerjasama serta pola kepemimpinan terhadap karyawan tidak harmonis,
sehingga menyebabkan, karyawan bekerja tidak optimal, timbulnya kasus-kasus
indisipliner kerja dan pada keadaan lebih lanjut akan menyebabkan tingginya angka
keluar karyawan dari pekerjaannya. Hal-hal semacam ini akan membawa pengaruh
yang sangat buruk bagi karir karyawan dan kelangsungan perusahaan.
Sebagai contoh misalnya tentang keputusan mendadak yang dikeluarkan
direksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) perusahaan penerbangan terbesar di Asia
Tenggara itu. Surat Keputusan No. SKEP/0598/030.02/PTD/UT0000/03 tertanggal
11 Juli 2003 yang diteken Dirut Edwin Soedarmo itu berisi program merumahkan
karyawan. Itu berarti sejak 12 Juli 2003 pukul 00.00 WIB, seluruh karyawan yang
berjumlah 9.643 orang itu tak perlu lagi masuk kerja. Mereka cukup diam di rumah
dan memperoleh gaji seperti biasanya hingga 6 bulan mendatang. Kedengarannya
istilah merumahkan ini terkesan arif. Padahal, kalau ditengok lebih dalam hal itu tak
lebih merupakan "bab pendahuluan" dari sesuatu yang tak mengenakkan karyawan
(pekerja), yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) (Tempo, 2003).
Pada peristiwa lain perusahaan raksasa tekstil dan industri otomotif PT
Texmaco Group yang konon sempat memegang predikat terbesar se-Asia Tenggara
itu, juga mengalami kekacauan yang hebat. Sebab 50.000 karyawan di bawah grup
industri strategis yang berada di sejumlah kota di tiga provinsi, yaitu Jateng, Jatim,
dan Jabar itu akan menganggur atau kehilangan pekerjaan. Di samping itu
dampaknya dirasakan pula oleh ribuan penyalur atau distributor barang yang
berhubungan dengan pabrik itu, dan membawa multiplier effect terhadap ribuan
tenaga kerja. Bahkan jika diperhitungan, sekitar 200.000 keluarga buruh industri itu
akan terkena dampaknya jika terjadi PHK. Terpuruknya usaha perusahaan Texmaco
yang dipimpin Marimutu Sinivasan, antara lain karena kesalahan manajemen
perusahaan tersebut dan membengkaknya utang Texmaco. Terkait hal tersebut
menurut Berita Mingguan TEMPO (2003) kebangkrutan disebabkan juga karena
dugaan korupsi yang dilakukan pimpinan perusahaan Marimutu Sinivasan.
Salah satu gaya kepemimpinan yang efektif adalah gaya kepemimpinan
transformasional karena pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini akan mendorong
kemampuan mengambil keputusan dari para bawahannya. Pemimpin yang
menggunakan gaya kepemimpinan transformasional akan mencari berbagai pendapat
dan pemikiran dari para bawahan mengenai keputusan yang akan diambil. Ia akan
secara serius mendengarkan dan menilai pikiran-pikiran para bawahannya dan
menerima sumbangan pikiran mereka, sejauh pemikiran tersebut dapat dilaksanakan.
Para bawahan juga didorong untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan diri
dan menerima tanggungjawab lebih besar. Partisipasi karyawan dalam pengambilan
keputusan akan mempunyai dampak pada peningkatan hubungan manager dengan
bawahan, pencapaian kepuasan kerja serta peningkatan motivasi kerja karyawan.
Fenomena dalam dunia industri dan organisasi yang sering terlihat dewasa ini
adalah banyaknya kasus-kasus pekerjaan baik itu yang berkaitan dengan pekerja atau
buruh perusahaan maupun berkaitan dengan manajemen perusahaan secara
keseluruhan. yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pimpinan maupun
karyawan itu sendiri. Bagaimanakah peran gaya kepemimpinan transformasional
terhadap motivasi mengembangkan karir pada karyawan perlu dikupas lebih dalam
lagi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka rumusan masalah yang dibuat adalah:
Apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan
transformasional dengan motivasi mengembangkan karir? Mengacu dari rumusan
masalah tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:
Hubungan antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan
Motivasi Mengembangkan Karir.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: