BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perusahaan harus semakin meningkatkan pelayanan pada masyarakat demi
menjaga kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Hal ini dilakukan dalam
rangka menghadapi persaingan bebas antara perusahaan milik pemerintah dengan
perusahaan milik swasta. Dalam rangka untuk mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat dan demi kelangsungan hidup perusahaan, maka harus ada tujuan
yang jelas dan peningkatan kualitas pelayanan yang dihasilkan. Namun terkadang
para pemimpin kurang menyadari peranan karyawannya, meraka hanya berusaha
untuk meningkatkan mutu usaha tanpa memberikan pengawasan yang lebih
intensif pada karyawan. Sehingga produktivitas yang diharapkan dari karyawan
terkadang tidak sesuai dengan keinginan pemimpian. Hal ini terjadi karena
kurangnya komunikasi antara pimpinan dengan karyawan, yang akhirnya bisa
menimbulkan persepsi karyawan yang kurang baik kepada pimpinan. Apabila dari
pihak pimpinan kurang menyadari peranannya sebagai seorang pemimpin bagi
para karyawannya maka akan berpengaruh pada karyawan dalam melaksanakan
kerjanya. Mereka akan cenderung menunda-nunda dalam menyelesaikan tugas-
tugas kerja karena merasa tidak ada pengawasan dari pimpinan. Maka efektivitas
kerja karyawan yang diharapkan tidak akan pernah tercapai dengan baik.
Bagi perusahaan masalah efektivitas kerja karyawan merupakan masalah
yang selalu hangat dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas dan juga
merupakan isu strategis bagi perusahaan untuk memprogram masalah sumber
daya manusia. Salah satu contoh yaitu yang terjadi pada PT Dirgantara Indonesia
(PT DI)(http://www.Yahoo.com/Kompas/Februari/Efektivitas kerja/2004).
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) kembali melakukan reorganisasi
manajemen dengan sebuah langkah darurat yakni memberhentikan 3.500
karyawannya dari 9.600 karyawan yang dimiliki. Kebijakan rasionalisasi tenaga
kerja industri pesawat terbang yang berbasis di Bandung, Jawa Barat itu telah
mengkristal dan dikabarkan tinggal menunggu pengesahan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
Rakhendi Triyatna selaku Kepala Hubungan Masyarakat mengatakan
rasionalisasi yang dilakukan merupakan gerak perampingan untuk menaikkan
efektivitas kerja seluruh karyawan dan manajemen PT Dirgantara Indonesia.
Dalam wacana manajemen, pilihan perampingan adalah mutlak bagi PT
Dirgantara Indonesia untuk menggerakkan roda ekonomi perusahaan ke depan,
terutama menghadapi persaingan pasar global, selain sebagai solusi agar para
karyawannya memiliki load (muatan) kerja lebih mapan.
Setelah kebijakan rasionalisasi disetujui, para karyawan PT Dirgantara
Indonesia ditawarkan berhenti dengan nilai kompensasi yang wajar atau
ditawarkan ke sejumlah perusahaan dalam negeri dan luar negeri berdasarkan
ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki. Mengenai penyaluran karyawan dan nilai
kompensasi itu, kini tengah digodok oleh pihak manajemen PT Dirgantara
Indonesia.
Di sisi lain faktor manusia sangat penting untuk mencapai efektivitas
organisasi serta efisiensi kerja, di mana manusia memerlukan kebutuhan, tujuan
serta harapan-harapan. Apabila hal tersebut dapat terpenuhi maka diharapkan
organisasi perusahaan dapat hidup dan berkembang sehingga akan mempermudah
tujuan dalam meningkatkan produktivitas kerja (Rasimin, 1984). Untuk itu perlu
adanya pendekatan pada karyawan agar dapat memberikan pelayanan yang aman
dan nyaman serta menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Kinerja
karyawan yang menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang baik
sesuai dengan standar akan diminati dan mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat.
Salah satu indikator yang mempengaruhi dalam upaya meningkatkan
efektivitas adalah human relations dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh
pemimpin perusahaan. Dengan penerapan human relations dan gaya
kepemimpinan yang sesuai maka akan mendorong karyawan untuk meningkatkan
efektivitas kerjanya.
Miles (Thoha, 1988) mengemukakan bahwa human relations merupakan
tindakan yang menempatkan karyawan sebagai manusia yang diakui
keberadaannya dengan cara didengarkan dan diperhatikan keluhan dan
pendapatnya, serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai pekerjaan.
Kedudukan karyawan dalam perusahaan adalah sebagai pelaksana dari
tugas-tugas yang telah ditentukan perusahaan, maka karyawan bukan saja perlu
mengetahui tujuan perusahaan tetapi perlu dibawa dalam pembicaraan pada tahap
pelaksana. Oleh karena itu tugas utama pimpinan yang menerapkan human
relations adalah membuat karyawan berguna dan penting, tahu rencana
perusahaan dan dapat menampung keberatan-keberatan terhadap rencana tersebut,
memberi kesempatan pada karyawan untuk mengambil inisiatif dan
keputusan.Lebih lanjut dikatakan, dengan menerapkan pendekatan human
relations harapan pimpinan adalah memberikan informasi yang menyangkut
kebijaksanaan perusahaan dan melibatkan karyawan didalam pembuatan
keputusan sehingga hal ini dapat meningkatkan semangat karyawan dalam kerja,
mengurangi sikap menentang pimpinan dan karyawan akan bersedia bekerja
sama.
Wexley dan Yukl (1992) menyatakan bahwa pimpinan merupakan faktor
terpenting bagi perkembangan dan kesuksesan organisasi kerja, maka untuk
mewujudkan hal tersebut Davis (1981) berpendapat bahwa ada empat faktor
kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan yaitu: inteligensi,
memiliki kematangan dan keluasan pandangan sosial, mempunyai motivasi dan
motif berprestasi, mempunyai kemampuan melakukan human relations.
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam
mengatur bawahannya. Berbagai gaya kepemimpinan yang ada tidak
mengharuskan seorang pemimpin menganut gaya kepemimpinan yang tunggal
(Flippo, 1997), maksudnya pemimpin tidak harus memiliki suatu gaya
kepemimpinan yang benar-benar otokratik atau demokratik tapi harus cukup
fleksibel menyesuaikan diri dengan situasi yang berbeda.
Perbedaan gaya kepemimpinan dalam organisasi akan mempunyai pengaruh
yang berbeda pula pada partisipasi individu dan kelompok. Cara pandang
karyawan terhadap gaya kepemimpinan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
subyektivitas karyawan yang bersangkutan, diantaranya adalah persepsi.
Persepsi seseorang dalam memilih rangsang mana yang akan menjadi titik
berat perhatiannya, pada dasarnya ditentukan oleh pengenalan terhadap
rangsangan tersebut, sifat-sifat fisiknya, perhatian dan nilai-nilainya, serta
pengetahuan dan perasaannya (Sugandha, 1981). Koontz (1990) sependapat
dengan pernyataan mengenai prinsip kepimimpinan yang menyatakan bahwa pada
dasarnya seseorang akan cenderung menuruti kemana orang lain yang dipandang
akan dapat memenuhi kebutuhannya.
Persepsi karyawan terhadap kepemimpinan sangat tergantung dari apa dan
bagaimana kebutuhan nilai-nilai dan pengalaman masa lalunya mempengaruhi
dirinya pada saat suatu kepemimpinan diterapkan. Seorang pemimpin harus
berupaya untuk mengetahui kondisi bawahannya dalam lingkungan kerja sehingga
dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat demi terwujudnya efektivitas
yang baik pada karyawan yang dipimpinnya, dengan demikian karyawan mampu
mempersepsi dengan baik gaya kepemimpinan yang diterapkan di tempat kerja
mereka.
Peranan pemimpin dalam hubungan dengan karyawan merupakan hal yang
penting, karena sikap pemimpin dalam menghadapi karyawan akan
mempengaruhi perilaku karyawan. Seorang pemimpin juga harus menciptakan
iklim hubungan kerja yang menyenangkan di antara anggota organisasi. Dengan
menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi organisasi dan
penerapan prinsip-prinsip human relations yang baik maka akan mendorong
karyawan untuk meningkat efektivitas kerja sehingga tujuan perusahaan akan
tercapai dengan baik dan efektif.
Dari uraian tersebut di atas, maka penulis merumuskan suatu perumusan
masalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara human relation dan
gaya kepemimpinan dengan efektivitas kerja karyawan”.
B. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perusahaan harus semakin meningkatkan pelayanan pada masyarakat demi
menjaga kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Hal ini dilakukan dalam
rangka menghadapi persaingan bebas antara perusahaan milik pemerintah dengan
perusahaan milik swasta. Dalam rangka untuk mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat dan demi kelangsungan hidup perusahaan, maka harus ada tujuan
yang jelas dan peningkatan kualitas pelayanan yang dihasilkan. Namun terkadang
para pemimpin kurang menyadari peranan karyawannya, meraka hanya berusaha
untuk meningkatkan mutu usaha tanpa memberikan pengawasan yang lebih
intensif pada karyawan. Sehingga produktivitas yang diharapkan dari karyawan
terkadang tidak sesuai dengan keinginan pemimpian. Hal ini terjadi karena
kurangnya komunikasi antara pimpinan dengan karyawan, yang akhirnya bisa
menimbulkan persepsi karyawan yang kurang baik kepada pimpinan. Apabila dari
pihak pimpinan kurang menyadari peranannya sebagai seorang pemimpin bagi
para karyawannya maka akan berpengaruh pada karyawan dalam melaksanakan
kerjanya. Mereka akan cenderung menunda-nunda dalam menyelesaikan tugas-
tugas kerja karena merasa tidak ada pengawasan dari pimpinan. Maka efektivitas
kerja karyawan yang diharapkan tidak akan pernah tercapai dengan baik.
Bagi perusahaan masalah efektivitas kerja karyawan merupakan masalah
yang selalu hangat dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas dan juga
merupakan isu strategis bagi perusahaan untuk memprogram masalah sumber
daya manusia. Salah satu contoh yaitu yang terjadi pada PT Dirgantara Indonesia
(PT DI)(http://www.Yahoo.com/Kompas/Februari/Efektivitas kerja/2004).
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) kembali melakukan reorganisasi
manajemen dengan sebuah langkah darurat yakni memberhentikan 3.500
karyawannya dari 9.600 karyawan yang dimiliki. Kebijakan rasionalisasi tenaga
kerja industri pesawat terbang yang berbasis di Bandung, Jawa Barat itu telah
mengkristal dan dikabarkan tinggal menunggu pengesahan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
Rakhendi Triyatna selaku Kepala Hubungan Masyarakat mengatakan
rasionalisasi yang dilakukan merupakan gerak perampingan untuk menaikkan
efektivitas kerja seluruh karyawan dan manajemen PT Dirgantara Indonesia.
Dalam wacana manajemen, pilihan perampingan adalah mutlak bagi PT
Dirgantara Indonesia untuk menggerakkan roda ekonomi perusahaan ke depan,
terutama menghadapi persaingan pasar global, selain sebagai solusi agar para
karyawannya memiliki load (muatan) kerja lebih mapan.
Setelah kebijakan rasionalisasi disetujui, para karyawan PT Dirgantara
Indonesia ditawarkan berhenti dengan nilai kompensasi yang wajar atau
ditawarkan ke sejumlah perusahaan dalam negeri dan luar negeri berdasarkan
ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki. Mengenai penyaluran karyawan dan nilai
kompensasi itu, kini tengah digodok oleh pihak manajemen PT Dirgantara
Indonesia.
Di sisi lain faktor manusia sangat penting untuk mencapai efektivitas
organisasi serta efisiensi kerja, di mana manusia memerlukan kebutuhan, tujuan
serta harapan-harapan. Apabila hal tersebut dapat terpenuhi maka diharapkan
organisasi perusahaan dapat hidup dan berkembang sehingga akan mempermudah
tujuan dalam meningkatkan produktivitas kerja (Rasimin, 1984). Untuk itu perlu
adanya pendekatan pada karyawan agar dapat memberikan pelayanan yang aman
dan nyaman serta menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Kinerja
karyawan yang menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang baik
sesuai dengan standar akan diminati dan mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat.
Salah satu indikator yang mempengaruhi dalam upaya meningkatkan
efektivitas adalah human relations dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh
pemimpin perusahaan. Dengan penerapan human relations dan gaya
kepemimpinan yang sesuai maka akan mendorong karyawan untuk meningkatkan
efektivitas kerjanya.
Miles (Thoha, 1988) mengemukakan bahwa human relations merupakan
tindakan yang menempatkan karyawan sebagai manusia yang diakui
keberadaannya dengan cara didengarkan dan diperhatikan keluhan dan
pendapatnya, serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai pekerjaan.
Kedudukan karyawan dalam perusahaan adalah sebagai pelaksana dari
tugas-tugas yang telah ditentukan perusahaan, maka karyawan bukan saja perlu
mengetahui tujuan perusahaan tetapi perlu dibawa dalam pembicaraan pada tahap
pelaksana. Oleh karena itu tugas utama pimpinan yang menerapkan human
relations adalah membuat karyawan berguna dan penting, tahu rencana
perusahaan dan dapat menampung keberatan-keberatan terhadap rencana tersebut,
memberi kesempatan pada karyawan untuk mengambil inisiatif dan
keputusan.Lebih lanjut dikatakan, dengan menerapkan pendekatan human
relations harapan pimpinan adalah memberikan informasi yang menyangkut
kebijaksanaan perusahaan dan melibatkan karyawan didalam pembuatan
keputusan sehingga hal ini dapat meningkatkan semangat karyawan dalam kerja,
mengurangi sikap menentang pimpinan dan karyawan akan bersedia bekerja
sama.
Wexley dan Yukl (1992) menyatakan bahwa pimpinan merupakan faktor
terpenting bagi perkembangan dan kesuksesan organisasi kerja, maka untuk
mewujudkan hal tersebut Davis (1981) berpendapat bahwa ada empat faktor
kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan yaitu: inteligensi,
memiliki kematangan dan keluasan pandangan sosial, mempunyai motivasi dan
motif berprestasi, mempunyai kemampuan melakukan human relations.
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam
mengatur bawahannya. Berbagai gaya kepemimpinan yang ada tidak
mengharuskan seorang pemimpin menganut gaya kepemimpinan yang tunggal
(Flippo, 1997), maksudnya pemimpin tidak harus memiliki suatu gaya
kepemimpinan yang benar-benar otokratik atau demokratik tapi harus cukup
fleksibel menyesuaikan diri dengan situasi yang berbeda.
Perbedaan gaya kepemimpinan dalam organisasi akan mempunyai pengaruh
yang berbeda pula pada partisipasi individu dan kelompok. Cara pandang
karyawan terhadap gaya kepemimpinan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
subyektivitas karyawan yang bersangkutan, diantaranya adalah persepsi.
Persepsi seseorang dalam memilih rangsang mana yang akan menjadi titik
berat perhatiannya, pada dasarnya ditentukan oleh pengenalan terhadap
rangsangan tersebut, sifat-sifat fisiknya, perhatian dan nilai-nilainya, serta
pengetahuan dan perasaannya (Sugandha, 1981). Koontz (1990) sependapat
dengan pernyataan mengenai prinsip kepimimpinan yang menyatakan bahwa pada
dasarnya seseorang akan cenderung menuruti kemana orang lain yang dipandang
akan dapat memenuhi kebutuhannya.
Persepsi karyawan terhadap kepemimpinan sangat tergantung dari apa dan
bagaimana kebutuhan nilai-nilai dan pengalaman masa lalunya mempengaruhi
dirinya pada saat suatu kepemimpinan diterapkan. Seorang pemimpin harus
berupaya untuk mengetahui kondisi bawahannya dalam lingkungan kerja sehingga
dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat demi terwujudnya efektivitas
yang baik pada karyawan yang dipimpinnya, dengan demikian karyawan mampu
mempersepsi dengan baik gaya kepemimpinan yang diterapkan di tempat kerja
mereka.
Peranan pemimpin dalam hubungan dengan karyawan merupakan hal yang
penting, karena sikap pemimpin dalam menghadapi karyawan akan
mempengaruhi perilaku karyawan. Seorang pemimpin juga harus menciptakan
iklim hubungan kerja yang menyenangkan di antara anggota organisasi. Dengan
menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi organisasi dan
penerapan prinsip-prinsip human relations yang baik maka akan mendorong
karyawan untuk meningkat efektivitas kerja sehingga tujuan perusahaan akan
tercapai dengan baik dan efektif.
Dari uraian tersebut di atas, maka penulis merumuskan suatu perumusan
masalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara human relation dan
gaya kepemimpinan dengan efektivitas kerja karyawan”.
B. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui: