BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin modern berpengaruh terhadap
penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri
dengan situasi yang baru, ia sudah dihadapkan pada situasi lain. Norma-norma
masyarakat yang dahulu dijunjung tinggi sedikit demi sedikit terkikis oleh
perkembangan zaman. Arus informasi yang begitu deras, baik melalui media
cetak, film, televisi, maupun internet mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan perilaku menyimpang mempunyai dampak yang luar biasa terhadap
budaya suatu bangsa. Informasi perilaku tersebut akan menimbulkan akulturasi
atau perkawinan budaya. Dibanding zaman orde lama, terlihat masyarakat kita,
terutama di perkotaan, menjadi jauh lebih modern atau permisif dalam hal
perilaku menyimpang.
Sebagai contoh fenomena yang saat ini sering terjadi, dimana remaja
membunuh orang tuanya sendiri karena ia tidak diperbolehkan pergi bersama
teman-temannya untuk merayakan ulang tahun di sebuah diskotik (Opini, 2005).
Seorang remaja membacok teman sendiri hingga tewas disebabkan perang mulut
atau cekcok setelah minum-minuman keras (Solo Pos, 2005).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang saat ini sering terjadi, seringkali
muncul di dalam benak kita, siapa yang harus dipersalahkan dalam hal ini. Namun
bila kita kaji lebih lanjut, dalam membentuk perilaku remaja, keluarga merupakan
pusatnya pendidikan perilaku remaja.
Keluarga adalah sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan
perkawinan. Di dalamnya hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena
pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup semati, ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk
membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin (Sochib, 1998).
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan
hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu
kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi
keluarga besar dan keluarga inti. Keluarga adalah kelompok primer yang paling
penting dalam masyarakat. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga
merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau
interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara
mereka tidak terdapat hubungan darah (Djamarah, 2003).
Tetapi dalam konteks keluarga inti, secara psikologis, keluarga adalah
sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan
masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan
dalam pengertian paedagogis, keluarga adalah satu manusia persekutuan hidup
yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis yang dikukuhkan dengan
pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri (Sobur, 2003).
Pada dasarnya keluarga itu adalah sebuah komunitas dalam "satu atap".
Kesadaran untuk hidup bersama dalam satu atap sebagai suami-istri dan saling
interaksi dan berpotensi punya anak akhirnya membentuk komunitas baru yang
disebut keluarga. Karenanya keluarga pun dapat diberi batasan sebagai sebuah
group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana
sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-
anak. Jadi, keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial
yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini
mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, di mana saja dalam satuan masyarakat
manusia (Hartono dan Azis, 1993).
Ketika sebuah keluarga terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah
pun terbentuk pula. Di dalamnya ada suami, istri dan anak sebagai penghuninya.
Saling berhubungan, saling berinteraksi di antara mereka melahirkan dinamika
kelompok karena berbagai kepentingan, yang terkadang bisa memicu konflik
dalam keluarga. Misalnya konflik antara suami-istri, konflik antara ayah dan anak,
konflik antara ibu dan anak, dan konflik antara anak dan anak, bahkan konflik
antara ayah, ibu dan anak (Hartono dan Azis, 1993). Oleh karena itu, konflik
dalam keluarga harus diminimalkan untuk mewujudkan keluarga seimbang.
Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan
(relasi) antara ayah dan ibu, antara ayah dan anak, serta antara ibu dan anak.
Setiap anggota keluarga tahu tugas dan tanggung jawab masing-masing dan dapat
dipercaya (Djamarah, 2003).
Dalam rangka untuk membangun keluarga yang berkualitas tidak terlepas
dari usaha anggota keluarga untuk mengembangkan keluarga yang berkualitas
yang diarahkan pada terwujudnya kualitas keluarga yang bercirikan kemandirian
keluarga dan ketahanan keluarga. Sedangkan penyelenggaraan pengembangan
keluarga yang berkualitas ditujukan agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan
spirituil dan materiil sehingga dapat menjalankan fungsi keluarga secara optimal.
Sedangkan fungsi keluarga itu sendiri berkaitan langsung dengan aspek-aspek
keagamaan, budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan
pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan (Peraturan Pemerintah, 1994).
Keluarga adalah ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama.
Orang tua memiliki peranan yang strategis dalam mentradisikan ritual keagamaan
sehingga nilai-nilai agama dapat ditanamkan ke dalam jiwa anak (Djamarah,
2003).
Sejak kecil anak dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan sebagian besar
waktunya ada dalam keluarga. Bila keluarga dalam keadaan normal,
perkembangan mental anak juga akan normal. Namun bila keadaan keluarga tidak
normal maka akan berakibat negatif atau paling tidak akan mendorong anak
cenderung ke arah perkembangan mental yang negatif pula. Hal ini penting,
karena pada masa ini anak ingin tahu segala sesuatu yang baru dan ingin sekali
mencoba hal-hal yang baru. Pada masa ini, emosi anak yang belum stabil
membuat anak melakukan hal-hal tertentu yang tidak memandang segi baik dan
buruk akibat yang ditimbulkannya. Tugas orang tua melalui pendidikan dan
perlindungan yang efektif adalah menuntun dan mengarahkan anak meniti
kehidupan agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan atau
mengarah pada perilaku menyimpang (Ahmadi, 1991).
Peran orang tua dalam pendidikan anak tidak bisa dipisahkan. Karena
selama ini telah diakui bahwa keluarga adalah salah satu dari Tri Pusat
Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan secara kodrati. Menurut Buseri
(2003) pendidikan di lingkungan keluarga berlangsung sejak anak lahir, bahkan
setelah dewasa pun orang tua masih berhak memberikan nasihatnya kepada anak.
Anak pertama kali berkenalan dengan ibu dan ayah, saudara-saudara serta anggota
keluarga lainnya. Melalui komunikasi itulah terjadi proses penerimaan
pengetahuan dan nilai-nilai apa saja yang hidup dan berkembang di lingkungan
keluarga. Semua yang diterima dalam fase awal itu akan menjadi referensi
kepribadian anak pada masa-masa selanjutnya. Oleh sebab itu, keluarga dituntut
untuk merealisasikan nilai-nilai yang positif.
Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan
kepribadian anak. Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang
tuanya melalui keteladanan dan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga, baik
tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua
sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan
berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan
hidup orang tua adalah suatu hal yang sering anak lakukan, karena memang pada
masa perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua
lakukan. Anak selalu ingin meniru ini dalam pendidikan dikenal dengan istilah
anak belajar melalui imitasi (Rakhmad, 2001).
Pendapat di atas tidak dapat dibantah, karena memang dalam
kenyataannya anak suka meniru sikap dan perilaku orang tua dalam keluarga.
Dorothy Law Nolte misalnya, sangat mendukung pendapat di atas. Melalui
sajaknya yang berjudul "Anak belajar dan kehidupan" dia mengatakan bahwa:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan
dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
ia belajar rendah din. Jika anak dibesarkan dengan penghiaan, ia belajar menyesali
diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak
dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan
pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya
perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar
menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar
menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan (Djamarah, 2003).
Djamarah (2003) juga mengatakan bahwa orang tua dan anak adalah satu
ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan
keabadian. Tak seorang pun dapat mencerai beraikannya. Ikatan itu dalam bentuk
hubungan emosional antara anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku.
Setiap orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara, membesarkan, dan
mendidiknya. Seorang ibu yang melahirkan anak tanpa ayah pun memiliki naluri
untuk memelihara, membesarkan, dan mendidiknya, meski terkadang harus
menanggung beban malu yang berkepanjangan. Sebab kehormatan keluarga salah
satunya juga ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga
nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku anak nama baik keluarga
dipertaruhkan.
Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan di masa
depan yang harus dipelihara dan dididik. Memeliharanya dari segala mara bahaya
dan mendidiknya agar menjadi anak yang cerdas. Itulah sifat fitrah orang tua.
Sedangkan sifat-sifat fitrah orang tua yang lainnya, seperti diungkapkan oleh
Thalib (1999) adalah senang mempunyai anak, senang anak-anaknya salih,
berusaha menempatkan anak di tempat yang baik, sedih melihat anaknya lemah
atau hidup miskin, lebih memikirkan keselamatan anak daripada dirinya pada saat
terjadi bencana, senang mempunyai anak yang bisa dibanggakan, cenderung lebih
mencintai anak tertentu, menghendaki anaknya berbakti kepadanya, bersabar
menghadapi perilaku buruk anaknya.
Berdasarkan sifat fitrah orang tua yang telah disebutkan di atas, kadang
membuat para orang tua menjadi over protective kepada anak yang mana over
protective itu lebih banyak berbentuk tindakan, sikap dan perilaku orang tua yang
terlalu melindungi anak sehingga mereka mudah memarahi, menghardik, mencela
atau memberi hukuman fisik sekehendak hati kepada anaknya jika anaknya
melakukan kesalahan. Padahal penggunaan cara-cara seperti di atas secara
psikologis mendatangkan efek negatif bagi perkembangan jiwa anak. Efek negatif
dari celaan misalnya, dapat melahirkan kedengkian dan dendam bagi anak yang
dicela dan melahirkan sikap takabur bagi orang tua yang melakukan celaan.
Demikian juga memberikan sanksi berupa pukulan. Walaupun memukul dapat
dibenarkan oleh agama, tetapi tidak bisa dilakukan di sembarang tempat di tubuh
anak (Thalib, 1999).
Bila dikaji lebih jauh lagi, situasi dan kondisi lingkungan awal kehidupan
sanak yaitu keluarga (orang tua dan kerabat dekat), jelas mempengaruhi
pembentukan karakter, kebiasaan dan sikap hidup anak-anaknya. Dengan begitu,
kualitas perilaku menyimpang atau keseriusan penyakit-penyakit mental atau jiwa
yang disandang oleh para remaja itu merupakan produk langsung dari kebiasaan
keluarga yang buruk (Kartono, 2000).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat rumusan masalah :
Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua
dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
“Hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan
kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja”
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara persepsi terhadap sikap over
protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.
2. Untuk mengetahui peranan persepsi terhadap sikap over protective orang tua
dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.
3. Untuk mengetahui bagaimana persepsi terhadap sikap over protective orang
tua.
4. Untuk mengetahui bagaimana kecenderungan perilaku menyimpang pada
remaja.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi subjek penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menjalani
perkembangan baik fisik maupun psikis pada masa remaja dengan baik.
2. Bagi orang tua. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang dampak dari pola asuh over protective, sehingga dapat mengantisipasi dan
mengontrol pergaulan putra-putrinya agar tidak salah bergaul.
3. Bagi pihak sekolah. Hasil penelitian ini memberikan data empiris sehingga
dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan dalam
pengawasan kepada siswa agar dapat mengantisipasi dalam penanganan siswa
yang mempunyai kecenderungan perilaku menyimpang.
4. Bagi ilmuwan psikologi dan peneliti lain. Hasil penelitian ini dapat memberi
masukan bagi ilmuwan psikologi untuk menambah wawasan pada bidang
psikologi, yaitu berkaitan dengan hubungan antara persepsi terhadap sikap over
protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin modern berpengaruh terhadap
penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri
dengan situasi yang baru, ia sudah dihadapkan pada situasi lain. Norma-norma
masyarakat yang dahulu dijunjung tinggi sedikit demi sedikit terkikis oleh
perkembangan zaman. Arus informasi yang begitu deras, baik melalui media
cetak, film, televisi, maupun internet mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan perilaku menyimpang mempunyai dampak yang luar biasa terhadap
budaya suatu bangsa. Informasi perilaku tersebut akan menimbulkan akulturasi
atau perkawinan budaya. Dibanding zaman orde lama, terlihat masyarakat kita,
terutama di perkotaan, menjadi jauh lebih modern atau permisif dalam hal
perilaku menyimpang.
Sebagai contoh fenomena yang saat ini sering terjadi, dimana remaja
membunuh orang tuanya sendiri karena ia tidak diperbolehkan pergi bersama
teman-temannya untuk merayakan ulang tahun di sebuah diskotik (Opini, 2005).
Seorang remaja membacok teman sendiri hingga tewas disebabkan perang mulut
atau cekcok setelah minum-minuman keras (Solo Pos, 2005).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang saat ini sering terjadi, seringkali
muncul di dalam benak kita, siapa yang harus dipersalahkan dalam hal ini. Namun
bila kita kaji lebih lanjut, dalam membentuk perilaku remaja, keluarga merupakan
pusatnya pendidikan perilaku remaja.
Keluarga adalah sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan
perkawinan. Di dalamnya hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena
pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup semati, ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk
membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin (Sochib, 1998).
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan
hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu
kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi
keluarga besar dan keluarga inti. Keluarga adalah kelompok primer yang paling
penting dalam masyarakat. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga
merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau
interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara
mereka tidak terdapat hubungan darah (Djamarah, 2003).
Tetapi dalam konteks keluarga inti, secara psikologis, keluarga adalah
sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan
masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan
dalam pengertian paedagogis, keluarga adalah satu manusia persekutuan hidup
yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis yang dikukuhkan dengan
pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri (Sobur, 2003).
Pada dasarnya keluarga itu adalah sebuah komunitas dalam "satu atap".
Kesadaran untuk hidup bersama dalam satu atap sebagai suami-istri dan saling
interaksi dan berpotensi punya anak akhirnya membentuk komunitas baru yang
disebut keluarga. Karenanya keluarga pun dapat diberi batasan sebagai sebuah
group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana
sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-
anak. Jadi, keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial
yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini
mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, di mana saja dalam satuan masyarakat
manusia (Hartono dan Azis, 1993).
Ketika sebuah keluarga terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah
pun terbentuk pula. Di dalamnya ada suami, istri dan anak sebagai penghuninya.
Saling berhubungan, saling berinteraksi di antara mereka melahirkan dinamika
kelompok karena berbagai kepentingan, yang terkadang bisa memicu konflik
dalam keluarga. Misalnya konflik antara suami-istri, konflik antara ayah dan anak,
konflik antara ibu dan anak, dan konflik antara anak dan anak, bahkan konflik
antara ayah, ibu dan anak (Hartono dan Azis, 1993). Oleh karena itu, konflik
dalam keluarga harus diminimalkan untuk mewujudkan keluarga seimbang.
Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan
(relasi) antara ayah dan ibu, antara ayah dan anak, serta antara ibu dan anak.
Setiap anggota keluarga tahu tugas dan tanggung jawab masing-masing dan dapat
dipercaya (Djamarah, 2003).
Dalam rangka untuk membangun keluarga yang berkualitas tidak terlepas
dari usaha anggota keluarga untuk mengembangkan keluarga yang berkualitas
yang diarahkan pada terwujudnya kualitas keluarga yang bercirikan kemandirian
keluarga dan ketahanan keluarga. Sedangkan penyelenggaraan pengembangan
keluarga yang berkualitas ditujukan agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan
spirituil dan materiil sehingga dapat menjalankan fungsi keluarga secara optimal.
Sedangkan fungsi keluarga itu sendiri berkaitan langsung dengan aspek-aspek
keagamaan, budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan
pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan (Peraturan Pemerintah, 1994).
Keluarga adalah ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama.
Orang tua memiliki peranan yang strategis dalam mentradisikan ritual keagamaan
sehingga nilai-nilai agama dapat ditanamkan ke dalam jiwa anak (Djamarah,
2003).
Sejak kecil anak dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan sebagian besar
waktunya ada dalam keluarga. Bila keluarga dalam keadaan normal,
perkembangan mental anak juga akan normal. Namun bila keadaan keluarga tidak
normal maka akan berakibat negatif atau paling tidak akan mendorong anak
cenderung ke arah perkembangan mental yang negatif pula. Hal ini penting,
karena pada masa ini anak ingin tahu segala sesuatu yang baru dan ingin sekali
mencoba hal-hal yang baru. Pada masa ini, emosi anak yang belum stabil
membuat anak melakukan hal-hal tertentu yang tidak memandang segi baik dan
buruk akibat yang ditimbulkannya. Tugas orang tua melalui pendidikan dan
perlindungan yang efektif adalah menuntun dan mengarahkan anak meniti
kehidupan agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan atau
mengarah pada perilaku menyimpang (Ahmadi, 1991).
Peran orang tua dalam pendidikan anak tidak bisa dipisahkan. Karena
selama ini telah diakui bahwa keluarga adalah salah satu dari Tri Pusat
Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan secara kodrati. Menurut Buseri
(2003) pendidikan di lingkungan keluarga berlangsung sejak anak lahir, bahkan
setelah dewasa pun orang tua masih berhak memberikan nasihatnya kepada anak.
Anak pertama kali berkenalan dengan ibu dan ayah, saudara-saudara serta anggota
keluarga lainnya. Melalui komunikasi itulah terjadi proses penerimaan
pengetahuan dan nilai-nilai apa saja yang hidup dan berkembang di lingkungan
keluarga. Semua yang diterima dalam fase awal itu akan menjadi referensi
kepribadian anak pada masa-masa selanjutnya. Oleh sebab itu, keluarga dituntut
untuk merealisasikan nilai-nilai yang positif.
Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan
kepribadian anak. Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang
tuanya melalui keteladanan dan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga, baik
tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua
sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan
berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan
hidup orang tua adalah suatu hal yang sering anak lakukan, karena memang pada
masa perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua
lakukan. Anak selalu ingin meniru ini dalam pendidikan dikenal dengan istilah
anak belajar melalui imitasi (Rakhmad, 2001).
Pendapat di atas tidak dapat dibantah, karena memang dalam
kenyataannya anak suka meniru sikap dan perilaku orang tua dalam keluarga.
Dorothy Law Nolte misalnya, sangat mendukung pendapat di atas. Melalui
sajaknya yang berjudul "Anak belajar dan kehidupan" dia mengatakan bahwa:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan
dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
ia belajar rendah din. Jika anak dibesarkan dengan penghiaan, ia belajar menyesali
diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak
dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan
pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya
perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar
menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar
menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan (Djamarah, 2003).
Djamarah (2003) juga mengatakan bahwa orang tua dan anak adalah satu
ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan
keabadian. Tak seorang pun dapat mencerai beraikannya. Ikatan itu dalam bentuk
hubungan emosional antara anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku.
Setiap orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara, membesarkan, dan
mendidiknya. Seorang ibu yang melahirkan anak tanpa ayah pun memiliki naluri
untuk memelihara, membesarkan, dan mendidiknya, meski terkadang harus
menanggung beban malu yang berkepanjangan. Sebab kehormatan keluarga salah
satunya juga ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga
nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku anak nama baik keluarga
dipertaruhkan.
Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan di masa
depan yang harus dipelihara dan dididik. Memeliharanya dari segala mara bahaya
dan mendidiknya agar menjadi anak yang cerdas. Itulah sifat fitrah orang tua.
Sedangkan sifat-sifat fitrah orang tua yang lainnya, seperti diungkapkan oleh
Thalib (1999) adalah senang mempunyai anak, senang anak-anaknya salih,
berusaha menempatkan anak di tempat yang baik, sedih melihat anaknya lemah
atau hidup miskin, lebih memikirkan keselamatan anak daripada dirinya pada saat
terjadi bencana, senang mempunyai anak yang bisa dibanggakan, cenderung lebih
mencintai anak tertentu, menghendaki anaknya berbakti kepadanya, bersabar
menghadapi perilaku buruk anaknya.
Berdasarkan sifat fitrah orang tua yang telah disebutkan di atas, kadang
membuat para orang tua menjadi over protective kepada anak yang mana over
protective itu lebih banyak berbentuk tindakan, sikap dan perilaku orang tua yang
terlalu melindungi anak sehingga mereka mudah memarahi, menghardik, mencela
atau memberi hukuman fisik sekehendak hati kepada anaknya jika anaknya
melakukan kesalahan. Padahal penggunaan cara-cara seperti di atas secara
psikologis mendatangkan efek negatif bagi perkembangan jiwa anak. Efek negatif
dari celaan misalnya, dapat melahirkan kedengkian dan dendam bagi anak yang
dicela dan melahirkan sikap takabur bagi orang tua yang melakukan celaan.
Demikian juga memberikan sanksi berupa pukulan. Walaupun memukul dapat
dibenarkan oleh agama, tetapi tidak bisa dilakukan di sembarang tempat di tubuh
anak (Thalib, 1999).
Bila dikaji lebih jauh lagi, situasi dan kondisi lingkungan awal kehidupan
sanak yaitu keluarga (orang tua dan kerabat dekat), jelas mempengaruhi
pembentukan karakter, kebiasaan dan sikap hidup anak-anaknya. Dengan begitu,
kualitas perilaku menyimpang atau keseriusan penyakit-penyakit mental atau jiwa
yang disandang oleh para remaja itu merupakan produk langsung dari kebiasaan
keluarga yang buruk (Kartono, 2000).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat rumusan masalah :
Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua
dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
“Hubungan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan
kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja”
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara persepsi terhadap sikap over
protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.
2. Untuk mengetahui peranan persepsi terhadap sikap over protective orang tua
dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.
3. Untuk mengetahui bagaimana persepsi terhadap sikap over protective orang
tua.
4. Untuk mengetahui bagaimana kecenderungan perilaku menyimpang pada
remaja.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi subjek penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menjalani
perkembangan baik fisik maupun psikis pada masa remaja dengan baik.
2. Bagi orang tua. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang dampak dari pola asuh over protective, sehingga dapat mengantisipasi dan
mengontrol pergaulan putra-putrinya agar tidak salah bergaul.
3. Bagi pihak sekolah. Hasil penelitian ini memberikan data empiris sehingga
dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan dalam
pengawasan kepada siswa agar dapat mengantisipasi dalam penanganan siswa
yang mempunyai kecenderungan perilaku menyimpang.
4. Bagi ilmuwan psikologi dan peneliti lain. Hasil penelitian ini dapat memberi
masukan bagi ilmuwan psikologi untuk menambah wawasan pada bidang
psikologi, yaitu berkaitan dengan hubungan antara persepsi terhadap sikap over
protective orang tua dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada remaja.