BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Faktor tenaga kerja adalah hal yang paling pokok memegang peranan dalam
setiap usaha untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, sebab pada dasarnya
produksi dan teknologi juga merupakan karya manusia. Keberhasilan yang
memuaskan pada suatu industri dapat dicapai sepenuhnya bilamana tenaga kerja telah
mempunyai kemampuan yang benar-benar sesuai dengan pekerjaannya. Tidak ada
kesesuaian antara kemampuan, ketrampilan serta kepribadian karyawan dengan sifat-
sifat yang ada pada pekerjaan merupakan faktor penting yang mempengaruhi
terjadinya stress kerja dan kesehatan karyawan (Anoraga, 1992).
Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam suatu
sistem kerja, manusia tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah. Salah satu
masalah yang sering dan menjadi persoalan adalah kebosanan kerja. Kebosanan
kerja merupakan pengalaman atau keadaan ditempat kerja yang dirasa tidak
menyenangkan karena ketidakseimbangan interaksi antara tenaga kerja dengan aspek
karakteristik dalam pekerjaan (Jewel dan Siegall, 1998).
Beberapa hasil penelitian di bidang psikologi menyimpulkan bahwa kebosanan
dalam bekerja merupakan manifestasi dari stres kerja yang menyebabkan produktivitas
kerja menurun, adanya ketidakpuasan kerja, kurang motivasi, hilangnya gairah kerja
(burnout), angka absen yang meningkat (Nina, 2001). Didukung oleh Maier dan
Verser (Jewell dan Siegall, 1998) dalam penelitiannya bahwa pekerjaan yang
membosankan akan membawa ke arah ketidakpuasan kerja yang akhirnya akan
membawa ke arah peningkatan absen.
Hal tersebut dialami oleh perusahaan yang berlokasi di Texas, Lufkin
industries Inc. mengoperasikan fasilitas manufaktur yang menghasilkan unit, minyak,
roda gigi industri, roda gigi maritim, dan gandengan truk. Selama tahun 1985 jumlah
pekerja yang absen meningkat 2 kali lipat (dari jumlah pada tahun 1980) menjadi
13%-14%. Pada tahun 1985 catatan personalia menunjukkan bahwa pada hari-hari
biasa, 225 pekerja produksi absen. Berdasarkan tingkat absen yang demikian maka
perusahaan mengalami banyak kerugian (Jewell dan Siegall, 1998).
Lain halnya dengan aksi mogok yang dilakukan oleh sekitar seribu buruh pada
salah satu perusahaan rokok yang berlokasi di Kudus. Mereka menuntut adanya
ketenangan kerja, pasalnya pihak manajemen yang mengeluarkan produk baru yang
lebih rumit untuk dikerjakan buruh, di saat itu pula hasil garapan banyak yang disortir
sehingga buruh dirugikan dalam penerimaan upah, sebab mereka adalah buruh
borongan yang upahnya dihitung berdasarkan volume garapan, pada waktu yang
sama pula buruh merasa bahwa mandor menerapkan aturan yang terlalu keras. Akibat
pemogokan tersebut pabrik yang setiap harinya rata-rata mampu memproduksi sekitar
1.400.000 batang, pada saat pemogokan sama sekali tidak ada hasil produksi (Suara
Merdeka, Sabtu 18 Mei 2002). Kasus tersebut menjelaskan bahwa dari pihak
karyawan tidak merasakan suatu kepuasan dalam bekerja dengan adanya tuntutan
tentang ketenangan kerja yang disampaikan dengan aksi mogok yang juga merugikan
perusahaan.
Karyawan pabrik yang bekerja di bagian produksi rentan dengan perasaan
jenuh dan bosan terhadap pekerjaannya karena dihadapkan pada rutinitas kerja.
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis di PT. Pura Barutama Kudus, beberapa
karyawan yang bekerja di bagian produksi pernah mengalami bosan terhadap
pekerjaannya. Alasan mereka menjadi bosan terhadap pekerjaannya karena apabila
sedang ada permasalahan dengan rekan sekerja sehingga malas berangkat bekerja,
imbalan yang dirasakan kurang sesuai, hal-hal yang menyangkut kesejahteraan
karyawan yang mungkin bagi pihak pabrik sudah memenuhi tetapi bagi pihak
karyawan belum terpenuhi.
Deskripsi uraian di atas menunjukkan bahwa kebosanan kerja akan
mengganggu pelaksanaan kerja karyawan. Kebosanan kerja dapat terlihat dalam
sejumlah pola tabiat yang dapat dikenali dengan baik termasuk diantaranya adalah;
pembolosan, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan dan bahkan
kekerasan fisik. Untuk menghindari kerugian baik bagi suatu perusahaan maupun
pada individu yang mengalami kebosanan kerja, maka sudah seharusnya diperhatikan
hal-hal yang dapat meningkatkan daya tahan terhadap kebosanan kerja melalui
perbaikan karyawan fisik kerja yang kondusif.
Salah satu faktor penyebab munculnya kebosanan kerja pada karyawan adalah
kondisi karyawan yang kurang baik. Sebagaimana diketahui bahwa kondisi karyawan
yang kurang baik menimbulkan suasana kerja yang kurang menyenangkan dan pada
akhirnya dapat menimbulkan kebosanan. Ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan
karyawan dengan apa yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan,
seperti minimnya fasilitas yang disediakan, kurangnya dukungan dari atasan,
persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja, dan belum adanya
pembagian tugas yang jelas merupakan suatu kondisi karyawan kerja yang dapat
mempengaruhi munculnya kebosanan kerja dalam diri karyawan.
Lingkungan fisik kerja berkaitan dengan suatu lembaga yang mempengaruhi
pelaksanaan kerja pada karyawan, dalam hal ini kondisi ketika karyawan
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Arti penting lingkungan fisik kerja
dalam sebuah perusahaan meliputi fasilitas perusahaan, kondisi kerja, hubungan
karyawan di dalam perusahaan, penerangan, suhu udara dan keamanan kerja. Oleh
karena itu pihak perusahaan sedapat mungkin menciptakan suatu lingkungan fisik
kerja yang baik sehingga dapat memunculkan minat kerja yang tinggi, rasa aman,
rasa diterima, dan dihargai serta perasaan berhasil pada diri karyawan dengan
demikian akan terhindar dari rasa kebosanan kerja.
Setiap tenaga kerja berhubungan langsung dan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan tempat mereka bekerja. Lingkungan kerja merupakan tempat terpenting
untuk meningkatkan kesehatan sebagian besar karyawannya. Selain bermanfaat
langsung bagi perusahaan, juga karena orang menghabiskan sebagian besar waktunya
di tempat kerja. Di sisi lain, tempat kerja merupakan lingkungan yang sangat
berperan dalam kesehatan jiwa dan fisik seseorang (As’ad, 1995).
Lingkungan kerja yang menyenangkan, rekan kerja yang kooperatif, pimpinan
yang selalu memperhatikan keluh kesah karyawannya, kebijaksanaan yang
mempengaruhi kerja dan karier serta kompensasi yang adil merupakan dambaan bagi
para karyawan sehingga setiap karyawan mengharapkan lingkungan kerja yang baik
dan tidak membosankan. Hal ini didukung oleh pendapat Strauss dan Sayles (1986)
bahwa hubungan di tempat kerja yang menyenangkan akan mengurangi kebosanan.
Tetapi dalam kenyataannya, penilaian baik atau buruknya lingkungan fisik
kerja ditentukan oleh penilaian karyawannya. Seseorang mungkin menganggap
lingkungan yang sama adalah buruk sedangkan yang lain menganggap baik. Hal ini
disebabkan karena ada perbedaan persepsi masing-masing individu terhadap
lingkungan fisik kerja. Perbedaan ini dapat terjadi karena masing-masing individu
mempunyai kebutuhan, kepentingan maupun harapan yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila karyawan
memiliki persepsi yang baik pada lingkungan fisik kerja maka akan mengurangi
kebosanan kerja, namun di sisi lain karyawan yang mempunyai persepsi lingkungan
fisik kerja negatif maka karyawan akan semakin memiliki rasa bosan yang lebih
tinggi.
Mengacu pada uraian-uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya
sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap kondisi lingkungan
fisik kerja dengan kebosanan kerja. Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis
tertarik untuk menguji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul :
Hubungan antara persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja dengan kebosanan
kerja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja dengan
kebosanan kerja pada karyawan.
2. Sumbangan atau peranan persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja
terhadap kebosanan kerja pada karyawan.
3. Tingkat persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja
4. Tingkat kebosanan kerja pada karyawan.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Faktor tenaga kerja adalah hal yang paling pokok memegang peranan dalam
setiap usaha untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, sebab pada dasarnya
produksi dan teknologi juga merupakan karya manusia. Keberhasilan yang
memuaskan pada suatu industri dapat dicapai sepenuhnya bilamana tenaga kerja telah
mempunyai kemampuan yang benar-benar sesuai dengan pekerjaannya. Tidak ada
kesesuaian antara kemampuan, ketrampilan serta kepribadian karyawan dengan sifat-
sifat yang ada pada pekerjaan merupakan faktor penting yang mempengaruhi
terjadinya stress kerja dan kesehatan karyawan (Anoraga, 1992).
Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam suatu
sistem kerja, manusia tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah. Salah satu
masalah yang sering dan menjadi persoalan adalah kebosanan kerja. Kebosanan
kerja merupakan pengalaman atau keadaan ditempat kerja yang dirasa tidak
menyenangkan karena ketidakseimbangan interaksi antara tenaga kerja dengan aspek
karakteristik dalam pekerjaan (Jewel dan Siegall, 1998).
Beberapa hasil penelitian di bidang psikologi menyimpulkan bahwa kebosanan
dalam bekerja merupakan manifestasi dari stres kerja yang menyebabkan produktivitas
kerja menurun, adanya ketidakpuasan kerja, kurang motivasi, hilangnya gairah kerja
(burnout), angka absen yang meningkat (Nina, 2001). Didukung oleh Maier dan
Verser (Jewell dan Siegall, 1998) dalam penelitiannya bahwa pekerjaan yang
membosankan akan membawa ke arah ketidakpuasan kerja yang akhirnya akan
membawa ke arah peningkatan absen.
Hal tersebut dialami oleh perusahaan yang berlokasi di Texas, Lufkin
industries Inc. mengoperasikan fasilitas manufaktur yang menghasilkan unit, minyak,
roda gigi industri, roda gigi maritim, dan gandengan truk. Selama tahun 1985 jumlah
pekerja yang absen meningkat 2 kali lipat (dari jumlah pada tahun 1980) menjadi
13%-14%. Pada tahun 1985 catatan personalia menunjukkan bahwa pada hari-hari
biasa, 225 pekerja produksi absen. Berdasarkan tingkat absen yang demikian maka
perusahaan mengalami banyak kerugian (Jewell dan Siegall, 1998).
Lain halnya dengan aksi mogok yang dilakukan oleh sekitar seribu buruh pada
salah satu perusahaan rokok yang berlokasi di Kudus. Mereka menuntut adanya
ketenangan kerja, pasalnya pihak manajemen yang mengeluarkan produk baru yang
lebih rumit untuk dikerjakan buruh, di saat itu pula hasil garapan banyak yang disortir
sehingga buruh dirugikan dalam penerimaan upah, sebab mereka adalah buruh
borongan yang upahnya dihitung berdasarkan volume garapan, pada waktu yang
sama pula buruh merasa bahwa mandor menerapkan aturan yang terlalu keras. Akibat
pemogokan tersebut pabrik yang setiap harinya rata-rata mampu memproduksi sekitar
1.400.000 batang, pada saat pemogokan sama sekali tidak ada hasil produksi (Suara
Merdeka, Sabtu 18 Mei 2002). Kasus tersebut menjelaskan bahwa dari pihak
karyawan tidak merasakan suatu kepuasan dalam bekerja dengan adanya tuntutan
tentang ketenangan kerja yang disampaikan dengan aksi mogok yang juga merugikan
perusahaan.
Karyawan pabrik yang bekerja di bagian produksi rentan dengan perasaan
jenuh dan bosan terhadap pekerjaannya karena dihadapkan pada rutinitas kerja.
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis di PT. Pura Barutama Kudus, beberapa
karyawan yang bekerja di bagian produksi pernah mengalami bosan terhadap
pekerjaannya. Alasan mereka menjadi bosan terhadap pekerjaannya karena apabila
sedang ada permasalahan dengan rekan sekerja sehingga malas berangkat bekerja,
imbalan yang dirasakan kurang sesuai, hal-hal yang menyangkut kesejahteraan
karyawan yang mungkin bagi pihak pabrik sudah memenuhi tetapi bagi pihak
karyawan belum terpenuhi.
Deskripsi uraian di atas menunjukkan bahwa kebosanan kerja akan
mengganggu pelaksanaan kerja karyawan. Kebosanan kerja dapat terlihat dalam
sejumlah pola tabiat yang dapat dikenali dengan baik termasuk diantaranya adalah;
pembolosan, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan dan bahkan
kekerasan fisik. Untuk menghindari kerugian baik bagi suatu perusahaan maupun
pada individu yang mengalami kebosanan kerja, maka sudah seharusnya diperhatikan
hal-hal yang dapat meningkatkan daya tahan terhadap kebosanan kerja melalui
perbaikan karyawan fisik kerja yang kondusif.
Salah satu faktor penyebab munculnya kebosanan kerja pada karyawan adalah
kondisi karyawan yang kurang baik. Sebagaimana diketahui bahwa kondisi karyawan
yang kurang baik menimbulkan suasana kerja yang kurang menyenangkan dan pada
akhirnya dapat menimbulkan kebosanan. Ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan
karyawan dengan apa yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan,
seperti minimnya fasilitas yang disediakan, kurangnya dukungan dari atasan,
persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja, dan belum adanya
pembagian tugas yang jelas merupakan suatu kondisi karyawan kerja yang dapat
mempengaruhi munculnya kebosanan kerja dalam diri karyawan.
Lingkungan fisik kerja berkaitan dengan suatu lembaga yang mempengaruhi
pelaksanaan kerja pada karyawan, dalam hal ini kondisi ketika karyawan
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Arti penting lingkungan fisik kerja
dalam sebuah perusahaan meliputi fasilitas perusahaan, kondisi kerja, hubungan
karyawan di dalam perusahaan, penerangan, suhu udara dan keamanan kerja. Oleh
karena itu pihak perusahaan sedapat mungkin menciptakan suatu lingkungan fisik
kerja yang baik sehingga dapat memunculkan minat kerja yang tinggi, rasa aman,
rasa diterima, dan dihargai serta perasaan berhasil pada diri karyawan dengan
demikian akan terhindar dari rasa kebosanan kerja.
Setiap tenaga kerja berhubungan langsung dan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan tempat mereka bekerja. Lingkungan kerja merupakan tempat terpenting
untuk meningkatkan kesehatan sebagian besar karyawannya. Selain bermanfaat
langsung bagi perusahaan, juga karena orang menghabiskan sebagian besar waktunya
di tempat kerja. Di sisi lain, tempat kerja merupakan lingkungan yang sangat
berperan dalam kesehatan jiwa dan fisik seseorang (As’ad, 1995).
Lingkungan kerja yang menyenangkan, rekan kerja yang kooperatif, pimpinan
yang selalu memperhatikan keluh kesah karyawannya, kebijaksanaan yang
mempengaruhi kerja dan karier serta kompensasi yang adil merupakan dambaan bagi
para karyawan sehingga setiap karyawan mengharapkan lingkungan kerja yang baik
dan tidak membosankan. Hal ini didukung oleh pendapat Strauss dan Sayles (1986)
bahwa hubungan di tempat kerja yang menyenangkan akan mengurangi kebosanan.
Tetapi dalam kenyataannya, penilaian baik atau buruknya lingkungan fisik
kerja ditentukan oleh penilaian karyawannya. Seseorang mungkin menganggap
lingkungan yang sama adalah buruk sedangkan yang lain menganggap baik. Hal ini
disebabkan karena ada perbedaan persepsi masing-masing individu terhadap
lingkungan fisik kerja. Perbedaan ini dapat terjadi karena masing-masing individu
mempunyai kebutuhan, kepentingan maupun harapan yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila karyawan
memiliki persepsi yang baik pada lingkungan fisik kerja maka akan mengurangi
kebosanan kerja, namun di sisi lain karyawan yang mempunyai persepsi lingkungan
fisik kerja negatif maka karyawan akan semakin memiliki rasa bosan yang lebih
tinggi.
Mengacu pada uraian-uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya
sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap kondisi lingkungan
fisik kerja dengan kebosanan kerja. Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis
tertarik untuk menguji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul :
Hubungan antara persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja dengan kebosanan
kerja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja dengan
kebosanan kerja pada karyawan.
2. Sumbangan atau peranan persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja
terhadap kebosanan kerja pada karyawan.
3. Tingkat persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik kerja
4. Tingkat kebosanan kerja pada karyawan.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :