BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis perbankan yang melanda Indonesia mulai Juli 1997 belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bank
yang berguguran, ada yang dilikuidasi, ada yang diharuskan merger dan banyak pula
yang masih berada dalam status penyehatan BPPN. Di sisi lain pengelola bank-bank
yang berlandaskan syari’ah justru mengklaim bahwa bank-bank mereka bertambah
baik prestasinya. Indikatornya adalah bank-bank yang berlandaskan syari’ah terus
bermunculan bahkan sampai menembus masyarakat lapisan bawah dalam bentuk
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah, Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan Modal
Ventura. Sementara pada saat perekonomian booming, bagi hasil yang diperoleh bank
syari’ah dan yang diberikan pada penabung juga booming (Arifin, 2000).
Mungkin inilah yang menyebabkan sebagian pemilik bank kovensional
tertarik mengikuti jejak Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang beroperasi dengan
sistem bagi-hasil. Pendatang baru itu antara lain Bank Syari’ah Mandiri (BSM) dan
Bank Susila Bhakti (BSB). Disamping itu masih ada sejumlah bank konvensional
lainnya yang sudah berencana menerapkan dwi sistem, yakni membuka cabang
syari’ah yang menggunakan sistem bagi hasil seraya tetap membuka cabang yang
masih menggunakan sistem konvensional. Dwi sistem ini lebih populer dengan
sebutan sistem windows. Di antara bank yang menerapkan sistem windows ini antara
lain Bank Bukopin, Bank IFI dan Bank BNI.
Beberapa penelitian mengenai persepsi terhadap kualitas pelayanan dan
kepuasan konsumen telah dilakukan, antara lain oleh Kristina dan Hadi (2000).
Penelitian yang subjeknya tamu hotel Natour Garuda Yogyakarta, ditemukan korelasi
yang sangat signifikan (R=0,642, p = 0,000). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi
persepsi terhadap kualitas pelayanan maka akan semakin tinggi kepuasan konsumen.
Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2002) secara implisit
ditemukan korelasi yang positif antara persepsi terhadap kualitas pelayanan dengan
kepuasan konsumen.
Pada era global saat ini pembahasan faktor manusia dalam ruang lingkup
pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting. Persaingan yang ketat di berbagai
bidang pekerjaan membuat manusia yang terlibat di dalamnya ingin memberikan
yang terbaik bagi orang lain, terutama dengan masalah pelayanan. Pembeli atau
konsumen adalah aset yang sangat berharga, sayangnya ketika sedang melayani,
karyawan kadang-kadang lupa akan fungsinya yaitu berada satu titik dibawah
pelanggan, yang berarti bahwa pada saat melayani posisi karyawan lebih rendah dari
pelanggan. Sebagai contoh dalam kasus perbankan, satu orang nasabah yang tidak
puas akan menceritakan pengalamannya kepada sekitar 9 orang. Dan, beberapa
orang dari 9 nasabah yang tidak puas tersebut akan menginformasikannya lebih jauh
kepada 20 orang lagi. Seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristina dan
Hadi (2000) jika dalam satu bulan, sebuah bank menerima 2 pengaduan atau 24
kasus setahun. Maka dapat diperkirakan ada sekitar 480 orang yang tidak puas
dalam setahun. Jika rata-rata nasabah yang tidak puas menceritakan pada 9 orang (9 x
480 = 4320) dan 13 % menceritakan lebih jauh pada 20 orang (20 x 480 x 0,13 =
1248), maka dalam setahun ada potensi untuk tersebarnya berita negatif
mengenai bank kepada 5568 orang. Padahal kebanyakan orang lebih mempercayai
berita lesan dari sahabat, keluarga, dan tetangga ini dari pada iklan dari perusahaan.
Singkatnya, berita dari mulut ke mulut yang negatif tersebut akan menghancurkan
hasil-hasil dari kegiatan promosi dan periklanan.
Ketika sedang melayani pelanggan, karyawan harus pandai menempatkan
diri agar timbul keselarasan antara pelanggan dengan karyawan. Keberhasilan suatu
penjualan ditentukan juga oleh kemampuan karyawan dalam menyelami persepsi para
pembeli atau konsumen sehingga dapat diketahui apa yang diinginkan oleh
konsumen. Perilaku konsumen adalah sebuah proses pembetukan minat, dengan
mengenal perilaku konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya maka akan
dapat membantu karyawan dalam memberikan pelayanan yang memadai.
Pelayanan selalu mengacu pada pribadi dan situasi yang ditimbulkan oleh
pelayan atau karyawan itu sendiri sehingga menimbulkan kegembiraan, kesenangan
dan kepuasan. Oleh karena itu pada saat melayani konsumen, karyawan harus
memiliki kemampuan dan sikap yang positif terhadap konsumen Menurut Crisp
(1993) sikap positif dalam bekerja adalah menyuarakan suasana hati kepada orang
lain secara positif. Ketika seorang karyawan menghadapi pelanggan atau konsumen
dengan positif biasanya respon pelanggan atau kosumen adalah positif pula, demikian
juga jika karyawan bersikap negatif, respon yang akan diterima adalah negatif.
Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia
jasa atau karyawan dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Seiring dengan kemajuan tehnologi tuntutan konsumen akan layanan yang
berkualitas semakin meningkat, dahulu konsumen membeli suatu produk atau jasa
hanya berdasar pada kebutuhan saja, sekarang ini konsumen lebih bersifat kritis,
terinformasi dan bersifat menuntut. Konsumen lebih memperhatikan masalah kualitas
sehingga kepuasan pribadi menjadi semacam kebutuhan yang selalu ingin dipenuhi.
Kondisi seperti itu menyebabkan organisasi atau dunia usaha berusaha mendekati
konsumen.
Perusahaan dalam menangani masalah kepuasan konsumen harus berusaha
mengetahui apa yang diharapkan konsumen dari produk dan jasa yang dihasilkan.
Harapan konsumen dapat diidentifikasikan secara tepat apabila perusahaan mengerti
persepsi konsumen terhadap kepuasan. Mengetahui persepsi konsumen terhadap
kepuasan sangatlah penting, agar tidak terjadi kesenjangan (gap) persepsi perusahaan
dengan konsumen.
Pada kenyataannya masalah kualitas pelayanan seringkali dikesampingkan
atau kurang diperhatikan secara baik oleh setiap karyawan. Hal ini dapat disebabkan
karena dianggap sebagai aktivitas pendukung diluar produk atau barang yang
dihasilkan. Karyawan sering bersikap tidak memuaskan pada konsumen, ada yang
bersikap kurang sopan, sinis dan ogah-ogahan dalam melayani konsumen. Dari
perspektif konsumen sendiri sering kali muncul begitu banyak keluhan menyangkut
rendahnya kualitas produk, harga terlampau tinggi, jaminan purna jual yang tidak
memadai, dan sebagainya. Berbagai surat pembaca dalam media massa yang
memuat keluhan dari konsumen terhadap kualitas pelayanan dari perusahaan
merupakan indikasi betapa buruknya manajemen service yang dilakukan berbagai
perusahaan. Akibatnya kepuasan konsumen konsumen akan menurun karena merasa
tidak mendapatkan kualitas pelayanan yang baik dari karyawan pada perusahaan
yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah,
“Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap kualitas pelayanan karyawan dengan
kepuasan konsumen .” Untuk mengkaji lebih lanjut rumusan masalah di atas maka
penulis mengadakan penelitian dengan mengambil judul : Hubungan Antara Persepsi
Terhadap Kualitas Pelayanan Karyawan dengan Kepuasan konsumen .
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis perbankan yang melanda Indonesia mulai Juli 1997 belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bank
yang berguguran, ada yang dilikuidasi, ada yang diharuskan merger dan banyak pula
yang masih berada dalam status penyehatan BPPN. Di sisi lain pengelola bank-bank
yang berlandaskan syari’ah justru mengklaim bahwa bank-bank mereka bertambah
baik prestasinya. Indikatornya adalah bank-bank yang berlandaskan syari’ah terus
bermunculan bahkan sampai menembus masyarakat lapisan bawah dalam bentuk
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah, Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan Modal
Ventura. Sementara pada saat perekonomian booming, bagi hasil yang diperoleh bank
syari’ah dan yang diberikan pada penabung juga booming (Arifin, 2000).
Mungkin inilah yang menyebabkan sebagian pemilik bank kovensional
tertarik mengikuti jejak Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang beroperasi dengan
sistem bagi-hasil. Pendatang baru itu antara lain Bank Syari’ah Mandiri (BSM) dan
Bank Susila Bhakti (BSB). Disamping itu masih ada sejumlah bank konvensional
lainnya yang sudah berencana menerapkan dwi sistem, yakni membuka cabang
syari’ah yang menggunakan sistem bagi hasil seraya tetap membuka cabang yang
masih menggunakan sistem konvensional. Dwi sistem ini lebih populer dengan
sebutan sistem windows. Di antara bank yang menerapkan sistem windows ini antara
lain Bank Bukopin, Bank IFI dan Bank BNI.
Beberapa penelitian mengenai persepsi terhadap kualitas pelayanan dan
kepuasan konsumen telah dilakukan, antara lain oleh Kristina dan Hadi (2000).
Penelitian yang subjeknya tamu hotel Natour Garuda Yogyakarta, ditemukan korelasi
yang sangat signifikan (R=0,642, p = 0,000). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi
persepsi terhadap kualitas pelayanan maka akan semakin tinggi kepuasan konsumen.
Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2002) secara implisit
ditemukan korelasi yang positif antara persepsi terhadap kualitas pelayanan dengan
kepuasan konsumen.
Pada era global saat ini pembahasan faktor manusia dalam ruang lingkup
pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting. Persaingan yang ketat di berbagai
bidang pekerjaan membuat manusia yang terlibat di dalamnya ingin memberikan
yang terbaik bagi orang lain, terutama dengan masalah pelayanan. Pembeli atau
konsumen adalah aset yang sangat berharga, sayangnya ketika sedang melayani,
karyawan kadang-kadang lupa akan fungsinya yaitu berada satu titik dibawah
pelanggan, yang berarti bahwa pada saat melayani posisi karyawan lebih rendah dari
pelanggan. Sebagai contoh dalam kasus perbankan, satu orang nasabah yang tidak
puas akan menceritakan pengalamannya kepada sekitar 9 orang. Dan, beberapa
orang dari 9 nasabah yang tidak puas tersebut akan menginformasikannya lebih jauh
kepada 20 orang lagi. Seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristina dan
Hadi (2000) jika dalam satu bulan, sebuah bank menerima 2 pengaduan atau 24
kasus setahun. Maka dapat diperkirakan ada sekitar 480 orang yang tidak puas
dalam setahun. Jika rata-rata nasabah yang tidak puas menceritakan pada 9 orang (9 x
480 = 4320) dan 13 % menceritakan lebih jauh pada 20 orang (20 x 480 x 0,13 =
1248), maka dalam setahun ada potensi untuk tersebarnya berita negatif
mengenai bank kepada 5568 orang. Padahal kebanyakan orang lebih mempercayai
berita lesan dari sahabat, keluarga, dan tetangga ini dari pada iklan dari perusahaan.
Singkatnya, berita dari mulut ke mulut yang negatif tersebut akan menghancurkan
hasil-hasil dari kegiatan promosi dan periklanan.
Ketika sedang melayani pelanggan, karyawan harus pandai menempatkan
diri agar timbul keselarasan antara pelanggan dengan karyawan. Keberhasilan suatu
penjualan ditentukan juga oleh kemampuan karyawan dalam menyelami persepsi para
pembeli atau konsumen sehingga dapat diketahui apa yang diinginkan oleh
konsumen. Perilaku konsumen adalah sebuah proses pembetukan minat, dengan
mengenal perilaku konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya maka akan
dapat membantu karyawan dalam memberikan pelayanan yang memadai.
Pelayanan selalu mengacu pada pribadi dan situasi yang ditimbulkan oleh
pelayan atau karyawan itu sendiri sehingga menimbulkan kegembiraan, kesenangan
dan kepuasan. Oleh karena itu pada saat melayani konsumen, karyawan harus
memiliki kemampuan dan sikap yang positif terhadap konsumen Menurut Crisp
(1993) sikap positif dalam bekerja adalah menyuarakan suasana hati kepada orang
lain secara positif. Ketika seorang karyawan menghadapi pelanggan atau konsumen
dengan positif biasanya respon pelanggan atau kosumen adalah positif pula, demikian
juga jika karyawan bersikap negatif, respon yang akan diterima adalah negatif.
Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia
jasa atau karyawan dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Seiring dengan kemajuan tehnologi tuntutan konsumen akan layanan yang
berkualitas semakin meningkat, dahulu konsumen membeli suatu produk atau jasa
hanya berdasar pada kebutuhan saja, sekarang ini konsumen lebih bersifat kritis,
terinformasi dan bersifat menuntut. Konsumen lebih memperhatikan masalah kualitas
sehingga kepuasan pribadi menjadi semacam kebutuhan yang selalu ingin dipenuhi.
Kondisi seperti itu menyebabkan organisasi atau dunia usaha berusaha mendekati
konsumen.
Perusahaan dalam menangani masalah kepuasan konsumen harus berusaha
mengetahui apa yang diharapkan konsumen dari produk dan jasa yang dihasilkan.
Harapan konsumen dapat diidentifikasikan secara tepat apabila perusahaan mengerti
persepsi konsumen terhadap kepuasan. Mengetahui persepsi konsumen terhadap
kepuasan sangatlah penting, agar tidak terjadi kesenjangan (gap) persepsi perusahaan
dengan konsumen.
Pada kenyataannya masalah kualitas pelayanan seringkali dikesampingkan
atau kurang diperhatikan secara baik oleh setiap karyawan. Hal ini dapat disebabkan
karena dianggap sebagai aktivitas pendukung diluar produk atau barang yang
dihasilkan. Karyawan sering bersikap tidak memuaskan pada konsumen, ada yang
bersikap kurang sopan, sinis dan ogah-ogahan dalam melayani konsumen. Dari
perspektif konsumen sendiri sering kali muncul begitu banyak keluhan menyangkut
rendahnya kualitas produk, harga terlampau tinggi, jaminan purna jual yang tidak
memadai, dan sebagainya. Berbagai surat pembaca dalam media massa yang
memuat keluhan dari konsumen terhadap kualitas pelayanan dari perusahaan
merupakan indikasi betapa buruknya manajemen service yang dilakukan berbagai
perusahaan. Akibatnya kepuasan konsumen konsumen akan menurun karena merasa
tidak mendapatkan kualitas pelayanan yang baik dari karyawan pada perusahaan
yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah,
“Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap kualitas pelayanan karyawan dengan
kepuasan konsumen .” Untuk mengkaji lebih lanjut rumusan masalah di atas maka
penulis mengadakan penelitian dengan mengambil judul : Hubungan Antara Persepsi
Terhadap Kualitas Pelayanan Karyawan dengan Kepuasan konsumen .
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :