BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awalnya tes psikologi hanya dipergunakan untuk kepentingan klinis
dan pendidikan, khususnya menangani masalah keterbelakangan mental. Seiring
dengan perputaran waktu dan banyaknya penemuan-penemuan dalam ilmu
psikologi yang sangat pesat pada akhir abad XIX, maka tes psikologi tidak hanya
digunakan menangani masalah klinis dan pendidikan saja, tetapi dipergunakan
dalam bidang ilmu pengetahuan yang lain, baik secara pure science maupun
applied,
sebab psikologi sebagai ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan secara
tegas dengan ilmu pengetahuan yang lain, termasuk dalam bidang industri dan
organisasi. Penggunaan tes untuk menyaring pelamar kerja mempunyai sejarah
panjang dalam psikologi industri dan organisasi, paling tidak dimulai sejak perang
dunia I (Jewel dan Siegall, 1998). Menurut Anastasi dan Urbina (1997), tes
psikologi pada umumnya digunakan sebagai alat bantu dalam keputusan-
keputusan tentang pekerjaan, meliputi konseling individual maupun keputusan-
keputusan kelembagaan yang menyangkut seleksi dan klasifikasi personal.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang semakin pesat dibutuhkan
tenaga kerja yang handal yang sesuai dengan bakat dan potensinya. Dengan
penempatan yang sesuai dengan bakat dan potensi tersebut akan dapat
ditingkatkan produktivitas kerja atau dalam rangka kebutuhan akan penambahan
tenaga kerja perusahaan kadangkala timbul secara mendadak dan jumlahnya tidak
begitu besar. Dalam hal ini testing psikologi dilakukan untuk mengukur kondisi
seseorang dalam hal kejiwaan dan potensi serta kemampuan khusus. Pengukuran
beberapa aspek tersebut di atas merupakan usaha yang sangat penting dalam
memprediksi kemampuan/potensi yang dimiliki seseorang sesuai persyaratan
yang ditentukan oleh perusahaan yang membutuhkan calon tenaga kerja tersebut
(Anastasi dan Urbina, 1997).
Pelaksanaan tes psikologi di sektor industri dan organisasi swasta maupun
pemerintah diharapkan dapat menyaring atau memilih orang-orang yang cocok
atau tepat untuk menduduki suatu jabatan atau posisi. Cocok di sini diartikan
bahwa orang dengan kemampuan tertentu karyawan ditempatkan pada posisi atau
jabatan tertentu pula, sebab seleksi merupakan proses utama dalam macthing
(mencocokkan) individu dengan jabatan atau pekerjaan dalam istilah industri
disebut fitting the person to the job (Haryanto, 1999). Menurut Anastasi dan
Urbina (1997) dari sudut pandang pemilik perusahaan atau pekerja, hal yang
sangat penting adalah bahwa individu ditempatkan pada pekerjaan dengan
kualifikasi yang tepat. Lebih lanjut Anastasi dan Urbina (1997) mengatakan
bahwa penempatan yang efektif juga memberikan implikasi bahwa ciri-ciri yang
tidak relevan dengan persyaratan sebuah pekerjaan seharusnya tidak
mempengaruhi keputusan-keputusan seleksi, entah secara menguntungkan
ataupun tidak.
Deskripsi tentang pentingnya tes psikologi dalam industri dan organisasi
adalah bahwa karyawan yang terlatih akan menghemat ongkos produksi 20.880
Dollar US
per tahun (Hadi, 2000), artinya adalah bahwa sebelum seseorang
dinyatakan sebagai karyawan pada suatu perusahaan sebaiknya dites psikologi
terlebih dahulu agar perusahaan tahu apa bakat, minat, dan keahliannya. Setelah
perusahaan mengetahui tentang bakat, minat, dan keahliannya maka perusahaan
merekrut mereka yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan men- training
mereka sesuai dengan bakat, minat, dan keahlian mereka. Dengan demikian akan
menghemat ongkos produksi perusahaan itu. Laporan ini diterbitkan pada tahun
1945. Karyawan yang tidak terlatih mengalami kecelakaan yang lebih banyak
dalam pekerjaannya yaitu 19% dibandingkan dengan karyawan yang terlatih. Dan
dibawah bimbingan sarjana psikologi industri tersebut program latihannya telah
mengurangi jumlah bahan-bahan yang terbuang, kerusakan alat, menekan turn
over dan mengurangi absenteisme
51%. Dari deskripsi diatas maka perusahaan-
perusahaan merasa sangat memerlukan tes psikologi untuk keperluan-keperluan
seleksi, klasifikasi, promosi dalam perusahaannya.
Tes psikologi lebih populer di kalangan masyarakat dengan istilah
psikotes. Selain di bidang pendidikan, istilah ini juga dikenal oleh ibu-ibu rumah
tangga, orang tua wali murid, karyawan sipil dan TNI/ABRI. Terutama dalam
hubungan dengan seleksi calon karyawan yang akan bekerja dalam suatu instansi
(Sadli, 1991). Tapi walaupun mereka (calon karyawan) kenal dengan tes psikologi
mereka hanya kenal pada sebatas istilah yang popular itu, atau mereka hanya tahu
dari mulut ke mulut ataupun tahu dari majalah atau buku-buku panduan tes.
Mereka berusaha untuk menyimpulkan informasi-informasi tentang tes psikologi
itu berdasarkan pandangan, pengamatan, dan menghubung-hubungkan informasi
itu kemudian menafsirkannya. Peristiwa tersebut dinamakan perception atau
persepsi. Menurut Rahmat (1996) persepsi adalah cara pandang, pengamatan,
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menaksirkan pesan. Berdasarkan persepsi itu,
mereka (calon karyawan) mungkin suatu saat akan merasa lebih siap dalam
menghadapi tes psikologi.
Menurut Cronbach (dalam Sadli, 1991) bahwa tes merupakan prosedur
yang sistematis untuk memperbandingkan prilaku dua orang atau lebih. Ini berarti
sesuai dengan fungsi seleksi yaitu membandingkan dua orang atau lebih yang
mana yang lebih baik dan lebih cocok untuk menduduki suatu jabatan atau posisi.
Hal senada dikatakan Anastasi dan Urbina (1997), yaitu secara umum tes
psikologi untuk mengukur perbedaan antara individu-individu atau antara reaksi-
reaksi individu yang sama dalam situasi yang berbeda. Tes psikologi umumnya
digunakan sebagai alat Bantu dalam pengambilan keputusan-keputusan tentang
pekerjaan, meliputi baik konseling individual maupun keputusan-keputusan
kelembagaan yang menyangkut seleksi dan klasifikasi personal.
Tes psikologi memang fenomena yang menarik, di satu pihak sangat
membutuhkan tes ini (orang, perusahaan swasta dan negara), di lain pihak (calon
tenaga kerja) sangat takut dan mau tidak mau harus melaksanakannya. Pada
umumnya tes psikologi sering dikaitkan dengan tes intelegensi untuk mengetahui
IQ, bakat dan kemampuan akan tetapi, tes psikologi diartikan atau dikaitkan
dengan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan tujuan penggunaan tes
psikologi itu sendiri (Irfan dan Rustam, 2000). Pernyataan senada juga dikatakan
oleh Gandadiputra (dalam Sadli, 1991), tes psikologi dianggap terbatas pada tes
IQ, kecerdasan, bakat. Banyak ahli yang mendefinisikan tes psikologi ini, pada
umumnya sama dan saling melengkapi.
Bila seseorang akan menghadapi ujian, pasti mereka akan mempersiapkan
diri, biasanya mereka tahu apa yang harus dipersiapkan, karena bahan ujian itu
umumnya telah jelas batas-batasnya serta telah diketahui pula bagaimana ujian itu
akan dilakukan, contoh: ujian bahasa Indonesia bab I sampai bab II, maka yang
dipelajari adalah dua bab itu dan tidak mungkin mempelajari bab yang lain
walaupun bidang studinya sama. Dari deskripsi diatas maka akan diketahui
perbedaan antara tes-tes umum dengan tes psikologi.
Menurut Azwar (1987), seseorang yang akan menghadapi tes, apalagi tes
psikologi akan merasa suatu ketidakpastian mengenai apa yang harus
dipersiapkan, apa yang akan dihadapinya, dan bagaimana tes itu nanti akan
dikenakan padanya (kecuali bila ia sudah berpengalaman dalam hal tes psikologi).
Sering dijumpai orang akan merasa sangat gelisah dan cemas karena harus
mengikuti tes psikologi (Irfan dan Rustam, 2000).
Menurut Spielberger (dalam Rahmat, 1992) kecemasan didefinisikan
sebagai suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan ditandai oleh
perasaan subyektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, dan juga ditandai
oleh aktifnya system syaraf pusat (cerrebro spinalis system).
Kecemasan dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari berbagai proses
emosi yang bercampur aduk dan terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan
perasaan dan pertentangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kecemasan itu
mempunyai segi yang disadari, seperti: rasa terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa,
terancam dan sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi diluar kesadaran,
seperti: merasa takut tanpa tahu sebabnya, ia menjadi takut dan tidak dapat
menghindari perasaan yang tidak menyenangkan tersebut (Daradjat, 1990).
Rendahnya pengetahuan mengenai tes psikologi ini membuat calon
karyawan (tenaga kerja) menjadi merasa tidak berdaya, takut untuk menghadapi
dan melaksanakan tes psikologi. Menurut Sadli (1991) terutama hubungannya
dengan seleksi calon karyawan yang akan bekerja dalam suatu perusahaan atau
instansi, tes psikologi sebagai istilah, disatu pihak menakutkan atau membuat
orang merasa ngeri dan dilain pihak merupakan suatu hal yang sangat membantu
tapi tak jarang orang sangat gelisah karena harus menghadapi tes psikologi ini.
Bahkan tes psikologi ini dianggap sebagai suatu ancaman kegagalan untuk
terwujudnya suatu cita-cita, sekolah, kerja, dan lain-lain, mereka sangat cemas
bila menghadapi dan melaksanakan tes psikologi karena tidak tahu apa yang harus
dipersiapkan dan apa yang harus dilakukan.
Pada penelitian ini penulis ingin meneliti calon tenaga kerja job-hoping
sebab mereka mempunyai keinginan yang sangat besar dalam bekerja, suka
melamar kerja, dan masih sedikit pengalaman dalam menghadapi dan
melaksanakan testing psikologi. Menurut Hurlock (2001) banyak orang dewasa
muda yang kurang memiliki ketrampilan dan pelatihan untuk suatu pekerjaan
tertentu dalam melamar berbagai kantor yang sifatnya berbeda dengan yang
dilamar, tidak sesuai pula dengan ketrampilan dan pengetahuan yang dimilikinya,
masa tersebut adalah masa berharap bekerja job-hopping yang terjadi pada waktu
manusia dewasa muda yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun.
Individu pada masa dewasa muda yang sedang gigih mencari pekerjaan
banyak mengalami kecemasan dalam menghadapi tes psikologi, sebab mereka
belum pernah melakukan tes psikologi atau baru sekali atau dua kali
menjalaninya, artinya mereka belum mempunyai pengalaman dalam hal tes
psikologi. Mereka berusaha mendapatkan informasi tentang pelaksanaan testing
psikologi dari teman yang sudah pernah menjalani testing psikologi atau
membaca-baca buku-buku panduan dan majalah-majalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
meneliti permasalahan tentang apakah ada hubungan antara persepsi terhadap
pelaksanaan testing psikologi dengan kecemasan calon tenaga kerja job-hoping.
B. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara persepsi terhadap pelaksanaan testing psikologi dengan
kecemasan calon tenaga kerja job-hoping.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awalnya tes psikologi hanya dipergunakan untuk kepentingan klinis
dan pendidikan, khususnya menangani masalah keterbelakangan mental. Seiring
dengan perputaran waktu dan banyaknya penemuan-penemuan dalam ilmu
psikologi yang sangat pesat pada akhir abad XIX, maka tes psikologi tidak hanya
digunakan menangani masalah klinis dan pendidikan saja, tetapi dipergunakan
dalam bidang ilmu pengetahuan yang lain, baik secara pure science maupun
applied,
sebab psikologi sebagai ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan secara
tegas dengan ilmu pengetahuan yang lain, termasuk dalam bidang industri dan
organisasi. Penggunaan tes untuk menyaring pelamar kerja mempunyai sejarah
panjang dalam psikologi industri dan organisasi, paling tidak dimulai sejak perang
dunia I (Jewel dan Siegall, 1998). Menurut Anastasi dan Urbina (1997), tes
psikologi pada umumnya digunakan sebagai alat bantu dalam keputusan-
keputusan tentang pekerjaan, meliputi konseling individual maupun keputusan-
keputusan kelembagaan yang menyangkut seleksi dan klasifikasi personal.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang semakin pesat dibutuhkan
tenaga kerja yang handal yang sesuai dengan bakat dan potensinya. Dengan
penempatan yang sesuai dengan bakat dan potensi tersebut akan dapat
ditingkatkan produktivitas kerja atau dalam rangka kebutuhan akan penambahan
tenaga kerja perusahaan kadangkala timbul secara mendadak dan jumlahnya tidak
begitu besar. Dalam hal ini testing psikologi dilakukan untuk mengukur kondisi
seseorang dalam hal kejiwaan dan potensi serta kemampuan khusus. Pengukuran
beberapa aspek tersebut di atas merupakan usaha yang sangat penting dalam
memprediksi kemampuan/potensi yang dimiliki seseorang sesuai persyaratan
yang ditentukan oleh perusahaan yang membutuhkan calon tenaga kerja tersebut
(Anastasi dan Urbina, 1997).
Pelaksanaan tes psikologi di sektor industri dan organisasi swasta maupun
pemerintah diharapkan dapat menyaring atau memilih orang-orang yang cocok
atau tepat untuk menduduki suatu jabatan atau posisi. Cocok di sini diartikan
bahwa orang dengan kemampuan tertentu karyawan ditempatkan pada posisi atau
jabatan tertentu pula, sebab seleksi merupakan proses utama dalam macthing
(mencocokkan) individu dengan jabatan atau pekerjaan dalam istilah industri
disebut fitting the person to the job (Haryanto, 1999). Menurut Anastasi dan
Urbina (1997) dari sudut pandang pemilik perusahaan atau pekerja, hal yang
sangat penting adalah bahwa individu ditempatkan pada pekerjaan dengan
kualifikasi yang tepat. Lebih lanjut Anastasi dan Urbina (1997) mengatakan
bahwa penempatan yang efektif juga memberikan implikasi bahwa ciri-ciri yang
tidak relevan dengan persyaratan sebuah pekerjaan seharusnya tidak
mempengaruhi keputusan-keputusan seleksi, entah secara menguntungkan
ataupun tidak.
Deskripsi tentang pentingnya tes psikologi dalam industri dan organisasi
adalah bahwa karyawan yang terlatih akan menghemat ongkos produksi 20.880
Dollar US
per tahun (Hadi, 2000), artinya adalah bahwa sebelum seseorang
dinyatakan sebagai karyawan pada suatu perusahaan sebaiknya dites psikologi
terlebih dahulu agar perusahaan tahu apa bakat, minat, dan keahliannya. Setelah
perusahaan mengetahui tentang bakat, minat, dan keahliannya maka perusahaan
merekrut mereka yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan men- training
mereka sesuai dengan bakat, minat, dan keahlian mereka. Dengan demikian akan
menghemat ongkos produksi perusahaan itu. Laporan ini diterbitkan pada tahun
1945. Karyawan yang tidak terlatih mengalami kecelakaan yang lebih banyak
dalam pekerjaannya yaitu 19% dibandingkan dengan karyawan yang terlatih. Dan
dibawah bimbingan sarjana psikologi industri tersebut program latihannya telah
mengurangi jumlah bahan-bahan yang terbuang, kerusakan alat, menekan turn
over dan mengurangi absenteisme
51%. Dari deskripsi diatas maka perusahaan-
perusahaan merasa sangat memerlukan tes psikologi untuk keperluan-keperluan
seleksi, klasifikasi, promosi dalam perusahaannya.
Tes psikologi lebih populer di kalangan masyarakat dengan istilah
psikotes. Selain di bidang pendidikan, istilah ini juga dikenal oleh ibu-ibu rumah
tangga, orang tua wali murid, karyawan sipil dan TNI/ABRI. Terutama dalam
hubungan dengan seleksi calon karyawan yang akan bekerja dalam suatu instansi
(Sadli, 1991). Tapi walaupun mereka (calon karyawan) kenal dengan tes psikologi
mereka hanya kenal pada sebatas istilah yang popular itu, atau mereka hanya tahu
dari mulut ke mulut ataupun tahu dari majalah atau buku-buku panduan tes.
Mereka berusaha untuk menyimpulkan informasi-informasi tentang tes psikologi
itu berdasarkan pandangan, pengamatan, dan menghubung-hubungkan informasi
itu kemudian menafsirkannya. Peristiwa tersebut dinamakan perception atau
persepsi. Menurut Rahmat (1996) persepsi adalah cara pandang, pengamatan,
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menaksirkan pesan. Berdasarkan persepsi itu,
mereka (calon karyawan) mungkin suatu saat akan merasa lebih siap dalam
menghadapi tes psikologi.
Menurut Cronbach (dalam Sadli, 1991) bahwa tes merupakan prosedur
yang sistematis untuk memperbandingkan prilaku dua orang atau lebih. Ini berarti
sesuai dengan fungsi seleksi yaitu membandingkan dua orang atau lebih yang
mana yang lebih baik dan lebih cocok untuk menduduki suatu jabatan atau posisi.
Hal senada dikatakan Anastasi dan Urbina (1997), yaitu secara umum tes
psikologi untuk mengukur perbedaan antara individu-individu atau antara reaksi-
reaksi individu yang sama dalam situasi yang berbeda. Tes psikologi umumnya
digunakan sebagai alat Bantu dalam pengambilan keputusan-keputusan tentang
pekerjaan, meliputi baik konseling individual maupun keputusan-keputusan
kelembagaan yang menyangkut seleksi dan klasifikasi personal.
Tes psikologi memang fenomena yang menarik, di satu pihak sangat
membutuhkan tes ini (orang, perusahaan swasta dan negara), di lain pihak (calon
tenaga kerja) sangat takut dan mau tidak mau harus melaksanakannya. Pada
umumnya tes psikologi sering dikaitkan dengan tes intelegensi untuk mengetahui
IQ, bakat dan kemampuan akan tetapi, tes psikologi diartikan atau dikaitkan
dengan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan tujuan penggunaan tes
psikologi itu sendiri (Irfan dan Rustam, 2000). Pernyataan senada juga dikatakan
oleh Gandadiputra (dalam Sadli, 1991), tes psikologi dianggap terbatas pada tes
IQ, kecerdasan, bakat. Banyak ahli yang mendefinisikan tes psikologi ini, pada
umumnya sama dan saling melengkapi.
Bila seseorang akan menghadapi ujian, pasti mereka akan mempersiapkan
diri, biasanya mereka tahu apa yang harus dipersiapkan, karena bahan ujian itu
umumnya telah jelas batas-batasnya serta telah diketahui pula bagaimana ujian itu
akan dilakukan, contoh: ujian bahasa Indonesia bab I sampai bab II, maka yang
dipelajari adalah dua bab itu dan tidak mungkin mempelajari bab yang lain
walaupun bidang studinya sama. Dari deskripsi diatas maka akan diketahui
perbedaan antara tes-tes umum dengan tes psikologi.
Menurut Azwar (1987), seseorang yang akan menghadapi tes, apalagi tes
psikologi akan merasa suatu ketidakpastian mengenai apa yang harus
dipersiapkan, apa yang akan dihadapinya, dan bagaimana tes itu nanti akan
dikenakan padanya (kecuali bila ia sudah berpengalaman dalam hal tes psikologi).
Sering dijumpai orang akan merasa sangat gelisah dan cemas karena harus
mengikuti tes psikologi (Irfan dan Rustam, 2000).
Menurut Spielberger (dalam Rahmat, 1992) kecemasan didefinisikan
sebagai suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan ditandai oleh
perasaan subyektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, dan juga ditandai
oleh aktifnya system syaraf pusat (cerrebro spinalis system).
Kecemasan dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari berbagai proses
emosi yang bercampur aduk dan terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan
perasaan dan pertentangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kecemasan itu
mempunyai segi yang disadari, seperti: rasa terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa,
terancam dan sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi diluar kesadaran,
seperti: merasa takut tanpa tahu sebabnya, ia menjadi takut dan tidak dapat
menghindari perasaan yang tidak menyenangkan tersebut (Daradjat, 1990).
Rendahnya pengetahuan mengenai tes psikologi ini membuat calon
karyawan (tenaga kerja) menjadi merasa tidak berdaya, takut untuk menghadapi
dan melaksanakan tes psikologi. Menurut Sadli (1991) terutama hubungannya
dengan seleksi calon karyawan yang akan bekerja dalam suatu perusahaan atau
instansi, tes psikologi sebagai istilah, disatu pihak menakutkan atau membuat
orang merasa ngeri dan dilain pihak merupakan suatu hal yang sangat membantu
tapi tak jarang orang sangat gelisah karena harus menghadapi tes psikologi ini.
Bahkan tes psikologi ini dianggap sebagai suatu ancaman kegagalan untuk
terwujudnya suatu cita-cita, sekolah, kerja, dan lain-lain, mereka sangat cemas
bila menghadapi dan melaksanakan tes psikologi karena tidak tahu apa yang harus
dipersiapkan dan apa yang harus dilakukan.
Pada penelitian ini penulis ingin meneliti calon tenaga kerja job-hoping
sebab mereka mempunyai keinginan yang sangat besar dalam bekerja, suka
melamar kerja, dan masih sedikit pengalaman dalam menghadapi dan
melaksanakan testing psikologi. Menurut Hurlock (2001) banyak orang dewasa
muda yang kurang memiliki ketrampilan dan pelatihan untuk suatu pekerjaan
tertentu dalam melamar berbagai kantor yang sifatnya berbeda dengan yang
dilamar, tidak sesuai pula dengan ketrampilan dan pengetahuan yang dimilikinya,
masa tersebut adalah masa berharap bekerja job-hopping yang terjadi pada waktu
manusia dewasa muda yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun.
Individu pada masa dewasa muda yang sedang gigih mencari pekerjaan
banyak mengalami kecemasan dalam menghadapi tes psikologi, sebab mereka
belum pernah melakukan tes psikologi atau baru sekali atau dua kali
menjalaninya, artinya mereka belum mempunyai pengalaman dalam hal tes
psikologi. Mereka berusaha mendapatkan informasi tentang pelaksanaan testing
psikologi dari teman yang sudah pernah menjalani testing psikologi atau
membaca-baca buku-buku panduan dan majalah-majalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
meneliti permasalahan tentang apakah ada hubungan antara persepsi terhadap
pelaksanaan testing psikologi dengan kecemasan calon tenaga kerja job-hoping.
B. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara persepsi terhadap pelaksanaan testing psikologi dengan
kecemasan calon tenaga kerja job-hoping.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :