BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, maka banyak orang yang menyebut masa ini sebagai masa yang labil.
Remaja dalam proses pencarian indentitas diri tak jarang sering terjebak dalam nilai-
nilai moral dan etika yang cenderung menyimpang. Keadaan ini seiring dengan
semakin derasnya arus informasi dan teknologi yang diserap secara “apa adanya”
tanpa memilah-milah mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan, khususnya
bagi remaja. Upaya untuk mengurangi kemungkinan terjebak dalam penyerapan nilai-
nilai dan perbuatan yang menyimpang dibutuhkan kemampuan mengontrol diri pada
diri individu masing-masing.
Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976) menyatakan bahwa kontrol
diri merupakan suatu proses yang menjadikan individu sebagai subjek utama dalam
membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku yang dapat
membawanya ke arah konsekuensi yang positif. Penggunaan kontrol diri yang
optimal dapat menghindarkan individu dari penyimpangan perilaku sekaligus
menjadikan individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karakteristik
individu yang mempunyai kontrol diri yang baik adalah lebih aktif mencari informasi
dan menggunakannya untuk mengendalikan lingkungan, lebih perspektif, mempunyai
daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, mampu menunda
kepuasan, lebih ulet, bersifat mandiri, mampu mengatur dirinya sendiri dan tidak
mudah emosional. Sebaliknya, individu yang mempunyai kontrol diri rendah
cenderung pasif, menarik diri dari lingkungan, tidak mampu mendisiplinkan dirinya
sendiri, kompulsif, emosional dan reflek responnya relatif kasar.
Fakta sosial menunjukkan semakin banyaknya perilaku remaja yang keluar
dari batas-batas nilai moral yang ada dalam masyarakat. Remaja tidak lagi hanya
mencoret-coret tembok, membolos, kebut-kebutan di jalan raya atau pun berkelahi,
tetapi perbuatan remaja yang dilakukan saat ini mulai merambah ke segi-segi
kriminal secara yuridis formal, menyalahi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam
kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pencurian, pencopetan,
pemerasan, pemerkosaan, pembunuhan atau penyalahgunaan obat terlarang
(Susilawati, 2002).
Kondisi yang demikian menunjukkan betapa pentingnya kemampuan
mengontrol diri, khususnya bagi remaja dalam menjalani tugas perkembangannya.
Salah satu cara agar individu dapat mengontrol diri dengan baik adalah melalui
penanaman nilai-nilai agama dan sejauhmana individu itu melaksanakan ajaran
agama dalam kehidupannya sehari-hari. Agama memegang peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Begitu pula remaja dalam mengatasi berbagai
macam permasalahan yang dialami. Pentingnya agama bagi remaja, karena agama
bisa menjadi salah satu faktor pengendali perilaku remaja.
Menurut Daradjat (1995) suatu keadaan jiwa yang dapat dipastikan tentang
remaja adalah penuh kegoncangan. Kegoncangan itu disebabkan oleh tidak mampu
dan tidak mengertinya akan perubahan cepat yang sedang dilaluinya, di samping
kurangnya pengertian orang tua dan masyarakat sekitar akan kesukaran yang dialami
oleh remaja. Oleh karena itu remaja memerlukan banyak perhatian dan bimbingan
dari lingkungan di sekitarnya.
Menurut Sarwono (1997) karena sifat kemudaannya remaja kurang dapat
mengendalikan diri, terutama kalau yang harus dikendalikan itu adalah perasaannya.
Sebagian besar tingkah laku dan penyesuaian individu ditentukan oleh persepsinya.
Mengapa individu berbuat demikian terhadap sesuatu hal, tergantung bagaimana
individu tersebut menanggapi sesuatu itu dengan persepsinya. Jadi yang membuat diri
seseorang itu bahagia atau sengsara adalah karena persepsi-persepsinya dan sikap-
sikap dirinya tentang kejadian-kejadian dari luar dirinya.
Menghadapi berbagai pengaruh yang ada pada saat ini, memang tidak cukup
bagi orangtua hanya sekedar membesarkan anaknya, memberikan makan dan minum,
serta pakaian yang layak atau menyekolahkannya saja. Para orangtua tidak bisa
melepaskan tanggungjawab mereka dalam mendidik anak-anaknya hanya sedemikian
rupa. Mendidik di sini bukan sekedar memberikan pengajaran tentang berbagai hal
yang diketahui oleh orangtua, namun mendidik yang dapat menuntun dan
memberikan contoh yang baik bagi anak-anak. Dalam hal ini adalah memberikan
pendidikan agama pada anak agar anak dapat memilah-milah perbuatan yang pantas
dan tidak pantas untuk dilakukan.
Pendidikan agama dalam keluarga merupakan modal awal bagi seorang anak
atau remaja dalam menghadapi segala persoalan hidup dengan penuh pertimbangan
dan ketenangan. Hawari (1996) menyatakan bahwa keluarga merupakan faktor
terdekat dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini karena di samping pewarisan
norma, nilai, etika, moral dan agama, anak juga dapat mengembangkan identitas
pribadi yang terikat dengan identitas keluarga. Senada dengan pendapat tersebut,
Daradjat (1988) menyatakan bahwa lingkungan pertama yang mula-mula
memberikan pengaruh mendalam adalah lingkungan keluarga sendiri karena dari sana
anak akan dididik tentang berbagai hal.
Pendalaman agama yang dimiliki oleh orangtua akan memberikan pengaruh
yang positif kepada anak-anaknya. Pengaruh positif itu adalah anak akan selalu
mencontoh kebiasaan dan tingkah laku dari orangtuanya melalui hal-hal yang
ditunjukkan dalam keseharian, seperti : jiwa sosial dari orangtua, akhlak yang baik,
dan kesholehan serta sifat jujur dari orangtua menjadikan anak akan seperti mereka
(Ramayulis, 1987).
Remaja dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga akan membentuk
persepsi tentang kedua orangtuanya, termasuk diantaranya adalah persepsi tentang
pendidikan agama dalam keluarga yang diberikan. Karena keluarga merupakan
lingkungan yang pertama dan yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan
kepribadian, maka anak yang mempunyai persepsi positif terhadap pendidikan
agama dalam keluarga akan dapat menerima dasar-dasar perkembangan, latihan-
latihan sikap dan kebiasaan-kebiasaan baik sehingga akan mempunyai pengaruh yang
positif terhadap perkembangan kepribadian dan arah kehidupan individu.
Berkaitan dengan pentingnya pendidikan agama bagi remaja, maka dalam
Sistim Pendidikan Nasional mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib dari
Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Mata pelajaran agama selama ini hanya
diberikan porsi dua jam pelajaran dalam seminggu, porsi dua jam ini oleh beberapa
kalangan akademis masih dianggap kurang, sehingga sekolah masih perlu menambah
kegiatan keagamaan yang lain seperti Rohani Islam, pesantren kilat dan sebagainya.
Meskipun ada tambahan kegiatan keagamaan tersebut di sekolah masih banyak siswa
yang masih kurang bisa mengendalikan diri dan kelakuan yang menyimpang seperti
tawuran, narkoba, tata tertib dan sebagainya, sehingga perlu diketahui siswa kurang
bisa mengendalikan diri tersebut berasal dari keluarga yang pendidikan agama dalam
keluarga kurang atau berasal dari keluarga dengan pendidikan agama dalam keluarga
cukup.
Hasil penelitian yang dilakukan Sadli dan Zainul Biran (dalam Rustam, 1993)
terhadap 1156 pelajar yang berasal dari 46 SLTA di Jakarta yang berusia 16 – 20
tahun diketahui 6,06% pria dan 4,41% wanita pernah melakukan hubungan kelamin
dengan pacarnya. Pangkahila (1998) dalam penelitiannya terhadap 633 murid SLTA
di Denpasar dan Singaraja menemukan ada 155 murid yang pernah melakukan
hubungan seks sebelum perkawinan.
Haddad (dalam Elfida, 1995), dokter jiwa Universitas Ain Syams, dalam
konferensi kedokteran jiwa yang digelar di Toronto-Kanada menyebutkan pada hasil
penelitiannya bahwa sikap acuh-tak acuh orangtua dan perlakuan tak mesra orangtua
membuat anak menjadi stres dan pada akhirnya menjadi penyebab penyakit gangguan
jiwa. Kritikan, cemoohan dan ketidakpedulian orangtua pada remaja menimbulkan
ketidakpuasan anak pada dirinya, rasa putus asa, menghilangkan konsentrasi belajar
sehingga anak menarik diri dari pergaulan. Pelariannya adalah perilaku kenakalan
atau menggunakan obat bius (narkotik).
Uraian di atas menunjukkan bahwa segala persoalan dan problema yang
terjadi pada remaja sebenarnya berkaitan erat dengan usia yang mereka lalui, dan
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan yang terpenting bagi perkembangan dan
pembentukan kepribadian, sehingga remaja yang mendapatkan pendidikan agama
dalam keluarga akan dapat menerima dasar-dasar perkembangan, latihan-latihan
sikap dan kebiasaan-kebiasaan baik sehingga akan mempunyai pengaruh yang positif
terhadap arah kehidupan individu terutama pendidikan agama yang telah diberikan
orangtua. Akan tetapi banyak orangtua yang kurang menyadari betapa penting
pengaruh agama dalam kehidupan individu, terutama pada remaja yang sedang
mengalami masa krisis identitas. Dewasa ini banyak remaja yang bertindak sekedar
mengikuti kata hati dan tanpa memperhitungkan baik buruknya tindakan yang
dilakukan sementara orangtua terkadang tidak mengetahui atau bahkan menutup mata
dengan semua tingkah laku remaja.
Berdasar uraian di atas maka dapat dibuat suatu rumusan masalah penelitian
yaitu : apakah ada hubungan antara persepsi terhadap pendidikan agama dalam
keluarga dengan kontrol diri pada remaja ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut
secara empiris penulis mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan antara
Persepsi terhadap Pendidikan Agama dalam Keluarga dengan Kontrol Diri
pada Remaja”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap pendidikan agama dalam
keluarga dengan kontrol diri pada remaja.
2. Untuk mengetahui seberapa besar kondisi persepsi pendidikan agama dalam
keluarga pada subjek penelitian.
3. Untuk mengetahui seberapa besar kondisi kontrol diri pada subjek penelitian.
4. Untuk mengetahui peranan atau sumbangan efektif persepsi pendidikan agama
dalam keluarga terhadap kontrol diri pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, maka banyak orang yang menyebut masa ini sebagai masa yang labil.
Remaja dalam proses pencarian indentitas diri tak jarang sering terjebak dalam nilai-
nilai moral dan etika yang cenderung menyimpang. Keadaan ini seiring dengan
semakin derasnya arus informasi dan teknologi yang diserap secara “apa adanya”
tanpa memilah-milah mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan, khususnya
bagi remaja. Upaya untuk mengurangi kemungkinan terjebak dalam penyerapan nilai-
nilai dan perbuatan yang menyimpang dibutuhkan kemampuan mengontrol diri pada
diri individu masing-masing.
Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976) menyatakan bahwa kontrol
diri merupakan suatu proses yang menjadikan individu sebagai subjek utama dalam
membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku yang dapat
membawanya ke arah konsekuensi yang positif. Penggunaan kontrol diri yang
optimal dapat menghindarkan individu dari penyimpangan perilaku sekaligus
menjadikan individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karakteristik
individu yang mempunyai kontrol diri yang baik adalah lebih aktif mencari informasi
dan menggunakannya untuk mengendalikan lingkungan, lebih perspektif, mempunyai
daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, mampu menunda
kepuasan, lebih ulet, bersifat mandiri, mampu mengatur dirinya sendiri dan tidak
mudah emosional. Sebaliknya, individu yang mempunyai kontrol diri rendah
cenderung pasif, menarik diri dari lingkungan, tidak mampu mendisiplinkan dirinya
sendiri, kompulsif, emosional dan reflek responnya relatif kasar.
Fakta sosial menunjukkan semakin banyaknya perilaku remaja yang keluar
dari batas-batas nilai moral yang ada dalam masyarakat. Remaja tidak lagi hanya
mencoret-coret tembok, membolos, kebut-kebutan di jalan raya atau pun berkelahi,
tetapi perbuatan remaja yang dilakukan saat ini mulai merambah ke segi-segi
kriminal secara yuridis formal, menyalahi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam
kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pencurian, pencopetan,
pemerasan, pemerkosaan, pembunuhan atau penyalahgunaan obat terlarang
(Susilawati, 2002).
Kondisi yang demikian menunjukkan betapa pentingnya kemampuan
mengontrol diri, khususnya bagi remaja dalam menjalani tugas perkembangannya.
Salah satu cara agar individu dapat mengontrol diri dengan baik adalah melalui
penanaman nilai-nilai agama dan sejauhmana individu itu melaksanakan ajaran
agama dalam kehidupannya sehari-hari. Agama memegang peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Begitu pula remaja dalam mengatasi berbagai
macam permasalahan yang dialami. Pentingnya agama bagi remaja, karena agama
bisa menjadi salah satu faktor pengendali perilaku remaja.
Menurut Daradjat (1995) suatu keadaan jiwa yang dapat dipastikan tentang
remaja adalah penuh kegoncangan. Kegoncangan itu disebabkan oleh tidak mampu
dan tidak mengertinya akan perubahan cepat yang sedang dilaluinya, di samping
kurangnya pengertian orang tua dan masyarakat sekitar akan kesukaran yang dialami
oleh remaja. Oleh karena itu remaja memerlukan banyak perhatian dan bimbingan
dari lingkungan di sekitarnya.
Menurut Sarwono (1997) karena sifat kemudaannya remaja kurang dapat
mengendalikan diri, terutama kalau yang harus dikendalikan itu adalah perasaannya.
Sebagian besar tingkah laku dan penyesuaian individu ditentukan oleh persepsinya.
Mengapa individu berbuat demikian terhadap sesuatu hal, tergantung bagaimana
individu tersebut menanggapi sesuatu itu dengan persepsinya. Jadi yang membuat diri
seseorang itu bahagia atau sengsara adalah karena persepsi-persepsinya dan sikap-
sikap dirinya tentang kejadian-kejadian dari luar dirinya.
Menghadapi berbagai pengaruh yang ada pada saat ini, memang tidak cukup
bagi orangtua hanya sekedar membesarkan anaknya, memberikan makan dan minum,
serta pakaian yang layak atau menyekolahkannya saja. Para orangtua tidak bisa
melepaskan tanggungjawab mereka dalam mendidik anak-anaknya hanya sedemikian
rupa. Mendidik di sini bukan sekedar memberikan pengajaran tentang berbagai hal
yang diketahui oleh orangtua, namun mendidik yang dapat menuntun dan
memberikan contoh yang baik bagi anak-anak. Dalam hal ini adalah memberikan
pendidikan agama pada anak agar anak dapat memilah-milah perbuatan yang pantas
dan tidak pantas untuk dilakukan.
Pendidikan agama dalam keluarga merupakan modal awal bagi seorang anak
atau remaja dalam menghadapi segala persoalan hidup dengan penuh pertimbangan
dan ketenangan. Hawari (1996) menyatakan bahwa keluarga merupakan faktor
terdekat dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini karena di samping pewarisan
norma, nilai, etika, moral dan agama, anak juga dapat mengembangkan identitas
pribadi yang terikat dengan identitas keluarga. Senada dengan pendapat tersebut,
Daradjat (1988) menyatakan bahwa lingkungan pertama yang mula-mula
memberikan pengaruh mendalam adalah lingkungan keluarga sendiri karena dari sana
anak akan dididik tentang berbagai hal.
Pendalaman agama yang dimiliki oleh orangtua akan memberikan pengaruh
yang positif kepada anak-anaknya. Pengaruh positif itu adalah anak akan selalu
mencontoh kebiasaan dan tingkah laku dari orangtuanya melalui hal-hal yang
ditunjukkan dalam keseharian, seperti : jiwa sosial dari orangtua, akhlak yang baik,
dan kesholehan serta sifat jujur dari orangtua menjadikan anak akan seperti mereka
(Ramayulis, 1987).
Remaja dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga akan membentuk
persepsi tentang kedua orangtuanya, termasuk diantaranya adalah persepsi tentang
pendidikan agama dalam keluarga yang diberikan. Karena keluarga merupakan
lingkungan yang pertama dan yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan
kepribadian, maka anak yang mempunyai persepsi positif terhadap pendidikan
agama dalam keluarga akan dapat menerima dasar-dasar perkembangan, latihan-
latihan sikap dan kebiasaan-kebiasaan baik sehingga akan mempunyai pengaruh yang
positif terhadap perkembangan kepribadian dan arah kehidupan individu.
Berkaitan dengan pentingnya pendidikan agama bagi remaja, maka dalam
Sistim Pendidikan Nasional mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib dari
Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Mata pelajaran agama selama ini hanya
diberikan porsi dua jam pelajaran dalam seminggu, porsi dua jam ini oleh beberapa
kalangan akademis masih dianggap kurang, sehingga sekolah masih perlu menambah
kegiatan keagamaan yang lain seperti Rohani Islam, pesantren kilat dan sebagainya.
Meskipun ada tambahan kegiatan keagamaan tersebut di sekolah masih banyak siswa
yang masih kurang bisa mengendalikan diri dan kelakuan yang menyimpang seperti
tawuran, narkoba, tata tertib dan sebagainya, sehingga perlu diketahui siswa kurang
bisa mengendalikan diri tersebut berasal dari keluarga yang pendidikan agama dalam
keluarga kurang atau berasal dari keluarga dengan pendidikan agama dalam keluarga
cukup.
Hasil penelitian yang dilakukan Sadli dan Zainul Biran (dalam Rustam, 1993)
terhadap 1156 pelajar yang berasal dari 46 SLTA di Jakarta yang berusia 16 – 20
tahun diketahui 6,06% pria dan 4,41% wanita pernah melakukan hubungan kelamin
dengan pacarnya. Pangkahila (1998) dalam penelitiannya terhadap 633 murid SLTA
di Denpasar dan Singaraja menemukan ada 155 murid yang pernah melakukan
hubungan seks sebelum perkawinan.
Haddad (dalam Elfida, 1995), dokter jiwa Universitas Ain Syams, dalam
konferensi kedokteran jiwa yang digelar di Toronto-Kanada menyebutkan pada hasil
penelitiannya bahwa sikap acuh-tak acuh orangtua dan perlakuan tak mesra orangtua
membuat anak menjadi stres dan pada akhirnya menjadi penyebab penyakit gangguan
jiwa. Kritikan, cemoohan dan ketidakpedulian orangtua pada remaja menimbulkan
ketidakpuasan anak pada dirinya, rasa putus asa, menghilangkan konsentrasi belajar
sehingga anak menarik diri dari pergaulan. Pelariannya adalah perilaku kenakalan
atau menggunakan obat bius (narkotik).
Uraian di atas menunjukkan bahwa segala persoalan dan problema yang
terjadi pada remaja sebenarnya berkaitan erat dengan usia yang mereka lalui, dan
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan yang terpenting bagi perkembangan dan
pembentukan kepribadian, sehingga remaja yang mendapatkan pendidikan agama
dalam keluarga akan dapat menerima dasar-dasar perkembangan, latihan-latihan
sikap dan kebiasaan-kebiasaan baik sehingga akan mempunyai pengaruh yang positif
terhadap arah kehidupan individu terutama pendidikan agama yang telah diberikan
orangtua. Akan tetapi banyak orangtua yang kurang menyadari betapa penting
pengaruh agama dalam kehidupan individu, terutama pada remaja yang sedang
mengalami masa krisis identitas. Dewasa ini banyak remaja yang bertindak sekedar
mengikuti kata hati dan tanpa memperhitungkan baik buruknya tindakan yang
dilakukan sementara orangtua terkadang tidak mengetahui atau bahkan menutup mata
dengan semua tingkah laku remaja.
Berdasar uraian di atas maka dapat dibuat suatu rumusan masalah penelitian
yaitu : apakah ada hubungan antara persepsi terhadap pendidikan agama dalam
keluarga dengan kontrol diri pada remaja ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut
secara empiris penulis mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan antara
Persepsi terhadap Pendidikan Agama dalam Keluarga dengan Kontrol Diri
pada Remaja”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap pendidikan agama dalam
keluarga dengan kontrol diri pada remaja.
2. Untuk mengetahui seberapa besar kondisi persepsi pendidikan agama dalam
keluarga pada subjek penelitian.
3. Untuk mengetahui seberapa besar kondisi kontrol diri pada subjek penelitian.
4. Untuk mengetahui peranan atau sumbangan efektif persepsi pendidikan agama
dalam keluarga terhadap kontrol diri pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :