BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai
suku bangsa dan multi etnis, dengan etnis Jawa dan etnis Sunda sebagai kelompok
etnis pertama dan kedua terbesar dari 300 kelompok etnis yang ada di Indonesia
(Ekajati dalam Abidin, 2000) serta etnis Tionghoa sebagai etnis dari kebudayaan
asing yang berakulturasi dan paling menonjol dari etnis asing lainnya seperti Arab,
India, Pakistan, Eropa, dan lain sebagainya. Jumlah seluruh etnis Tionghoa belum
bisa dikalkulasikan secara pasti, mereka tersebar pada hampir setiap kota di
Indonesia. Paling mudah untuk dikenali dari etnis Tionghoa adalah melalui
persepsi segi fisik dan bahasa yang digunakan sehari-hari, selain itu juga dari adat
istiadat, cara berpakaian dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai perbedaan yang menjadi dasar suatu kultur terpisah dari kultur
yang lainnya tidak selalu dapat disandingkan secara harmonis. Interaksi sosial
yang terjadi baik antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara
individu dengan kelompok lain atau antara kelompok satu dengan kelompok lain
akan selalu menimbulkan penilaian satu sama lain. Penilaian itu dapat positif atau
negatif dan merupakan hasil belajar. Evaluasi positif atau negatif terhadap yang
lain ( kelompok / individu ) ini disebut sikap (Fishbein dan Ajzen dalam Soeboer,
1990). Sikap terhadap kelompok etnis tertentu, terlebih yang negatif dapat
memiliki konsekuensi buruk, misalnya kebencian terhadap kelompok yang
berbeda dengan dirinya akan melahirkan adanya stereotip-stereotip terhadap
kelompok tertentu tanpa mengadakan pengecekan lebih lanjut. Tindakan-tindakan
yang lebih ekstrim dalam masalah ini adalah bentuk-bentuk agresi yang terjadi
antara kelas, suku atau etnis, atau bahkan antar negara.
Agresi-agresi antar etnis di Indonesia terjadi karena gesekan-gesekan
multi etnis yang tak jarang berbuntut panjang. Seperti peristiwa pertengahan Mei
1998 di Jakarta dan di Solo yang ditangkap sebagai insiden kekerasan rasial yang
dilakukan oleh sebagian warga pribumi terhadap sebagian warga etnis Tionghoa.
Berbagai masalah mendasari meledaknya insiden yang tak pelak lagi
menimbulkan traumatik tersebut. Sebagian dari mereka mempersepsi insiden
tersebut secara negatif, artinya mereka menyesalkan dan mengecam terjadinya
peristiwa kekerasan (agresi) tersebut, akan tetapi ada sebagian dari mereka yang
mempersepsi peristiwa kekerasan tersebut secara positif, yakni mereka menilai
agresi tersebut wajar atau harus terjadi (Abidin, 2000).
Selain insiden kekerasan rasial pada pertengahan Mei 1998 ada beberapa
gesekan multi etnis lain dengan berbagai sebab yang menelan banyak korban jiwa
maupun korban harta benda. Seperti peristiwa agresi antara etnis Dayak dengan
etnis Madura di Sampit, agresi antara sebagian masyarakat Aceh yang tergabung
dalam GAM dengan pemerintah yang notabene terdiri atas berbagai macam kultur
dikarenakan adanya intrik politik, agresi antara masyarakat Ambon yang multi
etnis karena isu SARA, dan lain sebagainya yang tentu saja menambah panjang
daftar insiden kekerasan rasial di Indonesia.
Menurut Soekanto (1993) agresi merupakan perilaku yang bertujuan
melukai seseorang atau merusak suatu benda. Pada peristiwa pertengahan Mei
1998, agresi tersebut diwujudkan dalam bentuk perusakan, penjarahan, dan
pembakaran perusahaan-perusahaan, toko-toko dan sarana prasarana serta sumber-
sumber ekonomi milik etnis Tionghoa lainnya. Beberapa yang beruntung hanya
mendapat lemparan batu saja, yang paling menyedihkan adalah terjadinya
penganiayaan secara fisik terutama pemerkosaan perempuan-perempuan etnis
Tionghoa. Beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis belasan tahun. Ada
beberapa yang tidak dilukai, tetapi mungkin sudah hamil. Korban pemerkosaan
tersebut banyak yang mengalami dilema besar tentang apa yang harus diperbuat
pada janin dalam kandungan mereka kalau janin tersebut dilahirkan karena
perempuan korban pemerkosaan ini seumur hidup akan teringat peristiwa keji
tersebut. Beberapa korban yang tidak mengalami kehamilan, untuk jangka waktu
yang sangat lama, akan mengalami trauma psikologis yang selamanya menghantui
mereka. Salah satu korban pemerkosaan tersebut belakangan diketahui menderita
obsesive compulsive neurosis, dimana korban terus menerus mencuci tangan dan
mandi tiga sampai empat kali sehari. Secara simbolis ini dapat dilihat sebagai
penyucian diri dari dosa-dosanya (Sidharta dalam Wibowo, 2001).
Ketimpangan ekonomi merupakan salah satu pemicu meledaknya
konflik-konflik antara pribumi dan non pribumi, dimana pihak pendatang
seringkali menjadi sasaran agresi karena dinilai mendapat kemudahan dan
keistimewaan dari pihak berwenang, atau sebaliknya. Padahal keberhasilan
mereka dalam sektor ekonomi (misalnya) karena tuntutan mereka harus bertahan
hidup tanpa bergantung pada pihak pemerintah disebabkan karena akses sektor
pemerintah tertutup bagi mereka. Ketika menilik sejarah, etnis Tionghoa sejak
zaman Hindia Belanda ditempatkan sebagai golongan kedua yakni termasuk
dalam golongan Timur Asing. Belanda sebagai golongan pertama merupakan
penguasa (birokrasi) yang memegang hak izin eksport dan import. Masyarakat
Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka juga memiliki izin
import juga eksport untuk barang-barang yang berasal dari Cina. Masyarakat
pribumi lebih mendominasi sektor pertanian dan perkebunan, beberapa masuk
dalam jalur pemerintahan (golongan bangsawan).
Dilihat dari struktur di atas diketahui bila kemampuan dan keberhasilan
etnis Tionghoa dalam berusaha merupakan keharusan bagi mereka untuk bertahan
hidup dalam lingkungan baru yang mereka tinggali, kemudian diturunkan pada
generasi-generasi di bawah mereka. Selain itu sistem politik dan pemerintahan
yang hampir menutup akses etnis Tionghoa ke jalur tersebut baik dari masa
Hindia Belanda sampai Orde Baru tetap menempatkan masyarakat Tionghoa
sebagai warga neo kelas dua berlabel massa mengambang (floating mass) yang
menjadikan mereka sebagai obyek pemerasan dan pemerahan bagi posisi penguasa
dari golongan manapun, baik Hindia Belanda maupun pribumi (Witanto dalam
Wibowo, 2001).
Seringkali anggapan orang Tionghoa sebagai barometer perekonomian
justru menempatkan mereka pada posisi sulit, karena selalu dianggap lebih kaya
dari pribumi, padahal pada kenyataannya tidak semua orang Tionghoa kaya,
bahkan banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan tegas
dikatakan bahwa Etnis Tionghoa yang beremigrasi ke luar daratan Cina bukanlah
pengusaha. Emigran tersebut terdiri dari petani, penjaga toko, dan buruh pabrik.
Sesampai di tempat tujuan kebanyakan menjadi kuli atau buruh perkebunan
(terutama karet). Dengan demikian ditolak premis bahwa etnis Tionghoa sudah
kaya sebelum menjadi kaya sekali (Wibowo, 2001). Namun sayangnya situasi
konflik acapkali tidak memberi kesempatan obyektif untuk memfilter mana yang
kaya dan mana yang miskin, yang terpenting kelompok tersebut merupakan
sasaran dari prasangka mereka.
Berbagai tindak kekerasan multi etnis yang melanda kota-kota dengan
interaksi antar etnis yang tinggi seperti Jakarta dan Solo tersebut mempengaruhi
situasi keamanan nasional pada saat itu. Namun Salatiga, misalnya, dengan
kondisi interaksi antar etnis yang sama tinggi pula belum terlihat mendapat
dampak dari peristiwa tersebut. Tetapi tidak dapat dipungkiri kekhawatiran,
perasaan tidak aman, prasangka hingga persepsi negatif ataupun positif mulai
nampak. Toko-toko atau pusat-pusat industri dan perekonomian mulai ditutup,
sebagai tindak antisipasi terjadinya penjarahan dan pembakaran aset-aset pribadi
dan perusahaan, seperti halnya yang terjadi di kota Solo dan Jakarta.
Sears, Freedman, Peplau, dan Taylor (1988) mengemukakan bahwa
prasangka mempengaruhi persepsi, karena prasangka berfungsi sebagai skema
afektif dan evaluatif (suka atau tidak suka) pada saat individu menerima dan
mengolah stimulus dan informasi dari luar. Saat individu berbeda etnis
berinteraksi, baik dalam situasi formal maupun nonformal, secara langsung
maupun tidak langsung terjadi penilaian satu sama lain menurut frame masing-
masing individu. Ketika prasangka memasuki koridor persepsi maka akan
mempengaruhi tindakan selanjutnya.
Pada tahun 1998, insiden kekerasan rasial yang tengah merebak di
berbagai kota seperti Jakarta dan Solo, mau tidak mau menimbulkan prasangka
warga non pribumi terhadap warga pribumi, karena menempatkan warga non
pribumi sebagai korban baik secara fisik maupun secara psikologis. Sehingga
banyak dari warga non pribumi yang memutuskan untuk mengamankan diri
mereka beserta keluarganya dengan pergi ke luar negeri. Meskipun pada beberapa
kota multi etnis lain seperti Yogyakarta dan Salatiga, prasangka tersebut tidak
benar-benar terbukti namun adanya tindakan-tindakan antisipasi dan peningkatan
pengamanan menunjukkan mulai timbul bermacam-macam persepsi.
Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimulasi inderawi atau sensory
stimuli (Desiderato dalam Rakhmat, 2004). Sedang prasangka menurut Harriman
(1995) adalah suatu keputusan yang tidak dipertimbangkan sebelumnya.
Penelitian Abidin (2000) menunjukkan dalam peristiwa pertengahan Mei
1998 terlihat jika masyarakat etnis Jawa sebagai pribumi memiliki prasangka
rasial terhadap masyarakat etnis Tionghoa dan sebagian mempersepsi agresi
secara positif terjadinya insiden tersebut. Namun prasangka rasial dan persepsi
agresi nampaknya tidak hanya dimiliki oleh sebagian pribumi saja, sebagian warga
etnis Tionghoa pun mempunyai prasangka rasial dan persepsi agresi yang positif
pada pribumi. Menurut pengamatan Ancok (Abidin, 2000) misalnya,
memperlihatkan adanya prasangka WNI Tionghoa terhadap WNI pribumi,
sebagaimana yang tampak dari kecenderungan mereka untuk memilih teman yang
namanya berhubungan dengan nama Tionghoa daripada yang berhubungan dengan
nama Jawa (pribumi).
Selain contoh kecil realita di atas, acapkali ditemui bentuk prasangka
yang dalam situasi lebih kompleks melatarbelakangi suatu bentuk pemisahan atau
pengekslusifan diri atau kelompok. Misal didirikannya sekolah-sekolah yang
murid-muridnya hanya etnis tertentu atau hampir mayoritas etnis tertentu, seperti
Universitas Res Publika tahun 1960 di Jakarta, SLTA Laboratorium di Salatiga,
SD hingga perguruan tinggi swasta lainnya di berbagai kota di Indonesia. Hampir
di setiap kota di nusantara dimana merupakan daerah multi etnis hal semacam itu
bukan lagi sesuatu yang aneh. Soeboer (1990) mengatakan bentuk perilaku
tersebut sebagai tipe prasangka dominative, dimana individu yang berprasangka
mengekspresikan secara terbuka terhadap kelompok yang diprasangkainya.
Seringkali tindakan tersebut dilakukan oleh warga pendatang atau non pribumi.
Lebih lanjut Abidin (2000) menerangkan beberapa hal yang
menunjukkan adanya prasangka etnis Tionghoa terhadap pribumi, misalnya
dengan cara memandang kedudukan pribumi lebih rendah (inferior), tidak dapat
dipercaya, tidak jujur, memusuhi Tionghoa dari mereka, jika pengamatan ini benar
maka tindakan agresi yang dilakukan terhadap pribumi akan positif (terjadi
pembenaran) karena pribumi merupakan ras yang menjadi sasaran prasangka
mereka.
Beberapa asumsi dan hasil penelitian di atas dapat menunjukkan bahwa
ada prasangka rasial dan persepsi agresi pada pribumi dan pada etnis Tionghoa,
penelitian tersebut dilakukan pada daerah-daerah yang pernah terjadi konflik dan
atau pada daerah-daerah yang interaksi antar rasnya tergolong tinggi. Sedangkan
penelitian yang mendalam belum pernah dilakukan pada daerah multi etnis tetapi
jarang atau tidak pernah terjadi konflik antar etnis. Padahal beberapa sebab yang
peka seperti rasa takut akan keselamatan dan tidak terjaminnya rasa aman
sehingga menyebabkan masing-masing merasa tidak terjamin keberadaannya,
adanya oportunis politik, dan lain sebagainya dapat menjadi pemicu potensial
yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konflik etnis yang tidak
terbayangkan. Terlepas dari daerah tersebut merupakan daerah yang sering terjadi
konflik atau daerah yang jarang atau tidak pernah terjadi konflik.
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, permasalahannya adalah :
“Apakah ada hubungan positif antara prasangka etnis dengan persepsi agresi pada
mahasiswa etnis Jawa dan etnis Tionghoa ? Serta apakah ada perbedaan persepsi
agresi antara mahasiswa etnis Jawa dan etnis Tionghoa ?”
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai
suku bangsa dan multi etnis, dengan etnis Jawa dan etnis Sunda sebagai kelompok
etnis pertama dan kedua terbesar dari 300 kelompok etnis yang ada di Indonesia
(Ekajati dalam Abidin, 2000) serta etnis Tionghoa sebagai etnis dari kebudayaan
asing yang berakulturasi dan paling menonjol dari etnis asing lainnya seperti Arab,
India, Pakistan, Eropa, dan lain sebagainya. Jumlah seluruh etnis Tionghoa belum
bisa dikalkulasikan secara pasti, mereka tersebar pada hampir setiap kota di
Indonesia. Paling mudah untuk dikenali dari etnis Tionghoa adalah melalui
persepsi segi fisik dan bahasa yang digunakan sehari-hari, selain itu juga dari adat
istiadat, cara berpakaian dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai perbedaan yang menjadi dasar suatu kultur terpisah dari kultur
yang lainnya tidak selalu dapat disandingkan secara harmonis. Interaksi sosial
yang terjadi baik antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara
individu dengan kelompok lain atau antara kelompok satu dengan kelompok lain
akan selalu menimbulkan penilaian satu sama lain. Penilaian itu dapat positif atau
negatif dan merupakan hasil belajar. Evaluasi positif atau negatif terhadap yang
lain ( kelompok / individu ) ini disebut sikap (Fishbein dan Ajzen dalam Soeboer,
1990). Sikap terhadap kelompok etnis tertentu, terlebih yang negatif dapat
memiliki konsekuensi buruk, misalnya kebencian terhadap kelompok yang
berbeda dengan dirinya akan melahirkan adanya stereotip-stereotip terhadap
kelompok tertentu tanpa mengadakan pengecekan lebih lanjut. Tindakan-tindakan
yang lebih ekstrim dalam masalah ini adalah bentuk-bentuk agresi yang terjadi
antara kelas, suku atau etnis, atau bahkan antar negara.
Agresi-agresi antar etnis di Indonesia terjadi karena gesekan-gesekan
multi etnis yang tak jarang berbuntut panjang. Seperti peristiwa pertengahan Mei
1998 di Jakarta dan di Solo yang ditangkap sebagai insiden kekerasan rasial yang
dilakukan oleh sebagian warga pribumi terhadap sebagian warga etnis Tionghoa.
Berbagai masalah mendasari meledaknya insiden yang tak pelak lagi
menimbulkan traumatik tersebut. Sebagian dari mereka mempersepsi insiden
tersebut secara negatif, artinya mereka menyesalkan dan mengecam terjadinya
peristiwa kekerasan (agresi) tersebut, akan tetapi ada sebagian dari mereka yang
mempersepsi peristiwa kekerasan tersebut secara positif, yakni mereka menilai
agresi tersebut wajar atau harus terjadi (Abidin, 2000).
Selain insiden kekerasan rasial pada pertengahan Mei 1998 ada beberapa
gesekan multi etnis lain dengan berbagai sebab yang menelan banyak korban jiwa
maupun korban harta benda. Seperti peristiwa agresi antara etnis Dayak dengan
etnis Madura di Sampit, agresi antara sebagian masyarakat Aceh yang tergabung
dalam GAM dengan pemerintah yang notabene terdiri atas berbagai macam kultur
dikarenakan adanya intrik politik, agresi antara masyarakat Ambon yang multi
etnis karena isu SARA, dan lain sebagainya yang tentu saja menambah panjang
daftar insiden kekerasan rasial di Indonesia.
Menurut Soekanto (1993) agresi merupakan perilaku yang bertujuan
melukai seseorang atau merusak suatu benda. Pada peristiwa pertengahan Mei
1998, agresi tersebut diwujudkan dalam bentuk perusakan, penjarahan, dan
pembakaran perusahaan-perusahaan, toko-toko dan sarana prasarana serta sumber-
sumber ekonomi milik etnis Tionghoa lainnya. Beberapa yang beruntung hanya
mendapat lemparan batu saja, yang paling menyedihkan adalah terjadinya
penganiayaan secara fisik terutama pemerkosaan perempuan-perempuan etnis
Tionghoa. Beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis belasan tahun. Ada
beberapa yang tidak dilukai, tetapi mungkin sudah hamil. Korban pemerkosaan
tersebut banyak yang mengalami dilema besar tentang apa yang harus diperbuat
pada janin dalam kandungan mereka kalau janin tersebut dilahirkan karena
perempuan korban pemerkosaan ini seumur hidup akan teringat peristiwa keji
tersebut. Beberapa korban yang tidak mengalami kehamilan, untuk jangka waktu
yang sangat lama, akan mengalami trauma psikologis yang selamanya menghantui
mereka. Salah satu korban pemerkosaan tersebut belakangan diketahui menderita
obsesive compulsive neurosis, dimana korban terus menerus mencuci tangan dan
mandi tiga sampai empat kali sehari. Secara simbolis ini dapat dilihat sebagai
penyucian diri dari dosa-dosanya (Sidharta dalam Wibowo, 2001).
Ketimpangan ekonomi merupakan salah satu pemicu meledaknya
konflik-konflik antara pribumi dan non pribumi, dimana pihak pendatang
seringkali menjadi sasaran agresi karena dinilai mendapat kemudahan dan
keistimewaan dari pihak berwenang, atau sebaliknya. Padahal keberhasilan
mereka dalam sektor ekonomi (misalnya) karena tuntutan mereka harus bertahan
hidup tanpa bergantung pada pihak pemerintah disebabkan karena akses sektor
pemerintah tertutup bagi mereka. Ketika menilik sejarah, etnis Tionghoa sejak
zaman Hindia Belanda ditempatkan sebagai golongan kedua yakni termasuk
dalam golongan Timur Asing. Belanda sebagai golongan pertama merupakan
penguasa (birokrasi) yang memegang hak izin eksport dan import. Masyarakat
Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka juga memiliki izin
import juga eksport untuk barang-barang yang berasal dari Cina. Masyarakat
pribumi lebih mendominasi sektor pertanian dan perkebunan, beberapa masuk
dalam jalur pemerintahan (golongan bangsawan).
Dilihat dari struktur di atas diketahui bila kemampuan dan keberhasilan
etnis Tionghoa dalam berusaha merupakan keharusan bagi mereka untuk bertahan
hidup dalam lingkungan baru yang mereka tinggali, kemudian diturunkan pada
generasi-generasi di bawah mereka. Selain itu sistem politik dan pemerintahan
yang hampir menutup akses etnis Tionghoa ke jalur tersebut baik dari masa
Hindia Belanda sampai Orde Baru tetap menempatkan masyarakat Tionghoa
sebagai warga neo kelas dua berlabel massa mengambang (floating mass) yang
menjadikan mereka sebagai obyek pemerasan dan pemerahan bagi posisi penguasa
dari golongan manapun, baik Hindia Belanda maupun pribumi (Witanto dalam
Wibowo, 2001).
Seringkali anggapan orang Tionghoa sebagai barometer perekonomian
justru menempatkan mereka pada posisi sulit, karena selalu dianggap lebih kaya
dari pribumi, padahal pada kenyataannya tidak semua orang Tionghoa kaya,
bahkan banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan tegas
dikatakan bahwa Etnis Tionghoa yang beremigrasi ke luar daratan Cina bukanlah
pengusaha. Emigran tersebut terdiri dari petani, penjaga toko, dan buruh pabrik.
Sesampai di tempat tujuan kebanyakan menjadi kuli atau buruh perkebunan
(terutama karet). Dengan demikian ditolak premis bahwa etnis Tionghoa sudah
kaya sebelum menjadi kaya sekali (Wibowo, 2001). Namun sayangnya situasi
konflik acapkali tidak memberi kesempatan obyektif untuk memfilter mana yang
kaya dan mana yang miskin, yang terpenting kelompok tersebut merupakan
sasaran dari prasangka mereka.
Berbagai tindak kekerasan multi etnis yang melanda kota-kota dengan
interaksi antar etnis yang tinggi seperti Jakarta dan Solo tersebut mempengaruhi
situasi keamanan nasional pada saat itu. Namun Salatiga, misalnya, dengan
kondisi interaksi antar etnis yang sama tinggi pula belum terlihat mendapat
dampak dari peristiwa tersebut. Tetapi tidak dapat dipungkiri kekhawatiran,
perasaan tidak aman, prasangka hingga persepsi negatif ataupun positif mulai
nampak. Toko-toko atau pusat-pusat industri dan perekonomian mulai ditutup,
sebagai tindak antisipasi terjadinya penjarahan dan pembakaran aset-aset pribadi
dan perusahaan, seperti halnya yang terjadi di kota Solo dan Jakarta.
Sears, Freedman, Peplau, dan Taylor (1988) mengemukakan bahwa
prasangka mempengaruhi persepsi, karena prasangka berfungsi sebagai skema
afektif dan evaluatif (suka atau tidak suka) pada saat individu menerima dan
mengolah stimulus dan informasi dari luar. Saat individu berbeda etnis
berinteraksi, baik dalam situasi formal maupun nonformal, secara langsung
maupun tidak langsung terjadi penilaian satu sama lain menurut frame masing-
masing individu. Ketika prasangka memasuki koridor persepsi maka akan
mempengaruhi tindakan selanjutnya.
Pada tahun 1998, insiden kekerasan rasial yang tengah merebak di
berbagai kota seperti Jakarta dan Solo, mau tidak mau menimbulkan prasangka
warga non pribumi terhadap warga pribumi, karena menempatkan warga non
pribumi sebagai korban baik secara fisik maupun secara psikologis. Sehingga
banyak dari warga non pribumi yang memutuskan untuk mengamankan diri
mereka beserta keluarganya dengan pergi ke luar negeri. Meskipun pada beberapa
kota multi etnis lain seperti Yogyakarta dan Salatiga, prasangka tersebut tidak
benar-benar terbukti namun adanya tindakan-tindakan antisipasi dan peningkatan
pengamanan menunjukkan mulai timbul bermacam-macam persepsi.
Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimulasi inderawi atau sensory
stimuli (Desiderato dalam Rakhmat, 2004). Sedang prasangka menurut Harriman
(1995) adalah suatu keputusan yang tidak dipertimbangkan sebelumnya.
Penelitian Abidin (2000) menunjukkan dalam peristiwa pertengahan Mei
1998 terlihat jika masyarakat etnis Jawa sebagai pribumi memiliki prasangka
rasial terhadap masyarakat etnis Tionghoa dan sebagian mempersepsi agresi
secara positif terjadinya insiden tersebut. Namun prasangka rasial dan persepsi
agresi nampaknya tidak hanya dimiliki oleh sebagian pribumi saja, sebagian warga
etnis Tionghoa pun mempunyai prasangka rasial dan persepsi agresi yang positif
pada pribumi. Menurut pengamatan Ancok (Abidin, 2000) misalnya,
memperlihatkan adanya prasangka WNI Tionghoa terhadap WNI pribumi,
sebagaimana yang tampak dari kecenderungan mereka untuk memilih teman yang
namanya berhubungan dengan nama Tionghoa daripada yang berhubungan dengan
nama Jawa (pribumi).
Selain contoh kecil realita di atas, acapkali ditemui bentuk prasangka
yang dalam situasi lebih kompleks melatarbelakangi suatu bentuk pemisahan atau
pengekslusifan diri atau kelompok. Misal didirikannya sekolah-sekolah yang
murid-muridnya hanya etnis tertentu atau hampir mayoritas etnis tertentu, seperti
Universitas Res Publika tahun 1960 di Jakarta, SLTA Laboratorium di Salatiga,
SD hingga perguruan tinggi swasta lainnya di berbagai kota di Indonesia. Hampir
di setiap kota di nusantara dimana merupakan daerah multi etnis hal semacam itu
bukan lagi sesuatu yang aneh. Soeboer (1990) mengatakan bentuk perilaku
tersebut sebagai tipe prasangka dominative, dimana individu yang berprasangka
mengekspresikan secara terbuka terhadap kelompok yang diprasangkainya.
Seringkali tindakan tersebut dilakukan oleh warga pendatang atau non pribumi.
Lebih lanjut Abidin (2000) menerangkan beberapa hal yang
menunjukkan adanya prasangka etnis Tionghoa terhadap pribumi, misalnya
dengan cara memandang kedudukan pribumi lebih rendah (inferior), tidak dapat
dipercaya, tidak jujur, memusuhi Tionghoa dari mereka, jika pengamatan ini benar
maka tindakan agresi yang dilakukan terhadap pribumi akan positif (terjadi
pembenaran) karena pribumi merupakan ras yang menjadi sasaran prasangka
mereka.
Beberapa asumsi dan hasil penelitian di atas dapat menunjukkan bahwa
ada prasangka rasial dan persepsi agresi pada pribumi dan pada etnis Tionghoa,
penelitian tersebut dilakukan pada daerah-daerah yang pernah terjadi konflik dan
atau pada daerah-daerah yang interaksi antar rasnya tergolong tinggi. Sedangkan
penelitian yang mendalam belum pernah dilakukan pada daerah multi etnis tetapi
jarang atau tidak pernah terjadi konflik antar etnis. Padahal beberapa sebab yang
peka seperti rasa takut akan keselamatan dan tidak terjaminnya rasa aman
sehingga menyebabkan masing-masing merasa tidak terjamin keberadaannya,
adanya oportunis politik, dan lain sebagainya dapat menjadi pemicu potensial
yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konflik etnis yang tidak
terbayangkan. Terlepas dari daerah tersebut merupakan daerah yang sering terjadi
konflik atau daerah yang jarang atau tidak pernah terjadi konflik.
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, permasalahannya adalah :
“Apakah ada hubungan positif antara prasangka etnis dengan persepsi agresi pada
mahasiswa etnis Jawa dan etnis Tionghoa ? Serta apakah ada perbedaan persepsi
agresi antara mahasiswa etnis Jawa dan etnis Tionghoa ?”
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :