BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan utama perusahaan adalah menciptakan dan mendistribusikan barang
atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara ekonomis dan efisien untuk
mendapatkan laba atau keuntungan. Keuntungan ini digunakan untuk memuaskan
semua pihak yang terlibat dan berkepentingan di dalam kegiatan perusahaan,
disamping itu keuntungan juga diperlukan untuk menjamin perkembangan dan
kelangsungan hidup perusahaan (Nitisemito, 1982). Setiap perusahaan akan
mengupayakan berbagai hal untuk dapat mencapai tujuannya tersebut. Akan tetapi
untuk merealisasikan tujuan tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk
dilakukan. Hal ini disebabkan karena semakin ketatnya persaingan bisnis di
Indonesia.
Produktivitas yang baik merupakan kunci yang sangat penting dalam
memenangkan setiap persaingan, selain meningkatkan mutu produksinya perusahaan
juga harus menjaga kontinuitas barang yang dihasilkan. Peningkatan produktivitas
kerja tidak semata–mata hanya terpaku pada besarnya produktivitas perusahaan saja,
akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana terciptanya perilaku kerja yang
produktif dari sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan.
Sumber daya manusia merupakan sektor yang paling penting dalam
perusahaan. Sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan merupakan salah satu
faktor penggerak untuk perkembangan dan kemajuan perusahaan. Adanya sumber
daya manusia yang potensial akan lebih mempermudah pengaturan serta pembagian
tugas yang harus diselesaikan (Basri, 2000). Mengingat pentingnya peranan sumber
daya manusia dalam perusahaan maka diharapkan karyawan memiliki produktivitas
dan performasi kerja yang baik, sehingga nantinya akan dapat mendukung kemajuan
perusahaan guna mewujudkan tujuan yang telah di tetapkan oleh perusahaan
(Nawawi, 2003).
Produktivitas dan kinerja karyawan yang baik dapat dicapai apabila karyawan
memiliki kedisiplinan kerja yang tinggi. Ketidakdisiplinan karyawan akan
berpengaruh besar terhadap hasil kerja karyawan yang nantinya juga akan berimbas
pada perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Nawawi (2003) mengatakan
bahwa disiplin kerja merupakan kondisi organisasi atau iklim organisasi yang sangat
penting, tanpa disiplin kerja akan sulit mewujudkan efektivitas dan efisiensi kerja,
sehingga akan sulit pula untuk mencapai tujuan organisasi secara maksimal.
Adanya perilaku indisipliner karyawan tentu saja akan merugikan pihak
perusahaan. Kedisiplinan yang tidak dapat ditegakkan menyebabkan tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai atau dapat dicapai tetapi kurang
efektif dan efisien (Nitisemito, 1982). Kedisiplinan kerja merupakan harapan dan
keinginan semua pihak, bukan saja dari pihak pimpinan perusahaan yang bertanggung
jawab terhadap kemajuan dan keuntungan perusahaan, tetapi juga oleh masyarakat
pada umumnya (Basri, 2000).
Menurut Amriany dkk (2004) kedisiplinan kerja merupakan suatu sikap
(tingkah laku atau perbuatan) dari dalam diri karyawan terhadap putusan perusahaan
baik tertulis maupun tidak tertulis. Pelaksanaan disiplin itu dilakukan secara sukarela,
patuh dan taat serta mau menerima sanksi–sanksi apabila melanggar peraturan yang
telah ditetapkan organisasi perusahaan, misalnya adanya kesadaran dan kesediaan
mentaati peraturan, kesediaan bertanggung jawab, kesanggupan individu untuk
melakukan pekerjaan dengan sikap jujur.
Dharma (2000), menyebutkan perilaku ketidakdisiplinan karyawan yang
paling sering dijumpai antara lain: a).melanggar peraturan jam istirahat dan jadwal
kerja lainnya, b).melanggar peraturan keamanan dan kesehatan kerja, c).terlambat
masuk kerja, mangkir, terutama sebelum dan sesudah lebaran, d).bekerja dengan
ceroboh atau merusak peralatan dan bahan baku, e).suka bertengkar, tidak mau
bekerja sama atau perilaku lain yang tidak menyenangkan/menggaggu sesama
karyawan, f).terang–terangan menunjukkan ketidakpatuhan, misalnya menolak
melaksanakan tugas.
Jahrie dan Hariyoto (1999), mengemukakan apabila karyawan melakukan
pekerjaan tanpa disiplin maka akan berdampak negatif bagi perusahaan. Hal ini
terlihat dari : tidak tercapainya target yang sudah diprogramkan, mengembangnya
kasus–kasus negatif yang harus diselesaikan perusahaan, merosotnya produktivitas
mutu hasil pekerjaan, terjadinya pemborosan dalam pemakaian material dan peralatan
milik perusahaan, adanya kecenderungan bangkrutnya perusahaan secara
keseluruhan.
Penegakan kedisiplinan kerja pada karyawan dalam perusahaan mutlak untuk
dilakukan. Penegakan kedisiplinan dilakukan untuk mendorong pegawai berperilaku
sepantasnya di tempat kerja, dimana “perilaku yang pantas” ditetapkan sebagai
kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur (Dessler, 1995). Dengan adanya
kedisiplinan diharapkan sebagian besar dari peraturan–peraturan perusahaan ditaati
oleh sebagian besar karyawan, sehingga diharapkan pekerjaan akan dilakukan
seefektif dan seefisien mungkin.
Penegakan disiplin bukanlah merupakan hal yang mustahil dilaksanakan.
Permasalahannya terletak didalam diri karyawan yang bersangkutan. Penanaman
sense of belongingness atas pekerjaan atau tempat kerja, perasaan tanggung jawab,
perasaan cinta atas pekerjaan, kesadaran akan daya guna pelaksanaan tugas dari
kepentingan bersama, merupakan hal yang perlu dihidupkan dalam kesadaran
karyawan (Basri, 2000).
Kedisiplinan kerja karyawan yang baik dapat tergambar pada suasana–
suasana sebagai berikut : tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian
tujuan perusahaan, besarnya tanggung jawab pada karyawan untuk melaksanakan
tugas dengan sebaik–baiknya, berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang
tinggi dikalangan karyawan, meningkatnya efisiensi dan produktivitas pada
karyawan, tingginya inisiatif karyawan dalam melakukan pekerjaan, serta tingginya
semangat dan gairah kerja (Jahrie dan Hariyoto, 1999),
Moekijat (1974), mengatakan ada hubungan yang erat antara semangat kerja
yang tinggi dengan disiplin. Apabila pegawai merasa berbahagia dalam pekerjaannya,
maka mereka pada umumnya mempunyai disiplin. Sebaliknya apabila semangat kerja
rendah, maka mereka dapat menyesuaikan diri dari kebiasaan–kebiasaan yang tidak
baik. Misalnya mereka terlalu banyak menggunakan waktu untuk keluar sekedar
minum kopi atau sering datang terlambat dikantor. Bahkan mungkin juga mereka
bersikap tidak sopan terhadap pimpinan. Pada umumnya mereka menyetujui saja
perintah–perintah dari atasan tetapi dengan perasaan yang kurang senang.
Menurut Siswanto (2001), semangat kerja dapat diartikan sebagai suatu
kondisi rohaniah atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok–kelompok yang
dapat menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk bekerja
dengan giat dan konsekuen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan.
Selanjutnya Siswanto (2001), mengatakan bahwa semangat kerja bersifat
subyektif, yakni tergantung pada perasaan seseorang sehubungan dengan
pekerjaannya. Disamping itu semangat kerja juga tergantung pada hubungan antara
pengharapan dan realitas. Semakin kongkrit lingkungan kerja tempat bekerja
memberi pengharapan akan adanya peningkatan bagi diri tenaga kerja, maka
semangat kerja tenaga kerja tersebut diharapkan akan makin meningkat. Semangat
kerja yang rendah dapat menimbulkan pemogokan, memperkerjakan tenaga yang
berlebihan, kepura–puraan, dll. Hal ini mempunyai dampak jangka panjang yang
merugikan perusahaan.
Semangat kerja karyawan cenderung berubah–ubah dan mengalami pasang
surut sehingga perilaku karyawan tidak selalu stabil. Oleh karena itu pembinaan dan
pemeliharaan semangat kerja karyawan merupakan sasaran yang penting dalam
kaitannya dengan pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam
perusahaan. Djui dan Setiasih (2001), menyebutkan salah satu faktor yang
mendukung pemeliharaan semangat kerja adalah lingkungan kerja yang nyaman,
misalnya dengan memberikan musik pengiring kerja pada karyawan.
Hasil penelitian Amriany dkk (2004) menunjukkan bahwa sumbangan efektif
dari iklim organisasi terhadap kedisiplinan kerja karyawan sebesar 51,3%. Ini berarti
masih ada variabel–variabel lain yang mendukung terhadap terbentuknya kedisiplinan
kerja selain iklim organisasi, antara lain sifat atau karakteristik karyawan itu sendiri
yang dipengaruhi kemampuan dan bakat individu, sikap dan minat karyawan (etos
kerja), sifat tugas, keadaan kelompok kerja serta gaya dan pengalaman pemimpin.
Nitisemito (1982), mengemukakan bahwa kedisiplinan karyawan dapat
dididik dan diciptakan, tetapi tingkat kedisiplinan itu sendiri dipengaruhi oleh diri
pribadi individu. Kedisiplinan seseorang dapat terjadi karena beberapa faktor atau
kombinasi dari beberapa faktor yaitu karena pengaruh rasa takut, karena kebiasaan,
karena kesadaran dan karena memang mempunyai dasar untuk berdisiplin.
Pada dasarnya kedisiplinan bersumber dari kesadaran dalam diri karyawan itu
sendiri bahwa disiplin dalam bekerja adalah suatu keharusan, dimana perilakunya
tersebut akan menimbulkan konsekuensi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
perusahaan.
Menurut Lefcourt (Smet, 1994), locus of control mengacu pada derajat
dimana individu memandang peristiwa–peristiwa dalam kehidupannya sebagai
konsekuensi perbuatan–perbuatannya, dengan demikian dapat dikontrol (kontrol
internal), atau sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya sehingga
diluar kontrol pribadinya (kontrol eksternal).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Falikhatun (2003) menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara locus of control dengan kinerja aparat unit–unit
pelayanan publik. Individu dengan locus of control internal lebih banyak berorientasi
pada tugas yang dihadapinya sehingga akan meningkatkan kinerja mereka.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara internal locus of control dan
semangat kerja dengan kedisiplinan kerja karyawan ?”
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penulis akan melakukan penelitian
dengan mengambil judul “hubungan antara semangat kerja dan internal locus of
control dengan kedisiplinan kerja”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan utama perusahaan adalah menciptakan dan mendistribusikan barang
atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara ekonomis dan efisien untuk
mendapatkan laba atau keuntungan. Keuntungan ini digunakan untuk memuaskan
semua pihak yang terlibat dan berkepentingan di dalam kegiatan perusahaan,
disamping itu keuntungan juga diperlukan untuk menjamin perkembangan dan
kelangsungan hidup perusahaan (Nitisemito, 1982). Setiap perusahaan akan
mengupayakan berbagai hal untuk dapat mencapai tujuannya tersebut. Akan tetapi
untuk merealisasikan tujuan tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk
dilakukan. Hal ini disebabkan karena semakin ketatnya persaingan bisnis di
Indonesia.
Produktivitas yang baik merupakan kunci yang sangat penting dalam
memenangkan setiap persaingan, selain meningkatkan mutu produksinya perusahaan
juga harus menjaga kontinuitas barang yang dihasilkan. Peningkatan produktivitas
kerja tidak semata–mata hanya terpaku pada besarnya produktivitas perusahaan saja,
akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana terciptanya perilaku kerja yang
produktif dari sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan.
Sumber daya manusia merupakan sektor yang paling penting dalam
perusahaan. Sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan merupakan salah satu
faktor penggerak untuk perkembangan dan kemajuan perusahaan. Adanya sumber
daya manusia yang potensial akan lebih mempermudah pengaturan serta pembagian
tugas yang harus diselesaikan (Basri, 2000). Mengingat pentingnya peranan sumber
daya manusia dalam perusahaan maka diharapkan karyawan memiliki produktivitas
dan performasi kerja yang baik, sehingga nantinya akan dapat mendukung kemajuan
perusahaan guna mewujudkan tujuan yang telah di tetapkan oleh perusahaan
(Nawawi, 2003).
Produktivitas dan kinerja karyawan yang baik dapat dicapai apabila karyawan
memiliki kedisiplinan kerja yang tinggi. Ketidakdisiplinan karyawan akan
berpengaruh besar terhadap hasil kerja karyawan yang nantinya juga akan berimbas
pada perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Nawawi (2003) mengatakan
bahwa disiplin kerja merupakan kondisi organisasi atau iklim organisasi yang sangat
penting, tanpa disiplin kerja akan sulit mewujudkan efektivitas dan efisiensi kerja,
sehingga akan sulit pula untuk mencapai tujuan organisasi secara maksimal.
Adanya perilaku indisipliner karyawan tentu saja akan merugikan pihak
perusahaan. Kedisiplinan yang tidak dapat ditegakkan menyebabkan tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai atau dapat dicapai tetapi kurang
efektif dan efisien (Nitisemito, 1982). Kedisiplinan kerja merupakan harapan dan
keinginan semua pihak, bukan saja dari pihak pimpinan perusahaan yang bertanggung
jawab terhadap kemajuan dan keuntungan perusahaan, tetapi juga oleh masyarakat
pada umumnya (Basri, 2000).
Menurut Amriany dkk (2004) kedisiplinan kerja merupakan suatu sikap
(tingkah laku atau perbuatan) dari dalam diri karyawan terhadap putusan perusahaan
baik tertulis maupun tidak tertulis. Pelaksanaan disiplin itu dilakukan secara sukarela,
patuh dan taat serta mau menerima sanksi–sanksi apabila melanggar peraturan yang
telah ditetapkan organisasi perusahaan, misalnya adanya kesadaran dan kesediaan
mentaati peraturan, kesediaan bertanggung jawab, kesanggupan individu untuk
melakukan pekerjaan dengan sikap jujur.
Dharma (2000), menyebutkan perilaku ketidakdisiplinan karyawan yang
paling sering dijumpai antara lain: a).melanggar peraturan jam istirahat dan jadwal
kerja lainnya, b).melanggar peraturan keamanan dan kesehatan kerja, c).terlambat
masuk kerja, mangkir, terutama sebelum dan sesudah lebaran, d).bekerja dengan
ceroboh atau merusak peralatan dan bahan baku, e).suka bertengkar, tidak mau
bekerja sama atau perilaku lain yang tidak menyenangkan/menggaggu sesama
karyawan, f).terang–terangan menunjukkan ketidakpatuhan, misalnya menolak
melaksanakan tugas.
Jahrie dan Hariyoto (1999), mengemukakan apabila karyawan melakukan
pekerjaan tanpa disiplin maka akan berdampak negatif bagi perusahaan. Hal ini
terlihat dari : tidak tercapainya target yang sudah diprogramkan, mengembangnya
kasus–kasus negatif yang harus diselesaikan perusahaan, merosotnya produktivitas
mutu hasil pekerjaan, terjadinya pemborosan dalam pemakaian material dan peralatan
milik perusahaan, adanya kecenderungan bangkrutnya perusahaan secara
keseluruhan.
Penegakan kedisiplinan kerja pada karyawan dalam perusahaan mutlak untuk
dilakukan. Penegakan kedisiplinan dilakukan untuk mendorong pegawai berperilaku
sepantasnya di tempat kerja, dimana “perilaku yang pantas” ditetapkan sebagai
kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur (Dessler, 1995). Dengan adanya
kedisiplinan diharapkan sebagian besar dari peraturan–peraturan perusahaan ditaati
oleh sebagian besar karyawan, sehingga diharapkan pekerjaan akan dilakukan
seefektif dan seefisien mungkin.
Penegakan disiplin bukanlah merupakan hal yang mustahil dilaksanakan.
Permasalahannya terletak didalam diri karyawan yang bersangkutan. Penanaman
sense of belongingness atas pekerjaan atau tempat kerja, perasaan tanggung jawab,
perasaan cinta atas pekerjaan, kesadaran akan daya guna pelaksanaan tugas dari
kepentingan bersama, merupakan hal yang perlu dihidupkan dalam kesadaran
karyawan (Basri, 2000).
Kedisiplinan kerja karyawan yang baik dapat tergambar pada suasana–
suasana sebagai berikut : tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian
tujuan perusahaan, besarnya tanggung jawab pada karyawan untuk melaksanakan
tugas dengan sebaik–baiknya, berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang
tinggi dikalangan karyawan, meningkatnya efisiensi dan produktivitas pada
karyawan, tingginya inisiatif karyawan dalam melakukan pekerjaan, serta tingginya
semangat dan gairah kerja (Jahrie dan Hariyoto, 1999),
Moekijat (1974), mengatakan ada hubungan yang erat antara semangat kerja
yang tinggi dengan disiplin. Apabila pegawai merasa berbahagia dalam pekerjaannya,
maka mereka pada umumnya mempunyai disiplin. Sebaliknya apabila semangat kerja
rendah, maka mereka dapat menyesuaikan diri dari kebiasaan–kebiasaan yang tidak
baik. Misalnya mereka terlalu banyak menggunakan waktu untuk keluar sekedar
minum kopi atau sering datang terlambat dikantor. Bahkan mungkin juga mereka
bersikap tidak sopan terhadap pimpinan. Pada umumnya mereka menyetujui saja
perintah–perintah dari atasan tetapi dengan perasaan yang kurang senang.
Menurut Siswanto (2001), semangat kerja dapat diartikan sebagai suatu
kondisi rohaniah atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok–kelompok yang
dapat menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk bekerja
dengan giat dan konsekuen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan.
Selanjutnya Siswanto (2001), mengatakan bahwa semangat kerja bersifat
subyektif, yakni tergantung pada perasaan seseorang sehubungan dengan
pekerjaannya. Disamping itu semangat kerja juga tergantung pada hubungan antara
pengharapan dan realitas. Semakin kongkrit lingkungan kerja tempat bekerja
memberi pengharapan akan adanya peningkatan bagi diri tenaga kerja, maka
semangat kerja tenaga kerja tersebut diharapkan akan makin meningkat. Semangat
kerja yang rendah dapat menimbulkan pemogokan, memperkerjakan tenaga yang
berlebihan, kepura–puraan, dll. Hal ini mempunyai dampak jangka panjang yang
merugikan perusahaan.
Semangat kerja karyawan cenderung berubah–ubah dan mengalami pasang
surut sehingga perilaku karyawan tidak selalu stabil. Oleh karena itu pembinaan dan
pemeliharaan semangat kerja karyawan merupakan sasaran yang penting dalam
kaitannya dengan pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam
perusahaan. Djui dan Setiasih (2001), menyebutkan salah satu faktor yang
mendukung pemeliharaan semangat kerja adalah lingkungan kerja yang nyaman,
misalnya dengan memberikan musik pengiring kerja pada karyawan.
Hasil penelitian Amriany dkk (2004) menunjukkan bahwa sumbangan efektif
dari iklim organisasi terhadap kedisiplinan kerja karyawan sebesar 51,3%. Ini berarti
masih ada variabel–variabel lain yang mendukung terhadap terbentuknya kedisiplinan
kerja selain iklim organisasi, antara lain sifat atau karakteristik karyawan itu sendiri
yang dipengaruhi kemampuan dan bakat individu, sikap dan minat karyawan (etos
kerja), sifat tugas, keadaan kelompok kerja serta gaya dan pengalaman pemimpin.
Nitisemito (1982), mengemukakan bahwa kedisiplinan karyawan dapat
dididik dan diciptakan, tetapi tingkat kedisiplinan itu sendiri dipengaruhi oleh diri
pribadi individu. Kedisiplinan seseorang dapat terjadi karena beberapa faktor atau
kombinasi dari beberapa faktor yaitu karena pengaruh rasa takut, karena kebiasaan,
karena kesadaran dan karena memang mempunyai dasar untuk berdisiplin.
Pada dasarnya kedisiplinan bersumber dari kesadaran dalam diri karyawan itu
sendiri bahwa disiplin dalam bekerja adalah suatu keharusan, dimana perilakunya
tersebut akan menimbulkan konsekuensi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
perusahaan.
Menurut Lefcourt (Smet, 1994), locus of control mengacu pada derajat
dimana individu memandang peristiwa–peristiwa dalam kehidupannya sebagai
konsekuensi perbuatan–perbuatannya, dengan demikian dapat dikontrol (kontrol
internal), atau sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya sehingga
diluar kontrol pribadinya (kontrol eksternal).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Falikhatun (2003) menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara locus of control dengan kinerja aparat unit–unit
pelayanan publik. Individu dengan locus of control internal lebih banyak berorientasi
pada tugas yang dihadapinya sehingga akan meningkatkan kinerja mereka.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara internal locus of control dan
semangat kerja dengan kedisiplinan kerja karyawan ?”
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penulis akan melakukan penelitian
dengan mengambil judul “hubungan antara semangat kerja dan internal locus of
control dengan kedisiplinan kerja”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :