BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu sebagai suatu masa dimana terjadi ketegangan emosi yang tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980: 212). Di masa ini remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu, karena mereka ada dalam masa peralihan dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku baru dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Gejolak ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri dan memantapkan posisinya dalam masyarakat); oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder), perkembangan inteligensi (penalaran yang tajam dan kritis), serta perubahan emosi (lebih peka, cepat marah dan agresif).
Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan fisik. Kurang lebih bersamaan dengan perubahan fisik maupun psikis, mereka mulai melepaskan diri dari ikatan orang tua dan kemudian terlihat perubahan-perubahan kepribadian yang terwujud dalam cara hidup mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat (Gunarsa, 1988).
Hurlock (1980:213) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang menimbulkan perasaan aman serta keterbukaan yang berpengaruh dalam hubungan sosial. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, mereka seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif, salah satunya adalah muncul perilaku agresi.
Perilaku agresi merupakan salah satu bentuk respon yang bertujuan untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui bentuk-bentuk tingkah laku yang menyerang, menuntut, menguasai, memerintah orang lain, melawan disiplin, memberontak, kecenderungan tidak setuju terhadap pendapat atau perbuatan orang lain, yang disebabkan oleh faktor-faktor psikologis atau gangguan-gangguan lainnya. Perilaku agresi ini dilakukan secara verbal maupun fisik dengan disengaja (Schneiders, 1964)
Penelitian Mu’tadin (2002) yang menyatakan bahwa ada banyak contoh dalam kehidupan menampakkan perilaku agresi di lingkungan sekitarnya, mulai dari tawuran atau perkelahian antar pelajaran, sikap anti sosial, sikap anti kemapanan, pertentangan dengan figur otoritas seperti orang tua maupun orang-orang yang dianggap penting, serta banyak lagi contoh perilaku agresi remaja yang lainnya.
Bentuk nyata perilaku agresi yang dilakukan contohnya yaitu perkelahian atau tawuran antar pelajar yang sering menimbulkan korban jiwa. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta melalui Bimas Polri Metro pada tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar, tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 130 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan pada tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001).
Fenomena mengenai mudahnya para pelajar berkelahi atau yang sering disebut tawuran, menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan, Berdasarkan interview dengan beberapa siswa SMK Islam 1 Blitar pada 6 September 2007, dapat diambil keterangan bahwa perkelahian yang terjadi biasanya karena adanya alasan sepele, hanya dengan adu pandang dengan remaja lain yang ditafsirkan sebagai suatu tantangan, perebutan wanita atau biasanya ada remaja lain yang menjahili sang pacar hingga menimbulkan perkelahian, kesalahpahaman dan perselisihan pembicaraan, membela teman dalam satu geng sehingga menimbulkan perkelahian massal atau tawuran. Peristiwa tersebut banyak mendapat sorotan dan perhatian baik dari orang tua, pemerintah, pendidik serta psikolog karena adanya gejala peningkatan tingkah laku agresi.
Remaja yang berperilaku agresi secara konsisten menunjukkan kekurangan dalam kemampuan interpersonal mereka terhadap perencanaan dan manajemen agresi (Mundy, 1997). Kemunculan perilaku agresi bisa disebabkan karena berhadapan dengan situasi-situasi atau keadaan yang tidak menyenangkan dalam lingkungannya. Krahe (2005:111) menyatakan beberapa faktor yang dapat mendorong dan meningkatkan perilaku agresi, antara lain keadaan yang dapat menyebabkan frustasi, penggunaan alkohol, efek senjata, keadaan yang berdesak-desakan (crowding), kebisingan, polusi udara, dan efek temperatur udara.
Bandura (dalam Tarmudji, 2001) menyatakan ada tiga sumber munculnya tingkah laku agresif antara lain pengaruh keluarga, pengaruh subkultural, dan modeling (vicarious learning). Perilaku agresi merupakan hasil proses belajar dalam interaksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial dalam hal ini mencakup lingkungan keluarga sebagai lingkungan primer yang merupakan peletak dasar yang membentuk perilaku, selain lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Sebagai faktor eksternal, pola asuh keluarga memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk perilaku agresi pada remaja. Kartono (2003: 61-62) mengemukakan bahwa keluarga tidak bahagia dan berantakan akan mengembangkan emosi kepedihan dan sikap negatif pada lingkungannya. Anak akan menjadi tidak bahagia, emosinya gampang “meledak” dan akan mengalami gangguan dalam penyesuaian sosialnya. Akibatnya, anak akan mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga untuk memecahkan semua kesulitan batinnya, sehingga timbul perilaku agresi.
Willis (1993) menyatakan bahwa salah satu penyebab perilaku agresi yaitu dari lingkungan keluarga yang meliputi kurang perhatian orang tua, kurangnya pengawasan terhadap remaja serta dari perilaku orang tua sendiri. Oleh karena itu, pola asuh dalam keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan anak. Selain itu masa remaja adalah masa dimana mereka mulai meninggalkan masa anak-anak yang bergantung pada orang tua, dengan mencari identitas diri untuk menjawab siapa diri mereka dan menemukan tempatnya di dunia ini. Dalam mencari identitas / jati diri, mereka biasanya menilai dan meniru perilaku orang dewasa sambil menyadari apa yang diharapkan oleh orang dewasa. Model pertama yang mereka tiru biasanya tidak jauh adalah dari keluarga mereka sendiri yaitu dari orang tuanya. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang menentukan perilaku remaja. Pola asuh orang tua paling berperan dalam ini. Perilaku orang tua mereka, yang telah terasa dan teramati sejak keluar dari rahim sang ibu, telah tertanam pada diri mereka. Mulai dari belajar untuk bicara hingga mengenal berbagai norma yang harus mereka patuhi. Dalam hal ini pola asuh orang tua adalah salah satu contoh yang berpengaruh dalam perkembangan remaja.
Pola asuh orang tua menurut Hurlock (1973) dikategorikan menjadi tiga, yaitu : otoriter, demokratis dan permisif, yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Dari pola asuh tersebut timbul suatu perilaku baru yang muncul akibat diterapkannya dalam suatu keluarga. Pada pola asuh otoriter, orang tua mengontrol segala aktivitas anak dengan ketat, menuntut anak selalu patuh pada orang tua, membuat anak menyesuaikan diri dengan standar yang ditentukan oleh orang tua dan menghukum keras bila anak melanggar aturan, anak tidak dipuji saat mau melakukan sesuatu, serta tidak memperhatikan keinginan anak karena orang tua cenderung memaksakan kehendaknya. Akibatnya menyakitkan hati anak sehingga terkadang anak ngambek dan tidak melaksanakan perintah orang tua, menimbulkan rasa takut dan dendam, tidak adanya rasa kasih sayang kepada orang tua sehingga timbul perilaku agresi untuk menentang kehendak orang tua. Selain itu dalam aplikasi kehidupan sehari-hari, remaja yang dalam asuhan otoriter cenderung memunculkan perilaku agresi kepada lingkungan sekitar sebagai modeling dari perilaku orang tua kepadanya. Pada pola asuh demokratis, orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengatakan pendapat, keluhan, kegelisahan dan menjelaskan bagaimana anak diharapkan. Selain itu anak akan dihukum bila melakukan kesalahan. Akibatnya bagi remaja yang dalam asuhan demokratis merasa mendapatkan perhatian dari orang tuanya dan cenderung malu atau sungkan dalam melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Biasanya remaja melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua maupun perilaku agresi mereka secara sembunyi dari orang tua mereka. Pada pola asuh permisif, orang tua membiarkan anak membuat regulasi sendiri dengan hanya menyediakan sumber yang diperlukan anak, serta tidak adanya reward dan punishment. Akibatnya bagi remaja yang dalam asuhan permisif merasa bebas melakukan segalanya termasuk melampiaskan perilaku agresinya dan merasa acuh tak acuh bila dinasehati orang lain bilamana mereka melakukan kesalahan.
Berdasarkan penelitian Baldwin (dalam Gerungan, 2000), membandingkan keluarga-keluarga yang interaksinya bercorak demokratis dengan keluarga dimana pengawasan orang tua yang keras terhadap anak (otoriter). Ia memperoleh hasil bahwa semakin otoriter orang tuanya semakin berkurang ketaatan, timbulnya ciri-ciri pasifitas, kurangnya inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan takut-takut. Sebaliknya sikap-sikap demokratis dari orang tua menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, tidak takut-takut, lebih giat dan terencana, namun juga masih dimungkinkan untuk berkembangnya sifat-sifat tidak taat dan tidak mau menyesuaikan diri dari remaja tersebut.
Selain pola asuh, terdapat pula kematangan emosi sebagai faktor internal yang ikut memberikan andil dalam menentukan perilaku agresi bagi remaja. Kematangan emosi dapat diketahui dari cara seseorang dapat mengatasi suatu masalah yang dihadapinya, dapat menempatkan diri, dan mengontrol respon emosi yang sesuai dengan situasi maupun individu yang sedang dihadapinya (Chaplin, 2001:165). Seorang remaja yang matang secara emosi dapat bereaksi secara positif dan tepat sesuai dengan tempat dan situasi.
Perkembangan emosi yang terjadi pada usia remaja mulai mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Namun terkadang emosi mereka mudah “meledak” di saat mereka mendapatkan pengaruh atau rangsangan yang mengakibatkan berkurangnya kontrol terhadap emosi mereka. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali remaja yang kematangan emosinya kurang, mengakibatkan diri mereka kurang mampu dalam mengontrol perilaku agresinya. Emosi yang tidak ditekan dan dikontrol dengan baik akan dapat menimbulkan perilaku agresi sebagai sarana pengekpresian emosi mereka yang tak terkontrol dan tak terarah.
Hal tersebut di atas sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Trisnaningtyas (2004:40) tentang hubungan antara kestabilan emosi dengan agresivitas pada petugas Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Trisnaningtyas, kestabilan emosi berhubungan erat dengan agresivitas. Kestabilan emosi tampak pada individu saat dihadapkan pada suatu permasalahan. Individu yang stabil emosinya akan memiliki muatan emosional yang rendah, mampu menganggulangi permasalahan yang dihadapi dan tidak mengalami kesulitan emosional yang berlebih dalam merespon peristiwa yang riil dan berimajinasi; sehingga dengan kestabilan emosi, individu tidak mengalami kesulitan atau terhambat dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan.
Sedangkan pada individu yang tidak stabil emosinya, dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari cenderung tidak dapat memfokuskan diri, melakukan penghindaran, memusuhi orang lain, memperlihatkan rasa kurang simpatik, mengalami kesulitan emosional terhadap situasi yang menekannya dan bereaksi negatif. Menurut Eysenck (dalam Trisnaningtyas, 2004:41) individu ini mempunyai kecenderungan mengalami konflik, hambatan atau kegagalan dalam menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
SMK Islam 1 Blitar merupakan sekolah menengah kejuruan di bidang teknik yang mempunyai program keahlian yaitu otomotif, mesin, listrik, perkayuan dan bangunan. Siswa SMK Islam 1 Blitar rata-rata berada dalam usia remaja awal yaitu berumur antara 15 – 17 tahun. Sebagian besar siswa yang ada di sekolah tersebut berasal dari luar kota Blitar atau bertempat tinggal di kabupaten Blitar, sedangkan SMK Islam 1 Blitar berada di kotamadya Blitar. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu guru BK SMK Islam 1 Blitar masalah yang dimiliki oleh siswa SMK Islam 1 Blitar antara lain siswa sering membolos, melanggar peraturan sekolah, dan perilaku perkelahian antar pelajar (wawancara, 2007). Perkelahian antar pelajar merupakan salah satu perilaku agresi yang menjadi masalah yang cukup memprihatinkan bagi pihak SMK Islam 1 Blitar, karena terjadi secara tiba-tiba dan terjadi dalam tiap tahun. Permasalahan ini dapat diakibatkan oleh faktor ekonomi, faktor lingkungan maupun faktor individu. Namun berdasarkan interview dengan beberapa siswa, faktor lingkungan dan faktor individu menjadi indikasi utama pada salah satu perilaku agresi ini (interview, 2007). Lingkungan pertama bagi siswa adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga para siswa SMK Islam 1 Blitar memiliki pola asuh yang berbeda-beda dalam mendidik anak. Pola asuh otoriter, demokratis dan permisif dapat menentukan tingkat agresifitas bagi siswa atau penyebab eksternal dari perilaku agresi. Sedangkan faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku agresi yaitu kematangan emosi. Seseorang yang memiliki kematangan emosi tinggi dapat menilai sesuatu secara kritis dan mampu mengendalikan perilaku agresinya. Dalam hal ini mengindikasikan bahwa perilaku agresi yang muncul pada siswa SMK Islam 1 Blitar dapat diteliti melalui pola asuh orang tua dan kematangan emosinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ”Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan Kematangan Emosi Dengan Perilaku Agresi Remaja Awal Di SMK Islam 1 Blitar”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu sebagai suatu masa dimana terjadi ketegangan emosi yang tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980: 212). Di masa ini remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu, karena mereka ada dalam masa peralihan dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku baru dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Gejolak ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri dan memantapkan posisinya dalam masyarakat); oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder), perkembangan inteligensi (penalaran yang tajam dan kritis), serta perubahan emosi (lebih peka, cepat marah dan agresif).
Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan fisik. Kurang lebih bersamaan dengan perubahan fisik maupun psikis, mereka mulai melepaskan diri dari ikatan orang tua dan kemudian terlihat perubahan-perubahan kepribadian yang terwujud dalam cara hidup mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat (Gunarsa, 1988).
Hurlock (1980:213) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang menimbulkan perasaan aman serta keterbukaan yang berpengaruh dalam hubungan sosial. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, mereka seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif, salah satunya adalah muncul perilaku agresi.
Perilaku agresi merupakan salah satu bentuk respon yang bertujuan untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui bentuk-bentuk tingkah laku yang menyerang, menuntut, menguasai, memerintah orang lain, melawan disiplin, memberontak, kecenderungan tidak setuju terhadap pendapat atau perbuatan orang lain, yang disebabkan oleh faktor-faktor psikologis atau gangguan-gangguan lainnya. Perilaku agresi ini dilakukan secara verbal maupun fisik dengan disengaja (Schneiders, 1964)
Penelitian Mu’tadin (2002) yang menyatakan bahwa ada banyak contoh dalam kehidupan menampakkan perilaku agresi di lingkungan sekitarnya, mulai dari tawuran atau perkelahian antar pelajaran, sikap anti sosial, sikap anti kemapanan, pertentangan dengan figur otoritas seperti orang tua maupun orang-orang yang dianggap penting, serta banyak lagi contoh perilaku agresi remaja yang lainnya.
Bentuk nyata perilaku agresi yang dilakukan contohnya yaitu perkelahian atau tawuran antar pelajar yang sering menimbulkan korban jiwa. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta melalui Bimas Polri Metro pada tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar, tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 130 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan pada tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001).
Fenomena mengenai mudahnya para pelajar berkelahi atau yang sering disebut tawuran, menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan, Berdasarkan interview dengan beberapa siswa SMK Islam 1 Blitar pada 6 September 2007, dapat diambil keterangan bahwa perkelahian yang terjadi biasanya karena adanya alasan sepele, hanya dengan adu pandang dengan remaja lain yang ditafsirkan sebagai suatu tantangan, perebutan wanita atau biasanya ada remaja lain yang menjahili sang pacar hingga menimbulkan perkelahian, kesalahpahaman dan perselisihan pembicaraan, membela teman dalam satu geng sehingga menimbulkan perkelahian massal atau tawuran. Peristiwa tersebut banyak mendapat sorotan dan perhatian baik dari orang tua, pemerintah, pendidik serta psikolog karena adanya gejala peningkatan tingkah laku agresi.
Remaja yang berperilaku agresi secara konsisten menunjukkan kekurangan dalam kemampuan interpersonal mereka terhadap perencanaan dan manajemen agresi (Mundy, 1997). Kemunculan perilaku agresi bisa disebabkan karena berhadapan dengan situasi-situasi atau keadaan yang tidak menyenangkan dalam lingkungannya. Krahe (2005:111) menyatakan beberapa faktor yang dapat mendorong dan meningkatkan perilaku agresi, antara lain keadaan yang dapat menyebabkan frustasi, penggunaan alkohol, efek senjata, keadaan yang berdesak-desakan (crowding), kebisingan, polusi udara, dan efek temperatur udara.
Bandura (dalam Tarmudji, 2001) menyatakan ada tiga sumber munculnya tingkah laku agresif antara lain pengaruh keluarga, pengaruh subkultural, dan modeling (vicarious learning). Perilaku agresi merupakan hasil proses belajar dalam interaksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial dalam hal ini mencakup lingkungan keluarga sebagai lingkungan primer yang merupakan peletak dasar yang membentuk perilaku, selain lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Sebagai faktor eksternal, pola asuh keluarga memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk perilaku agresi pada remaja. Kartono (2003: 61-62) mengemukakan bahwa keluarga tidak bahagia dan berantakan akan mengembangkan emosi kepedihan dan sikap negatif pada lingkungannya. Anak akan menjadi tidak bahagia, emosinya gampang “meledak” dan akan mengalami gangguan dalam penyesuaian sosialnya. Akibatnya, anak akan mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga untuk memecahkan semua kesulitan batinnya, sehingga timbul perilaku agresi.
Willis (1993) menyatakan bahwa salah satu penyebab perilaku agresi yaitu dari lingkungan keluarga yang meliputi kurang perhatian orang tua, kurangnya pengawasan terhadap remaja serta dari perilaku orang tua sendiri. Oleh karena itu, pola asuh dalam keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan anak. Selain itu masa remaja adalah masa dimana mereka mulai meninggalkan masa anak-anak yang bergantung pada orang tua, dengan mencari identitas diri untuk menjawab siapa diri mereka dan menemukan tempatnya di dunia ini. Dalam mencari identitas / jati diri, mereka biasanya menilai dan meniru perilaku orang dewasa sambil menyadari apa yang diharapkan oleh orang dewasa. Model pertama yang mereka tiru biasanya tidak jauh adalah dari keluarga mereka sendiri yaitu dari orang tuanya. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang menentukan perilaku remaja. Pola asuh orang tua paling berperan dalam ini. Perilaku orang tua mereka, yang telah terasa dan teramati sejak keluar dari rahim sang ibu, telah tertanam pada diri mereka. Mulai dari belajar untuk bicara hingga mengenal berbagai norma yang harus mereka patuhi. Dalam hal ini pola asuh orang tua adalah salah satu contoh yang berpengaruh dalam perkembangan remaja.
Pola asuh orang tua menurut Hurlock (1973) dikategorikan menjadi tiga, yaitu : otoriter, demokratis dan permisif, yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Dari pola asuh tersebut timbul suatu perilaku baru yang muncul akibat diterapkannya dalam suatu keluarga. Pada pola asuh otoriter, orang tua mengontrol segala aktivitas anak dengan ketat, menuntut anak selalu patuh pada orang tua, membuat anak menyesuaikan diri dengan standar yang ditentukan oleh orang tua dan menghukum keras bila anak melanggar aturan, anak tidak dipuji saat mau melakukan sesuatu, serta tidak memperhatikan keinginan anak karena orang tua cenderung memaksakan kehendaknya. Akibatnya menyakitkan hati anak sehingga terkadang anak ngambek dan tidak melaksanakan perintah orang tua, menimbulkan rasa takut dan dendam, tidak adanya rasa kasih sayang kepada orang tua sehingga timbul perilaku agresi untuk menentang kehendak orang tua. Selain itu dalam aplikasi kehidupan sehari-hari, remaja yang dalam asuhan otoriter cenderung memunculkan perilaku agresi kepada lingkungan sekitar sebagai modeling dari perilaku orang tua kepadanya. Pada pola asuh demokratis, orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengatakan pendapat, keluhan, kegelisahan dan menjelaskan bagaimana anak diharapkan. Selain itu anak akan dihukum bila melakukan kesalahan. Akibatnya bagi remaja yang dalam asuhan demokratis merasa mendapatkan perhatian dari orang tuanya dan cenderung malu atau sungkan dalam melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Biasanya remaja melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua maupun perilaku agresi mereka secara sembunyi dari orang tua mereka. Pada pola asuh permisif, orang tua membiarkan anak membuat regulasi sendiri dengan hanya menyediakan sumber yang diperlukan anak, serta tidak adanya reward dan punishment. Akibatnya bagi remaja yang dalam asuhan permisif merasa bebas melakukan segalanya termasuk melampiaskan perilaku agresinya dan merasa acuh tak acuh bila dinasehati orang lain bilamana mereka melakukan kesalahan.
Berdasarkan penelitian Baldwin (dalam Gerungan, 2000), membandingkan keluarga-keluarga yang interaksinya bercorak demokratis dengan keluarga dimana pengawasan orang tua yang keras terhadap anak (otoriter). Ia memperoleh hasil bahwa semakin otoriter orang tuanya semakin berkurang ketaatan, timbulnya ciri-ciri pasifitas, kurangnya inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan takut-takut. Sebaliknya sikap-sikap demokratis dari orang tua menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, tidak takut-takut, lebih giat dan terencana, namun juga masih dimungkinkan untuk berkembangnya sifat-sifat tidak taat dan tidak mau menyesuaikan diri dari remaja tersebut.
Selain pola asuh, terdapat pula kematangan emosi sebagai faktor internal yang ikut memberikan andil dalam menentukan perilaku agresi bagi remaja. Kematangan emosi dapat diketahui dari cara seseorang dapat mengatasi suatu masalah yang dihadapinya, dapat menempatkan diri, dan mengontrol respon emosi yang sesuai dengan situasi maupun individu yang sedang dihadapinya (Chaplin, 2001:165). Seorang remaja yang matang secara emosi dapat bereaksi secara positif dan tepat sesuai dengan tempat dan situasi.
Perkembangan emosi yang terjadi pada usia remaja mulai mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Namun terkadang emosi mereka mudah “meledak” di saat mereka mendapatkan pengaruh atau rangsangan yang mengakibatkan berkurangnya kontrol terhadap emosi mereka. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali remaja yang kematangan emosinya kurang, mengakibatkan diri mereka kurang mampu dalam mengontrol perilaku agresinya. Emosi yang tidak ditekan dan dikontrol dengan baik akan dapat menimbulkan perilaku agresi sebagai sarana pengekpresian emosi mereka yang tak terkontrol dan tak terarah.
Hal tersebut di atas sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Trisnaningtyas (2004:40) tentang hubungan antara kestabilan emosi dengan agresivitas pada petugas Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Trisnaningtyas, kestabilan emosi berhubungan erat dengan agresivitas. Kestabilan emosi tampak pada individu saat dihadapkan pada suatu permasalahan. Individu yang stabil emosinya akan memiliki muatan emosional yang rendah, mampu menganggulangi permasalahan yang dihadapi dan tidak mengalami kesulitan emosional yang berlebih dalam merespon peristiwa yang riil dan berimajinasi; sehingga dengan kestabilan emosi, individu tidak mengalami kesulitan atau terhambat dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan.
Sedangkan pada individu yang tidak stabil emosinya, dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari cenderung tidak dapat memfokuskan diri, melakukan penghindaran, memusuhi orang lain, memperlihatkan rasa kurang simpatik, mengalami kesulitan emosional terhadap situasi yang menekannya dan bereaksi negatif. Menurut Eysenck (dalam Trisnaningtyas, 2004:41) individu ini mempunyai kecenderungan mengalami konflik, hambatan atau kegagalan dalam menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
SMK Islam 1 Blitar merupakan sekolah menengah kejuruan di bidang teknik yang mempunyai program keahlian yaitu otomotif, mesin, listrik, perkayuan dan bangunan. Siswa SMK Islam 1 Blitar rata-rata berada dalam usia remaja awal yaitu berumur antara 15 – 17 tahun. Sebagian besar siswa yang ada di sekolah tersebut berasal dari luar kota Blitar atau bertempat tinggal di kabupaten Blitar, sedangkan SMK Islam 1 Blitar berada di kotamadya Blitar. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu guru BK SMK Islam 1 Blitar masalah yang dimiliki oleh siswa SMK Islam 1 Blitar antara lain siswa sering membolos, melanggar peraturan sekolah, dan perilaku perkelahian antar pelajar (wawancara, 2007). Perkelahian antar pelajar merupakan salah satu perilaku agresi yang menjadi masalah yang cukup memprihatinkan bagi pihak SMK Islam 1 Blitar, karena terjadi secara tiba-tiba dan terjadi dalam tiap tahun. Permasalahan ini dapat diakibatkan oleh faktor ekonomi, faktor lingkungan maupun faktor individu. Namun berdasarkan interview dengan beberapa siswa, faktor lingkungan dan faktor individu menjadi indikasi utama pada salah satu perilaku agresi ini (interview, 2007). Lingkungan pertama bagi siswa adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga para siswa SMK Islam 1 Blitar memiliki pola asuh yang berbeda-beda dalam mendidik anak. Pola asuh otoriter, demokratis dan permisif dapat menentukan tingkat agresifitas bagi siswa atau penyebab eksternal dari perilaku agresi. Sedangkan faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku agresi yaitu kematangan emosi. Seseorang yang memiliki kematangan emosi tinggi dapat menilai sesuatu secara kritis dan mampu mengendalikan perilaku agresinya. Dalam hal ini mengindikasikan bahwa perilaku agresi yang muncul pada siswa SMK Islam 1 Blitar dapat diteliti melalui pola asuh orang tua dan kematangan emosinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ”Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan Kematangan Emosi Dengan Perilaku Agresi Remaja Awal Di SMK Islam 1 Blitar”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :