BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Sekarang manusia sudah tidak bisa hidup sendiri dengan hanya
menggantungkan sumber daya alam (SDA). Manusia adalah mahluk sosial yang
saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia tidak akan tumbuh dan
berkembang apabila tidak ada orang lain dalam kehidupannya. Setiap kehidupan
memerlukan kehidupan lain untuk menunjang kehidupannya, dan hal tersebut
adalah kodrat yang telah digariskan untuk setiap kehidupan yang ada dimuka
bumi ini.
Manusia tidak berkembang dengan sendirinya tetapi memerlukan orang
lain. Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama
dengan sesamanya. Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk
hidup berkawan sehingga manusia disebut mahluk sosial. Sebagai makluk sosial
manusia mempunyai naluri yang disebut gregariousness (keinginan untuk hidup
berkelompok).
Manusia merupakan makhluk kolektif yang menerapkan sistem pembagian
kerja. Sistem pembagian kerja merupakan aktivitas kerja sama dengan sistem
komunikasi yang berasal dari kemampuan otak untuk membantu manusia
menentukan pilihannya secara pribadi. Manusia juga memiliki kelakuan yang
disebut tingkah laku yang dijadikan milik sendiri dengan proses belajar. Tingkah
laku tidak berdasarkan ciri-ciri ras melainkan karena kolektif-kolektif dimana
manusia itu bergaul dan berinteraksi dalam suatu lingkup masyarakat.
Pada perkembangannya seseorang membutuhkan suatu kelompok untuk
berinteraksi satu dengan yang lainnya, agar seseorang mendapatkan identitas diri,
maka harus masuk dalam suatu kelompok yang diinginkannya. Pada
kenyataannya banyak sekali individu yang mengalami kesulitan ketika masuk ke
suatu kelompok. Mudah tidaknya seseorang masuk dalam suatu kelompok dapat
dilihat dari tingkat kematangan sosial seseorang tersebut.
Kematangan sosial seseorang dapat dibentuk dengan adanya interaksi
antara individu, hal ini dapat dilakukan dengan komunikasi antara anggota
organisasi. Interaksi-interaksi anggota dalam suatu organisasi akan membentuk
suatu kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok adalah suatu hubungan
interpersonal dalam suatu kelompok dimana anggotanya tertarik satu sama lain
dan menyebabkan anggota kelompok tidak mau meninggalkan kelompoknya
(Shaw, 1979). Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa kohesivitas kelompok
adalah solidaritas dalam suatu kelompok yang menimbulkan persahabatan.
Kelompok yang kohesif adalah kelompok yang menyukai kegiatan-kegiatan serta
nilai-nilai dan tujuan kelompok (Hadi Pranata, 1995).
Dengan demikian kelompok dapat mewujudkan kesamaan perasaan dan
persepsi anggota, serta meningkatkan kemampuan untuk bekerjasama sehingga
kelompok akan lebih efektif. Kelompok yang efektif memiliki moral kerja yang
tinggi dan sikap kerja yang baik, sehingga lebih bergairah dan bersemangat dalam
kelompok yang melandasi dan menopang anggota kelompok untuk mendapat
kepuasan (Hadi Pranata, 1995).
Kelompok yang kohesif memberikan peluang para anggotanya untuk
berprestasi, memberikan motivasi, pengarahan dan melibatkan diri sepenuhnya
dalam kelompok. Sebagaimana konsekuensinya kohesivitas kelompok memacu
pengembangan kerja anggota kelompok. (Ramdani dan Martono dalam Wiyono,
2000).
Hadi Pranata (1995) menambahkan kohesivitas kelompok menunjang
kegiatan kelompok yang baik, aman dan tenteram serta dapat menciptakan
peluang bagi kelompok. Aktivitas kelompok akan dapat mempermudah kelompok
dalam mencapai tujuan. Kelompok yang kohesif akan memberikan manfaat bagi
hubungan kerjasama yang teratur, saling melayani, saling menasehati dan saling
menjembatani dan memiliki kekuatan kerjasama yang tangguh. Kelompok dengan
kohesivitas rendah cenderung rentan terhadap kenyataan dan harapan kerjasama
(Hadi Pranata, 1995 ).
Apabila dikaitkan dengan tingkat kohesivitas seseorang, maka kematangan
sosial merupakan sesuatu dalam diri manusia yang berupa potensi-potensi yang
perlu dikembangkan. Andayani (1985) mengartikan kematangan sosial sebagai
suatu tingkat perkembangan pada saat telah dicapai kemampua n untuk hidup
bermasyarakat yang arahnya ditentukan oleh tuntutan sosial dalam kelompoknya.
Doll (dalam Sony, 2003) menyatakan kematangan sosial sebagai kinerja yang
menunjukkan perkembangan kemampuan dalam memelihara diri sendiri dan
kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang mendukung tercapainya
kemandirian sebagai orang dewasa pada nantinya sesuai dengan
perkembangannya. Koch dan Medinny (dalam Sony, 2003) berpendapat bahwa
kematangan sosial anak dapat dilihat dari penerimaan sosial individu dalam
kelompok sehingga ada kecenderungan akan kohesif. Selain itu Bhatia (1977)
menerangkan bahwa kematangan sosial merupakan kesadaran sosial yang berupa
sikap dan pola tingkah laku yang mengerti, menghormati kebiasaan kelompok
yang terlibat di dalamnya untuk membentuk suatu pola kesejahteraan yang
menciptakan suatu kondisi yang kohesif dalam kelompok.
Suatu lingkungan kelompok yang kohesif dapat membentuk individu
mencapai kematangan sosial yang dibutuhkan untuk mengembangkan dirinya.
Doll (dalam Sony, 2003) menjelaskan aspek-aspek dalam kematangan sosial
terdiri dari 6 aspek yang harus dilihat dalam mengulas kematangan sosial
seseorang yaitu: self-help, self-direction, locomotion, occupation, communication,
and social relation.
Keluarga khususnya orang tua merupakan faktor lingkungan yang utama
bagi perkembangan kematangan sosial. Penerimaan sosial terhadap individu yang
matang atau kematangan sosial seseorang dalam kelompok akan cenderung
meningkatkan kohesif (Pikunas, 1976). Menurut David dan Hariri (dalam Rahmat,
1991), aspek-aspek kohesivitas antara lain: kebersamaan, saling mendukung dan
kerjasama, ketertarikan interpersonal dan konformitas mempunyai tujuan sama.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat
kematangan sosial adalah suatu potensi dalam diri manusia yang perlu
dikembangkan dalam hidup bermasyarakat. Hubungannya dengan aktivitas-
aktivitas yang mendukung suatu kemandirian sebagai orang dewasa akan
menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan hubungan sosial secara
mandiri. Suatu kelompok organisasi dimana seseorang yang menjadi anggotanya
akan menumbuhkan kesadaran sosial yang berupa sikap dan pola tingkah laku.
Tingkah laku tersebut antara lain mengerti dan menghormati kebiasaan kelompok
yang terlibat di dalamnya untuk membentuk suatu pola kesejahteraan yang
menciptakan kondisi yang kohesif pada kelompoknya. Sehingga individu akan
diterima dalam kelompok dan ia cenderung akan kohesif. Berdasarkan hal
tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
sejauhmana tingkat kematangan sosial dapat mempengaruhi kohesivitas
kelompok.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Sekarang manusia sudah tidak bisa hidup sendiri dengan hanya
menggantungkan sumber daya alam (SDA). Manusia adalah mahluk sosial yang
saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia tidak akan tumbuh dan
berkembang apabila tidak ada orang lain dalam kehidupannya. Setiap kehidupan
memerlukan kehidupan lain untuk menunjang kehidupannya, dan hal tersebut
adalah kodrat yang telah digariskan untuk setiap kehidupan yang ada dimuka
bumi ini.
Manusia tidak berkembang dengan sendirinya tetapi memerlukan orang
lain. Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama
dengan sesamanya. Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk
hidup berkawan sehingga manusia disebut mahluk sosial. Sebagai makluk sosial
manusia mempunyai naluri yang disebut gregariousness (keinginan untuk hidup
berkelompok).
Manusia merupakan makhluk kolektif yang menerapkan sistem pembagian
kerja. Sistem pembagian kerja merupakan aktivitas kerja sama dengan sistem
komunikasi yang berasal dari kemampuan otak untuk membantu manusia
menentukan pilihannya secara pribadi. Manusia juga memiliki kelakuan yang
disebut tingkah laku yang dijadikan milik sendiri dengan proses belajar. Tingkah
laku tidak berdasarkan ciri-ciri ras melainkan karena kolektif-kolektif dimana
manusia itu bergaul dan berinteraksi dalam suatu lingkup masyarakat.
Pada perkembangannya seseorang membutuhkan suatu kelompok untuk
berinteraksi satu dengan yang lainnya, agar seseorang mendapatkan identitas diri,
maka harus masuk dalam suatu kelompok yang diinginkannya. Pada
kenyataannya banyak sekali individu yang mengalami kesulitan ketika masuk ke
suatu kelompok. Mudah tidaknya seseorang masuk dalam suatu kelompok dapat
dilihat dari tingkat kematangan sosial seseorang tersebut.
Kematangan sosial seseorang dapat dibentuk dengan adanya interaksi
antara individu, hal ini dapat dilakukan dengan komunikasi antara anggota
organisasi. Interaksi-interaksi anggota dalam suatu organisasi akan membentuk
suatu kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok adalah suatu hubungan
interpersonal dalam suatu kelompok dimana anggotanya tertarik satu sama lain
dan menyebabkan anggota kelompok tidak mau meninggalkan kelompoknya
(Shaw, 1979). Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa kohesivitas kelompok
adalah solidaritas dalam suatu kelompok yang menimbulkan persahabatan.
Kelompok yang kohesif adalah kelompok yang menyukai kegiatan-kegiatan serta
nilai-nilai dan tujuan kelompok (Hadi Pranata, 1995).
Dengan demikian kelompok dapat mewujudkan kesamaan perasaan dan
persepsi anggota, serta meningkatkan kemampuan untuk bekerjasama sehingga
kelompok akan lebih efektif. Kelompok yang efektif memiliki moral kerja yang
tinggi dan sikap kerja yang baik, sehingga lebih bergairah dan bersemangat dalam
kelompok yang melandasi dan menopang anggota kelompok untuk mendapat
kepuasan (Hadi Pranata, 1995).
Kelompok yang kohesif memberikan peluang para anggotanya untuk
berprestasi, memberikan motivasi, pengarahan dan melibatkan diri sepenuhnya
dalam kelompok. Sebagaimana konsekuensinya kohesivitas kelompok memacu
pengembangan kerja anggota kelompok. (Ramdani dan Martono dalam Wiyono,
2000).
Hadi Pranata (1995) menambahkan kohesivitas kelompok menunjang
kegiatan kelompok yang baik, aman dan tenteram serta dapat menciptakan
peluang bagi kelompok. Aktivitas kelompok akan dapat mempermudah kelompok
dalam mencapai tujuan. Kelompok yang kohesif akan memberikan manfaat bagi
hubungan kerjasama yang teratur, saling melayani, saling menasehati dan saling
menjembatani dan memiliki kekuatan kerjasama yang tangguh. Kelompok dengan
kohesivitas rendah cenderung rentan terhadap kenyataan dan harapan kerjasama
(Hadi Pranata, 1995 ).
Apabila dikaitkan dengan tingkat kohesivitas seseorang, maka kematangan
sosial merupakan sesuatu dalam diri manusia yang berupa potensi-potensi yang
perlu dikembangkan. Andayani (1985) mengartikan kematangan sosial sebagai
suatu tingkat perkembangan pada saat telah dicapai kemampua n untuk hidup
bermasyarakat yang arahnya ditentukan oleh tuntutan sosial dalam kelompoknya.
Doll (dalam Sony, 2003) menyatakan kematangan sosial sebagai kinerja yang
menunjukkan perkembangan kemampuan dalam memelihara diri sendiri dan
kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang mendukung tercapainya
kemandirian sebagai orang dewasa pada nantinya sesuai dengan
perkembangannya. Koch dan Medinny (dalam Sony, 2003) berpendapat bahwa
kematangan sosial anak dapat dilihat dari penerimaan sosial individu dalam
kelompok sehingga ada kecenderungan akan kohesif. Selain itu Bhatia (1977)
menerangkan bahwa kematangan sosial merupakan kesadaran sosial yang berupa
sikap dan pola tingkah laku yang mengerti, menghormati kebiasaan kelompok
yang terlibat di dalamnya untuk membentuk suatu pola kesejahteraan yang
menciptakan suatu kondisi yang kohesif dalam kelompok.
Suatu lingkungan kelompok yang kohesif dapat membentuk individu
mencapai kematangan sosial yang dibutuhkan untuk mengembangkan dirinya.
Doll (dalam Sony, 2003) menjelaskan aspek-aspek dalam kematangan sosial
terdiri dari 6 aspek yang harus dilihat dalam mengulas kematangan sosial
seseorang yaitu: self-help, self-direction, locomotion, occupation, communication,
and social relation.
Keluarga khususnya orang tua merupakan faktor lingkungan yang utama
bagi perkembangan kematangan sosial. Penerimaan sosial terhadap individu yang
matang atau kematangan sosial seseorang dalam kelompok akan cenderung
meningkatkan kohesif (Pikunas, 1976). Menurut David dan Hariri (dalam Rahmat,
1991), aspek-aspek kohesivitas antara lain: kebersamaan, saling mendukung dan
kerjasama, ketertarikan interpersonal dan konformitas mempunyai tujuan sama.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat
kematangan sosial adalah suatu potensi dalam diri manusia yang perlu
dikembangkan dalam hidup bermasyarakat. Hubungannya dengan aktivitas-
aktivitas yang mendukung suatu kemandirian sebagai orang dewasa akan
menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan hubungan sosial secara
mandiri. Suatu kelompok organisasi dimana seseorang yang menjadi anggotanya
akan menumbuhkan kesadaran sosial yang berupa sikap dan pola tingkah laku.
Tingkah laku tersebut antara lain mengerti dan menghormati kebiasaan kelompok
yang terlibat di dalamnya untuk membentuk suatu pola kesejahteraan yang
menciptakan kondisi yang kohesif pada kelompoknya. Sehingga individu akan
diterima dalam kelompok dan ia cenderung akan kohesif. Berdasarkan hal
tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
sejauhmana tingkat kematangan sosial dapat mempengaruhi kohesivitas
kelompok.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: