BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan, apalagi jika suatu hal
yang tidak kita inginkan itu terjadi atau menimpa kita, maka kita akan merasa
menderita. Dalam ritme kehidupan yang sangat majemuk ini, manusia memang
dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup yang beragam. Barangkali benar yang
sering diucapkan oleh sebagian orang bahwa hidup ini tidaklah mudah, sebab tidak
semua keinginan kita akan terwujud dalam hidup ini.
Anak-anak pada dasarnya merupakan kelompok yang paling rentan terhadap
berbagai proses perubahan sosial-politik dan ekonomi yang tengah berlangsung.
Menurut Suyanto (2003), di berbagai komunitas, anak-anak seringkali menjadi
korban pertama dan menderita, serta terpaksa terhambat proses tumbuh kembang
mereka secara wajar karena ketidakmampuan orang tua, masyarakat dan pemerintah
dalam memberikan pelayanan sosial yang terbaik bagi anak-anak.
Keadaan negara yang menghadapi situasi sulit seperti sekarang ini, dapat
memotivasi munculnya anak jalanan yang menginginkan kehidupan bebas dari aturan
dan berbagai persoalan keluarga serta lingkungan pergaulan, sehingga mereka “lari”
untuk mencari identitas dirinya. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki
perangkat hukum yang berfungsi untuk melindungi hak-hak anak seperti UU
Kesejahteraan Anak no.4/ 1979 atau seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal
34 yang menyebutkan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Anak jalanan adalah anak yang berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun,
sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum, melakukan
kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian
tidak terurus, mobilitasnya tinggi (www.depsos.go.id/Balatbang/as.doc).
Banyak faktor yang mendorong mereka turun ke jalanan, tapi apapun
sebabnya, situasi yang mereka alami bukanlah yang mereka inginkan. Seperti yang
telah dijelaskan oleh Suswandari (dalam Indriarini 2003), mereka terpuruk oleh
keadaan sehingga menjadi anak jalanan. Suasana rumah yang kurang harmonis dapat
menyebabkan anak tidak betah di rumah, sehingga mereka melarikan diri mencari
kebahagiaan. Anak jalanan merupakan komunitas yang relatif baru dalam kehidupan
di pinggiran perkotaan, setelah kaum gelandangan, pemulung, pekerja seks kelas
rendah, selain itu mereka juga dianggap sebagai “virus social” yang mengancam
kemapanan hidup masyarakat, artinya anak jalanan dianggap sebagai anak nakal,
tidak tahu sopan santun, brutal, serta pengganggu ketertiban masyarakat.
Berbagai kajian mengenai anak jalanan telah banyak yang diangkat ke sebuah
penelitian. Baik melalui pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian anak
jalanan yang pernah dilakukan oleh Ismudiyati (2003), dengan responden sebanyak
57 anak jalanan di Kotamadya Bandung, menunjukkan bahwa depresi yang dialami
oleh anak jalanan pada umumnya berada pada tingkat sedang. Secara sosial
psikologis suasana kehidupan di jalanan yang keras penuh persaingan, ancaman,
pemerasan, eksploitasi dan tindak kekerasan sangat tidak menguntungkan bagi
perkembangan jiwa, moral, emosional dan sosial. Keadaan tersebut akan
mengakibatkan anak mengalami depresi.Tekanan dan tuntutan yang tidak dapat
dipenuhi seringkali menyebabkan suasana atau keadaan yang tidak menyenangkan
sehingga lama kelamaan akan menimbulkan depresi yang akan mempengaruhi
seseorang dalam melakukan pemenuhan kebutuhan. Menurut Holmes (dalam
Ismudiyati, 2003) individu yang mengalami depresi sering merasa sedih, putus asa,
kecewa dan murung.
Menanggapi hal tersebut, Bastaman (1996) mengatakan bahwa individu yang
tidak berhasil menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan
semacam frustrasi eksistensial, dimana individu merasa tidak mampu lagi dalam
mengatasi masalah-masalah personalnya secara efisien, merasa hampa, tidak
bersemangat, dan tak lagi memiliki tujuan hidup. Cara termudah untuk meredakan
tegangan yang ditimbulkan oleh frustrasi eksistensial yaitu dengan menghanyutkan
diri ke dalam arus “hiburan” yang menyesatkan seperti minum-minuman keras, judi
dan seks.
Berdasarkan teori Bastaman tersebut di atas maka dapat dilihat adanya
keterkaitan antara pemenuhan hasrat dalam mencapai kebermaknaan hidup dengan
faktor-faktor yang dapat mengakibatkan seseorang mengalami depresi. Benang merah
yang dapat ditarik antara kedua gejala tersebut yakni bahwa individu yang tidak
mampu menghayati kehidupannya ketika berada pada kondisi yang tidak
diinginkannya, akan memungkinkan timbulnya frustrasi eksistensial dan jika tidak
segera teratasi dapat mengakibatkan depresi pada individu tersebut.
Menurut Prihartanti (2004), bagi sebagian individu, peristiwa-peristiwa hidup
yang sering dirasakan sebagai peristiwa yang menekan dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan emosional, seperti depresi atau kecemasan yang berlebihan,
namun bagi sebagian individu yang lain bisa saja tidak terjadi gangguan psikologis
dan justru akan mengalami pertumbuhan pribadi. Menurutnya pemahaman mengenai
sifat kehidupan akan membawa seseorang pada pengembangan tujuan hidup yang
meliputi aspek psikologis, sosial, dan spiritual.
Di sinilah awal mula munculnya berbagai pertanyaan mengenai pencarian
makna dan orientasi hidup anak jalanan. Penulis telah melakukan wawancara sekilas
dengan seorang anak jalanan di kota Solo yang berinisial “An” (Laki-laki, 15 tahun).
Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada perkembangan pertanyaan-
pertanyaan secara spontan dengan interaksi alamiah, dimana Patton (dalam
Poerwandari, 1998) menamakan proses tersebut sebagai wawancara konversasional
yang informal. Responden menjadi pengamen jalanan karena desakan faktor ekonomi
keluarga. Ia terpaksa harus mencari kepingan rupiah dari para pengendara mobil
untuk makan dan bayaran sekolah. Hasil wawancara juga ditunjukkan bahwa di
tengah peliknya kehidupan jalanan ternyata responden masih memiliki sebuah cita-
cita yang tinggi seperti layaknya remaja seusianya, yaitu menjadi penyanyi seperti
Iwan Fals.
Mendengarkan keluhan, harapan, dan impian-impian anak jalanan adalah
pesan yang menyentuh hati nurani setiap manusia karena mereka merupakan aset
nasional yang berharga, artinya anak sebagai penerus cita-cita nasional dan penentu
masa depan bangsa. Ketika manusia memiliki harapan berarti mereka memiliki
keinginan terhadap sesuatu yang dapat memberikan kekuatan baginya untuk
mewujudkan sebuah kebahagiaan hidup yang bermakna.
Namun dalam realitasnya, krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga
membawa akibat luar biasa terutama bagi kehidupan generasi penerus, sehingga
memunculkan fenomena anak jalanan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh
Wahyuningrum (2002) bahwa dalam banyak kasus, anak-anak putus sekolah terpaksa
memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mencari uang untuk meringankan beban
keluarga. Banyak diantara mereka yang bekerja dalam kondisi yang tidak sepatutnya
dialami oleh anak-anak.
Kondisi masyarakat yang carut marut dan tidak jelas arah tujuannya
disebabkan oleh karena tidak jelasnya makna kehidupan dan tidak jelasnya visi
kehidupan bersama. Untuk menghindari terbentuknya masyarakat yang seperti ini
diperlukan adanya visi yang baik tentang tujuan hidup. Tujuan hidup ini bisa dicapai
bila pendidikan anak bangsa sejak dini menekankan pada makna kehidupan yang
baik. Pendidikan manusia yang bertujuan agar dia sadar akan tugas hidupnya adalah
rahmat bagi semua orang (Frankl, 2003)
Menurut Direktorat Pendidikan Masyarakat, anak jalanan tidak lagi sempat
memikirkan pentingnya pendidikan, tetapi mereka lebih memikirkan kebutuhan
ekonomi untuk diri dan keluarganya. Saat ini Direktorat Pendidikan Masyarakat turut
berusaha bersama dengan instansi terkait untuk menangani permasalahan tersebut
melalui pendidikan yang mampu membimbing dan mengembalikan hak-hak
pendidikan anak jalanan sehingga dapat belajar dan berkarya sebagaimana mestinya
(www.dikmas.depdiknas.go.id).
Masih ada sebagian anak jalanan yang memberikan makna yang baik pada
kehidupan dan memiliki harapan untuk merasakan hidup yang lebih baik melalui
tujuan-tujuan hidup yang didambakannya, seperti hasil yang telah ditunjukkan dalam
wawancara sekilas yang telah dilakukan oleh penulis di atas. Selama ini percakapan
mengenai anak jalanan memang cenderung lebih menonjolkan sisi negatif dari
kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa sisi semacam itu
memiliki kebenaran. Dari penelitian-penelitian di atas telah tersirat gambaran hidup
anak jalanan yang berada di tengah kondisi yang memprihatinkan sehingga dapat
diprediksikan bahwa fenomena penderitaan tersebut dalam waktu tertentu akan
mengakibatkan frustrasi dalam hidupnya.
Victor E.Frankl (2003) seorang tokoh psikologi eksistensial, dalam konsep
logoterapinya memaparkan bahwa cita-cita mulia dibangun atas sebuah pencarian
makna hidup yang menginginkan setiap manusia diperlakukan dengan adil. Kondisi
yang seperti ini menjadi contoh kebenaran dari apa yang dikatakan Nietzsche: “Siapa
yang memiliki alasan (why) akan sanggup mengatasi persoalan hidup dengan cara
(how) apapun”. Bastaman (1996) juga mengemukakan bahwa orang yang menghayati
hidupnya akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat, mempunyai
tujuan hidup yang jelas, baik tujuan hidup jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemberian batasan untuk karakteristik subyek anak jalanan pada penelitian
ini, yaitu antara lain a) Usia remaja awal (13 - 18 tahun), b) Tinggal bersama orang
tua dan tidak lagi tinggal bersama orang tua, c) Pendidikan minimal Sekolah Dasar,
d) Tempat tinggal di Solo, e) Minimal telah bekerja di jalan selama 1 tahun, f)
Ditangani oleh KAPAS. Dasar pertimbangan penulis dalam memberikan batasan usia
pada anak jalanan yaitu bahwa pada masa ini remaja berusaha untuk melepaskan diri
dari milieu orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya atau pembentukan
identitas (Monks,1994), remaja menampakkan adanya vitalitas jiwa yang tinggi,
dinamis, serta kegairahan hidup yang penuh semangat. Anak remaja sebetulnya tidak
mempunyai tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak pula
termasuk golongan dewasa atau golongan tua (Monks, 1994).
Hal yang juga mencemaskan akhir-akhir ini adalah jumlah anak jalanan
bukannya berkurang melainkan bertambah. Kompas (2003) melaporkan, secara
nasional diperkirakan jumlah anak jalanan mencapai ratusan ribu. Pasalnya data dari
12 kota di Indonesia saja pada tahun ini mencapai 47.000 anak. Deputi Bidang
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
Rachmat Sentika juga menuturkan bahwa pemerintah akan selalu berupaya
memberikan perhatian khusus dalam penanganan anak-anak jalanan. Sejauh ini
pemerintah masih mengidentifikasi anak-anak jalanan di 12 kota di Indonesia,
termasuk kota-kota besar.
Seperti halnya yang diutarakan Muladi, seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial
Pemerintah Kota Solo (www.yahoo.com oleh Naniel, 2003) mengaku bahwa Densos
belum dapat berbuat banyak bagi keberadaan anak jalanan. Namun selama ini
pihaknya bertugas mendata dan melakukan pembinaan terhadap anak jalanan ini. Di
Surakarta, berhasil didata anak jalanan sejumlah 405 orang, meskipun pendataan
hanya dilakukan dua hari dan sangat terbatas di lima kecamatan.
Penelitian dan kenyataan di lapangan tersebut menunjukkan bahwa banyak
anak-anak Indonesia yang tidak dapat menikmati kesempatan untuk belajar, bermain
dan bersantai. Banyak anak yang terpaksa menjadi anak jalanan, dan bahkan mereka
sendiri terkesan tidak peduli lagi dengan kenyataan pahit yang sebenarnya mereka
alami. Dari sekian keberagaman pilihan hidup, semua pasti berharap mendapatkan
kehidupan yang bahagia, bermakna, serta berguna. Kebahagiaan tersebut dapat
diperoleh apabila seseorang mampu menemukan makna di balik peristiwa yang
dialaminya, sekalipun ia merasakannya sebagai penderitaan. Berdasarkan teori Frankl
(Schultz, 1991) semakin individu mampu mengatasi diri sendiri dan memberikan
suatu tujuan atau arti dalam hidup maka manusia tersebut akan menjadi manusia
sepenuhnya.
Berdasarkan fenomena di atas maka dapat diambil suatu rumusan pokok yang
hendak menjadi dasar penelitian ini yaitu bagaimana dinamika kebermaknaan hidup
pada anak jalanan? Dengan rumusan masalah tersebut penulis mengajukan penelitian
dengan judul “Kebermaknaan Hidup Pada Anak Jalanan Di Surakarta”.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan memberikan gambaran secara
jelas mengenai dinamika kebermaknaan hidup pada anak jalanan.
C.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan, apalagi jika suatu hal
yang tidak kita inginkan itu terjadi atau menimpa kita, maka kita akan merasa
menderita. Dalam ritme kehidupan yang sangat majemuk ini, manusia memang
dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup yang beragam. Barangkali benar yang
sering diucapkan oleh sebagian orang bahwa hidup ini tidaklah mudah, sebab tidak
semua keinginan kita akan terwujud dalam hidup ini.
Anak-anak pada dasarnya merupakan kelompok yang paling rentan terhadap
berbagai proses perubahan sosial-politik dan ekonomi yang tengah berlangsung.
Menurut Suyanto (2003), di berbagai komunitas, anak-anak seringkali menjadi
korban pertama dan menderita, serta terpaksa terhambat proses tumbuh kembang
mereka secara wajar karena ketidakmampuan orang tua, masyarakat dan pemerintah
dalam memberikan pelayanan sosial yang terbaik bagi anak-anak.
Keadaan negara yang menghadapi situasi sulit seperti sekarang ini, dapat
memotivasi munculnya anak jalanan yang menginginkan kehidupan bebas dari aturan
dan berbagai persoalan keluarga serta lingkungan pergaulan, sehingga mereka “lari”
untuk mencari identitas dirinya. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki
perangkat hukum yang berfungsi untuk melindungi hak-hak anak seperti UU
Kesejahteraan Anak no.4/ 1979 atau seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal
34 yang menyebutkan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Anak jalanan adalah anak yang berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun,
sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum, melakukan
kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian
tidak terurus, mobilitasnya tinggi (www.depsos.go.id/Balatbang/as.doc).
Banyak faktor yang mendorong mereka turun ke jalanan, tapi apapun
sebabnya, situasi yang mereka alami bukanlah yang mereka inginkan. Seperti yang
telah dijelaskan oleh Suswandari (dalam Indriarini 2003), mereka terpuruk oleh
keadaan sehingga menjadi anak jalanan. Suasana rumah yang kurang harmonis dapat
menyebabkan anak tidak betah di rumah, sehingga mereka melarikan diri mencari
kebahagiaan. Anak jalanan merupakan komunitas yang relatif baru dalam kehidupan
di pinggiran perkotaan, setelah kaum gelandangan, pemulung, pekerja seks kelas
rendah, selain itu mereka juga dianggap sebagai “virus social” yang mengancam
kemapanan hidup masyarakat, artinya anak jalanan dianggap sebagai anak nakal,
tidak tahu sopan santun, brutal, serta pengganggu ketertiban masyarakat.
Berbagai kajian mengenai anak jalanan telah banyak yang diangkat ke sebuah
penelitian. Baik melalui pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian anak
jalanan yang pernah dilakukan oleh Ismudiyati (2003), dengan responden sebanyak
57 anak jalanan di Kotamadya Bandung, menunjukkan bahwa depresi yang dialami
oleh anak jalanan pada umumnya berada pada tingkat sedang. Secara sosial
psikologis suasana kehidupan di jalanan yang keras penuh persaingan, ancaman,
pemerasan, eksploitasi dan tindak kekerasan sangat tidak menguntungkan bagi
perkembangan jiwa, moral, emosional dan sosial. Keadaan tersebut akan
mengakibatkan anak mengalami depresi.Tekanan dan tuntutan yang tidak dapat
dipenuhi seringkali menyebabkan suasana atau keadaan yang tidak menyenangkan
sehingga lama kelamaan akan menimbulkan depresi yang akan mempengaruhi
seseorang dalam melakukan pemenuhan kebutuhan. Menurut Holmes (dalam
Ismudiyati, 2003) individu yang mengalami depresi sering merasa sedih, putus asa,
kecewa dan murung.
Menanggapi hal tersebut, Bastaman (1996) mengatakan bahwa individu yang
tidak berhasil menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan
semacam frustrasi eksistensial, dimana individu merasa tidak mampu lagi dalam
mengatasi masalah-masalah personalnya secara efisien, merasa hampa, tidak
bersemangat, dan tak lagi memiliki tujuan hidup. Cara termudah untuk meredakan
tegangan yang ditimbulkan oleh frustrasi eksistensial yaitu dengan menghanyutkan
diri ke dalam arus “hiburan” yang menyesatkan seperti minum-minuman keras, judi
dan seks.
Berdasarkan teori Bastaman tersebut di atas maka dapat dilihat adanya
keterkaitan antara pemenuhan hasrat dalam mencapai kebermaknaan hidup dengan
faktor-faktor yang dapat mengakibatkan seseorang mengalami depresi. Benang merah
yang dapat ditarik antara kedua gejala tersebut yakni bahwa individu yang tidak
mampu menghayati kehidupannya ketika berada pada kondisi yang tidak
diinginkannya, akan memungkinkan timbulnya frustrasi eksistensial dan jika tidak
segera teratasi dapat mengakibatkan depresi pada individu tersebut.
Menurut Prihartanti (2004), bagi sebagian individu, peristiwa-peristiwa hidup
yang sering dirasakan sebagai peristiwa yang menekan dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan emosional, seperti depresi atau kecemasan yang berlebihan,
namun bagi sebagian individu yang lain bisa saja tidak terjadi gangguan psikologis
dan justru akan mengalami pertumbuhan pribadi. Menurutnya pemahaman mengenai
sifat kehidupan akan membawa seseorang pada pengembangan tujuan hidup yang
meliputi aspek psikologis, sosial, dan spiritual.
Di sinilah awal mula munculnya berbagai pertanyaan mengenai pencarian
makna dan orientasi hidup anak jalanan. Penulis telah melakukan wawancara sekilas
dengan seorang anak jalanan di kota Solo yang berinisial “An” (Laki-laki, 15 tahun).
Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada perkembangan pertanyaan-
pertanyaan secara spontan dengan interaksi alamiah, dimana Patton (dalam
Poerwandari, 1998) menamakan proses tersebut sebagai wawancara konversasional
yang informal. Responden menjadi pengamen jalanan karena desakan faktor ekonomi
keluarga. Ia terpaksa harus mencari kepingan rupiah dari para pengendara mobil
untuk makan dan bayaran sekolah. Hasil wawancara juga ditunjukkan bahwa di
tengah peliknya kehidupan jalanan ternyata responden masih memiliki sebuah cita-
cita yang tinggi seperti layaknya remaja seusianya, yaitu menjadi penyanyi seperti
Iwan Fals.
Mendengarkan keluhan, harapan, dan impian-impian anak jalanan adalah
pesan yang menyentuh hati nurani setiap manusia karena mereka merupakan aset
nasional yang berharga, artinya anak sebagai penerus cita-cita nasional dan penentu
masa depan bangsa. Ketika manusia memiliki harapan berarti mereka memiliki
keinginan terhadap sesuatu yang dapat memberikan kekuatan baginya untuk
mewujudkan sebuah kebahagiaan hidup yang bermakna.
Namun dalam realitasnya, krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga
membawa akibat luar biasa terutama bagi kehidupan generasi penerus, sehingga
memunculkan fenomena anak jalanan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh
Wahyuningrum (2002) bahwa dalam banyak kasus, anak-anak putus sekolah terpaksa
memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mencari uang untuk meringankan beban
keluarga. Banyak diantara mereka yang bekerja dalam kondisi yang tidak sepatutnya
dialami oleh anak-anak.
Kondisi masyarakat yang carut marut dan tidak jelas arah tujuannya
disebabkan oleh karena tidak jelasnya makna kehidupan dan tidak jelasnya visi
kehidupan bersama. Untuk menghindari terbentuknya masyarakat yang seperti ini
diperlukan adanya visi yang baik tentang tujuan hidup. Tujuan hidup ini bisa dicapai
bila pendidikan anak bangsa sejak dini menekankan pada makna kehidupan yang
baik. Pendidikan manusia yang bertujuan agar dia sadar akan tugas hidupnya adalah
rahmat bagi semua orang (Frankl, 2003)
Menurut Direktorat Pendidikan Masyarakat, anak jalanan tidak lagi sempat
memikirkan pentingnya pendidikan, tetapi mereka lebih memikirkan kebutuhan
ekonomi untuk diri dan keluarganya. Saat ini Direktorat Pendidikan Masyarakat turut
berusaha bersama dengan instansi terkait untuk menangani permasalahan tersebut
melalui pendidikan yang mampu membimbing dan mengembalikan hak-hak
pendidikan anak jalanan sehingga dapat belajar dan berkarya sebagaimana mestinya
(www.dikmas.depdiknas.go.id).
Masih ada sebagian anak jalanan yang memberikan makna yang baik pada
kehidupan dan memiliki harapan untuk merasakan hidup yang lebih baik melalui
tujuan-tujuan hidup yang didambakannya, seperti hasil yang telah ditunjukkan dalam
wawancara sekilas yang telah dilakukan oleh penulis di atas. Selama ini percakapan
mengenai anak jalanan memang cenderung lebih menonjolkan sisi negatif dari
kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa sisi semacam itu
memiliki kebenaran. Dari penelitian-penelitian di atas telah tersirat gambaran hidup
anak jalanan yang berada di tengah kondisi yang memprihatinkan sehingga dapat
diprediksikan bahwa fenomena penderitaan tersebut dalam waktu tertentu akan
mengakibatkan frustrasi dalam hidupnya.
Victor E.Frankl (2003) seorang tokoh psikologi eksistensial, dalam konsep
logoterapinya memaparkan bahwa cita-cita mulia dibangun atas sebuah pencarian
makna hidup yang menginginkan setiap manusia diperlakukan dengan adil. Kondisi
yang seperti ini menjadi contoh kebenaran dari apa yang dikatakan Nietzsche: “Siapa
yang memiliki alasan (why) akan sanggup mengatasi persoalan hidup dengan cara
(how) apapun”. Bastaman (1996) juga mengemukakan bahwa orang yang menghayati
hidupnya akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat, mempunyai
tujuan hidup yang jelas, baik tujuan hidup jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemberian batasan untuk karakteristik subyek anak jalanan pada penelitian
ini, yaitu antara lain a) Usia remaja awal (13 - 18 tahun), b) Tinggal bersama orang
tua dan tidak lagi tinggal bersama orang tua, c) Pendidikan minimal Sekolah Dasar,
d) Tempat tinggal di Solo, e) Minimal telah bekerja di jalan selama 1 tahun, f)
Ditangani oleh KAPAS. Dasar pertimbangan penulis dalam memberikan batasan usia
pada anak jalanan yaitu bahwa pada masa ini remaja berusaha untuk melepaskan diri
dari milieu orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya atau pembentukan
identitas (Monks,1994), remaja menampakkan adanya vitalitas jiwa yang tinggi,
dinamis, serta kegairahan hidup yang penuh semangat. Anak remaja sebetulnya tidak
mempunyai tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak pula
termasuk golongan dewasa atau golongan tua (Monks, 1994).
Hal yang juga mencemaskan akhir-akhir ini adalah jumlah anak jalanan
bukannya berkurang melainkan bertambah. Kompas (2003) melaporkan, secara
nasional diperkirakan jumlah anak jalanan mencapai ratusan ribu. Pasalnya data dari
12 kota di Indonesia saja pada tahun ini mencapai 47.000 anak. Deputi Bidang
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
Rachmat Sentika juga menuturkan bahwa pemerintah akan selalu berupaya
memberikan perhatian khusus dalam penanganan anak-anak jalanan. Sejauh ini
pemerintah masih mengidentifikasi anak-anak jalanan di 12 kota di Indonesia,
termasuk kota-kota besar.
Seperti halnya yang diutarakan Muladi, seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial
Pemerintah Kota Solo (www.yahoo.com oleh Naniel, 2003) mengaku bahwa Densos
belum dapat berbuat banyak bagi keberadaan anak jalanan. Namun selama ini
pihaknya bertugas mendata dan melakukan pembinaan terhadap anak jalanan ini. Di
Surakarta, berhasil didata anak jalanan sejumlah 405 orang, meskipun pendataan
hanya dilakukan dua hari dan sangat terbatas di lima kecamatan.
Penelitian dan kenyataan di lapangan tersebut menunjukkan bahwa banyak
anak-anak Indonesia yang tidak dapat menikmati kesempatan untuk belajar, bermain
dan bersantai. Banyak anak yang terpaksa menjadi anak jalanan, dan bahkan mereka
sendiri terkesan tidak peduli lagi dengan kenyataan pahit yang sebenarnya mereka
alami. Dari sekian keberagaman pilihan hidup, semua pasti berharap mendapatkan
kehidupan yang bahagia, bermakna, serta berguna. Kebahagiaan tersebut dapat
diperoleh apabila seseorang mampu menemukan makna di balik peristiwa yang
dialaminya, sekalipun ia merasakannya sebagai penderitaan. Berdasarkan teori Frankl
(Schultz, 1991) semakin individu mampu mengatasi diri sendiri dan memberikan
suatu tujuan atau arti dalam hidup maka manusia tersebut akan menjadi manusia
sepenuhnya.
Berdasarkan fenomena di atas maka dapat diambil suatu rumusan pokok yang
hendak menjadi dasar penelitian ini yaitu bagaimana dinamika kebermaknaan hidup
pada anak jalanan? Dengan rumusan masalah tersebut penulis mengajukan penelitian
dengan judul “Kebermaknaan Hidup Pada Anak Jalanan Di Surakarta”.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan memberikan gambaran secara
jelas mengenai dinamika kebermaknaan hidup pada anak jalanan.
C.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :